Rabu, 31 Desember 2014

KONSEP PENILAIAN KINERJA PEGADAIAN SYARIAH BERLANDASKAN NILAI-NILAI ISLAM

Proposal
Disusun untuk memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester pada Mata Kuliah Metode Penelitian Non Positif





Oleh:
SRI APRIYANTI HUSAIN
146020300111009

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014


BAB I
PENDAHULUAN
Bismillahirrahmaanirrahiim
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (1).
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2).
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia (3).
Yang mengajar manusia dengan pena (4).
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (5).
(QS. Al-‘Alaq: 1-5)

1.1  LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. PT Pegadaian (Persero) yang sebelumnya dikenal sebagai Perum Pegadaian sebagai lembaga perkreditan yang memiliki tujuan khusus yaitu penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai yang ditujukan untuk mencegah praktek ijon, pegadaian gelap, riba, serta pinjaman tidak wajar lainnya.
Herfika (2013) Pegadaian dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang memberikan fasilitas bagi warga masyarakat untuk dapat memperoleh pinjaman uang secara praktis. Pinjaman uang dimaksud, lebih mudah diperoleh calon nasabah karena menjaminkan barang-barang yang mudah didapat pula. Dengan jaminan barang seperti emas, motor dan sebagainya bisa membantu masyarakat yang membutuhkan dana cepat. Hanya dengan memberikan jaminan yang dimiliki oleh nasabah, maka masyarakat selaku nasabah yang akan meminjam sejumlah dana bisa langsung mendapat sebagian dana yang dibutuhkan. Hal ini, membuat lembaga pegadaian secara relatif mempunyai kelebihan bila dibandingkan lembaga keuangan lainnya. Kelebihan dimaksud, diantaranya :
a)     Hanya memerlukan waktu yang relatif singkat untuk mencairkan uang pinjaman tepat pada hari yang dibutuhkan, hak ini disebabkan prosedur pencairannya tidak berbelit-belit.
b)     Persyaratan yang ditentukan bagi konsumen untuk mencairkan pinjamannya sangat sederhana.
c)     Tidak adanya ketentuan dari pihak pegadaian mengenai peruntukan uang yang dipinjam sehingga nasabah bebas saja mau menggunakan uangnya itu untuk tujuan apapun.
Dalam proses pengembangan pegadaian syariah, perencanaan merupakan suatu tahap yang dilakukan manajemen untuk menentukan peran setiap manajer dalam melaksanakan program guna untuk mencapai tujuan bersama. Keberhasilan dari suatu perencanaan membutuhkan  fungsi manajemen, yang merupakan pengendalian atau control yang meliputi kegiatan penerapan (action) dan evaluasi kinerja (performance evaluation). Fungsi manajemen ini harus dilaksanakan dan dikuasai oleh setiap tingkat manajeman yang ada pada perusahaan.  Salah satu bagian dari akuntansi manajemen adalah akuntansi pertanggungjawaban (responbility accounting), yang fungsinya mengukur dan mengevaluasi suatu rencana atau anggaran dengan tindakan atau realisasi aktivitas manajemen dari setiap tingkat manajemen pada suatu perusahaan dengan menetapkan penghasilan dan biaya tertentu bagi departemen atau divisi yang memiliki tanggung jawab pada pakerjaan tersebut. Kinerja manajer yang baik merupakan tuntutan perusahaan dalam meningkatkan efektifitas kinerja yang maksimal (Mengko, 2013). Pencapaian kinerja yang  maksimal dapat dilakukan dengan cara menyusun anggaran maupun menyusun rencana kerja yang bersifat jangka panjang, setelah itu dilakukan evaluasi dari tiap manajer terhadap pusat-pusat tanggungjawab yang telah ditugaskan sebelumnya. Hasil dari penerapan akuntansi pertanggungjawaban yaitu berupa laporan pertanggungjawaban. Laporan pertanggungjawaban digunakan untuk menganalisis kinerja manajer dan sekaligus memotivasi manajer tersebut untuk melakukan tindakan koreksi atas penyimpangan atau prestasi yang tidak memuaskan. Dari laporan pertanggungjawaban tersebut, maka dapat dilakukan evaluasi atas seberapa besar penilaian prestasi kerja yang dilakukan oleh manajer dengan cara membandingkan anggaran yang telah direncanakan dengan realisasinya.
Sistem penilaian kinerja pegadaian syariah saat ini masih menggunakan dan berfokus kepada peran pegadaian syariah sebagai organisasi bisnis. Sistem penilaian kinerja tersebut diantaranya: penilaian kinerja keuangan tradisional, dan Balanced Scorecard (BSC).
Penilaian keuangan tradisional diukur dengan menggunakan rasio-rasio keuangan. Berdasarkan teknik penilaian kinerja yang digunakan, pegadaian syariah hanya dipandang sebagai organisasi bisnis yang bertujuan untuk pencapaian kinerja keuangan semata. Sistem penilaian kinerja berbasis rasio-rasio keuangan memiliki keterbatasan diantaranya: hanya berdasarkan pada informasi keuangan khususnya laba sebagai indikator kinerja, lebih mengedepankan kepentingan shareholders¸ dan hanya berorientasi pada tujuan jangka pendek perusahaan (Triyuwono, 2006)
Keterbatasan dari sistem penilaian kinerja tradisional memotivasi penggunaan BSC sebagai sistem penilaian kinerja. BSC dipandang lebih rasional jika dibandingkan dengan penilaian kinerja tradisional karena memperhatikan indikator kinerja keuangan juga mempertimbangkan indikator non keuangan. Indikator BSC terdiri dari perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektif tersebut ditujukan untuk menciptakan keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang serta menyelaraskan antara kinerja internal dan eksternal (Kaplan dan Norton, 1996).
Walaupun BSC dianggap lebih rasional dibandingkan penilaian kinerja tradisional, ia masih memiliki keterbatasan diantaranya: pertama, BSC sebagai strategi yang digunakan manajemen dalam mengelola organisasi masih berorientasi pada kepentingan shareholders. Kedua, BSC sebagai alat ukur kinerja belum mampu menilai dampak positif atau negatif dari aktivitas sosial yang dilakukan organisasi (Adib dan Khalid, 2010). Keterbatasan penilaian kinerja pegadaian syariah saat ini menciptakan ketidakseimbangan hidup organisasi. Manajemen berorientasi pada profit mengakibatkan diabaikannya prinsip-prinsip syariah dalam praktisi bisnisnya dan melupakan perannya sebagai organisasi sosial dan dakwah (Choundury dan Hussain, 2005)
 Berdasarkan keterbatasan sistem penilaian kinerja pegadaian syariah yang telah dijelaskan di atas (sistem penilaian kinerja tradisional, dan BSC), penelitian ini berfokus untuk merumuskan sebuah konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam. Nilai-nilai islam yang dimaksud adalah sekumpulan prinsip-prinsip atau ajaran hidup yang digunakan sebagai tuntunan dalam menjalankan kehidupan manusia baik sebagai individu atau kolektif.
Eksplorasi nilai-nilai islam dilakukan dengan menggali kesadaran manusia berkaitan dengan objek penelitian sebagai data penelitian.alasan kesadaran menjadi sumber pengetahuan adalah karena manusia merupakan subjek yang mengetahui dengan kata lain karena manusia memiliki berbagai tingkat kesadaran (Bakar, 1994: 29)
Penelitian ini memberikan perubahan cara pandang tentang konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam. Nilai-nilai islam yang diintegrasikan dalam konsep penilaian kinerja akan menempatkan manusia baik individu maupun organisasi sebagai makhluk yang memiliki sifat adil/seimbang, hidup sebagai makhluk ekonomi dan makhluk spiritual yang nantinya akan menuju pada lintasan spiritual menyatu dengan Tuhan (Nasr, 2003)
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa keterbaruan penelitian ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu metodologi dan rumusan konsep yang dihasilkan. Dari aspek metodologi, penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan penelitian yang islami, yaitu fenomenologi islam yang dikembangkan dari fenomenologi sekuler. Berdasarkan metode dan pendekatan tersebut, konsep penilaian kinerja pegadaian syariah yang dirumuskan bersifat normatif, empiris, religi dan lebih holistis dibandingkan dengan sistem penilaian pegadaian syariah yang digunakan saat ini.

1.2  MOTIVASI PENELITIAN
Motivasi peneliti melakukan penelitian ini adalah keterbatasan penilaian kinerja pegadaian syariah saat ini menciptakan ketidakseimbangan hidup organisasi. Manajemen berorientasi pada profit mengakibatkan diabaikannya prinsip-prinsip syariah dalam praktisi bisnisnya dan melupakan perannya sebagai organisasi sosial dan dakwah (Choundury dan Husain, 2005). Oleh karena itu melalui penelitian ini diharapkan dapat membawa perubahan bukan hanya pada tataran persepsi tetapi juga pada para pengemban amanah (manajemen) dan pengambil kebijakan agar dapat melakukan perbaikan pada sistem penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam.

1.3  FOKUS DAN RUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Dengan dasar kesadaran Tauhid, fokus penelitian ini adalah penemuan nilai-nilai islam berdasarkan kesadaran subjek dalam realitas pegadaian syariah. Akhirnya temuan-nilai-nilai islam ini akan menjadi landasan dalam perumusan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah. Dari fokus ini, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam?

1.4  TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang, motivasi penelitian, fokus dan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam.

1.5  MANFAAT PENELITIAN
Setiap penelitian yang dilakukan, diharapkan bisa memberikan manfaat. Dalam penelitian ini, temuan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah yang berlandaskan nilai-nilai islam dapat memberikan manfaat:
1.5.1      Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat penelitian ini adalah untuk pengembangan konsep akuntansi manajemen syariah, khususnya dalam memperkaya konsep penilaian kinerja pegadaian syariah.
1.5.2      Manfaat Praktis
Manfaat praktisnya adalah sebagai bahan pertimbangan bagi para regulator dalam pembuatan regulasi terkait penilaian kinerja pegadaian syariah.
1.5.3      Manfaat Akademisi
Manfaat untuk akademisi yaitu sebagai bahan referensi terkait metodologi penelitian yang islami dan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam.


BAB II
PARADIGMA ISLAM DAN FENOMENOLOGI ISLAM
Dia menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata: “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.
(QS. Ali-Imran: 7)

2.1 PENGANTAR
Metodologi yang digunakan dalam penelitian akan sangat menentukan lahirnya sebuah konsep. Metodologi sekuler yang selama ini digunakan oleh banyak peneliti muslim belumlah tepat untuk mengeksplorasi nilai-nilai islam sebagai landasan perumusan sebuah konsep. Bab ini menguraikan bentuk pengembangan metodologi yang dibangun dengan menggunakan paradigma Islam, yaitu fenomenologi Islam yang dikembangkan dari fenomenologi sekuler.

2.2 ISLAM SEBAGAI PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN
Menurut Triyuwono (2006: 214) paradigma pada dasarnya adalah pandangan dunia atau cara pandang yang digunakan oleh seseorang untuk melihat atau memahami sesuatu.
Paradigma dapat dipahami sebagai alat untuk melihat (realitas ilmu dan praktisi akuntansi, misalnya), dan sekaligus juga merupakan alat untuk tidak melihat. Namun demikian, kita juga harus menyadari bahwa paradigma tetap berkembang melalui proses dialektika. Paradigma akan terus bergerak dan berproses menuju pada kesempurnaan melalui proses dialetika  (Triyuwono, 2006: 215).
Islam adalah agama yang menempatkan pengetahuan dalam posisi yang sangat vital. Bukanlah sesuatu yang kebetulan, jika lima ayat pertama yang diwahyukan Allah kepada nabi Muhammad Saw dalam surat al-‘Alaq, dimulai dengan membaca (iqra’) yang secara tidak langsung mengandung makna dan implikasi pengetahuan. Di samping itu, pesan-pesan Al-Qur’an dalam hubungannya dengan pengetahuan pun dapat dijumpai dalam berbagai ayat dengan aneka ungkapan pernyataan, pertanyaanm, dan kisah. Lebih khusus lagi, kata ‘ilm dan derivasinya paling dominan dalam Al-Qur’an menunjukkan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pengetahuan.
Pengetahuan secara cultural pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi, dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup dalam upaya yang bermaksud mengangkat dan menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of knowledge dan transfer of values.
Sebagai pengetahuan yang berlabel “agama” maka pengetahuan Islam memiliki transmisi spiritual yang sangat nyata dalam proses pengajarannya dibaanding dengan pengetahuan “umum”, sekalipun pada keinginan ini juga memiliki muatan serupa, kejelasannya terletak pada keinginan pengetahuan Islam untuk mengembangkan keseluruhan aspek dalam diri anak didik secara berimbang, baik aspek intelektual, spiritual, moralitas, keilmiahan, skill (keterampilan), dan cultural.
Oleh karena itulah pengetahuan Islam memiliki beban yang multi paradigma, yang visinya sangat luas yaitu multi dimensi meliputi : (1) intelektual; (2) kultural; (3) nilai-nilai transendental; (4) keterampilan fisik dan pembinaan kepribadian manusia itu sendiri. Di samping itu paradigma pengetahuan Islam berusaha memadukan unsur profane dan imanen, di mana dengan pemaduan ini, akan membuka kemungkinan tujuan inti pengetahuan Islam yaitu melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang.
Pada aspek yang lain, ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam pengetahuan Islam adalah berorientasi pada nilai-nilai Islami, yaitu ilmu pengetahuan yang bertolak dari metode ilmiah dan metode profetik. Ilmu pengetahuan tersebut bertujuan menemukan dan mengukur paradigma dan premis intelektual yang berorientasi pada nilai kebaktian dirinya pada pembaharuan yang merupakan sumber dari segala sumber yang tia terjebak pada paradigma keilmuan yang “dikotomik”.
Konsepsi dasar terhadap konteks pengetahuan Islam tersebut di atas, adalah tidak terlepas dari pijakan epistemologi dan upaya redefinisi dan pencairan paradigma baru pengetahuan Islam berdasarkan referensi wahyu dan visi profetik yang terakumulasi dalam ajaran Islam. Dengan konteks ini, Islam sebagai agama wahyu yang merupakan pedoman hidup untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat amat kaya sumber prinsip dan konsep kepengetahuan. Di samping itu Nabi Muhammad Saw sendiri diutus sebagai pendidik umat manusia. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam sarat dengan konsep pengetahuan, sehingga bukan satu hal yang mengada-ngada bila Islam diangkat sebagai alternatif paradigma ilmu pengetahuan.
Lebih jauh Achmadi berpandangan, sebagai alternatif paradigma pengetahuan, disamping pengetahuan sebagai ilmu humaniora yang termasuk ilmu normatif, juga masakah pengetahuan sekarang para ahli lebih cenderung menerapkan teori-teori atau filsafat pengetahuan Barat yang pada umumnya sekuler, yang belum tentu sesuai dengan kebanyakan masyarakat Indonesia yang bersifat religius. Apalagi disadari bahwa Islam yang sarat dengan nilai-nilai ternyata sangat memungkinkan dijadikan sudut pandang dalam menganalisis persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gejala-gejala pengetahuan. Dalam kerangka inilah kedudukan Islam dapat menjadi paradigma ilmu pengetahuan.
Pernyataan Islam berbagai paradigma pengetahuan merupakan kenisscayaan dan obsesi sekaligus persoalan. Pengetahuan senantiasa menghendaki adanya paradigm dan implementasi baru dalam menjawab krisis intelektual, moralitas dan
cultural kehidupan manusia.
Pengetahuan sekarang tampak kehilangan nafas dan esensinya dalam membentuk manusia ideal kea rah intelektualitas, moralitas, dan cultural yang diharapkan. Islam dengan konsep ke-Tuhanan, kemanusiaan dan kealaman ternyata amat strategis menjadikan manusia dan masyarakat berkualitas bahkan menjadikannya sebagai makhlkuk sempurna dalam kerangka kehidupan ideal ssecara keseluruhan.
Dengan paradigma filosofis-epistemologis pengetahuan Islam merupakan pendidika ideal yang berwawasan nilai, semesta, integratif dan fungsional, yang dibangun secara utuh, dan menyeluruh berdasarkan nilai-nilai ketuhanan (ilahiyah), nilai-nilai kemanusiaan (insaniyah), dan nilai-nilai kealaman (alamiyah) secara interaktif, dinamis, integrative, dan harmonis ke dalam kehidupan yang ideal bagi peradaban umat manusia, yang bersumber dari segala sumber, yaitu Allah.
Dalam konteks ini semakin jelas bahwa dengan pijakan “Islam” sebagai pola dasar paradigm ilmu pengetahuan, akan menjadikan pengetahuan Islam sangat ideal dijadikan pijakan pembangunan semua aspek kehidupan yang tidak terlepas dari Konsep Ketuhanan (ilahiyah), Kemanusiaan (insaniyah), dan alam semesta (alamiyah) secara utuh dan integrative mewujudkan pengetahuan berkualitas bagi masa depan umat manusia yang berperadaban, danberkeadilan; humanis dan ummatik (https://deybiagustin.wordpress.com/2012/12/17/islam-sebagai-paradigma-ilmu-pendidikan/).

2.3 FENOMENOLOGI DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
2.3.1 Fenomenologi Husserl
Kata “phenomenon” sendiri berasal dari bahasa Yunani  phaenesthai, yang berarti menyala, menunjukkan dirinya, muncul.  Dibangun dari kata phaino, “phenomenon” berarti menerangi, menempatkan sesuatu dalam terang (brightness), menunjukkan dirinya dalam dirinya, keseluruhan apa yang ada di hadapan kita di hari yang terang. Dari sinilah muncul pandangan pokok fenomenologi, yakni “menuju sesuatu itu sendiri” (to the things themselves). Dengan kata lain menuju apa yang muncul dan memberikan dorongan (impetus) untuk adanya pengalaman dan membangkitkan pengetahuan baru. Fenomena, gejala, adalah batu-batu bangunan utama pengetahuan manusia dan merupakan dasar bagi semua pengetahuan (Moustakas,1994: 26)
Setiap fenomena, gejala, sudah dapat menjadi titik  awal untuk sebuah penelitian. Apa yang ada dalam persepsi kita mengenai sesuatu adalah ke-hadirannya atau merupakan penampilannya. Namun ini  bukan khayalan kosong. Apa yang ada dalam persepsi tersebut merupakan awal yang sangat penting dari suatu ilmu pengetahuan yang mencari “valid determinations” dan terbuka bagi setiap orang untuk membuktikannya (to verify) (Husserl, 1931: 129).
Ide yang sangat penting dari Husserl, yang kemudian akan sangat relevan dengan ilmu sosial budaya, adalah tentang deskripsi fenomenologis sebagai deskripsi, penggambaran dari segala sesuatu sebagaimana “adanya”; sebagaimana segala sesuatu tersebut tampil, hadir di hadapan manusia dalam cara tampilnya. Hal ini berarti bahwa fenomenologi bebas untuk menggeluti, menelaah, semua wilayah pengalaman manusia. Apakah  ini tidak sama atau mirip dengan psikologi naturalistik? Tidak, menurut Husserl.
Dalam pandangan Husserl, psikologi naturalistik (naturalistic psychology), yang mengikuti cara-cara dalam ilmu-ilmu alam, seperti halnya sosiologi, telah gagal mengetahui keterbatasan-keterbatasannya, karena psikologi seperti itu telah kehilangan “sense” atau “rasa” dari gejala yang dipelajarinya. Metode-metode psikologi dipandangnya tidak tepat karena metode dan konsep yang berkembang di dalamnya telah mengabaikan fenomena “pengalaman” sebagaimana dialami oleh manusia. Oleh karena itu, menurut Husserl, metode yang benar dari sebuah disiplin ilmu pengetahuan seharusnya “follows the nature of the things to be investigated and not our prejudices and preconceptions”, atau mengikuti hakikat, sifat, dari apa yang diteliti, dan tidak berdasarkan atas prasangka-prasangka atau prakonsepsi-prakonsepsi kita mengenainya (1965: 102).
Lebih dari itu, Husserl mengatakan bahwa fenomenologi tidak hanya harus menjadi “psikologi deskriptif”, tetapi juga harus menjadi filsafat transendental. Artinya, dalam hal ini filsafat harus bersaing dengan ilmu pengetahuan positif, dan tidak hanya puas dengan spekulasi filosofis saja. Fenomenologi harus mencari yang transendental. Filsafat fenomenologi transendental berupaya menemukan struktur yang paling elementer, yang “we, here and now, are always departing from, and which lead and make possible our perceiving and knowing, speaking and thinking, remembering and expecting...”( Ijsseling,1979: 8-9). Di sinilah terletak perbedaan penting antara fenomenologi dan psikologi naturalistik, dan mengapa fenomenologi kemudian lebih dikenal sebagai aliran filsafat.
Fenomenologi sebagai  logos (discourse) atau wacana tentang fenomena harus memberikan suatu deskripsi setepat mungkin tentang apa yang hadir dan ada di hadapan kesadaran. Deskripsi ini harus lengkap dan dilakukan oleh kesadaran atau oleh subjek yang sepenuhnya sadar, subjek yang menulis, yang menjelaskan tentang apa yang telah dikatakan atau ditulis. Namun deskripsi yang tepat tidak akan pernah dapat dilakukan dengan tuntas.
Sumbangan pemikiran Husserl yang lain bagi ilmu sosial adalah pandangannya tentang natural attitude. Konsep inilah yang di kemudian hari menghubungkan filsafat fenomenologi dengan sosiologi. Lewat konsep ini Husserl mengemukakan bahwa seorang Ego yang berada dalam situasi tertentu biasanya menggunakan penalaran yang praktis,  seperti dalam kehidupan sehari-hari. Ego tersebut tidak mempertanyakan lagi secara rinci apa yang ada di sekitarnya. Dia menganggap apa yang dihadapinya tidak berbeda dengan hal yang sama yang telah ditemuinya kemarin  atau dulu (Phillipson, 1972: 127). Natural attitude ini disebut juga commonsense reality. Oleh Husserl natural attitude ini dibedakan dengan theoretical attitude dan mythical religious attitude. Dengan perbedaan ini Husserl meletakkan salah satu ide pokok yang kemudian dikembangkan oleh Alfred Schutz, dan diteruskan oleh Harold Garfinkel dalam etnometodologi. Di situ mereka menghubungkan  attitude tersebut dengan bisa tidaknya proses interaksi sosial terjadi (Leiter, 1980: 40-44).
Kini di Barat filsafat fenomenologi tidak lagi terlihat sebagai sebuah aliran pemikiran filosofis yang tunggal. Murid-murid Husserl telah mengembangkan ide-ide Husserl lebih lanjut, sehingga  kita mengenal tokoh-tokoh filsafat seperti Marleau-Ponty, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, yang mengembangkan filsafat Fenomenologi yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Husserl.

2.3.2 Perkembangan Fenomenologi
Secara etimologis, fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon yang merujuk pada arti “yang menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Sehingga, suatu objek ada dalam relasi kesadaran.
Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa  mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan penampakannya.
Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Engkus Kuswarno, 2009:3).
Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert. Sesudah itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif, dimana menjadi awalnya Edmund Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.
Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang saling bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan muncul dari penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat apa yang sedang terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera.
Sedangkan di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah. Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal dapat menurunkan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri.
Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak kepada kita atau fenomena. Sedangkan fenomena sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang tampak dengan sendirinya dan merupakan hasil sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsafat pada abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.
Fenomenologi bagi Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe-tipe aktivitas mental subjektif, pengalaman, dan tindakan sadar. Namun, pemikiran Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk mengembangkan filsafat radikal atau aliran filsafat yang menggali akar-akar pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan terhadap aliran positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat hidup lebih bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu objek yang tampak namun berusaha menggali makna di balik setiap gejala tersebut.
Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis, dan konteks sosial dari tindakan manusia.
Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini. Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komrehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran yang dinamakan dengan “kesengajaan” oleh Husserl. Struktur kesadaran dalam pengelaman pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakkannya.

2.3.3 Dimensi Islam dalam Fenomenologi sebagai Ilmu Pengetahuan
Fenomenologi Husserl dijadikan sebagai landasan dalam fenomenologi agama. Fenomenologi agama menjadikan agama sebagai objek studi menurut apa adanya. Atau dengan kata lain, ia menjelaskan fenomena keagamaan sebagai yang ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal ini kaum fenomenolog agama mencegah sikap memandang fenomena keagamaan itu menurut visi mereka sendiri.
Tujuan fenomenologi agama adalah mengkaji dan kemudian mengerti pola atau struktur agama atau menemukan esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan budaya manusia.
Pendekatan fenomenologi dalam studi agama muncul sebagai reaksi terhadap beberapa pendekatan sebelumnya, yaitu:
1)    Pendekatan teologi yang normatif (atau sebut saja: teologis-normatif). Dalam mengkaji tradisi agama, pendekatan ini digunakan untuk menghasilkan dan menyumbangkan pemahaman yang lebih baik mengenai dunia agama. Sehingga menjadikan agama tertentu (terutama agamanya sendiri) sebagai agama yang benar, sementara agama lain salah.
2)    Pendekatan reduksionis. Pendekatan ini melihat agama lebih sebagai fakta-fakta intelektual, emosional, psikologis dan sosiologis. Di sini agama diselidiki melalui beberapa disiplin di luar ilmu agama (teologi). Ilmu-ilmu ini dalam melihat agama (termasuk persoalan ketuhanan) menghasilkan beberapa kesimpulan, misalnya ia sebagai pemerasan  ekonomis (Marx), frustasi jiwa manusia (Feuerbach), suatu fase manusia dalam keadaan keterbelakangan (Comte), dan lain-lain. Ketika mencari asal-usul agama, ahli sosiologi agama memulai kerjanya dalam masyarakat yang paling “primitif”. Melalui penelitian terhadap masyarakat yang paling “awal/primitif” itu diharapkan diperoleh pemahaman mengenai proses perkembangan agama sepanjang sejarah.
Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.





BAB III
METODE PERUMUSAN KONSEP PENILAIAN KINERJA PEGADAIAN SYARIAH BERLANDASKAN NILAI-NILAI ISLAM
Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi mereka yang mau berpikir.” (QS. Ar-Ra’d: 3)

sesungguhnya kami jelaskan beberapa ayat kepada mereka yang mengetahui” (QS. Al-An’am:97)

3.1 PENGANTAR
Bab ini menguraikan metode dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode yang digunakan dapat membantu peneliti untuk mencapai tujuan penelitian. Dalam penelitian juga, pendekatan yang lebih spesifik sangat dibutuhkan sabagai arah dala pengumpulan dan penganalisisan data.

3.2 METODE DAN PENDEKATAN PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan penelitian, maka peneliti menggunakan metode penelitian. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam.
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut maka metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang beroriantasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam ini disebut dengan field study (Nazir, 1986: 159).
Menurut  Bogdan dan Taylor (Moleong, 2012: 4) mendefinisikan metode  kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Lebih lanjut  Denzin dan Lincoln (Moleong, 2012: 5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada.
Penelitian Kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (Sugiyono, 2011: 8). Cresswell dalam bukunya Herdiansyah (2010: 8):
 “Qualitative research is an inquiry process of understandingbased on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analizes words,  report detailed, views of information, and conducts the study ina natural setting.”
Lebih lanjut Moleong dalam bukunya Herdiansyah (2010: 9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dan fenomena yang diteliti.
Lincoln dan Guba dalam  Naturalistic Inquiry  (1985: 70-91) menjelaskan lebih mendetail tentang pendekatan penelitian kualitatif. Pertama, secara ontologis penelitian kualitatif ditandai  oleh fakta bahwa peneliti mengkonstruk/membangun realitas yang dia lihat. Dalam gagasan penelitian kualitatif masing-masing orang dilibatkan dalam penelitian, sebagai partisipan atau subyek bersama-sama mengkonstruk realitas.  Kedua,  secara epitemologis, penelitian kualitatif didasarkan pada nilai dan judgment nilai, bukan fakta. Dalam pandangan umum di lapangan mereka mengklaim bahwa nilai peneliti memandu dan membentuk simpulan penelitian sebab peneliti membangun realitas dari penelitian. Dalam waktu yang sama peneliti memiliki sensitifitas pada realitas yang diciptakan oleh orang lain yang terlibat, dan konsekuensi perubahannya dan perbedaan-perbedaan nilai. Semua temuan dalam penelitian kualitatif yang dinegosiasikan secara sosial diakui benar. Ketiga, penelitian kualitatif bersifat empiris dan ilmiah sebagaimana penelitian kuantitatif, meskipun dasar-dasar filosofis penelitian kualitatif baik secara ontologis maupun epistemologis dipandu oleh judgment nilai yang subyektif.
Lincoln dan Guba memecahkan masalah empiris dengan sebuah quasi-  "Grounded-Theory" yakni pendekatan pada pola-pola. Lincoln dan Guba (1985: 187-220). Mengangkat peneliti sebagai instrumen penelitian “research instrument”  dari sebuah penelitian, dan menugaskan peneliti untuk meloloskan data dengan secara intens mengidentikasi “tema-tema”  yang  “muncul” dari data. Menentukan  tema-tema yang valid dari data dengan  triangulasi tema-tema dengan tema-tema yang sudah dimunculkan oleh instrumen peneliti  (researcher-instruments)  yang lain dan  triangulasi dengan interpretatif data dengan format-format data yang relevan dengan penelitian.
Dalam penelitian kualitatif, diperlukan penjelasan tentang pendekatan yang secara spesifik digunakan untuk menjangkau dan menganalisis data penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah “fenomenologi islam”. Fenomenologi islam digunakan untuk mengeksplorasi makna nilai-nilai islam yang  bersumber dari kesadaran informan sekaligus sebagai alat analisis dalam merumuskan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam.
Alasan peneliti memilih fenomenologi islam sebagai pendekatan penelitian adalah mengacu pada tujuan dan konteks penelitian. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam. Temuan makna nilai-nilai islam yang dieksplorasi dari kesadaran subjek yang berpengalaman dan berpengetahuan terkait dengan objek penelitian. Konteks penelitian ini adalah pegadaian syariah yang beroperasi berdasarkan hukum islam yang merefleksikan nilai-nilai islam dalam setiap aktivitas bisnisnya.

3.3 OBJEK DAN SUBJEK PENELITIAN
Objek dalam penelitian ini adalah konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam. Dalam fenomenologi, individu memiliki kesadaran terkait realitas objek penelitian merupakan subjek penelitian yang dapat berpartiipasi sebagai informan. Subjek dalam penelitian ini adalah individu yang memiliki pengalaman dalam pengelolaan pegadaian syariah dan individu yang memiliki pengetahuan khusus tentang nilai-nilai islam dalam konteks pegadaian syariah. Subjek berdasarkan pengalaman di pegadaian syariah adalah diantaranya adalah manajer pegadaian syariah, karyawan pegadaian syariah, nasabah, DPS, MUI, dan orang yang paham dengan pegadaian syariah.

3.4 UNIT ANALISIS DAN INSTRUMEN PENELITIAN
Unit analisis dalam penelitian ini didasarkan pada komponen konseptual fenomenologi transendental yang telah dikembangkan menjadi fenomenologi islam. Adapun unit-unit yang dianalisis adalah kesadaran, noema dan noesis, refleksi, dan intersubjektivitas.
Menurut Muhadjir (2000), fenomenologi melibatkan nilai (value Bond) manusia sebagai penangkap realitas dalam mengamati, mengumpulkan data, menganalisis dan membuat simpulan.berdasarkan hal tersebut maka instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri.

3.5 TEKNIK DAN MEDIA PENGUMPULAN DATA
Menurut Lofland (Moleong, 2012: 157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Data kualitatif yaitu data yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik berwujud pertanyaan atau berupa kata-kata. Data biasanya didapat dari wawancara yang bersifat subjektif sebab data tersebut ditafsirkan lain oleh orang yang berbeda (Riduan, 2003: 5-7).
Data yang akan dikumpulkan adalah data yang sesuai dengan fokus penelitian yaitu konsep penilaian kinerja pegadaian syariah berlandaskan nilai-nilai islam. Data utama penelitian ini adalah berupa wawancara, hasil pengamatan/observasi, dokumentasi, dan hasil telaah kajian tafsir-tafsir Al-Qur’an dan hadis, sedangkan data pelengkap berupa data yang diperoleh dari penelusuran dokumen yang relevan dengan objek penelitian. Intruksi pokok dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan alat bantu ballpoint, pedoman wawancara, alat perekam dan handphone. Berikut ini uraian prosedur pengumpulan data:
1)     Wawancara/ Interview
Wawancara adalah percakapan percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pernyataan itu (Moleong, 2012: 186).
Dalam melaksanakan wawancara, peneliti mendatangi informan antara lain manajer pegadaian syariah, karyawan pegadaian syariah, dan nasabah pegadaian syariah. Metode wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara tidak terstruktur. Data hasil wawancara direkam menggunakan alat perekam ataupun handphone dan disimpan dalam file komputer sebagai arsip data.
2)     Observasi
Tehnik ini utamanya digunakan pada studi pendahuluan seperti mengobservasi suasana  pegadaian syariah, sarana dan prasarana yang digunakan, pelayanan nasabah dan lain sebagainya. Proses observasi yang dilakukan di pegadaian syariah dan kegiatan sosial yang sering dilakukan oleh pegadaian syariah.
3)     Dokumentasi
Dokumen sebagai sumber data, akan berfungsi sebagai indikator dari produk tingkat komitmen subjek yang diteliti. Dengan demikian demikian dokumen ini akan terkait dengan seluruh subjek penelitian, baik pegawai maupun nasabah. Telaah dokumentasi juga dilakukan dengan mengintegrasikan dokumen yang relevan dengan topik penelitian, diantaranya tafsir Al-Qur’an dan hadis Nabi, jurnal-jurnal, dan bahan tulisan berupa buku-buku, artikel di internet, majalah, koran, dan referensi lainnya yang relevan dengan permasalahan penelitian.

3.6 INFORMAN PENELITIAN
Dalam hal pemilihan informan, peneliti menggunakan teknik purposive sampling dengan terlebih dahulu menentukan informan kunci. Informan kunci ditentukan berdasarkan atas keterlibatan yang bersangkutan terhadap situasi dan kondisi sosial yang akan dikaji sesuai dengan fokus penelitian. Hal ini didasarkan pada Fatchan (20013: 129) bahwa penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologi, informan dan subjek penelitiannya adalah orang per orang atau individu-individu yang telah dipilih secara sengaja oleh peneliti.


3.7 TAHAPAN PENELITIAN
Adapun tahap-dahap dalam penelitian ini secara umum terdiri atas
empat tahap yaitu:
1)  Tahap pra lapangan
Menurut moleong (2012: 127) ada enam tahap kegiatan yang harus dilakukan peneliti dalam tahapan ini ditambah satu pertimbangan yang perlu dipahami yaitu etika penelitian di lapangan. Adapun kegiatan dalam tahap ini yakni:
(a) Menyusun rancangan penelitian
(b) Memilih lapangan penelitian
(c) Mengurus perizinan
(d) Menjajaki dan menilai lapangan
(e) Memilih dan memanfaatkan informan
(f)  Menyiapkan perlengkapan penelitian
(g) Persoalan etika penelitian
2)  Tahap pekerjaan lapangan
(a) Memahami latar penelitian dan persiapan diri
(b) Memasuki lapangan
(c) Berperanserta dalam mengumpulkan data
3)  Tahap analisis data
4) Simpulan hasil temuan






DAFTAR PUSTAKA
Choudhury, Masudul Alam Choudhury and Md. Mostaque Hussain. 2005. “A Paradigm of Islamic Money and Banking.” International Journal of Social Economics. Vol. 32, No. 3.
Cresswell, John W. 1998.Qualitative Inquiry  and Research Design: Choosing Among Five Traditions. Sage Publications: London
Fatchan. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. 10 Langkah Penelitian Kualitatif. Pendekatan Konstruksi dan Fenomenologi. Universitas Negeri Malang (UM): Malang
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
Herfika, Cahyusha Desmutya. 2013. Analisis komparasi mekanisme produk kredit Pada pegadaian konvensional dan pembiayaan Pada pegadaian syariah (Studi pada PT Pegadaian di Nganjuk dan Kediri). Universitas Brawijaya
Ijsseling, S., 1979 .“Hermeneutics and Textuality: Questions Concerning Phenomenology” dalam Studies in Phenomenology and the Human Sciences, J. Sallis (ed.). Atlantic Highlands, N.J.: Humanities Press.
Kaplan Robert, S. D.P Norton. 1996. The Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action. Boston: Harvard Business School Press
Leiter, K. 1980. A Primer on Ethnomethodology. Oxford: Oxford University Press.
Lincoln. Yvonna S. and  Guba, Egon G.   1985.  Naturalistic Inquiri.  Sage Publications, Inc.
Mengko, Natalia Caroline. 2013. penerapan akuntansi pertanggungjawaban untuk penilaian kinerja nonfinansial kantor wilayah vi pt. pegadaian (persero) manado
Moleong, Lexy J. 2012.  Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Rake Sarasin: Yogyakarta
Moustakas, C. 1994. Phenomenological Research Methods. London: Sage Publications.
Nasr, Sayyed Hossein. 2003. Antara Tuhan, Manusia dan Alam: Jembatan Fikosofis dan Religius Menuju Puncak Spiritual. Yogyakarta: IRCiSoD
Phillipson, M. 1972. “Phenomenological Philosophy and Sociology” in New Directions in Sociological Theory, P. Filmer et.al (eds.). London: Collier MacMillan.
Triyuwono, Iwan. 2006. Akuntansi Syariah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Triyuwono, Iwan. 2006 Persefektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah. Universitas Brawijaya Malang