[Ibnu Atha’illah]
Tak mudah itu bukan berarti tak mungkin. Itu yang saya coba untuk percaya. Dan tanpa henti, saya yakinkan pada hati. Terlampau sering saya beramal tapi kemudian di penghujung setelah sebuah amal dilakukan, saya tiba-tiba menjadi ragu apakah amal yang saya lakukan akan berbuah pahala. Apakah seiring berjalannya waktu, saya akan benar-benar mampu menjaga ikhlasnya niat atas amalan tersebut.
Hati–hati dengan godaan keikhlasan. Begitulah, taujih yang disampaikan pimpinan kami di ladang dakwah baru ini, tempat bagi kami, para penulis pemula bernaung. Beliau awali pertemuan kali itu dengan kisah seorang mujahid yang tak banyak dikenal dalam sejarah. Bahkan dalam buku shirah yang sering kita baca,hanya satu kali saja namanya disebut. Tak lebih dari itu. Namanya, Tsabit bin Arqam. Beliau ikut berperang, berjihad. Dan menjadi penyelamat bendera kaum muslimin di perang muktah ketika itu. Dan sekali lagi ia tidak banyak dikenal dan tak ingin terkenal. Tapi bukan berarti jasanya dipandang remeh dan tak berarti. Sebab pasti tercatat disisiNya. Begitupun, sebaiknya kami meneladani sahabat tersebut, berazzam sekuat tenaga menata niat dan keikhlasan saat kami berdakwah dengan pena. Terus beramal dan berkontribusi tak peduli dikenal atau tidak.
Bukan berarti itu sebuah bentuk prasangka dan rasa tak percaya. Tapi hakekatnya itu sebagai bentuk cinta beliau pada kami, agar sejak awal kami tak salah langkah. Agar buah karya yang kami tulis sepenuh hati mampu berbuah pahala. Dan atas izin Allah, buah karya kami mampu menuntun pembacanya lebih dekat pada jalan cahaya. Sebab beliau berharap perkataan hikmah dari Al Jahiz berlaku pada kami, “Perhatikanlah wahai para penulis. Jika engkau melakukannya tanpa keikhlasan maka tulisanmu akan menjadi seperti buih yang hilang selayaknya tumbuhan di musim buah yang terbakar oleh angin musim panas”. Yang senada pula dengan Firman Allah, “Adapun buih maka ia akan segera hilang, sedangkan sesuatu yang bermanfaat itu akan tetap di bumi” (QS. Ar Ra’d : 17).
Sekali lagi, tak salah yang beliau sampaikan. Begitulah realitas yang mungkin dialami oleh seorang penulis yang lama apalagi yang masih pemula. Godaan keikhlasan bisa datang kapan saja. Saat merampungkan sebuah tulisan, dipublish kemudian dibaca. Tak berapa lama, muncul komentar positif maupun negatif. Jika yang komentar jenis yang kedua mungkin kita sudah mempersiapkan diri dan waspada. Justru yang bisa jadi bahaya sesungguhnya adalah komentar jenis yang pertama. Pujian lewat FB, mention di Twitter, sms yang menerbangkan ke awang–awang dan bahkan pujian langsung secara lisan di depan mata. Itu semua bakal jadi bibit benalu riya’ yang akan tumbuh subur dalam hati kita. Adalah bijaksana jika kita benar-benar bisa waspada. Sebab jika terjebak riya, musnah dan sia-sia belaka buah karya kami.
Meski, sejatinya kita semua tak
pernah bisa menghakimi dengan pasti.
Apakah amalan yang telah kita lakukan sudah benar-benar ikhlas dan
terbebas dari “syirik kecil” alias riya atau sebaliknya. Karena memang
keikhlasan itu termasuk salah satu kata sifat yang paling sulit
digambarkan wujudnya. Sebagai mana dalam kalimat hikmahnya, Al Juneid
berkata “keikhlasan itu rahasia antara Allah dengan seorang hamba. Tidak
diketahui malaikat sehingga tak bisa ditulis, tidak diketahui oleh
syaitan sehingga tak bisa dirusak oleh syaitan, tidak juga bisa dikenali
hawa nafsu sehingga tak bisa disimpangkan olehnya”.
Keikhlasan tak bisa direkayasa atau dibuat-buat, ia akan mengalir begitu saja dalam jiwa. Itu pekerjaan yang tak mudah. Bahkan mungkin, lebih dari sekedar sulit. Sebagaimana yang dikutip Al Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin, Sahl bin Abdullah ditanya “Apakah hal yang paling berat yang dilakukan oleh jiwa…? “ Beliau menjawab “Keikhlasan, karena jiwa tidak punya bagian untuk mengendalikannya”
Akhir kata, Ikhlas itu tak mudah. Tapi sebagai mana yang saya percaya, bukan berarti itu tak mungkin jika kita benar- benar berupaya. Sebab surga juga tak murah. Butuh mujahadah. Dan, ikhlas tak hanya diperlukan saat menulis saja tapi pada setiap amalan apapun yang hendak kita lukis dalam sejarah usia kita. Karena dengan kekeikhlasan, segala amalan kita serasa lebih bernyawa, lebih punya ruh. Sebagaimana kata- kata hikmah Ibnu Atho’illah dalam karya fenomenalnya, Al Hikam “Amal itu ibarat sebuah jasad sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.”
Selamat Bermujahadah. Semoga beroleh surga. [Kembang Pelangi]
Keikhlasan tak bisa direkayasa atau dibuat-buat, ia akan mengalir begitu saja dalam jiwa. Itu pekerjaan yang tak mudah. Bahkan mungkin, lebih dari sekedar sulit. Sebagaimana yang dikutip Al Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin, Sahl bin Abdullah ditanya “Apakah hal yang paling berat yang dilakukan oleh jiwa…? “ Beliau menjawab “Keikhlasan, karena jiwa tidak punya bagian untuk mengendalikannya”
Akhir kata, Ikhlas itu tak mudah. Tapi sebagai mana yang saya percaya, bukan berarti itu tak mungkin jika kita benar- benar berupaya. Sebab surga juga tak murah. Butuh mujahadah. Dan, ikhlas tak hanya diperlukan saat menulis saja tapi pada setiap amalan apapun yang hendak kita lukis dalam sejarah usia kita. Karena dengan kekeikhlasan, segala amalan kita serasa lebih bernyawa, lebih punya ruh. Sebagaimana kata- kata hikmah Ibnu Atho’illah dalam karya fenomenalnya, Al Hikam “Amal itu ibarat sebuah jasad sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.”
Selamat Bermujahadah. Semoga beroleh surga. [Kembang Pelangi]
http://www.bersamadakwah.com/2013/04/ruh-sebuah-amal.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar