Senin, 16 April 2012

Strategi Pendidikan Etika Bisnis Dan Profesi Pada Pendidikan Akuntansi


BAB VII
STRATEGI PENDIDIKAN ETIKA BISNIS DAN
PROFESI PADA PENDIDIKAN AKUNTANSI

7.1 Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya bertujuan mencerdaskan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dengan tujuan pendidikan seperti di atas, sistem pendidikan tidak sekedar berorientasi pada pasar, tetapi (yang lebih penting) juga bagaimana pendidikan bisa menciptakan pribadi yang mulia. Pendidikan modern, disadari atau tidak, dibangun berdasarkan pada etika utilitarianisme yang berorientasi pada pencapaian utilitas materi yang hedonis. Corak ini direfleksikan oleh institusi pendidikan yang berperilaku sebagai perusahaan dengan berbagai macam program studi. Minat masyarakat biasanya terarah pada program studi yang mudah diserap oleh pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, institusi pendidikan mengerahkan potensi yang dimilikinya untuk menjual program studi yang saleable.
Dengan corak ini, institusi pendidikan tidak dapat mengisi kawasan sikap dan pembentukan sikap dengan nilai-nilai etika yang dapat memanusiawikan manusia, “memanusiawikan” ilmu dan praktik ilmu pengetahuan. Institusi pendidikan tidak mampu menyeimbangkan manusia menjadi mahluk yang peka, sadar, dan mampu menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam keesaan Tuhan, kemanusiaan yang beradab, sadar akan lingkungan alam semesta, dan apalagi membentuk kesadaran ketuhanan (divine consciousness) pada diri manusia. Ini, secara implisit, juga menunjukkan bahwa upaya menyiapkan sarana pembentukan manusia yang seimbang (yang memahami bahwa di samping alam materi dan alam ide terdapat juga alam nilai dan alam spiritual di mana semuanya harus dipahami oleh, dan terkandung dalam kepribadian dan karakter, manusia yang bersangkutan) menjadi terabaikan.
Substansi pendidikan adalah mentransformasi perilaku manusia menjadi perilaku yang positif yang peka dan sadar akan hakikat sejati dirinya. Untuk itu, pendekatan internal (psikologis) dan eksternal (struktur dan tatanan sosial) sangat diperlukan untuk mentransformasi “diri” (self) manusia. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan beberapa strategi pendidikan etika bisnis dan profesi akuntansi dalam rangka menciptakan masyarakat madani (civil society). Pembahasan dimulai dengan diskusi tentang “diri” manusia dengan pendekatan teori interaksionisme simbolik (symbolic interactionism) dan teori etika al-Ghazali. Diskusi tentang “diri” dimaksudkan untuk memahami secara mendalam tentang hakikat “diri” dan sekaligus mencari strategi bagaimana membentuk “diri” yang utuh. Berikutnya, diskusi akan diarahkan pada strategi itu sendiri yang terkait dengan unsur metafisik manusia, yaitu: nafsu, akal, hati, dan ruh.

“Diri” (Self): Tinjauan dari Teori Interaksionisme Simbolik dan Etika al-Ghazali
Bagian ini mendiskusikan konsep “diri” dari sudut pandang teori Interaksionisme Simbolik dan teori Etika al-Ghazali. “Diri” merupakan elemen penting manusia, karena perilaku manusia merupakan ekspresi dan eksternalisasi dari nilai yang terkandung dalam “diri.”
a. Interaksionisme Simbolik
Manusia, menurut Mead (1934:135-44), mampu berperilaku (melakukan tindakan) dan menginterpretasikan tindakan sosial (social acts) dan obyek sosial (social objects) karena manusia memiliki “diri” (self). “Diri” adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan terhadap sesuatu, yaitu simbol atau obyek sosial (Charon 1979:81). Konsep tentang “diri” dalam Interaksionisme Simbolik memegang peranan penting karena “diri” mampu mengarahkan, mengontrol dan menilai seorang individu sebagai anggota masyarakat untuk melakukan suatu tindakan sebagai respon terhadap lingkungannya. Dalam proses tersebut, “diri” dapat bertindak sebagai subyek, yaitu “saya” (“I”) atau sebagai obyek, yaitu “aku” (“me”) dalam waktu yang bersamaan.
Mead (1934:173-5) berpendapat bahwa “saya” pada dasarnya mewujudkan respon yang dilakukan seseorang atas perilaku orang lain. “Saya” merupakan bagian yang bersifat aktif dan bebas melakukan suatu tindakan atau berperilaku. Sedangkan “aku” adalah bagian yang lain yang menunjukkan sekumpulan perilaku (orang) lain yang dapat berupa adat, sikap, nilai sosial, dan lain sebagainya. “Saya” dapat memulai sebuah stimulus dan “aku” mengamati realitas atau stimulus ketika dilakukan atau dialami oleh “sang lain” (the other).
Seorang individu dapat saja bertindak sebagai “saya” dan “aku” pada saat yang bersamaan untuk melakukan sebuah tindakan. “Aku,” melalui pengamatan diri sendiri atas tindakan tersebut dan dengan jalan menghubungkannya dengan pengalaman masa lampau tindakan orang lain, membentuk perilaku “saya.” Dalam memberikan pengarahan kepada “saya” tentang bagaimana seharusnya berperilaku dalam situasi tertentu, “aku” bertindak seolah-olah sebagai orang luar yang memberikan pengarahan kepada individu yang bersangkutan (Fisher 1986:232). Secara sederhana interaksi antara “saya” dan “aku” ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 7.1






b. Elemen “Diri” dan “Sang Lain”
Menurut Fisher (1986:232), proses ini [disebut sebagai proses penunjukan diri (self indication), yaitu proses pengalaman dan penafsiran yang secara inheren merupakan proses sosial], memungkinkan seorang individu untuk melintasi situasi yang dihadapinya pada saat itu dan melampaui batas-batas pengalaman individu, baik pada masa lampau maupun pada masa sekarang.
“Saya,” sebagai subyek yang aktif, melakukan tindakan, sedangkan “aku” sebagai obyek yang berisi kesadaran individu yang bersangkutan, pengalaman “saya” pada masa lampau, dan pengalaman orang lain yang diamatinya-tetap ada mendampingi “saya.” Ketika “saya” berbicara, maka “aku” mendengarkan apa yang dibicarakan oleh “saya.” Atau, jika “saya” memukul, maka “aku” akan merasakan pukulan tersebut. Proses ini adalah proses introspeksi diri yang sifatnya sosial. Hanya dengan proses ini, seorang individu akan mengalami proses perkembangan diri, yaitu terutama melalui interaksi dengan orang lain, menuju pada pembentukan “diri.” Seorang individu, melalui tindakannya, mengembangkan pembendaharaan respon dan penafsiran tidak hanya melalui pengamatan atas tindakannya sendiri, tetapi juga melalui tindakan orang lain (Fisher 1986:233).
Illustrasi di atas secara implisit menunjukkan bahwa “diri,” terutama unsure “aku” adalah bersifat sosial (Charon 1979:82). Maksudnya adalah bahwa “aku” mengalami proses interaksi dengan yang lain, yaitu bahwa “aku” merupakan obyek yang timbul dari proses interaksi dan bahwa seorang berkomunikasi, menilai, mengidentifikasi dan menganalisa melalui interaksi dengan “sang lain” (Charon 1979:82). “Sang lain” tidak lain adalah “the generalised other,” yaitu istilah Mead (1934:154) untuk menunjukkan komunitas atau kelompok sosial yang terorganisir yang membentuk kesatuan “diri” seseorang. “Sang lain” ini dapat berupa standar, pengharapan, prinsip, norma, gagasan dan lain-lainnya (Hewitt 1991:102) yang diinternalisasikan ke dalam “diri” seseorang.
c. Teori Etika al-Ghazali
Pandangan Interaksionisme Simbolik terhadap “diri” lebih menekankan pada interaksi sosial, yaitu interaksi “diri” dengan lingkungannya. Interaksionisme Simbolik tidak dapat memberikan penjelasan tentang: bagaimana peranan “instrumen internal” menangkap nilai yang berada di luar dirinya, apa hakikat “diri” manusia, bagaimana hubungan “diri” manusia dengan manusia lain, dan bagaimana hubungan “diri” manusia dengan dunia metafisik dan Tuhan.
Manusia pada dasarnya dibuat dari dua unsur, yaitu: unsur materi (fisik) dan unsur non-materi (jiwa, spiritual entity). Unsur yang pertama, menurut al-Ghazali, bersifat fana dan berasal dari tanah; sedangkan yang kedua bersifat baka dan berasal dari Tuhan (divine origin) dan esensi utama dari manusia ini adalah pada unsur kedua ini. Al-Ghazali sering menggunakan empat istilah yang selalu terkait dengan istilah jiwa (soul), yaitu: hati (qalb), jiwa atau “diri” (nafs), spirit (ruh), dan intellek (‘aql) (Sherif 1975:25; Bastaman 1995:78-9). Keempat unsur ini oleh Bastaman (1995:78-9) ditafsirkan sebagai unsur “metafisik.” Sedangkan unsur materi (raga, fisik) dan jiwa (psikis, mental) sebagai “psikofisik.” Secara sederhana, semua unsur tersebut dapat digambar dalam skema di bawah ini:
Gambar 7.2
Struktur “Diri” Manusia


 







Sumber: Bastaman (1995, 79)
Jika dikaji lebih jauh, maka akan terlihat bahwa unsur ruh (poin 3) menjembatani “diri” manusia dengan realitas di atasnya, yaitu: Asma’ Sifatiyyah (atribut-atribut atau sifat-sifat Tuhan; misalnya, Allah Maha Pencipta, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan lain-lainnya) dan Realitas Absolut (Tuhan), serta sekaligus pengakuan manusia terhadap keesaan Realitas Absolut (tauhid).
Dengan demikian, realitas-realitas mikrokosmos (yaitu, materi, psikis, dan spiritual) tidak eksis secara independen; sebaliknya mereka eksis secara dependen,
integral, dan tidak dapat dipisahkan dengan Asma’ Sifatiyyah dan Realitas Tertinggi. (Lihat Bakar 1994). Secara spekulatif kita dapat membuat hierarkhi metafisik manusia seperti gambar di bawah ini:
Gambar 7.3





d. Hierarkhi Unsur Metafisik Manusia
Gambar 3 menunjukkan hierarkhi unsur metafisik manusia berturut-turut dari yang paling rendah (nafsu) ke yang paling tinggi (ruh). Nafsu adalah dorongan hewani yang agresif dan erotik yang bila tidak dikendalikan akan menjerumuskan manusia pada derajad yang serendah-rendahnya (Bastaman 1995:93). Dengan dorongan nafsu ini, dikendalikan atau tidak, manusia tetap lestari (survive) dan dapat mempertahankan eksistensinya secara biologis di atas bumi. Tanpa nafsu, manusia tidak akan eksis di dunia. Ini berarti bahwa nafsu harus tetap ada dalam diri manusia. Namun keberadaan nafsu ini harus tetap terkendali, agar eksistensi manusia berada pada posisi yang mulia.
Unsur metafisik kedua adalah akal. Akal adalah daya pikir atau potensi inteligensia (Bastaman 1995:93). Akal dapat memberikan penjelasan-penjelasan rasional atas simbol atau fenomena yang sedang dihadapi oleh manusia. Akal juga dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan rasional bagi manusia dalam mengambil keputusan. Dengan akal ini pula manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai instrumen yang digunakan untuk mempertahankan dan meningkatkan eksistensi kehidupannya.
Kalbu, unsur metafisik yang ketiga, merupakan karunia Tuhan yang halus, indah, mengetahui segala sesuatu, dan bersifat ruhaniah serta ketuhanan (Bastaman 1995:93). Kalbu, secara spekulatif, dapat dikatakan sebagai lokus dari sifat ketuhanan. Dengan sifat ini, kalbu dapat memberikan cahaya Ilahi, yaitu cahaya kebenaran yang mampu memberikan petunjuk pada akal dan nafsu manusia kepada arah yang benar. Namun kalbu dapat tertutup oleh debu-debu sejarah dan sosial (yaitu, dosa-dosa) sehingga ia tidak mampu memancarkan sinar Ilahinya untuk memberikan petunjuk. Kalbu juga merupakan lokus dari perjanjian primordial manusia dengan Penciptanya, yaitu suatu pengakuan dari manusia tentang Tuhan Pencipta alam semesta (termasuk diri manusia itu sendiri). Konsekuensi dari perjanjian primordial ini adalah adanya potensi manusia untuk percaya kepada Tuhan pencipta alam semesta. Dengan potensi ini, sebetulnya tidak ada manusia yang atheis, karena manusia yang mengaku dirinya atheis sebetulnya telah menjadikan atheisme sebagai tuhan mereka. Jadi pada dasarnya mereka juga bertuhan.
Unsur metafisik keempat adalah ruh. Ruh adalah nyawa atau sumber hidup manusia atau sesuatu yang halus, indah, dan mengetahui segala sesuatu (Bastaman 1995:93). Ruh adalah “bagian” dari Tuhan. Oleh karena itu, ia dalam diri manusia bersifat fitrah (suci) dan “selalu mencari pengetahuan tentang Tuhan dan jalan ketuhanan sebagai bekal kembali lagi kepadaNya” (Bastaman 1995:78).

e. Strategi Pendidikan Etika
Pemahaman “diri” berdasarkan pada dua teori di atas sangat penting, karena strategi pendidikan etika bisnis dan profesi akuntansi berdasarkan pada dua teori tersebut. Atau, dengan kata lain, strategi pendidikan dikaitkan dengan unsure metafisik manusia dan “Sang Lain” (the other). Strategi yang digunakan dalam tulisan ini pada dasarnya diarahkan pada intellectual-psychological process atau menurut istilah Rest (1986:3-4) psychological process (lihat juga Mintz 1996:68), social interaction process, dan spiritual process.

f. Intellectual-Psychological Process
Intellectual-psychological process diarahkan pada pengasahan unsur akal pada “diri” manusia. Akal perlu memiliki persediaan knowledge of ethics yang cukup sehingga ia akhirnya mampu membedakan tindakan etis dan non-etis. Akal tidak sekedar mampu mengenal knowledge of ethics, tetapi juga mampu mengolah dan mengembangkan ilmu tersebut. Dengan ilmu dan kemampuan ini secara psikologis “diri” akan merubah perilakunya sesuai dengan nilai etika yang diperolehnya.
Proses ini menurut Rest (1986:3-4) meliputi:
1)     Orang tersebut harus mampu mengidentifikasi aksi-aksi alternative dan bagaimana alternatif tersebut mempengaruhi kesejahteraan pihak-pihak yang berkepentingan.
2)     Orang tersebut harus mampu menilai (judge) aksi mana yang seharusnya dilakukan dalam sebuah kondisi karena aksi tersebut secara moral benar (atau wajar atau adil atau secara moral baik).
3)     Orang tersebut harus berniat (intend) untuk melakukan apa yang secara moral baik dengan memberikan prioritas pada nilai-nilai moral di atas nilai-nilai pribadi.
4)     Orang tersebut harus memiliki ketekunan yang memadai, kekuatan ego, dan implementasi keterampilan yang sanggup dilakukan melalui niat yang dimilikinya untuk berperilaku etis, menahan kepenatan dan semangat yang mengendor, serta untuk mengatasi rintangan.
Empat hal tersebut di atas berkenaan dengan moral perception, moral judgment, moral intention, dan moral action etis (Mintz 1996:68). Moral perception dan moral judgment berkenaan dengan bagaimana seseorang memikirkan isu-isu etika dan bagaimana kedua hal tersebut memiliki pengaruh eksternal dan internal terhadap pengambilan keputusan yang etis (Mintz 1996:68). Jadi moral perception dan moral judgment ini berkait erat dengan intellektual. Sedangkan dua hal yang terakhir, yaitu moral intention dan moral action, merupakan unsur psikologis dari “diri” tentang pentingnya berperilaku etis. Artinya, memiliki moral perception dan moral judgment skill saja sebetulnya tidak cukup untuk mempengaruhi “diri” berperilaku etis. Kedua hal tersebut harus dibarengi dengan moral intent yang kemudian diaktualisasi dalam bentuk moral action (lihat Mintz 1996:69).
Dalam wacana pendidikan etika (profesi) akuntansi, moral perception dan moral judgment menjadi perhatian yang sangat utama (Mintz 1996:68). Artinya, pendidikan etika akuntansi sementara ini hanya diarahkan pada pembentukan moral perception dan moral judgment. Sedangkan moral intention dan moral action belum terjamah.
Pada intellectual-psychological process ini ada lima strategi yang harus dilakukan. Masing-masing strategi dijelaskan seperti di bawah ini.

1)     Memberikan Pengajaran dengan Materi Etika Bisnis dan Etika Profesi
Pembetukan moral perception dan moral judgement tetap relevan. Oleh karena itu, strategi pemberian matakuliah Etika Bisnis dan Etika Profesi pada fakultas ekonomi atau jurusan akuntansi juga tetap relevan. Strategi ini banyakdilakukan oleh banyak perguruan tinggi di luar negeri (lihat misalnya Hoffmann and Moore 1982; George 1987; Singh 1989). Jika dilihat dari type of coveragenya (artinya, apakah materi etika bisnis atau etika profesi tersebut disajikan dalam satu matakuliah khusus dan terpisah atau secara inheren masuk ke dalam setiap matakuliah akuntansi), maka hasil penelitian Chua, Perera, dan Mathews (1994:378-9) - yang dilakukan di Selandia Baru dan Australia-menunjukkan bahwa sebagian besar jurusan akuntansi menyajikan materi etika sebagai bagian dari setiap matakuliah akuntansi1, bukan sebagai matakuliah tersendiri dan terpisah (lihat juga McNair dan Milam 1993). Penelitian Chua, Perera, dan Mathews (1994) ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Karnes dan Sterner (1988), Cohen dan Pant (1989), serta Armstrong dan Mintz (1989).
Konsekuensi dari penyajian etika sebagai bagian yang inheren dalam setiap matakuliah akuntansi adalah bahwa materi etika menjadi materi yang compulsory, bukan elective (Chua, Perera, dan Mathews 1994:380). Sedangkan teknik pendidikan yang banyak dilakukan adalah berturut-turut, pendekatan kuliah, studi kasus, dan diskusi.

1.     Merekonstruksi Materi Matakuliah Dasar Umum
Banyak orang berpendapat bahwa sistem pendidikan di Indonesia terlalu banyak memasukkan matakuliah “sponsor” yang bila dilihat materinya tidak terlalu relevan dengan program studi akuntansi, ekonomi, dan manajemen. Matakuliah tersebut-yang mencapai sepuluh kredit - adalah Agama, Pancasila, Kewiraan, Ilmu Sosial Dasar, dan Ilmu Alamiah Dasar, yang semuanya adalah jenis matakuliah “independen” dan “menguap” setelah mahasiswa mendapatkan matakuliah ini.
Matakuliah dasar umum ini sebetulnya memiliki aspek positif bila direkonstruksi sedemikian rupa sehingga matakuliah tersebut relevan dengan program studi akuntansi, ekonomi, dan manajemen. Matakuliah Agama misalnya, tidak mempunyai makna bagi praktik akuntansi, ekonomi, dan manajemen, karena ia disampaikan mentah-mentah secara normatif dan tekstual. Oleh karena itu, penafsiran kontekstual terhadap ayat-ayat suci yang terkait dengan bisnis sangat diperlukan, sehingga agama benar-benar dapat turun ke bumi dan dapat dijadikan nilai dalam melakukan aksi bisnis.
Matakuliah Pancasila dan Kewiraan juga dapat digali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga kedua matakuliah ini tidak murni normatif. Dengan kata lain, materi matakuliah ini diturunkan ke dalam konteks ekonomi dan bisnis dengan nilai keIndonesiaan.
Sedangkan materi Ilmu Sosial Dasar dapat diturunkan ke dalam konteks nilai-nilai sosial dan etika masyarakat Indonesia (yang kaya akan suku bangsa) dalam melakukan aksi ekonomi dan bisnis. Materi ini bisa diarahkan pada, misalnya, etika bisnis dari etnis Bugis, Cina, Madura, Padang, dan suku bangsa lainnya di Indonesia. 1 Matakuliah yang dimaksud adalah auditing, teori akuntansi, akuntansi keuangan, business law, variety of cources (terdiri dari economics, behavioral accounting, dan accounting workshop), pengantar akuntansi, perpajakan, internal auditing, akuntansi manajemen, professional accounting, business policy, intermediate accounting, dan accounting information system. Dari beberapa matakuliah tersebut yang paling banyak muatan etikanya adalah auditing, teori akuntansi, akuntansi keuangan, dan seterusnya. sesuai dengan urutan di atas.
Materi Ilmu Alamiah Dasar dapat dikembangkan dan dikaitkan dengan akuntansi lingkungan (green accounting), ekonomi sumber daya alam, serta manajemen lingkungan (environmental management) dan sumber daya alam. Kontekstualisasi matakuliah ini pada dunia bisnis sangat penting dan relevan mengingat kecenderungan dunia bisnis yang utilitarian merusak lingkungan alam (lihat Capra 1997; Dento 1994).

2.     Merekonstruksi Ilmu Pengetahuan Bisnis dan Akuntansi
Strategi ketiga ini merupakan strategi yang sangat ideal dan bersifat jangka panjang. Hal ini karena ilmu pengetahuan bisnis dan akuntansi (dan ilmu pengetahuan modern lainnya secara umum) mengklaim dirinya sebagai ilmu pengetahuan yang bebas-nilai (value-free). Ilmu semacam ini tidak dapat menjamin bahwa individu yang mempelajari dan mempraktikkannya menggunakan pertimbangan etika. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan bisnis dan akuntansi perlu direkonstruksi, sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang sarat-nilai. Langkah ini dapat dilakukan dengan menggunakan pandangan ontologi dan epistemologi dari paradigma kritikal (Burrell and Morgan 1979; Chua 1986) serta posmodernisme (Rosenau 1992).
Pandangan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bisnis dan akuntansi bebas nilai sebetulnya dapat diperdebatkan. Karena dalam kenyataannya ilmu tersebut berdasarkan pada sebuah nilai etika, yaitu etika utilitarianisme (lihat Chryssides and Kaler 1993; Etzioni 1992). Etika utilitarianisme (dari Jeremy Bentham) menekankan hasil dari sebuah perbuatan. Sepanjang perbuatan tersebut dapat memaksimalkan utilitas, maka perbuatan tersebut dianggap etis (tanpa memperhatikan cara atau proses pencapaian utilitas tersebut). Utilitas bagi etika ini, adalah happiness atau pleasure yang hedonis (Chryssides and Kaler 1993). Etika utilitarianisme cenderung mendorong perilaku seseorang ke arah pemenuhan personal interests daripada kepentingan orang banyak. Oleh karena itu, pencarian nilai etika yang lebih baik sangat diperlukan. Pencarian ini dapat dilakukan dengan cara melakukan analisa dan sintesa terhadap teori etika lainnya, seperti: deontologisme (Immanuel Kant), natural law (John Locke) (Chryssides and Kaler 1993), theological ethics, dan religious ethics (Umar-ud-din 1991; Fakhry 1996). Dari hasil sintesa tersebut, kemudian dapat dijadikan dasar bagi konstruksi ilmu pengetahuan bisnis dan akuntansi.
Namun, sekali lagi, strategi ini untuk jangka pendek tidak praktis. Bentuk ilmu pengetahuan baru dengan paradigma yang baru tidak akan terjadi dalam waktu singkat. Untuk melakukan perubahan bentuk ilmu ini memerlukan wacana yang intensif.
3.     Mengintensifkan Wacana Etika Bisnis dan Etika Profesi
Wacana etika bisnis dan etika profesi akuntansi (dalam bentuk apapun, misalnya, jurnal ilmiah, lokakarya, simposium, dan bahkan dalam bentuk matakuliah) di Indonesia masih sangat minim. Padahal wacana ini sangat penting untuk mensosialisasikan etika, baik bagi mahasiswa, staf pengajar, maupun masyarakat bisnis secara umum. Tanpa wacana ini, kita akan mengalami kesulitan untuk menemukan moral perception, alih-alih moral action, pada masyarakat.
Wacana etika ini secara ideal tidak saja berbicara etika bisnis dan profesi secara global, yaitu mencari nilai universal etika bisnis, tetapi juga diarahkan pada upaya pengangkatan nilai-nilai lokal yang bersifat keIndonesiaan, sebagaimana disinggung pada strategi kedua. Pengangkatan nilai-nilai lokal ini (untuk diposisikan sejajar dengan etika bisnis modern yang “universal”) sangat penting, mengingat, pertama, budaya modernitas cenderung membuat dan memperkuat logosentrisme, dan sebaliknya memarjinalkan dan bahkan mematikan nilai-nilai lokal (lihat Sugiharto 1996). Kedua, dengan mengangkat dan mengaplikasikan nilai-nilai lokal, masyarakat bisnis tidak akan terasing dari nilai budayanya sendiri. Ketiga, nilai-nilai lokal dapat dijadikan sebagai penyeimbang bagi nilai “luar” (Barat) yang secara sadar atau tidak masuk ke dan melekat, dalam ilmu pengetahuan modern yang dipelajari di perguruan tinggi atau melalui wacana lainnya. Dengan wacana semacam ini jelas akan memperkaya perbendaharaan etika bisnis dan profesi.

4.     Melakukan Pelatihan Etika Bisnis dan Profesi bagi Staf Pengajar
Staf pengajar di perguruan tinggi mempunyai peranan yang sangat tinggi dalam rangka mensosialisasikan etika bisnis dan profesi. Oleh karena itu, sosialisasi akan terhambat bila staf pengajar tidak mempunyai interest dan pengetahuan tentang etika bisnis dan profesi. Tidak jarang staf pengajar “melompati” materi etika profesi yang ada dalam auditing dan intermediate accounting textbooks karena yang bersangkutan tidak memiliki minat di bidang tersebut. Hasil penelitian Chua, Perera, dan Mathews (1994:383) menunjukkan bahwa kurangnya minat staf dan terbatasnya staf yang qualified merupakan kendala yang cukup besar dalam pendidikan etika bisnis dan profesi di perguruan tinggi. Sehubungan dengan hal ini McDonald et.al. berkomentar:
Kita semuanya terlalu sering menerima laporan kuliah di mana instruktur gagal mengangkat anekdot pengajaran dari etiket profesi, atau murni kewaspadaan deskriptif dari persyaratan legal dan professional (1989:48).

Pendapat senada juga diberikan oleh Bok yang mengatakan:
Mata-kuliah etika profesi sulit diajarkan karena mata-kuliah tersebut membutuhkan persiapan di dua subyek yang secara keseluruhan berbeda: filsafat moral (atau disiplin yang terkait) dan beberapa aplikasi praktis seperti peraturan pemerintah, bisnis, atau medis. Karena di perguruan tinggi tidak ada program yang mapan yang mengkombinasikan bidang-bidang tersebut, para instruktur secara khusus harus mengajari diri mereka sendiri bagian yang penting dari apa yang ingin mereka ketahui. Persiapan semacam ini seringkali tidak memadai.... (1988:5).
Dengan melihat kondisi obyektif, maka langkah inovatif untuk pelatihan staf pengajar dalam menginjeksi pengetahuan etika bisnis dan profesi sangat penting untuk dilakukan. Rekomendasi yang diberikan oleh McDonald dan Donleavy (1995) dan Schaupp dan Lane (1992) perlu juga diperhatikan dalam meracik model pelatihan yang kreatif dan inovatif.
Strategi-strategi di atas pada dasarnya adalah strategi yang digunakan untuk menciptakan “Sang Lain” (the other atau generalized other) (dalam konsep Interaksionisme Simbolik). “Sang Lain” akan masuk dan diserap oleh “Aku” (“Me”) (lihat Mead 1934; Charon 1979). Dengan cara ini “Aku” akan selalu basah dengan nilai-nilai etika. Untuk selanjutnya “Aku” dapat berinteraksi dengan “Saya” (“I”); diharapkan bahwa “Aku” dapat mempengaruhi “Saya” pada saat mengambil keputusan atau melakukan aksi. Dan untuk selanjutnya akan tercipta realitas bisnis yang sarat dengan nilai-nilai etika.
Dari sudut pandang etika al-Ghazali, strategi-strategi di atas dapat dijustifikasi, karena pada dasarnya strategi tersebut berkenaan dengan pengembangan dan transfer ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam system etika al-Ghazali adalah salah satu bagian yang utama. Tanpa ilmu pengetahuan tidak mungkin ada moralitas. Atau, paling tidak, dengan ilmu pengetahuan akan tercipta, seperti yang dikatakan oleh (Mintz 1996:68), moral perception dan moral judgment.
Ilmu pengetahuan merupakan hasil dari fungsi akal sebagai fakultas rasional yang dimiliki oleh manusia. Akal (‘Aql) bagi al-Ghazali adalah entitas transcendental yang dapat memahami dan mengetahui (Umar-ud-din 1991:78). Ilmu pengetahuan itu sendiri menurut al-Ghazali ada dua macam ,yaitu: ‘Ilm al-Mu’amala (science of onduct) dan ‘Ilm al-Mukashafa (intuitive knowledge) (Umar-ud-din 1991:108). Pada dasarnya ilmu yang pertama berkait erat dengan pergaulan manusia dengan manusia lainnya. Sedangkan ilmu yang kedua - dan ‘Ilm al-Mukashafa-berkait erat dengan Tuhan, yaitu:
sebuah kepastian yang tidak lain adalah cahaya yang ditanamkan Tuhan pada hati ketika hati tersebut dibersihkan dari keburukan dan diisi dengan kebaikan melalui ‘ilm al-mu’amala. ‘Ilm al-mukashafa adalah ilmu yang berhubungan dengan Tuhan dan yang gaib. Basisnya adalah penglihatan dan pengalaman langsung (Umar-ud-din 1991:130).
Dalam dunia sufi, ilmu ini dinamakan ‘ilm al-khudduri atau ‘ilm al-laddunniy. Ilmu ini tidak bisa dipelajari, tetapi diperoleh atau hadir pada seseorang karena hatinya suci dan dekat dengan Tuhan (lihat Umar-ud-din 1991:130). ‘Ilm-al-Mukashafa, bila kita hubungkan dengan Gambar 3, berada pada lokus kalbu dan ruh; bukan lagi pada tingkat akal. Namun demikian, strategi (awal) di atas lebih ditekankan pada tingkat akal dengan tujuan agar terbentuk moral perception dan moral judgement. Strategi selanjutnya harus diarahkan pada pembentukan moral intention dan moral action. Dua hal ini terkait dengan tingkat metafisik yang lebih tinggi, yaitu kalbu.
Namun, sebelum menginjak pada tingkat ini, strategi berikutnya dikaitkan dengan unsur nafsu dan akal melalui sebuah proses yang dinamakan social interaction process.

g. Social Interaction Process
Pada proses ini strategi pendidikan diarahkan pada pengendalian nafsu dan akal dalam konteks interaksi sosial. Proses ini diperlukan agar nafsu dapat dikendalikan oleh akal, sehingga seseorang dapat mengendalikan diri, menumbuhkan moral intention, dan melakukan moral action melalui interaksi sosial. Strategi pada proses ini bersifat individual dan kolektif.

5.     Melakukan Aksi Individu Psikologis-Ritual
Strategi ini dapat dilakukan secara individual oleh seseorang dalam rangka melakukan latihan secara intensif pengendalian nafsu. Agama dapat memberikan petunjuk bagaimana seseorang dapat mengendalikan diri. Dalam tradisi Islam, latihan pengendalian nafsu ini dapat dilakukan misalnya melalui puasa.
Pengendalian nafsu sangat penting, mengingat nafsu merupakan salah satu penghambat internal bagi seseorang untuk menumbuhkan moral intention dan melakukan moral action. Jadi, meskipun seseorang memiliki moral perception dan moral judgment yang baik, jika ia tidak mampu mengendalikan nafsunya, maka moral perception dan moral judgment tersebut sama sekali tidak berfungsi. Artinya, nafsu yang tidak terkendalikan akan menghambat terciptanya moral action.

6.     Mengintegrasikan Aktivitas Mahasiswa dengan Kesadaran Etika
Strategi ini masih terkait dengan latihan pengendalian nafsu dan akal melalui interaksi sosial, yaitu aktivitas mahasiswa dengan berbagai wadah organisasi yang ada dalam lingkungan kampus atau di luar kampus. Mengaktifkan mahasiswa dalam berbagai bentuk kegiatan di kampus (misalnya melalui senat mahasiswa, pencinta lingkungan alam, musik, bela-diri, remaja masjid, dan lain-lainnya) akan sangat membantu bagaimana mereka mempersepsikan dan memberikan judgment terhadap sebuah aksi.
Dalam pandangan Interaksionisme Simbolik, seseorang sebelum melakukan aksinya, terlebih dahulu mencari makna dari obyek yang sedang dihadapinya. Sedangkan makna itu sendiri sangat tergantung pada pre-conception yang dimiliki oleh orang tadi (lihat Blumer 1969). Jika seseorang memiliki moral perception, maka ia melalui interaksi sosial yang dilakukannya mampu memberikan moral judgment. Juga melalui interaksi sosial yang kompleks (misalnya masyarakat mahasiswa yang sangat heterogen dan kompleks) individu yang bersangkutan ditantang untuk melakukan moral action atau tidak. Artinya, moral perception yang dimiliki tidak mampu diaktualisasikan menjadi moral action karena kekuatan eksternal terlalu kuat dan faktor internal tidak mampu untuk menahan kekuatan eksternal. Atau, faktor eksternal mempunyai kekuatan besar mempengaruhi seseorang untuk melakukan moral action dan faktor internal mendukung untuk melakukan aksi itu.
Aktivitas mahasiswa lainnya dapat juga digunakan sebagai sarana dalam mengasah unsur metafisik dirinya. Misalnya, musik dan seni akan sangat membantu dalam mengasah feelings agar menjadi lembut, indah, dan damai. Kegiatan pencinta lingkungan alam dapat mengasah jiwa mahasiswa untuk mencintai dan memelihara lingkungan. Dan banyak kegiatan mahasiswa lainnya yang sangat bermanfaat dan dapat diintegrasikan pada pembentukan “diri” yang etis.

h. Spiritual Process
Proses ini pada dasarnya untuk menciptakan divine consciousness pada “diri” manusia. Artinya, moral action yang dilakukan oleh manusia kepada manusia lain dan alam sebetulnya tidak cukup; karena bila demikian, maka apa yang dilakukan manusia hanya bersifat profan. Padahal secara fitrah, manusia memiliki unsur profan dan unsur ketuhanan (ruh). Bila unsur ketuhanan ini dilupakan, maka manusia akan merasa teralienasi dengan dirinya sendiri dan lingkungannya; dan, akhirnya kerusakan yang akan timbul.
Untuk itu strategi yang perlu dilakukan di sini adalah strategi yang digunakan untuk mengasah unsur kalbu dan menyucikan ruh. Ketika dua unsure metafisik ini telah dicerahkan, maka tidak saja manusia tadi dapat melakukan moral action, tetapi juga sekaligus “kesadaran ketuhanan” (divine consciousness) yang akan memberinya keselamatan dunia dan akhirat.

7.     Mengaktifkan Aktivitas Kontemplasi dan Dzikir
Ilmu pengetahuan tentang etika bisnis dan profesi merupakan unsur eksoteris (bentuk luar) dari moralitas atau etika. Unsur eksoteris ini tidak akan pernah eksis bila tidak ada unsur esoteris (bentuk dalam). Untuk itu diperlukan jalan spiritual (tariqat) yang dapat “menghidupkan” jiwa manusia dengan cara kontemplasi (meditasi) dan dzikir.
Aktivitas ini dimaksudkan untuk mengasah kalbu dan ruh agar tetap suci.  Unsur ini adalah unsur yang menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhan. Bila unsur ini “terkontaminasi” (dengan perbuatan dosa, misalnya), maka unsure ini tidak dapat melakukan “kontak” dengan Tuhan, apalagi untuk mendapatkan ‘Ilm al-Mukashafa dan “kesadaran ketuhanan.”
Manusia mempunyai potensi untuk mendapatkan “kesadaran ketuhanan,” karena unsur-unsur metafisik manusia merupakan refleksi dari Realitas Absolut, yaitu Tuhan itu sendiri. Atau, manusia itu merupakan salah satu manifestasi dari, menurut Hindu Brahman:
magnitute dari benda-benda (termasuk manusia) dan peristiwa sekitar kita tidak lain adalah manifestasi yang berbeda dari realitas yang sama. Realitas ini, disebut Brahman, adalah konsep tunggal... Brahman, realitas tertinggi, dipahami sebagai “jiwa,” atau esensi dalam dari semua benda (Capra 1975:77).
Pandangan yang senada juga bisa ditemukan pada tradisi Budha, Cina, dan Zen (lihat Capra 1975).
Capra (1996:7) memahami hal tersebut dihubungkan dengan konsep deep ecology. Konsep ini adalah konsep yang bersifat spiritual seperti yang dikatakannya di bawah ini:
...deep ecological awareness is spiritual or religious awareness. When the concept of the human spirit is understood as the mode of consciousness in which the individual feels a sense of belonging, of connectedness, to the cosmos as a whole, it becomes clear that ecological awareness is spiritual in its deepest essence. It is, therefore, not surprising that the emerging new vision of reality based on deep ecological awareness is consistent with the so-called perennial philosophy of spiritual tradition


Pendapat Capra (1996) tentang realitas yang spiritual (ruh dalam diri manusia) tidak bertentangan dengan tradisi Islam paling tidak menurut Iqbal (lihat Danusiri 1996:44) - yang melihat realitas sebagai suatu entitas yang tidak terpisah-pisah.
Menurut tradisi Islam, realitas bersifat hierarkhis (lihat Nasr 1993; Bakar 1994; Triyuwono 1997, 1998) yang terdiri dari: realitas materi, realitas psikis, realitas spiritual, asma’ sifatiyyah (atribut Tuhan), Realitas Absolut (Tuhan), berturut-turut dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. Antara realitas
yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan atau interconnected (menurut istilah Capra (1996).
Tingkatan-tingkatan realitas tersebut diciptakan Tuhan agar manusia dapat mengenal Tuhannya (Bakar 1994:36). Untuk itu, Tuhan menciptakan realitasrealitas lain yang lebih rendah dari DiriNya dan sebagai refleksi dari DiriNya. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang aneh bahwa ilmu pengetahuan, dalam tradisi Islam, dibangun untuk mengenal Tuhan sebagai Realitas Nyata.
Cara yang dapat dilakukan manusia agar ia dapat menghubungkan unsure kalbu dan ruhnya kepada Tuhan adalah dengan kontemplasi dan dzikir. Krishna (1998) menawarkan cara meditasi yang menarik, yaitu dengan menggunakan meditasi Zen. Krishna (1998) memberikan langkah-langkah yang sangat praktis untuk melakukan meditasi a la Zen. Tahapan-tahapan metaforis meditasi Zen, sebagaimana yang diungkapkan oleh Krishna (1998), meliputi: mencari sapi yang hilang, menemukan jejak sapi, melihat ekor sapi, menjinakkan sapi, terjinakkannya sapi, pulang ke rumah, menikmati ketenangan, keheningan,
kembali ke sumber, dan mengunjungi pasar. Tujuan dari meditasi ini tidak lain adalah “pencerahan” pada diri seseorang.
Islam juga memiliki tradisi yang sama, yaitu melalui sufisme. Valiuddin (1996:37-8) memberikan beberapa tahapan bagi seseorang yang mencari (menuju) Tuhan. Setelah seseorang menyucikan jasmaninya sebagaimana telah ditetapkan dalam syari’ah, maka tahap-tahap selanjutnya adalah: penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), penyucian kalbu (tashfiyah al-qalb), pengosongan jiwa (takhalliyah assirr), dan pencerahan ruh (tajalliyah ar-ruh). Penyucian jiwa adalah menyucikan diri seseorang dari kecendrungan-kecendrungan hewani, sifat-sifat tidak terpuji, buruk, dan tercela. Setelah tahap ini dilewati, maka langkah selanjutnya adalah menyucikan hati, yaitu menghapuskan hati dari kecintaan dan kenikmatan duniawi yang terlalu berlebihan. Kemudian, langkah berikutnya adalah pengosongan jiwa, yaitu suatu usaha mengosongkan segala pikiran yang dapat mengganggu aktivitas dzikir (ingat) kepada Allah. Setelah langkah ini, maka berikutnya adalah pencerahan ruh, yaitu mengisi ruh dengan cahaya dan cinta Allah.
Istilah pentahapan (lebih ditekankan pada aspek “pencapaian”) lain bisa kita lihat misalnya, tahap syari’ah (jalan eksoteris), tariqat (jalan esoteris, atau jalan spiritual), hakikat, dan ma’rifat. Secara ideal seseorang dapat mencapai tingkat ma’rifat. Pada tingkat ini seseorang dapat disebut the sufi. Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud menjadikan semua mahasiswa menjadi seorang sufi. Tetapi paling tidak, seorang mahasiswa melakukan perjalanan ini pada tingkat tariqat. Tanpa jalan spiritual ini kita sulit mengharapkan adanya perubahan perilaku, yaitu dari perilaku non-etis ke perilaku etis.

Penutup
Dari diskusi di atas dapat kita pahami bahwa strategi untuk menciptakan perilaku etis (yang terwujud dalam bentuk moral action), tidak dapat dilakukan hanya sekedar memberikan pendidikan etika bisnis dan profesi, tetapi harus dibarengi dengan strategi lain yang bersifat spiritual.
Pendidikan dengan memberikan ilmu pengetahuan etika bisnis dan profesi adalah pendidikan pada aspek akal. Ilmu pengetahuan dapat memberikan petunjuk dan membedakan mana moral action dan mana yang tidak. Akal dapat menerima ilmu pengetahuan ini dan ia juga dapat mengembangkannya. Dengan cara ini akal dapat hidup dan tumbuh “sehat.” Selain itu, “pendidikan” terhadap nafsu juga harus dilakukan, yaitu dengan pengendalian diri.
Strategi lain yang berkenaan dengan kalbu, dan ruh juga harus dilakukan.  Dua unsur ini yang akan menghubungkan manusia kepada Tuhan. Strategi yang dilakukan adalah bersifat spiritual dengan tujuan untuk memperoleh “kesadaran ketuhanan.”
Dengan memfusikan semua strategi di atas, maka diharapkan “diri” seseorang tidak saja menjadi “diri” yang sarat dengan nilai etika (yang diwujudkan dalam bentuk moral action), tetapi juga “diri” yang memiliki “kesadaran ketuhanan.”



 

Daftar Pustaka

Triyuwono Iwan. 2002. Strategi Pendidikan Etika Bisnis dan Profesi Pada Pendidikan Akuntansi.  Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar