Saya sempat kaget saat mendengar cerita dari salah seorang sahabat
bahwa dirinya sudah ada komitmen dengan seorang ikhwan. Saya sempat
bertanya sama dia, yang dimaksud komitmen itu seperti apa? Komitmen
dalam hal apa? “Ya komitmen menuju pernikahan ukh,” jawabnya.
Gubrak!!! Saya seakan tak percaya mendengar jawaban itu.
“Lha kapan kalian ta’arufnya?”
“Dia yang tiba-tiba nelpon aku ukh. Dan aku juga langsung mantep. Ya tak iyain,” jawabnya polos.
“Lantas kapan kalian akan nikah?”
“Kalau itu belum tahu ukh. Lha aku masih kuliah. Dia juga belum kerja”
“Lha kalau kayak gitu ngapain kalian ada komitmen segala?” protesku padanya.
“Yaah, yang penting kan saling jaga hati ukh” katanya.
“Gimana mau jaga hati kalau kayak gini. Jaga hati untuk dia kali”celetukku dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, saat saya pulang kampung, sahabat saya ini mengajak saya pergi untuk raker sebuah organisasi ke rumah temannya. Alasannya sih karena rakernya cuman berempat. Sedang dia akhwat sendirian. Saya kaget, ternyata rakernya di rumah ikhwan tersebut.
Saat di bus dalam perjalanan pulang, dia bercerita kepada saya, bahwa dia siap hidup di sana. Dengan kondisi apa adanya. “Yang penting orangnya mau bekerja keras ukh,” saya hanya tersenyum mendengar kata-kata itu. Lalu kami saling diam.
“Lantas kapan kalian nikah?” tanya saya memecah kebisuan di antara kami.
“Lha itu dia. Orang tuaku belum setuju kalau aku sama dia,” jawabnya. Nada suaranya mulai turun. Raut wajahnya mulai berubah, mendung mulai bergelayut di sana.
“Hmm… alasannya kenapa mbak? Kalau alasannya ndak syar’i ya jangan mau,” kata saya mencoba membelanya.
“Iya ukh, aku juga gitu. Akan tetap kuperjuangkan”
Waktu terus berlalu. Hingga tepat satu tahun setelah dia bercerita perihal komitmennya dengan ikhwan tersebut. Saya sengaja mengirimkan sms sama dia. Menanyakan kapan dia akan melangsungkan akad nikah, mengingat dia sudah lulus kuliah sedang ikhwannya sudah bekerja.
“Kapan nih aku dapat undangan?,” tanya saya melalui sms.
“Belum tahu ukh,” jawabnya.
“Lho kenapa?”
“Aku juga gak tahu ukh. Setiap aku tanya sama dia, bilangnya belum siap. Soalnya kalau aku sih tergantung sama dia”
“Lho gimana sih nih akhi fulan. Kalau aku jadi mbak, sudah tak cut dari dulu. Daripada nggantung kayak gini. Emang enak digantung gini?”
“Ya ngga enak sih ukh”
Huftht… Saya cuman bisa mendesah mendengar jawaban sahabat saya ini. Saya juga sempat mengitervensi si ikhwan agar segera melamar sahabat saya itu. Namun apa jawaban si ikhwan, bulan depan ukh, bulan depannya lagi, tahun depan ukh. Saya sampai capek menanyakan kepada keduanya. Waktu itu saya sampai kesal dengan si ikhwan (astaghfirullah). Karena ndak jelas kapan-kapannya. Lha kalau kayak gini apa bedanya sama pacaran? Ya, hubungan tanpa status itu mungkin istilahnya, yang tanpa disadari tidak jarang terjadi di kalangan “aktivis”.
Seringnya interaksi baik itu langsung maupun lewat media seperti sms, facebook, twitter, mempermudah masuknya VMJ (virus merah jambu). Nggak menutup kemungkinan kalau ikhwan atau akhwat yang ketika jalan selalu menundukkan pandangan, bisa terkena VJM lantaran seringnya interaksi. Kalau dalam bahasa jawanya “witing trisno jalaran soko kulino”. Ya, cinta yang tumbuh karena seringnya berinteraksi. Dan akhirnya secara diam-diam, tanpa diketahui siapapun saling berkirim sms, saling komen di fb, dan endingnya ta’aruf secara diam-diam tanpa perantara, lalu saling berkomitmen untuk menikah. Setelah ditanya, kapan mau nikah, jawabnya ndak jelas. Ketika si akhwat sudah siap, eh ikhwannya ditanya kapan mau melamar si akhwat, jawabnya belum siap atau ndak tahu.
Ikhwati fillah… Islam sudah mengajarkan bagaimana cara menikah sesuai dengan tuntunan syari’atnya. Rasulullah sendiri sudah menjelaskan semuanya baik melalui hadits fi’li (perbuatan), yakni ketika beliau melamar istrinya, maupun hadits qauli (perkataan). Tata cara dan adab-adab ta’aruf sendiri sekarang sudah banyak ditulis dan dijelaskan dalam buku-buku nikah, seperti bukunya ustadz Salim A.Fillah, bukunya ustadzah Asri Widiarti, dll. Hal ini semata untuk menjaga kesucian proses menuju pernikahan itu sendiri. Bukan dengan cara saling berkomitmen. Karena cara seperti kisah sahabat saya itu, tidak bisa disebut islami dan tidak ada jaminan kalau keduanya bisa menjaga hati. Wallahu a'lam bish shawab. [Ukhtu Emil]
Gubrak!!! Saya seakan tak percaya mendengar jawaban itu.
“Lha kapan kalian ta’arufnya?”
“Dia yang tiba-tiba nelpon aku ukh. Dan aku juga langsung mantep. Ya tak iyain,” jawabnya polos.
“Lantas kapan kalian akan nikah?”
“Kalau itu belum tahu ukh. Lha aku masih kuliah. Dia juga belum kerja”
“Lha kalau kayak gitu ngapain kalian ada komitmen segala?” protesku padanya.
“Yaah, yang penting kan saling jaga hati ukh” katanya.
“Gimana mau jaga hati kalau kayak gini. Jaga hati untuk dia kali”celetukku dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, saat saya pulang kampung, sahabat saya ini mengajak saya pergi untuk raker sebuah organisasi ke rumah temannya. Alasannya sih karena rakernya cuman berempat. Sedang dia akhwat sendirian. Saya kaget, ternyata rakernya di rumah ikhwan tersebut.
Saat di bus dalam perjalanan pulang, dia bercerita kepada saya, bahwa dia siap hidup di sana. Dengan kondisi apa adanya. “Yang penting orangnya mau bekerja keras ukh,” saya hanya tersenyum mendengar kata-kata itu. Lalu kami saling diam.
“Lantas kapan kalian nikah?” tanya saya memecah kebisuan di antara kami.
“Lha itu dia. Orang tuaku belum setuju kalau aku sama dia,” jawabnya. Nada suaranya mulai turun. Raut wajahnya mulai berubah, mendung mulai bergelayut di sana.
“Hmm… alasannya kenapa mbak? Kalau alasannya ndak syar’i ya jangan mau,” kata saya mencoba membelanya.
“Iya ukh, aku juga gitu. Akan tetap kuperjuangkan”
Waktu terus berlalu. Hingga tepat satu tahun setelah dia bercerita perihal komitmennya dengan ikhwan tersebut. Saya sengaja mengirimkan sms sama dia. Menanyakan kapan dia akan melangsungkan akad nikah, mengingat dia sudah lulus kuliah sedang ikhwannya sudah bekerja.
“Kapan nih aku dapat undangan?,” tanya saya melalui sms.
“Belum tahu ukh,” jawabnya.
“Lho kenapa?”
“Aku juga gak tahu ukh. Setiap aku tanya sama dia, bilangnya belum siap. Soalnya kalau aku sih tergantung sama dia”
“Lho gimana sih nih akhi fulan. Kalau aku jadi mbak, sudah tak cut dari dulu. Daripada nggantung kayak gini. Emang enak digantung gini?”
“Ya ngga enak sih ukh”
Huftht… Saya cuman bisa mendesah mendengar jawaban sahabat saya ini. Saya juga sempat mengitervensi si ikhwan agar segera melamar sahabat saya itu. Namun apa jawaban si ikhwan, bulan depan ukh, bulan depannya lagi, tahun depan ukh. Saya sampai capek menanyakan kepada keduanya. Waktu itu saya sampai kesal dengan si ikhwan (astaghfirullah). Karena ndak jelas kapan-kapannya. Lha kalau kayak gini apa bedanya sama pacaran? Ya, hubungan tanpa status itu mungkin istilahnya, yang tanpa disadari tidak jarang terjadi di kalangan “aktivis”.
Seringnya interaksi baik itu langsung maupun lewat media seperti sms, facebook, twitter, mempermudah masuknya VMJ (virus merah jambu). Nggak menutup kemungkinan kalau ikhwan atau akhwat yang ketika jalan selalu menundukkan pandangan, bisa terkena VJM lantaran seringnya interaksi. Kalau dalam bahasa jawanya “witing trisno jalaran soko kulino”. Ya, cinta yang tumbuh karena seringnya berinteraksi. Dan akhirnya secara diam-diam, tanpa diketahui siapapun saling berkirim sms, saling komen di fb, dan endingnya ta’aruf secara diam-diam tanpa perantara, lalu saling berkomitmen untuk menikah. Setelah ditanya, kapan mau nikah, jawabnya ndak jelas. Ketika si akhwat sudah siap, eh ikhwannya ditanya kapan mau melamar si akhwat, jawabnya belum siap atau ndak tahu.
Ikhwati fillah… Islam sudah mengajarkan bagaimana cara menikah sesuai dengan tuntunan syari’atnya. Rasulullah sendiri sudah menjelaskan semuanya baik melalui hadits fi’li (perbuatan), yakni ketika beliau melamar istrinya, maupun hadits qauli (perkataan). Tata cara dan adab-adab ta’aruf sendiri sekarang sudah banyak ditulis dan dijelaskan dalam buku-buku nikah, seperti bukunya ustadz Salim A.Fillah, bukunya ustadzah Asri Widiarti, dll. Hal ini semata untuk menjaga kesucian proses menuju pernikahan itu sendiri. Bukan dengan cara saling berkomitmen. Karena cara seperti kisah sahabat saya itu, tidak bisa disebut islami dan tidak ada jaminan kalau keduanya bisa menjaga hati. Wallahu a'lam bish shawab. [Ukhtu Emil]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar