jika kita turun dan berenang sendirian.. resiko tenggelam lebih besar”
[Sarwo Widodo Arachnida]
“Saya resign… saya berhenti… kemarin saya meminta ijin pada pimpinan saya untuk “keluar” dari K**M*… organisasi tempat saya bernaung dalam aktivitas dakwah kampus !! ketik si Zahra di Inbox FB ketika itu. “ Lho…kenapa…? ” tanya Lekaki Hujan, salah satu teman terbaik di jalan Aqobah dengan penuh heran.
“Saya sudah ndak cocok… terlalu banyak hal yang berseberangan… terlalu banyak penurunan kualitas dan aktivitas yang terjadi… lama..lama siapa bisa tahan…?” terus saja jemari si Zahra mengetik… meluncurkan sejumlah alasan.
“Hmm…saya paham tapi, tetap saja jika ada masalah dalam kapal… ya bertahan untuk membenahi adalah satu-satunya solusi… jika kita turun dan berenang sendirian… resiko tenggelam lebih besar” demikian jawaban Lelaki Hujan. Dan pada akhirnya jawaban Lelaki Hujan mengubah sudut pandang dan menyadarkan si Zahra jika keputusannya tak bisa dibenarkan dan perlu dikaji ulang.
Begitulah… berorganisasi tak selamanya jalannya mulus tanpa hambatan. Menjadi bagian dari sebuah institusi, apalagi yang turut berpartisipasi dalam pusaran gelombang pergerakan dakwah bukan berarti tanpa resiko. Sebagaimana lumrahnya aktivitas apapun pasti ada resikonya. Terlebih aktivitas yang terbingkai dalam kerangka dakwah, bisa dipastikan kemungkinan resiko, tantangan dan hambatan yang ada akan lebih besar dan bervariasi. Dan diperlukan kesiapan psikologis, kesiapan ruhiah lebih tepatnya untuk menghadapinya. Sebab bukan tidak mungkin jika kita belum siap atau bahkan tidak siap menghadapi realitas jalan juang yang penuh riak gelombang akan memicu timbulnya berbagai “penyakit”, diantaranya kemalasan, kelemahan dan kelelahan mental, rasa putus asa atahu bahkan parahnya memilih insilakh (keluar) dari pusaran dakwah, Naudzubillah.
Kita sering mendengar… terlalu sering bahkan… bahwa memilih dan menempuh hidup di jalan dakwah adalah perjalanan paling mulia. Penulis spesialisasi tema tarbawi, Muhammad lili Nur Aulia mengibaratkan seorang aktivis dakwah ibarat seorang musafir di jalan Allah yang membawa misi dakwah ke manapun langkah kakinya berjalan. Ia laksana pembawa minyak wangi yang menebar aroma sedap dan indahnnya islam di sepanjang jalan yang dilaluinya. Beliau menambahkan, berada dalam arus pusaran dakwah adalah sebuah kesyukuran. Menjadi bagian dari dakwah adalah karunia Nya. Itu sebuah adalah sebuah kebahagiaan dan kebanggaan. Allah telah mengistimewakan kita dengan memilih kita berada dalam dakwah. Ini adalah karunia terbaik sesudah iman. Karunia yang belum tentu bisa didapat karena nasab, harta dunia, dan strata sosial tertentu. Sejatinya itu adalah anugerah terindah jika Allah menuntun langkah kita berpijak menapaki jalan yang ditempuh para Nabi, yakni jalan dakwah.
Sebagaimana FirmanNya,
“Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya…” (QS. Ali Imron : 103)
Ustadz Abu Ridho mengatakan jika untuk membangun kesiapan ruhiyah dalam mengarungi jalan dakwah tak cukup hanya dengan pemahaman yang baik. Selain pemahaman bahwa jalan dakwah tidak mudah penuh rintangan, harus ada aspek lain yang mengiringi yakni niat yang lurus ketika memutuskan untuk memulai langkah perjalanan dakwahnya. Niat bersih yang terbebas dari segala nafsu pribadi, materi dan segala kepentingan duniawi. Niat lurus yang melandasi segala aktivitas demi pahala dan ridho Allah semata. Itu yang akan memunculkan imunitas (kekebalan) yang tinggi sehingga seorang aktivis dakwah tak mudah terserang “penyakit” sebagaimana yang telah disebutkan tadi.
Sebagaimana kutipan di mukaddimah buku Komitmen Dai sejati karangan Muhammad Abduh:
Jika komitmen terhadap dakwah benar- benar tulus … maka tak akan banyak pejuang yang berguguran di tengah jalan. Dakwah akan terus melaju dengan tulus untuk meraih tujuan- tujuannya dan mampu memancangkan prinsip- prinsipnya dengan kokoh.
Jika komitmen terhadap dakwah benar-benar tulus… niscaya hati sekian banyak orang akan menjadi bersih, pikiran mereka akan bersatu,dan fenomena ingin menang sendiri saat berargumentasi akan jarang terjadi.
Jika komitmennya benar-benar tulus… maka hatinya akan lapang untuk memaafkan setiap kesalahan saudara seperjuangannya sehingga tidak tersisa tempat sekecil apapun untuk permusuhan dan dendam.
Jika komitmennya bena-benar tulus… maka sikap toleran akan semakin semarak, rasa saling mencintai akan semakin merebak, hubungan persaudaraan akan semakin kuat dan barisan pejuang dakwah akan menjadi bangunan yang berdiri kokoh dan saling menopang.
Maka saat aroma indikasi bakteri “penyakit” mulai datang menyerang. Selayaknya seorang pejuang dakwah bermuhasabah, introspeksi diri. Apakah sudah lurus niatnya saat melangkah ?. Apakah telah hadir “ketulusan ” yang benar dalam komitmen dakwahnya selama ini ?. Maka, Apabila masih terbesit keinginan untuk insilakh, keluar dari pusaran dakwah, ada perlunya jika kita patut curiga bisa jadi bukan “mereka” saudara –saudara seperjuangan kita yang salah dan perlu dibenahi. Bisa jadi, sejatinya diri kita pribadi yang perlu diterapi.
Sebagaimana kutipan yang di atas, hanya jika karena merasa benar sendiri dan tidak sesuai dengan lainnya kemudian kita memilih keluar “berjuang” sendirian. Bukan tidak mungkin, jarak “tujuan kemenangan” dakwah akan semakin jauh. Dan bisa-bisa kita terlebih dahulu “tenggelam” sebelum benar-benar sampai. Tetap bertahan dan berkontribusi untuk “membenahi” agaknya lebih layak untuk dipilih sebagai solusi. Maka, bertahan saja… karena sekali melangkah “keluar”, tak ada jaminan kita bisa kembali lagi.
“…terkadang dalam banyak keterbatasan, kita harus bersabar menunggu rencana terbaik datang, sambil terus melakukan apa yang bisa dilakukan…” (Novel… Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah-----Tere Liye)
[Kembang Pelangi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar