“Sungguh
surga yang memang mahal itu bisa membalikkan 100% kegalauan, tinggal
pilihan kita saja; mau atau tidak.” Akhir ulasan singkat tentang
seorang shahabiyah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
dipaparkan murobbiyah tercinta sore itu cukup membuat saya terhenyak.
Sekelas Mario Teguh, motivasi yang bersumber dari kisah sahabat pun bisa
menjadi pemantik jitu yang tak usah membayar berjuta-juta asal kita
tahu darimana sumbernya.
Sebuah kunci solusi galau, gundah, merana yang bukan hanya isapan jempol atau gombal dari kisah shahabiyah Ummu Haritsah bin Suraqah. Kisah yang mungkin banyak orang sudah sering membaca di kitab-kitab sirah dan sejenisnya tapi kali ini melalui murabbiyah tercinta, ada hikmah lain yang mungkin terlewat untuk direnungi.
Kisah seorang wanita tua renta yang sangat ingin anaknya mati syahid. Anak yang sangat ia cintai itu bukan ia manja, namun ia harapkan gugur sebagai syahid. Dengan cara inilah ia mencintai sang anak. Subhanallah. Eits...tapi bukan itu yang hendak saya unggulkan.
Dan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rabi‘ binti Barra’ –yaitu ibu dari Haritsah bin Suraqah—datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau beritahu aku tentang keadaan Haritsah (yang terbunuh dalam perang Badar)? Jika ia di surga maka aku bersabar, tetapi jika tidak maka aku akan menangis menyedihkan kepergiannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hai Ummu Haritsah, sungguh ada beberapa surga di dalam surga, dan sesungguhnya puteramu mendapatkan surga Firdaus yang tertinggi.” (HR. Bukhori)
Bagi seorang ibu, kesedihan akan bencana anaknya atau bahkan kematian akan anaknya sama saja dengan bencana bagi seluruh hidupnya. Paling tidak begitulah gambaran hati seorang ibu akan kasih sayangnya pada anaknya yang bahkan rela menukar nyawanya demi keselamatan dan kebahagiaan anaknya. Begitu pun dengan Ummu Haritsah bin Suraqah. Namun, semua kegundahan akan kematian anaknya dalam perang bisa ia balik 100% menjadi sebuah kebahagiaan penuh harap akan surga tertinggi yang Allah janjikan bagi seorang yang syahid.
Dalam sebuah riwayat :
“Barangsiapa yang memberangkatkan seorang prajurit di jalan Allah maka ia pun dianggap ikut bertempur di jalan Allah. Barangsiapa yang mengurus urusan orang yang berperang di jalan Allah dengan baik, maka ia pun dianggap ikut bertempur.” (HR. Bukhari Muslim)
Secercah hikmah tersemburat dari kisah tersebut yang tak kalah ampuh dibandingkan kata-kata motivator yang bernilai jutaan. Tentang bagaimana kekuatan surga itu bisa membalikkan 100% galau, gundah, merana yang tercecer mengotori hati. Harap-harapnya pada janji-janji Allah yang tak mungkin teringkari membuat wanita tua itu tak bersedih lagi setelah mengetahui bahwa anaknya berada pada surga tertinggi.
Lalu, bagaimana dengan kita? Cukupkah surga membuat setiap perih yang kita rasa dalam perjalanan hidup ini kita ubah menjadi keikhlasan dan harapan tertinggi pada surga-Nya kelak? Sejauh itukah iman kita menguatkan harapan kita tentang surga? Atau separuh iman saja yang ragu akankah surga itu sungguh balasannya? Tanyakan pada hati. [Gresia Divi]
Sebuah kunci solusi galau, gundah, merana yang bukan hanya isapan jempol atau gombal dari kisah shahabiyah Ummu Haritsah bin Suraqah. Kisah yang mungkin banyak orang sudah sering membaca di kitab-kitab sirah dan sejenisnya tapi kali ini melalui murabbiyah tercinta, ada hikmah lain yang mungkin terlewat untuk direnungi.
Kisah seorang wanita tua renta yang sangat ingin anaknya mati syahid. Anak yang sangat ia cintai itu bukan ia manja, namun ia harapkan gugur sebagai syahid. Dengan cara inilah ia mencintai sang anak. Subhanallah. Eits...tapi bukan itu yang hendak saya unggulkan.
Dan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rabi‘ binti Barra’ –yaitu ibu dari Haritsah bin Suraqah—datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau beritahu aku tentang keadaan Haritsah (yang terbunuh dalam perang Badar)? Jika ia di surga maka aku bersabar, tetapi jika tidak maka aku akan menangis menyedihkan kepergiannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hai Ummu Haritsah, sungguh ada beberapa surga di dalam surga, dan sesungguhnya puteramu mendapatkan surga Firdaus yang tertinggi.” (HR. Bukhori)
Bagi seorang ibu, kesedihan akan bencana anaknya atau bahkan kematian akan anaknya sama saja dengan bencana bagi seluruh hidupnya. Paling tidak begitulah gambaran hati seorang ibu akan kasih sayangnya pada anaknya yang bahkan rela menukar nyawanya demi keselamatan dan kebahagiaan anaknya. Begitu pun dengan Ummu Haritsah bin Suraqah. Namun, semua kegundahan akan kematian anaknya dalam perang bisa ia balik 100% menjadi sebuah kebahagiaan penuh harap akan surga tertinggi yang Allah janjikan bagi seorang yang syahid.
Dalam sebuah riwayat :
“Barangsiapa yang memberangkatkan seorang prajurit di jalan Allah maka ia pun dianggap ikut bertempur di jalan Allah. Barangsiapa yang mengurus urusan orang yang berperang di jalan Allah dengan baik, maka ia pun dianggap ikut bertempur.” (HR. Bukhari Muslim)
Secercah hikmah tersemburat dari kisah tersebut yang tak kalah ampuh dibandingkan kata-kata motivator yang bernilai jutaan. Tentang bagaimana kekuatan surga itu bisa membalikkan 100% galau, gundah, merana yang tercecer mengotori hati. Harap-harapnya pada janji-janji Allah yang tak mungkin teringkari membuat wanita tua itu tak bersedih lagi setelah mengetahui bahwa anaknya berada pada surga tertinggi.
Lalu, bagaimana dengan kita? Cukupkah surga membuat setiap perih yang kita rasa dalam perjalanan hidup ini kita ubah menjadi keikhlasan dan harapan tertinggi pada surga-Nya kelak? Sejauh itukah iman kita menguatkan harapan kita tentang surga? Atau separuh iman saja yang ragu akankah surga itu sungguh balasannya? Tanyakan pada hati. [Gresia Divi]
http://www.bersamadakwah.com/2013/04/belajar-menghapus-gelisah-dari-seorang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar