BAB VII
STRATEGI PENDIDIKAN ETIKA BISNIS DAN
PROFESI
PADA PENDIDIKAN AKUNTANSI
7.1 Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya bertujuan
mencerdaskan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki
kesehatan jasmani dan rohani, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, dan
memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dengan tujuan
pendidikan seperti di atas, sistem pendidikan tidak sekedar berorientasi pada
pasar, tetapi (yang lebih penting) juga bagaimana pendidikan bisa menciptakan
pribadi yang mulia. Pendidikan modern, disadari atau tidak, dibangun
berdasarkan pada etika utilitarianisme yang berorientasi pada pencapaian
utilitas materi yang hedonis. Corak ini direfleksikan oleh institusi pendidikan
yang berperilaku sebagai perusahaan dengan berbagai macam program studi. Minat
masyarakat biasanya terarah pada program studi yang mudah diserap oleh pasar
tenaga kerja. Oleh karena itu, institusi pendidikan mengerahkan potensi yang
dimilikinya untuk menjual program studi yang saleable.
Dengan corak ini, institusi
pendidikan tidak dapat mengisi kawasan sikap dan pembentukan sikap dengan
nilai-nilai etika yang dapat memanusiawikan manusia, “memanusiawikan” ilmu dan
praktik ilmu pengetahuan. Institusi pendidikan tidak mampu menyeimbangkan
manusia menjadi mahluk yang peka, sadar, dan mampu menghayati nilai-nilai yang
terkandung dalam keesaan Tuhan, kemanusiaan yang beradab, sadar akan lingkungan
alam semesta, dan apalagi membentuk kesadaran ketuhanan (divine consciousness)
pada diri manusia. Ini, secara implisit, juga menunjukkan bahwa upaya
menyiapkan sarana pembentukan manusia yang seimbang (yang memahami bahwa di
samping alam materi dan alam ide terdapat juga alam nilai dan alam spiritual di
mana semuanya harus dipahami oleh, dan terkandung dalam kepribadian dan
karakter, manusia yang bersangkutan) menjadi terabaikan.
Substansi pendidikan adalah
mentransformasi perilaku manusia menjadi perilaku yang positif yang peka dan
sadar akan hakikat sejati dirinya. Untuk itu, pendekatan internal (psikologis)
dan eksternal (struktur dan tatanan sosial) sangat diperlukan untuk
mentransformasi “diri” (self) manusia. Tulisan ini dimaksudkan untuk
mendiskusikan beberapa strategi pendidikan etika bisnis dan profesi akuntansi
dalam rangka menciptakan masyarakat madani (civil society). Pembahasan
dimulai dengan diskusi tentang “diri” manusia dengan pendekatan teori
interaksionisme simbolik (symbolic interactionism) dan teori etika al-Ghazali.
Diskusi tentang “diri” dimaksudkan untuk memahami secara mendalam tentang
hakikat “diri” dan sekaligus mencari strategi bagaimana membentuk “diri” yang
utuh. Berikutnya, diskusi akan diarahkan pada strategi itu sendiri yang terkait
dengan unsur metafisik manusia, yaitu: nafsu, akal, hati, dan
ruh.
“Diri”
(Self): Tinjauan dari Teori Interaksionisme Simbolik dan Etika
al-Ghazali
Bagian ini mendiskusikan konsep
“diri” dari sudut pandang teori Interaksionisme Simbolik dan teori Etika
al-Ghazali. “Diri” merupakan elemen penting manusia, karena perilaku manusia
merupakan ekspresi dan eksternalisasi dari nilai yang terkandung dalam “diri.”
a. Interaksionisme
Simbolik
Manusia, menurut Mead (1934:135-44),
mampu berperilaku (melakukan tindakan) dan menginterpretasikan tindakan sosial
(social acts) dan obyek sosial (social objects) karena manusia
memiliki “diri” (self). “Diri” adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang
melakukan tindakan terhadap sesuatu, yaitu simbol atau obyek sosial (Charon
1979:81). Konsep tentang “diri” dalam Interaksionisme Simbolik memegang peranan
penting karena “diri” mampu mengarahkan, mengontrol dan menilai seorang
individu sebagai anggota masyarakat untuk melakukan suatu tindakan sebagai
respon terhadap lingkungannya. Dalam proses tersebut, “diri” dapat bertindak
sebagai subyek, yaitu “saya” (“I”) atau sebagai obyek, yaitu “aku” (“me”)
dalam waktu yang bersamaan.
Mead (1934:173-5) berpendapat bahwa
“saya” pada dasarnya mewujudkan respon yang dilakukan seseorang atas perilaku
orang lain. “Saya” merupakan bagian yang bersifat aktif dan bebas melakukan
suatu tindakan atau berperilaku. Sedangkan “aku” adalah bagian yang lain yang
menunjukkan sekumpulan perilaku (orang) lain yang dapat berupa adat, sikap,
nilai sosial, dan lain sebagainya. “Saya” dapat memulai sebuah stimulus dan “aku”
mengamati realitas atau stimulus ketika dilakukan atau dialami oleh “sang lain”
(the other).
Seorang individu dapat saja bertindak
sebagai “saya” dan “aku” pada saat yang bersamaan untuk melakukan sebuah
tindakan. “Aku,” melalui pengamatan diri sendiri atas tindakan tersebut dan
dengan jalan menghubungkannya dengan pengalaman masa lampau tindakan orang
lain, membentuk perilaku “saya.” Dalam memberikan pengarahan kepada “saya”
tentang bagaimana seharusnya berperilaku dalam situasi tertentu, “aku” bertindak
seolah-olah sebagai orang luar yang memberikan pengarahan kepada individu yang
bersangkutan (Fisher 1986:232). Secara sederhana interaksi antara “saya” dan
“aku” ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 7.1
b. Elemen “Diri” dan
“Sang Lain”
Menurut Fisher (1986:232), proses ini
[disebut sebagai proses penunjukan diri (self indication), yaitu proses
pengalaman dan penafsiran yang secara inheren merupakan proses sosial],
memungkinkan seorang individu untuk melintasi situasi yang dihadapinya pada
saat itu dan melampaui batas-batas pengalaman individu, baik pada masa lampau
maupun pada masa sekarang.
“Saya,” sebagai subyek yang aktif,
melakukan tindakan, sedangkan “aku” sebagai obyek yang berisi kesadaran
individu yang bersangkutan, pengalaman “saya” pada masa lampau, dan pengalaman
orang lain yang diamatinya-tetap ada mendampingi “saya.” Ketika “saya”
berbicara, maka “aku” mendengarkan apa yang dibicarakan oleh “saya.” Atau, jika
“saya” memukul, maka “aku” akan merasakan pukulan tersebut. Proses ini adalah
proses introspeksi diri yang sifatnya sosial. Hanya dengan proses ini, seorang
individu akan mengalami proses perkembangan diri, yaitu terutama melalui
interaksi dengan orang lain, menuju pada pembentukan “diri.” Seorang individu,
melalui tindakannya, mengembangkan pembendaharaan respon dan penafsiran tidak
hanya melalui pengamatan atas tindakannya sendiri, tetapi juga melalui tindakan
orang lain (Fisher 1986:233).
Illustrasi di atas secara implisit
menunjukkan bahwa “diri,” terutama unsure “aku” adalah bersifat sosial (Charon
1979:82). Maksudnya adalah bahwa “aku” mengalami proses interaksi dengan yang lain,
yaitu bahwa “aku” merupakan obyek yang timbul dari proses interaksi dan bahwa
seorang berkomunikasi, menilai, mengidentifikasi dan menganalisa melalui
interaksi dengan “sang lain” (Charon 1979:82). “Sang lain” tidak lain adalah “the
generalised other,” yaitu istilah Mead (1934:154) untuk menunjukkan
komunitas atau kelompok sosial yang terorganisir yang membentuk kesatuan “diri”
seseorang. “Sang lain” ini dapat berupa standar, pengharapan, prinsip, norma,
gagasan dan lain-lainnya (Hewitt 1991:102) yang diinternalisasikan ke dalam
“diri” seseorang.
c. Teori Etika
al-Ghazali
Pandangan Interaksionisme Simbolik
terhadap “diri” lebih menekankan pada interaksi sosial, yaitu interaksi “diri”
dengan lingkungannya. Interaksionisme Simbolik tidak dapat memberikan
penjelasan tentang: bagaimana peranan “instrumen internal” menangkap nilai yang
berada di luar dirinya, apa hakikat “diri” manusia, bagaimana hubungan “diri”
manusia dengan manusia lain, dan bagaimana hubungan “diri” manusia dengan dunia
metafisik dan Tuhan.
Manusia pada dasarnya dibuat dari dua
unsur, yaitu: unsur materi (fisik) dan unsur non-materi (jiwa, spiritual
entity). Unsur yang pertama, menurut al-Ghazali, bersifat fana dan berasal
dari tanah; sedangkan yang kedua bersifat baka dan berasal dari Tuhan (divine
origin) dan esensi utama dari manusia ini adalah pada unsur kedua ini.
Al-Ghazali sering menggunakan empat istilah yang selalu terkait dengan istilah
jiwa (soul), yaitu: hati (qalb), jiwa atau “diri” (nafs), spirit
(ruh), dan intellek (‘aql) (Sherif 1975:25; Bastaman 1995:78-9).
Keempat unsur ini oleh Bastaman (1995:78-9) ditafsirkan sebagai unsur
“metafisik.” Sedangkan unsur materi (raga, fisik) dan jiwa (psikis, mental)
sebagai “psikofisik.” Secara sederhana, semua unsur tersebut dapat digambar
dalam skema di bawah ini:
Gambar
7.2
Struktur
“Diri” Manusia
Sumber: Bastaman (1995, 79)
Jika dikaji lebih jauh, maka akan
terlihat bahwa unsur ruh (poin 3) menjembatani “diri” manusia dengan
realitas di atasnya, yaitu: Asma’ Sifatiyyah (atribut-atribut atau
sifat-sifat Tuhan; misalnya, Allah Maha Pencipta, Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, dan lain-lainnya) dan Realitas Absolut (Tuhan), serta sekaligus
pengakuan manusia terhadap keesaan Realitas Absolut (tauhid).
Dengan demikian, realitas-realitas
mikrokosmos (yaitu, materi, psikis, dan spiritual) tidak eksis secara
independen; sebaliknya mereka eksis secara dependen,
integral, dan tidak dapat dipisahkan
dengan Asma’ Sifatiyyah dan Realitas Tertinggi. (Lihat Bakar 1994).
Secara spekulatif kita dapat membuat hierarkhi metafisik manusia seperti gambar
di bawah ini:
Gambar 7.3
d. Hierarkhi Unsur
Metafisik Manusia
Gambar 3 menunjukkan hierarkhi unsur
metafisik manusia berturut-turut dari yang paling rendah (nafsu) ke yang
paling tinggi (ruh). Nafsu adalah dorongan hewani yang agresif
dan erotik yang bila tidak dikendalikan akan menjerumuskan manusia pada derajad
yang serendah-rendahnya (Bastaman 1995:93). Dengan dorongan nafsu ini,
dikendalikan atau tidak, manusia tetap lestari (survive) dan dapat
mempertahankan eksistensinya secara biologis di atas bumi. Tanpa nafsu,
manusia tidak akan eksis di dunia. Ini berarti bahwa nafsu harus tetap
ada dalam diri manusia. Namun keberadaan nafsu ini harus tetap
terkendali, agar eksistensi manusia berada pada posisi yang mulia.
Unsur metafisik kedua adalah akal.
Akal adalah daya pikir atau potensi inteligensia (Bastaman 1995:93). Akal
dapat memberikan penjelasan-penjelasan rasional atas simbol atau fenomena
yang sedang dihadapi oleh manusia. Akal juga dapat memberikan
pertimbangan-pertimbangan rasional bagi manusia dalam mengambil keputusan.
Dengan akal ini pula manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai instrumen yang digunakan untuk mempertahankan dan
meningkatkan eksistensi kehidupannya.
Kalbu, unsur metafisik yang ketiga,
merupakan karunia Tuhan yang halus, indah, mengetahui segala sesuatu, dan
bersifat ruhaniah serta ketuhanan (Bastaman 1995:93). Kalbu, secara
spekulatif, dapat dikatakan sebagai lokus dari sifat ketuhanan. Dengan sifat
ini, kalbu dapat memberikan cahaya Ilahi, yaitu cahaya kebenaran yang
mampu memberikan petunjuk pada akal dan nafsu manusia kepada arah
yang benar. Namun kalbu dapat tertutup oleh debu-debu sejarah dan sosial
(yaitu, dosa-dosa) sehingga ia tidak mampu memancarkan sinar Ilahinya untuk
memberikan petunjuk. Kalbu juga merupakan lokus dari perjanjian
primordial manusia dengan Penciptanya, yaitu suatu pengakuan dari manusia
tentang Tuhan Pencipta alam semesta (termasuk diri manusia itu sendiri). Konsekuensi
dari perjanjian primordial ini adalah adanya potensi manusia untuk percaya
kepada Tuhan pencipta alam semesta. Dengan potensi ini, sebetulnya tidak ada
manusia yang atheis, karena manusia yang mengaku dirinya atheis sebetulnya
telah menjadikan atheisme sebagai tuhan mereka. Jadi pada dasarnya mereka juga
bertuhan.
Unsur metafisik keempat adalah ruh.
Ruh adalah nyawa atau sumber hidup manusia atau sesuatu yang halus,
indah, dan mengetahui segala sesuatu (Bastaman 1995:93). Ruh adalah
“bagian” dari Tuhan. Oleh karena itu, ia dalam diri manusia bersifat fitrah
(suci) dan “selalu mencari pengetahuan tentang Tuhan dan jalan ketuhanan
sebagai bekal kembali lagi kepadaNya” (Bastaman 1995:78).
e. Strategi Pendidikan
Etika
Pemahaman “diri” berdasarkan pada dua
teori di atas sangat penting, karena strategi pendidikan etika bisnis dan
profesi akuntansi berdasarkan pada dua teori tersebut. Atau, dengan kata lain,
strategi pendidikan dikaitkan dengan unsure metafisik manusia dan “Sang Lain” (the
other). Strategi yang digunakan dalam tulisan ini pada dasarnya diarahkan
pada intellectual-psychological process atau menurut istilah Rest
(1986:3-4) psychological process (lihat juga Mintz 1996:68), social
interaction process, dan spiritual process.
f. Intellectual-Psychological
Process
Intellectual-psychological process diarahkan pada pengasahan unsur akal
pada “diri” manusia. Akal perlu memiliki persediaan knowledge of
ethics yang cukup sehingga ia akhirnya mampu membedakan tindakan etis dan
non-etis. Akal tidak sekedar mampu mengenal knowledge of ethics,
tetapi juga mampu mengolah dan mengembangkan ilmu tersebut. Dengan ilmu dan
kemampuan ini secara psikologis “diri” akan merubah perilakunya sesuai dengan
nilai etika yang diperolehnya.
Proses ini menurut Rest (1986:3-4)
meliputi:
1)
Orang
tersebut harus mampu mengidentifikasi aksi-aksi alternative dan bagaimana alternatif
tersebut mempengaruhi kesejahteraan pihak-pihak yang berkepentingan.
2)
Orang
tersebut harus mampu menilai (judge) aksi mana yang seharusnya dilakukan
dalam sebuah kondisi karena aksi tersebut secara moral benar (atau wajar atau
adil atau secara moral baik).
3)
Orang
tersebut harus berniat (intend) untuk melakukan apa yang secara moral
baik dengan memberikan prioritas pada nilai-nilai moral di atas nilai-nilai
pribadi.
4)
Orang
tersebut harus memiliki ketekunan yang memadai, kekuatan ego, dan implementasi
keterampilan yang sanggup dilakukan melalui niat yang dimilikinya untuk
berperilaku etis, menahan kepenatan dan semangat yang mengendor, serta untuk
mengatasi rintangan.
Empat hal tersebut di atas berkenaan
dengan moral perception, moral judgment, moral intention,
dan moral action etis (Mintz 1996:68). Moral perception dan moral
judgment berkenaan dengan bagaimana seseorang memikirkan isu-isu etika dan
bagaimana kedua hal tersebut memiliki pengaruh eksternal dan internal terhadap
pengambilan keputusan yang etis (Mintz 1996:68). Jadi moral perception dan
moral judgment ini berkait erat dengan intellektual. Sedangkan dua hal yang
terakhir, yaitu moral intention dan moral action, merupakan unsur
psikologis dari “diri” tentang pentingnya berperilaku etis. Artinya, memiliki moral
perception dan moral judgment skill saja sebetulnya tidak cukup
untuk mempengaruhi “diri” berperilaku etis. Kedua hal tersebut harus dibarengi
dengan moral intent yang kemudian diaktualisasi dalam bentuk moral
action (lihat Mintz 1996:69).
Dalam wacana pendidikan etika
(profesi) akuntansi, moral perception dan moral judgment menjadi
perhatian yang sangat utama (Mintz 1996:68). Artinya, pendidikan etika
akuntansi sementara ini hanya diarahkan pada pembentukan moral perception dan
moral judgment. Sedangkan moral intention dan moral action belum
terjamah.
Pada intellectual-psychological
process ini ada lima strategi yang harus dilakukan. Masing-masing strategi
dijelaskan seperti di bawah ini.
1)
Memberikan Pengajaran dengan Materi Etika Bisnis dan Etika Profesi
Pembetukan moral
perception dan moral judgement tetap relevan. Oleh karena
itu, strategi pemberian matakuliah Etika Bisnis dan Etika Profesi pada fakultas
ekonomi atau jurusan akuntansi juga tetap relevan. Strategi ini banyakdilakukan
oleh banyak perguruan tinggi di luar negeri (lihat misalnya Hoffmann and Moore
1982; George 1987; Singh 1989). Jika dilihat dari type of coveragenya (artinya,
apakah materi etika bisnis atau etika profesi tersebut disajikan dalam satu
matakuliah khusus dan terpisah atau secara inheren masuk ke dalam setiap matakuliah
akuntansi), maka hasil penelitian Chua, Perera, dan Mathews (1994:378-9) - yang
dilakukan di Selandia Baru dan Australia-menunjukkan bahwa sebagian besar
jurusan akuntansi menyajikan materi etika sebagai bagian dari setiap matakuliah
akuntansi1, bukan sebagai matakuliah tersendiri dan terpisah (lihat juga McNair
dan Milam 1993). Penelitian Chua, Perera, dan Mathews (1994) ini mendukung
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Karnes dan Sterner (1988), Cohen dan
Pant (1989), serta Armstrong dan Mintz (1989).
Konsekuensi
dari penyajian etika sebagai bagian yang inheren dalam setiap matakuliah
akuntansi adalah bahwa materi etika menjadi materi yang compulsory, bukan
elective (Chua, Perera, dan Mathews 1994:380). Sedangkan teknik pendidikan
yang banyak dilakukan adalah berturut-turut, pendekatan kuliah, studi kasus,
dan diskusi.
1.
Merekonstruksi Materi Matakuliah Dasar Umum
Banyak orang berpendapat
bahwa sistem pendidikan di Indonesia terlalu banyak memasukkan
matakuliah “sponsor” yang bila dilihat materinya tidak terlalu relevan dengan
program studi akuntansi, ekonomi, dan manajemen. Matakuliah tersebut-yang
mencapai sepuluh kredit - adalah Agama, Pancasila, Kewiraan, Ilmu Sosial Dasar,
dan Ilmu Alamiah Dasar, yang semuanya adalah jenis matakuliah “independen” dan
“menguap” setelah mahasiswa mendapatkan matakuliah ini.
Matakuliah
dasar umum ini sebetulnya memiliki aspek positif bila direkonstruksi sedemikian
rupa sehingga matakuliah tersebut relevan dengan program studi akuntansi,
ekonomi, dan manajemen. Matakuliah Agama misalnya, tidak mempunyai makna
bagi praktik akuntansi, ekonomi, dan manajemen, karena ia disampaikan
mentah-mentah secara normatif dan tekstual. Oleh karena itu, penafsiran kontekstual
terhadap ayat-ayat suci yang terkait dengan bisnis sangat diperlukan, sehingga
agama benar-benar dapat turun ke bumi dan dapat dijadikan nilai dalam melakukan
aksi bisnis.
Matakuliah
Pancasila dan Kewiraan juga dapat digali nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, sehingga kedua matakuliah ini tidak murni normatif. Dengan kata lain,
materi matakuliah ini diturunkan ke dalam konteks ekonomi dan bisnis dengan
nilai keIndonesiaan.
Sedangkan
materi Ilmu Sosial Dasar dapat diturunkan ke dalam konteks nilai-nilai sosial
dan etika masyarakat Indonesia (yang kaya akan suku bangsa) dalam melakukan
aksi ekonomi dan bisnis. Materi ini bisa diarahkan pada, misalnya, etika bisnis
dari etnis Bugis, Cina, Madura, Padang, dan suku bangsa lainnya di Indonesia. 1
Matakuliah yang dimaksud adalah auditing, teori akuntansi, akuntansi
keuangan, business law, variety of cources (terdiri dari economics,
behavioral accounting, dan accounting workshop), pengantar akuntansi,
perpajakan, internal auditing, akuntansi manajemen, professional
accounting, business policy, intermediate accounting, dan accounting
information system. Dari beberapa matakuliah tersebut yang paling banyak
muatan etikanya adalah auditing, teori akuntansi, akuntansi keuangan,
dan seterusnya. sesuai dengan urutan di atas.
Materi
Ilmu Alamiah Dasar dapat dikembangkan dan dikaitkan dengan akuntansi lingkungan
(green accounting), ekonomi sumber daya alam, serta manajemen lingkungan
(environmental management) dan sumber daya alam. Kontekstualisasi
matakuliah ini pada dunia bisnis sangat penting dan relevan mengingat
kecenderungan dunia bisnis yang utilitarian merusak lingkungan alam (lihat
Capra 1997; Dento 1994).
2.
Merekonstruksi Ilmu Pengetahuan Bisnis dan Akuntansi
Strategi
ketiga ini merupakan strategi yang sangat ideal dan bersifat jangka panjang.
Hal ini karena ilmu pengetahuan bisnis dan akuntansi (dan ilmu pengetahuan
modern lainnya secara umum) mengklaim dirinya sebagai ilmu pengetahuan yang
bebas-nilai (value-free). Ilmu semacam ini tidak dapat menjamin bahwa
individu yang mempelajari dan mempraktikkannya menggunakan pertimbangan etika.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan bisnis dan akuntansi perlu direkonstruksi,
sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang sarat-nilai. Langkah ini dapat dilakukan
dengan menggunakan pandangan ontologi dan epistemologi dari paradigma kritikal
(Burrell and Morgan 1979; Chua 1986) serta posmodernisme (Rosenau 1992).
Pandangan
yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bisnis dan akuntansi bebas nilai
sebetulnya dapat diperdebatkan. Karena dalam kenyataannya ilmu tersebut
berdasarkan pada sebuah nilai etika, yaitu etika utilitarianisme (lihat Chryssides
and Kaler 1993; Etzioni 1992). Etika utilitarianisme (dari Jeremy Bentham)
menekankan hasil dari sebuah perbuatan. Sepanjang perbuatan tersebut dapat
memaksimalkan utilitas, maka perbuatan tersebut dianggap etis (tanpa
memperhatikan cara atau proses pencapaian utilitas tersebut). Utilitas bagi
etika ini, adalah happiness atau pleasure yang hedonis
(Chryssides and Kaler 1993). Etika utilitarianisme cenderung mendorong perilaku
seseorang ke arah pemenuhan personal interests daripada kepentingan
orang banyak. Oleh karena itu, pencarian nilai etika yang lebih baik sangat
diperlukan. Pencarian ini dapat dilakukan dengan cara melakukan analisa dan
sintesa terhadap teori etika lainnya, seperti: deontologisme (Immanuel Kant), natural
law (John Locke) (Chryssides and Kaler 1993), theological ethics,
dan religious ethics (Umar-ud-din 1991; Fakhry 1996). Dari hasil sintesa
tersebut, kemudian dapat dijadikan dasar bagi konstruksi ilmu pengetahuan
bisnis dan akuntansi.
Namun,
sekali lagi, strategi ini untuk jangka pendek tidak praktis. Bentuk ilmu
pengetahuan baru dengan paradigma yang baru tidak akan terjadi dalam waktu
singkat. Untuk melakukan perubahan bentuk ilmu ini memerlukan wacana yang
intensif.
3.
Mengintensifkan Wacana Etika Bisnis dan Etika Profesi
Wacana
etika bisnis dan etika profesi akuntansi (dalam bentuk apapun, misalnya, jurnal
ilmiah, lokakarya, simposium, dan bahkan dalam bentuk matakuliah) di Indonesia
masih sangat minim. Padahal wacana ini sangat penting untuk mensosialisasikan
etika, baik bagi mahasiswa, staf pengajar, maupun masyarakat bisnis secara
umum. Tanpa wacana ini, kita akan mengalami kesulitan untuk menemukan moral
perception, alih-alih moral action, pada masyarakat.
Wacana
etika ini secara ideal tidak saja berbicara etika bisnis dan profesi secara
global, yaitu mencari nilai universal etika bisnis, tetapi juga diarahkan pada
upaya pengangkatan nilai-nilai lokal yang bersifat keIndonesiaan, sebagaimana
disinggung pada strategi kedua. Pengangkatan nilai-nilai lokal ini (untuk
diposisikan sejajar dengan etika bisnis modern yang “universal”) sangat penting,
mengingat, pertama, budaya modernitas cenderung membuat dan memperkuat
logosentrisme, dan sebaliknya memarjinalkan dan bahkan mematikan nilai-nilai
lokal (lihat Sugiharto 1996). Kedua, dengan mengangkat dan
mengaplikasikan nilai-nilai lokal, masyarakat bisnis tidak akan terasing dari nilai
budayanya sendiri. Ketiga, nilai-nilai lokal dapat dijadikan sebagai penyeimbang
bagi nilai “luar” (Barat) yang secara sadar atau tidak masuk ke dan melekat,
dalam ilmu pengetahuan modern yang dipelajari di perguruan tinggi atau melalui
wacana lainnya. Dengan wacana semacam ini jelas akan memperkaya perbendaharaan
etika bisnis dan profesi.
4.
Melakukan Pelatihan Etika Bisnis dan Profesi bagi Staf Pengajar
Staf
pengajar di perguruan tinggi mempunyai peranan yang sangat tinggi dalam rangka
mensosialisasikan etika bisnis dan profesi. Oleh karena itu, sosialisasi akan
terhambat bila staf pengajar tidak mempunyai interest dan pengetahuan
tentang etika bisnis dan profesi. Tidak jarang staf pengajar “melompati” materi
etika profesi yang ada dalam auditing dan intermediate accounting textbooks
karena yang bersangkutan tidak memiliki minat di bidang tersebut. Hasil
penelitian Chua, Perera, dan Mathews (1994:383) menunjukkan bahwa kurangnya
minat staf dan terbatasnya staf yang qualified merupakan kendala yang
cukup besar dalam pendidikan etika bisnis dan profesi di perguruan tinggi.
Sehubungan dengan hal ini McDonald et.al. berkomentar:
Kita semuanya terlalu sering menerima
laporan kuliah di mana instruktur gagal mengangkat anekdot pengajaran dari
etiket profesi, atau murni kewaspadaan deskriptif dari persyaratan legal dan
professional (1989:48).
Pendapat senada juga diberikan oleh
Bok yang mengatakan:
Mata-kuliah etika profesi sulit
diajarkan karena mata-kuliah tersebut membutuhkan persiapan di dua subyek yang
secara keseluruhan berbeda: filsafat moral (atau disiplin yang terkait) dan
beberapa aplikasi praktis seperti peraturan pemerintah, bisnis, atau medis.
Karena di perguruan tinggi tidak ada program yang mapan yang mengkombinasikan
bidang-bidang tersebut, para instruktur secara khusus harus mengajari diri
mereka sendiri bagian yang penting dari apa yang ingin mereka ketahui.
Persiapan semacam ini seringkali tidak memadai.... (1988:5).
Dengan melihat kondisi obyektif, maka
langkah inovatif untuk pelatihan staf pengajar dalam menginjeksi pengetahuan
etika bisnis dan profesi sangat penting untuk dilakukan. Rekomendasi yang
diberikan oleh McDonald dan Donleavy (1995) dan Schaupp dan Lane (1992) perlu
juga diperhatikan dalam meracik model pelatihan yang kreatif dan inovatif.
Strategi-strategi di atas pada
dasarnya adalah strategi yang digunakan untuk menciptakan “Sang Lain” (the
other atau generalized other) (dalam konsep Interaksionisme
Simbolik). “Sang Lain” akan masuk dan diserap oleh “Aku” (“Me”) (lihat
Mead 1934; Charon 1979). Dengan cara ini “Aku” akan selalu basah dengan nilai-nilai
etika. Untuk selanjutnya “Aku” dapat berinteraksi dengan “Saya” (“I”); diharapkan
bahwa “Aku” dapat mempengaruhi “Saya” pada saat mengambil keputusan atau
melakukan aksi. Dan untuk selanjutnya akan tercipta realitas bisnis yang sarat
dengan nilai-nilai etika.
Dari sudut pandang etika al-Ghazali,
strategi-strategi di atas dapat dijustifikasi, karena pada dasarnya strategi
tersebut berkenaan dengan pengembangan dan transfer ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan dalam system etika al-Ghazali adalah salah satu bagian yang utama.
Tanpa ilmu pengetahuan tidak mungkin ada moralitas. Atau, paling tidak, dengan
ilmu pengetahuan akan tercipta, seperti yang dikatakan oleh (Mintz 1996:68), moral
perception dan moral judgment.
Ilmu pengetahuan merupakan hasil dari
fungsi akal sebagai fakultas rasional yang dimiliki oleh manusia. Akal
(‘Aql) bagi al-Ghazali adalah entitas transcendental yang dapat
memahami dan mengetahui (Umar-ud-din 1991:78). Ilmu pengetahuan itu sendiri
menurut al-Ghazali ada dua macam ,yaitu: ‘Ilm al-Mu’amala (science of
onduct) dan ‘Ilm al-Mukashafa (intuitive knowledge)
(Umar-ud-din 1991:108). Pada dasarnya ilmu yang pertama berkait erat dengan
pergaulan manusia dengan manusia lainnya. Sedangkan ilmu yang kedua - dan ‘Ilm
al-Mukashafa-berkait erat dengan Tuhan, yaitu:
sebuah kepastian yang tidak lain
adalah cahaya yang ditanamkan Tuhan pada hati ketika hati tersebut dibersihkan
dari keburukan dan diisi dengan kebaikan melalui ‘ilm al-mu’amala. ‘Ilm
al-mukashafa adalah ilmu yang berhubungan dengan Tuhan dan yang gaib.
Basisnya adalah penglihatan dan pengalaman langsung (Umar-ud-din 1991:130).
Dalam dunia sufi, ilmu ini dinamakan ‘ilm
al-khudduri atau ‘ilm al-laddunniy. Ilmu ini tidak bisa dipelajari,
tetapi diperoleh atau hadir pada seseorang karena hatinya suci dan dekat dengan
Tuhan (lihat Umar-ud-din 1991:130). ‘Ilm-al-Mukashafa, bila kita
hubungkan dengan Gambar 3, berada pada lokus kalbu dan ruh; bukan
lagi pada tingkat akal. Namun demikian, strategi (awal) di atas lebih
ditekankan pada tingkat akal dengan tujuan agar terbentuk moral
perception dan moral judgement. Strategi selanjutnya harus diarahkan
pada pembentukan moral intention dan moral action. Dua hal ini
terkait dengan tingkat metafisik yang lebih tinggi, yaitu kalbu.
Namun, sebelum menginjak pada tingkat
ini, strategi berikutnya dikaitkan dengan unsur nafsu dan akal melalui
sebuah proses yang dinamakan social interaction process.
g. Social Interaction Process
Pada proses ini strategi pendidikan
diarahkan pada pengendalian nafsu dan akal dalam konteks
interaksi sosial. Proses ini diperlukan agar nafsu dapat dikendalikan
oleh akal, sehingga seseorang dapat mengendalikan diri, menumbuhkan moral
intention, dan melakukan moral action melalui interaksi sosial.
Strategi pada proses ini bersifat individual dan kolektif.
5.
Melakukan Aksi Individu Psikologis-Ritual
Strategi
ini dapat dilakukan secara individual oleh seseorang dalam rangka melakukan
latihan secara intensif pengendalian nafsu. Agama dapat memberikan petunjuk
bagaimana seseorang dapat mengendalikan diri. Dalam tradisi Islam, latihan
pengendalian nafsu ini dapat dilakukan misalnya melalui puasa.
Pengendalian nafsu sangat
penting, mengingat nafsu merupakan salah satu penghambat internal bagi
seseorang untuk menumbuhkan moral intention dan melakukan moral
action. Jadi, meskipun seseorang memiliki moral perception dan moral
judgment yang baik, jika ia tidak mampu mengendalikan nafsunya, maka
moral perception dan moral judgment tersebut sama sekali tidak
berfungsi. Artinya, nafsu yang tidak terkendalikan akan menghambat
terciptanya moral action.
6.
Mengintegrasikan Aktivitas Mahasiswa dengan Kesadaran Etika
Strategi
ini masih terkait dengan latihan pengendalian nafsu dan akal melalui
interaksi sosial, yaitu aktivitas mahasiswa dengan berbagai wadah
organisasi yang ada dalam lingkungan kampus atau di luar kampus. Mengaktifkan
mahasiswa dalam berbagai bentuk kegiatan di kampus (misalnya melalui senat
mahasiswa, pencinta lingkungan alam, musik, bela-diri, remaja masjid, dan
lain-lainnya) akan sangat membantu bagaimana mereka mempersepsikan dan
memberikan judgment terhadap sebuah aksi.
Dalam
pandangan Interaksionisme Simbolik, seseorang sebelum melakukan aksinya,
terlebih dahulu mencari makna dari obyek yang sedang dihadapinya. Sedangkan
makna itu sendiri sangat tergantung pada pre-conception yang dimiliki oleh
orang tadi (lihat Blumer 1969). Jika seseorang memiliki moral perception,
maka ia melalui interaksi sosial yang dilakukannya mampu memberikan moral judgment.
Juga melalui interaksi sosial yang kompleks (misalnya masyarakat mahasiswa yang
sangat heterogen dan kompleks) individu yang bersangkutan ditantang untuk
melakukan moral action atau tidak. Artinya, moral perception yang
dimiliki tidak mampu diaktualisasikan menjadi moral action karena
kekuatan eksternal terlalu kuat dan faktor internal tidak mampu untuk menahan
kekuatan eksternal. Atau, faktor eksternal mempunyai kekuatan besar
mempengaruhi seseorang untuk melakukan moral action dan faktor internal
mendukung untuk melakukan aksi itu.
Aktivitas
mahasiswa lainnya dapat juga digunakan sebagai sarana dalam mengasah unsur
metafisik dirinya. Misalnya, musik dan seni akan sangat membantu dalam mengasah
feelings agar menjadi lembut, indah, dan damai. Kegiatan pencinta
lingkungan alam dapat mengasah jiwa mahasiswa untuk mencintai dan memelihara
lingkungan. Dan banyak kegiatan mahasiswa lainnya yang sangat bermanfaat dan
dapat diintegrasikan pada pembentukan “diri” yang etis.
h. Spiritual Process
Proses ini pada dasarnya untuk
menciptakan divine consciousness pada “diri” manusia. Artinya, moral
action yang dilakukan oleh manusia kepada manusia lain dan alam sebetulnya
tidak cukup; karena bila demikian, maka apa yang dilakukan manusia hanya
bersifat profan. Padahal secara fitrah, manusia memiliki unsur profan dan unsur
ketuhanan (ruh). Bila unsur ketuhanan ini dilupakan, maka manusia akan
merasa teralienasi dengan dirinya sendiri dan lingkungannya; dan, akhirnya
kerusakan yang akan timbul.
Untuk itu strategi yang perlu
dilakukan di sini adalah strategi yang digunakan untuk mengasah unsur kalbu dan
menyucikan ruh. Ketika dua unsure metafisik ini telah dicerahkan, maka
tidak saja manusia tadi dapat melakukan moral action, tetapi juga
sekaligus “kesadaran ketuhanan” (divine consciousness) yang akan
memberinya keselamatan dunia dan akhirat.
7.
Mengaktifkan Aktivitas Kontemplasi dan Dzikir
Ilmu pengetahuan tentang etika bisnis
dan profesi merupakan unsur eksoteris (bentuk luar) dari moralitas atau
etika. Unsur eksoteris ini tidak akan pernah eksis bila tidak ada unsur
esoteris (bentuk dalam). Untuk itu diperlukan jalan spiritual (tariqat)
yang dapat “menghidupkan” jiwa manusia dengan cara kontemplasi (meditasi) dan
dzikir.
Aktivitas ini dimaksudkan untuk
mengasah kalbu dan ruh agar tetap suci. Unsur ini adalah unsur yang menjadi
penghubung antara manusia dengan Tuhan. Bila unsur ini “terkontaminasi” (dengan
perbuatan dosa, misalnya), maka unsure ini tidak dapat melakukan “kontak”
dengan Tuhan, apalagi untuk mendapatkan ‘Ilm al-Mukashafa dan “kesadaran
ketuhanan.”
Manusia mempunyai potensi untuk
mendapatkan “kesadaran ketuhanan,” karena unsur-unsur metafisik manusia
merupakan refleksi dari Realitas Absolut, yaitu Tuhan itu sendiri. Atau,
manusia itu merupakan salah satu manifestasi dari, menurut Hindu Brahman:
… magnitute
dari benda-benda (termasuk manusia) dan peristiwa sekitar kita tidak lain
adalah manifestasi yang berbeda dari realitas yang sama. Realitas ini, disebut Brahman,
adalah konsep tunggal... Brahman, realitas tertinggi, dipahami sebagai
“jiwa,” atau esensi dalam dari semua benda (Capra 1975:77).
Pandangan yang senada juga bisa
ditemukan pada tradisi Budha, Cina, dan Zen (lihat Capra 1975).
Capra (1996:7) memahami hal tersebut
dihubungkan dengan konsep deep ecology. Konsep ini adalah konsep yang
bersifat spiritual seperti yang dikatakannya di bawah ini:
...deep ecological
awareness is spiritual or religious awareness. When the concept of the human
spirit is understood as the mode of consciousness in which the individual feels
a sense of belonging, of connectedness, to the cosmos as a whole, it becomes
clear that ecological awareness is spiritual in its deepest essence. It is,
therefore, not surprising that the emerging new vision of reality based on deep
ecological awareness is consistent with the so-called perennial philosophy of
spiritual tradition
Pendapat Capra (1996) tentang
realitas yang spiritual (ruh dalam diri manusia) tidak bertentangan
dengan tradisi Islam paling tidak menurut Iqbal (lihat Danusiri 1996:44) - yang
melihat realitas sebagai suatu entitas yang tidak terpisah-pisah.
Menurut tradisi Islam, realitas
bersifat hierarkhis (lihat Nasr 1993; Bakar 1994; Triyuwono 1997, 1998) yang
terdiri dari: realitas materi, realitas psikis, realitas spiritual, asma’
sifatiyyah (atribut Tuhan), Realitas Absolut (Tuhan), berturut-turut dari
yang paling rendah ke yang paling tinggi. Antara realitas
yang satu dengan yang lain tidak
dapat dipisahkan atau interconnected (menurut istilah Capra (1996).
Tingkatan-tingkatan realitas tersebut
diciptakan Tuhan agar manusia dapat mengenal Tuhannya (Bakar 1994:36). Untuk
itu, Tuhan menciptakan realitasrealitas lain yang lebih rendah dari DiriNya dan
sebagai refleksi dari DiriNya. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang aneh bahwa
ilmu pengetahuan, dalam tradisi Islam, dibangun untuk mengenal Tuhan sebagai
Realitas Nyata.
Cara yang dapat dilakukan manusia
agar ia dapat menghubungkan unsure kalbu dan ruhnya kepada Tuhan
adalah dengan kontemplasi dan dzikir. Krishna (1998) menawarkan cara meditasi
yang menarik, yaitu dengan menggunakan meditasi Zen. Krishna (1998) memberikan
langkah-langkah yang sangat praktis untuk melakukan meditasi a la Zen. Tahapan-tahapan
metaforis meditasi Zen, sebagaimana yang diungkapkan oleh Krishna (1998),
meliputi: mencari sapi yang hilang, menemukan jejak sapi, melihat ekor sapi,
menjinakkan sapi, terjinakkannya sapi, pulang ke rumah, menikmati ketenangan,
keheningan,
kembali ke sumber, dan mengunjungi
pasar. Tujuan dari meditasi ini tidak lain adalah “pencerahan” pada diri
seseorang.
Islam juga memiliki tradisi yang
sama, yaitu melalui sufisme. Valiuddin (1996:37-8) memberikan beberapa tahapan
bagi seseorang yang mencari (menuju) Tuhan. Setelah seseorang menyucikan
jasmaninya sebagaimana telah ditetapkan dalam syari’ah, maka tahap-tahap
selanjutnya adalah: penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), penyucian kalbu
(tashfiyah al-qalb), pengosongan jiwa (takhalliyah assirr), dan
pencerahan ruh (tajalliyah ar-ruh). Penyucian jiwa adalah
menyucikan diri seseorang dari kecendrungan-kecendrungan hewani, sifat-sifat
tidak terpuji, buruk, dan tercela. Setelah tahap ini dilewati, maka langkah
selanjutnya adalah menyucikan hati, yaitu menghapuskan hati dari kecintaan dan
kenikmatan duniawi yang terlalu berlebihan. Kemudian, langkah berikutnya adalah
pengosongan jiwa, yaitu suatu usaha mengosongkan segala pikiran yang dapat mengganggu
aktivitas dzikir (ingat) kepada Allah. Setelah langkah ini, maka berikutnya
adalah pencerahan ruh, yaitu mengisi ruh dengan cahaya dan cinta Allah.
Istilah pentahapan (lebih ditekankan
pada aspek “pencapaian”) lain bisa kita lihat misalnya, tahap syari’ah (jalan
eksoteris), tariqat (jalan esoteris, atau jalan spiritual), hakikat, dan
ma’rifat. Secara ideal seseorang dapat mencapai tingkat ma’rifat. Pada tingkat
ini seseorang dapat disebut the sufi. Namun demikian, tulisan ini tidak
bermaksud menjadikan semua mahasiswa menjadi seorang sufi. Tetapi paling
tidak, seorang mahasiswa melakukan perjalanan ini pada tingkat tariqat. Tanpa
jalan spiritual ini kita sulit mengharapkan adanya perubahan perilaku, yaitu
dari perilaku non-etis ke perilaku etis.
Penutup
Dari diskusi di atas dapat kita
pahami bahwa strategi untuk menciptakan perilaku etis (yang terwujud dalam
bentuk moral action), tidak dapat dilakukan hanya sekedar memberikan
pendidikan etika bisnis dan profesi, tetapi harus dibarengi dengan
strategi lain yang bersifat spiritual.
Pendidikan dengan memberikan ilmu
pengetahuan etika bisnis dan profesi adalah pendidikan pada aspek akal.
Ilmu pengetahuan dapat memberikan petunjuk dan membedakan mana moral action dan
mana yang tidak. Akal dapat menerima ilmu pengetahuan ini dan ia juga
dapat mengembangkannya. Dengan cara ini akal dapat hidup dan tumbuh
“sehat.” Selain itu, “pendidikan” terhadap nafsu juga harus dilakukan,
yaitu dengan pengendalian diri.
Strategi lain yang berkenaan dengan kalbu,
dan ruh juga harus dilakukan. Dua
unsur ini yang akan menghubungkan manusia kepada Tuhan. Strategi yang dilakukan
adalah bersifat spiritual dengan tujuan untuk memperoleh “kesadaran ketuhanan.”
Dengan memfusikan semua strategi di
atas, maka diharapkan “diri” seseorang tidak saja menjadi “diri” yang sarat
dengan nilai etika (yang diwujudkan dalam bentuk moral action), tetapi
juga “diri” yang memiliki “kesadaran ketuhanan.”
Daftar Pustaka
Triyuwono
Iwan. 2002. Strategi Pendidikan Etika
Bisnis dan Profesi Pada Pendidikan Akuntansi. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar