Menikah adalah sebuah amal yang menjadi penyempurna setengah agama.
Karena ketika sudah menikah, semua hal menjadi sunnah dan bernilai
pahala. Dalam Al-Qur'an dan hadits, banyak disebutkan mengenai perintah
dan faidah menikah. Sehingga itulah yang menjadi motivasi seseorang
untuk segera menikah. Apalagi kalau sudah berusia kepala 2 ke atas,
sudah lulus kuliah atau bahkan sudah bekerja. Ia seolah menjadi suatu
keharusan yang harus segera dilaksanakan. Namun bagaimanakah jika jodoh
tak kunjung ketemu sedangkan keinginan nikah sudah semakin kuat?
Meluruskan niat dan mempersiapkan diri! Ya, betul. Mungkin itu yang sering kita lalaikan. Kadangkala saking penginnya untuk menikah, entah itu karena tuntutan usia, keluarga, target, dan sebagainya, kita memikirkan nikah terus dan lalai mempersiapkan diri untuk kehidupan kita setelah pernikahan itu sendiri.
Dalam sebuah perjalanan saya bersama seorang teman dan ustadz, ustadz sempat berpesan kepada kami “Niatkan nikah itu hanya karena Allah, jangan karena yang lain, dan persiapkan diri kalian untuk bisa menerimah pasangan kalian (suami) apa adanya. Bisa jadi ia bukan orang yang pandai, maka belajarlah yang rajin supaya nanti bisa mengimbangi, bisa jadi nanti dia akhlaknya kurang baik, maka perbaikilah diri kalian supaya nanti bisa meluruskan dia, belajarlah untuk berwirausaha atau mencari maisyah, siapa tau nanti dia bukan orang yang mapan, supaya kita bisa membantu dia. Intinya pada persiapan yang real, bukan hanya sekedar membaca buku-buku nikah atau ikut kuliah-kuliah pranikah yang menggugah semangat kita untuk nikah muda.”
Dari pesan ustadz tersebut, saya mencoba merenungkannya. Memang benar, hal pertama yang harus kita lakukan adalah meluruskan niat. Niat yang benar akan melahirkan amal yang ikhlas. Amal yang ikhlas itulah yang akan diterimah di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena niat adalah tonggak dari segala amal. Kalau niat kita untuk menikah sudah benar (lillahi ta’ala, untuk mencari ridha Allah) insya Allah tujuan pernikahan kita akan tercapai. Sehingga kita tidak akan menetapkan kriteria yang macam-macam terhadap calon pasangan kita. Agama tetap menjadi kriteria no 1 sebelum harta, kecantikan, dan keturunan.
Yang kedua adalah persiapan secara riil. Bukan sekedar membaca buku tentang pernikahan, ikut seminar, atau kuliah pranikah yang akan menambah ghirah kita untuk menikah.
Hal pertama yang mesti dipersiapan adalah akhlak. Dalam salah satu bukunya, Salim A. Fillah menasehati kita, shalihkan diri sebelum menikah. Kita tak tahu pasangan kita nanti seperti apa. Apakah dia bener-bener shalih luar dalam ataukah hanya shalih di luar saja. Dan kita juga tak tahu perilakunya bakal seperti apa. Ingat, Allah Maha Membolak-balikkan hati. Sehingga kalau pun ternyata pasangan kita berubah, atau membengkok, maka kitalah yang akan bersabar menghadapi segala perilakunya dan berusaha meluruskannya. Menikah menjadikan kita hidup bersama akhlaknya. Yang kita hadapi sehari-hari adalah akhlaknya. Sakinah atau tidaknya rumah tangga kita itu bergantung pada akhlak anggotanya. Maka dari itu mari kita perbaiki akhlak kita, kita shalihkan diri agar kelak kita mampu menshalihkan keluarga kita. Ingat, semuanya berawal dari diri kita sendiri.
Persiapan yang kedua adalah persiapan ilmu. Maksudnya, banyak ilmu yang harus kita pelajari selain ilmu dalam bidang yang sedang kita tekuni sekarang dan ilmu tentang pernikahan itu sendiri. Seperti ilmu tentang kesehatan, pendidikan, keuangan, yang selama ini tidak kita pelajari di dalam sks mata kuliah. Selain itu mengasah skill seperti menjahit, memasak, membenarkan perabot rumah tangga (terutama bagi akhwat) sangat diperlukan. Karena kita nggak tahu pasangan kita nanti seperti apa. Bisa jadi nanti dia bukan orang yang pandai atau yang punya banyak skill. Maka kitalah yang akan berbagi dan sharing dengannya.
Dulu saya sempat heran melihat teman asrama yang membaca buku “Catatan Ayah ASI” yang menjelaskan betapa sang ayah juga turut andil dalam pemberian ASI terhadap sang anak, diskusi sana sini tentang ilmu kesehatan, anak dan kerumah tanggaan. Saya sendiri sempat enggan untuk diskusi masalah seperti itu. Karena merasa belum memerlukan. Namun setelah saya pikir ulang hal ini ternyata sangat perlu. Karena tidak mungkin ketika punya anak kita akan sempat atau mau membaca buku-buku seperti itu. Di saat kita sudah menikah nanti kita akan disibukkan oleh segala urusan rumah tangga. Oleh karenanya jangan pernah ragu atau malu untuk belajar dan diskusi mengenai hal-hal kerumahtanggaan.
Yang ketiga yang mesti dipersiapan adalah materi atau finansial (maisyah). Maksudnya disini adalah melatih diri untuk mencari maisyah (uang) dari sekarang. Seperti latihan berwirausaha, atau memperdalam bidang yang sedang ditekuni sekarang. Ini sebagai bekal ketika nanti suami atau istri kita bukanlah seorang yang mapan secara ekonomi. Sehingga bisa saling tolong menolong dalam menopang ekonomi keluarga.
Jadi bagi teman-teman yang kini sudah ingin menikah dan belum menemukan jodohnya tidak usah galau. Yakinlah bahwa seorang wanita yang baik untuk laki-laki yang baik (lihat QS. An-Nur ayat 26). Dan mari kita persiapkan diri baik secara ilmu, akhlak dan materi. Lantas berdoa kepada Allah minta diberikan jodoh yang terbaik. Bukan sekedar ingin nikah lantas memikirkan nikah terus, kuliah jadi tidak fokus dan tidak lulus-lulus, badan jadi kurus dan tak terurus (na’udzu billah). Dan bukan sekedar menunggu dengan menaruh dagu diatas pangku dengan tangan sendeku. Waallahu a’lam bish shawab. [Ukhtu Emil]
Meluruskan niat dan mempersiapkan diri! Ya, betul. Mungkin itu yang sering kita lalaikan. Kadangkala saking penginnya untuk menikah, entah itu karena tuntutan usia, keluarga, target, dan sebagainya, kita memikirkan nikah terus dan lalai mempersiapkan diri untuk kehidupan kita setelah pernikahan itu sendiri.
Dalam sebuah perjalanan saya bersama seorang teman dan ustadz, ustadz sempat berpesan kepada kami “Niatkan nikah itu hanya karena Allah, jangan karena yang lain, dan persiapkan diri kalian untuk bisa menerimah pasangan kalian (suami) apa adanya. Bisa jadi ia bukan orang yang pandai, maka belajarlah yang rajin supaya nanti bisa mengimbangi, bisa jadi nanti dia akhlaknya kurang baik, maka perbaikilah diri kalian supaya nanti bisa meluruskan dia, belajarlah untuk berwirausaha atau mencari maisyah, siapa tau nanti dia bukan orang yang mapan, supaya kita bisa membantu dia. Intinya pada persiapan yang real, bukan hanya sekedar membaca buku-buku nikah atau ikut kuliah-kuliah pranikah yang menggugah semangat kita untuk nikah muda.”
Dari pesan ustadz tersebut, saya mencoba merenungkannya. Memang benar, hal pertama yang harus kita lakukan adalah meluruskan niat. Niat yang benar akan melahirkan amal yang ikhlas. Amal yang ikhlas itulah yang akan diterimah di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena niat adalah tonggak dari segala amal. Kalau niat kita untuk menikah sudah benar (lillahi ta’ala, untuk mencari ridha Allah) insya Allah tujuan pernikahan kita akan tercapai. Sehingga kita tidak akan menetapkan kriteria yang macam-macam terhadap calon pasangan kita. Agama tetap menjadi kriteria no 1 sebelum harta, kecantikan, dan keturunan.
Yang kedua adalah persiapan secara riil. Bukan sekedar membaca buku tentang pernikahan, ikut seminar, atau kuliah pranikah yang akan menambah ghirah kita untuk menikah.
Hal pertama yang mesti dipersiapan adalah akhlak. Dalam salah satu bukunya, Salim A. Fillah menasehati kita, shalihkan diri sebelum menikah. Kita tak tahu pasangan kita nanti seperti apa. Apakah dia bener-bener shalih luar dalam ataukah hanya shalih di luar saja. Dan kita juga tak tahu perilakunya bakal seperti apa. Ingat, Allah Maha Membolak-balikkan hati. Sehingga kalau pun ternyata pasangan kita berubah, atau membengkok, maka kitalah yang akan bersabar menghadapi segala perilakunya dan berusaha meluruskannya. Menikah menjadikan kita hidup bersama akhlaknya. Yang kita hadapi sehari-hari adalah akhlaknya. Sakinah atau tidaknya rumah tangga kita itu bergantung pada akhlak anggotanya. Maka dari itu mari kita perbaiki akhlak kita, kita shalihkan diri agar kelak kita mampu menshalihkan keluarga kita. Ingat, semuanya berawal dari diri kita sendiri.
Persiapan yang kedua adalah persiapan ilmu. Maksudnya, banyak ilmu yang harus kita pelajari selain ilmu dalam bidang yang sedang kita tekuni sekarang dan ilmu tentang pernikahan itu sendiri. Seperti ilmu tentang kesehatan, pendidikan, keuangan, yang selama ini tidak kita pelajari di dalam sks mata kuliah. Selain itu mengasah skill seperti menjahit, memasak, membenarkan perabot rumah tangga (terutama bagi akhwat) sangat diperlukan. Karena kita nggak tahu pasangan kita nanti seperti apa. Bisa jadi nanti dia bukan orang yang pandai atau yang punya banyak skill. Maka kitalah yang akan berbagi dan sharing dengannya.
Dulu saya sempat heran melihat teman asrama yang membaca buku “Catatan Ayah ASI” yang menjelaskan betapa sang ayah juga turut andil dalam pemberian ASI terhadap sang anak, diskusi sana sini tentang ilmu kesehatan, anak dan kerumah tanggaan. Saya sendiri sempat enggan untuk diskusi masalah seperti itu. Karena merasa belum memerlukan. Namun setelah saya pikir ulang hal ini ternyata sangat perlu. Karena tidak mungkin ketika punya anak kita akan sempat atau mau membaca buku-buku seperti itu. Di saat kita sudah menikah nanti kita akan disibukkan oleh segala urusan rumah tangga. Oleh karenanya jangan pernah ragu atau malu untuk belajar dan diskusi mengenai hal-hal kerumahtanggaan.
Yang ketiga yang mesti dipersiapan adalah materi atau finansial (maisyah). Maksudnya disini adalah melatih diri untuk mencari maisyah (uang) dari sekarang. Seperti latihan berwirausaha, atau memperdalam bidang yang sedang ditekuni sekarang. Ini sebagai bekal ketika nanti suami atau istri kita bukanlah seorang yang mapan secara ekonomi. Sehingga bisa saling tolong menolong dalam menopang ekonomi keluarga.
Jadi bagi teman-teman yang kini sudah ingin menikah dan belum menemukan jodohnya tidak usah galau. Yakinlah bahwa seorang wanita yang baik untuk laki-laki yang baik (lihat QS. An-Nur ayat 26). Dan mari kita persiapkan diri baik secara ilmu, akhlak dan materi. Lantas berdoa kepada Allah minta diberikan jodoh yang terbaik. Bukan sekedar ingin nikah lantas memikirkan nikah terus, kuliah jadi tidak fokus dan tidak lulus-lulus, badan jadi kurus dan tak terurus (na’udzu billah). Dan bukan sekedar menunggu dengan menaruh dagu diatas pangku dengan tangan sendeku. Waallahu a’lam bish shawab. [Ukhtu Emil]
http://www.bersamadakwah.com/2013/03/ketika-jodoh-tak-kunjung-tiba.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar