BAB 11
INDIVIDU DALAM ORGANISASI
11.1 Organisasi Rasional
Model organisasi bisnis yang
“rasional” yang lebih tradisional mendefenisikan organisasi sebagai suatu
struktur hubungan formal (yang didefenisikan secara eksplisit dan digunakan
secara terbuka) yang bertujuan mencapai tujuan teknis atau ekonomi dengan
efisiensi maksimal. E. H. Schein memberikan satu defenisi ringkas tentang
organisasi dari prespektif tersebut yaitu organisasi adalah koordinasi rasional
atas aktivitas-aktivitas sejumlah individu untuk mencapai tujuan atau sasaran
eksplisit bersama, melalui pembagian tenaga kerja dan fungsi dan melalui hirarki
otoritas dan tanggung jawab.
Berbagai tingkatan dalam organisasi
dan yang mengatur semua individu ke dalam tujuan organisasi dan hirarki formal
adalah kontrak. Hal ini mengasumsikan bahwa pegawai sebagai agen yang secara
bebas dan sadar telah setuju untuk menerima otoritas formal organisasi dan
berusaha mearaih tujuan organisasi, dan sebagai gantinya mereka memperoleh
dukungan dalam bentuk gaji dan kondisi kerja yang baik. Dari perjanjian
kontraktual tersebut, pegawai menerima tanggungjawab moral untuk mematuhi
atasan dalam usaha mencapai organisasi, dan selanjutnya organisasi juga
memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan dukungan ekonomi pada para
pegawai seperti yang telah dijanjikan. Teori utilitarian memberikan dukungan
tambahan pada pandangan bahwa pegawai memiliki kewajiban untuk berusaha
mencapai tujuan perusahaan secara loyal.
Tanggungjawab etis dasar yang muncul dari
aspek-aspek ‘rasional” organisasi difokuskan pada dua kewajiban moral yakni a)
kewajiban atasan untuk mematuhi atasan dalam organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuan organisasi, dan b) kewajiban atasan untuk memberikan gaji yang
adil dan kondisi kerja yang baik.
11.2 Kewajiban Pegawai Terhadap Perusahaan
Dalam pandangan rasional perusahaan,
kewajiban moral utama pegawai adalah untuk bekerja mencapai tujuan perusahaa
dan menghindari kegiatan-kegiatan yang mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi,
bersikap tidak etis berarti menyimpang dari tujuan-tujuan tersebut dan berusaha
meraih kepentingan sendiri dalam cara-cara yang, jika melanggar hukum, dapat
dinyatakan sebagai “kejahatan kerah putih”.
Ada sejumlah situasi dimana pegawai
gagal melaksanakan kewajiban untuk mencapai tujuan perusahaan, yaitu sebagai
berikut:
1. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan dalam bisnis
muncul saat seorang pegawai atau pejabat duatu perusahaan melaksanakan
tugasnya, namun dia memiliki kepentingan-kepentingan pribadi terhadap hasil
dari pelaksanaan tugas tersebut yang (a) mungkin bertentangan dengan kepentingan
perusahaan, dan (b) cukup substansial sehingga kemungkinan mempengaruhi
penilaiannya sehingga tidak seperti yang diharapkan perusahaan. Konflik
kepentingan bisa bersifat aktual dan potensial. Konflik kepentingan aktual
terjadi saat seseorang melaksanakan kewajibannya dalam satu cara yang
mengganggu perusahaan dan melakukannya demi kepentingan pribadi. Konflik
kepentingan potensial terjadi saat seseorang, karena didorong kepentingan
pribadi, bertindak dalam suatu cara yang merugikan perusahaan.
2. Pencurian Pegawai dan Komputer
Pegawai perusahaan memiliki
perjanjian kontraktual untuk hanya menerima keuntungan tertentu sebagai ganti
hasil kerjanya dan menggunakan sumber daya perusahaan hanya dalam usaha untuk
mencapai tujuan perusahaan. Tindakan pegawai yang mencari tambahan keuntungan
pribadi atau menggunakan sumber daya perusahaan untuk dirinya sendiri merupakan
tindakan pencurian karena keduanya berarti mengambil atau menggunakan properti
milik orang lain (perusahaan) tanpa persetujuan pemilik yang sah.
Tindakan memeriksa, menggunakan atau
menyalin informasi atau program komputer merupakan pencurian. Disebut pencurian
karena informasi yang dikumpulkan dalam bank data komputer oleh suatu
perusahaan dan program komputer yang dikembangkan atau dibeli perusahaan
merupakan properti dari perusahaan yang bersangkutan.
3. Insider Trading
Insider trading sebagai tindakan
membeli dan menjual saham perusahaan berdasarkan informasi “orang dalam”
perusahaan. Informasi “dari dalam” atau “dari orang dalam” tentang suatu perusahaan
merupakan informasi rahasia yang tidak dimiliki publik di luar perusahaan,
namun memiliki pengaruh material pada harga saham perusahaan.
Insider trading adalah ilegal dan
tidak etis karena orang yang melakukannya berarti “mencuri” informasi dan memperoleh
keuntungan yang tidak adil dari anggota masyarakat lain. Namun demikian,
sejumlah pihak menyatakan bahwa insider trading secara sosial menguntungkan dan
menurut prinsip utilitarian, tindakan ini seharusnya tidak dilarang, malah
dianjurkan.
11.2 Kewajiban Perusahaan Terhadap Pegawai
Kewajiban moral dasar perusahaan terhadap pegawai,
menurut pandangan rasional, adalah memberikan kompensasi yang secara sukarela
dan sadar telah mereka setujui sebagai imbalan atas jasa mereka. Ada dua
masalah yang berkaitan dengan kewajiban ini: kelayakan gaji dan kondisi kerja
pegawai. Gaji dan kondisi kerja merupakan aspek-aspek kompensasi yang diterima
pegawai dari jasa yang mereka berikan, dan keduanya berkaitan dengan masalah
apakah pegawai menyetujui kontrak kerja secara sukarela dan sadar. Jika seorang
pegawai "dipaksa" menerima pekerjaan tanpa upah yang memadai atau
kondisi kerja yang layak, maka kontrak kerja tersebut dianggap tidak adil.
1. Gaji
Setiap perusahaan
menghadapi dilema ketika menetapkan gaji pegawai: Bagaimana menyeimbangkan
kepentingan perusahaan untuk menekan biaya dengan kepentingan pegawai untuk
memperoleh kehidupan yang layak bagi diri mereka sendiri dan keluarga? Tidak
ada rumus sederhana untuk menentukan "gaji yang layak". Kelayakan
gaji sebagian bergantung pada dukungan yang diberikan masyarakat (jaminan
sosial, perawatan kesehatan, kompensasi pengangguran, pendidikan umum,
kesejahteraan, dan sebagainya), kebebasan pasar kerja, kontribusi pegawai, dan
posisi kompetitif perusahaan. Meskipun tidak
ada cara untuk menentukan gaji yang layak dengan pasti, namun kita setidaknya
bisa mengidentifikasi sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan untuk
menentukan gaji dan upah, yaitu: 1) Gaji dalam industri dan wilayah tempat seseorang bekerja, 2) Kemampuan
perusahaan, 3) Sifat pekerjaan, 4) Peraturan upah minimum, 5) Hubungan
dengan gaji lain, 6) Kelayakan negosiasi gaji, dan 7) Biaya hidup lokal.
2. Kondisi Kerja: Kesehatan dan Keamanan
Risiko memang merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari pekerjaan. Masalahnya
adalah dalam banyak pekerjaan yang berbahaya, syarat-syarat berikut tidak terpenuhi:
1) Gaji atau upah dikatakan gagal memberikan nilai kompensasi yang proporsional
terhadap risiko pekerjaan jika pasar tenaga kerja dalam suatu industri tidak
kompetitif atau bila pasar tidak mempertimbangkan risiko-risiko tersebut karena
memang belum diketahui. 2) Pegawai mungkin menerima risiko tanpa mengetahuinya
karena mereka tidak memiliki akses ke informasi tentang risiko-risiko tersebut.
3) Pegawai mungkin menerima risiko karena putus asa, karena mereka tidak
dapat memperoleh pekerjaan dalam industri-industri yang kurang berisiko, atau
karena mereka tidak memiliki informasi tentang alternatif-alternatif yang
tersedia bagi mereka.
Secara khusus, perusahaan mempunyai kewajiban: 1)
Perusahaan wajib menawarkan gaji yang merefleksikan prevalensi risiko-pretni
dalam pasar kerja yang serupa, namun
kompetitif, 2) Untuk menjamin pegawai terhadap bahaya yang diketahui,
perusahaan perlu memberikan program asuransi kesehatan yang sesuai, dan 3)
Perusahaan perlu (secara individual atau bersama perusahaan lain) mengumpulkan informasi
tentang bahaya kesehatan yang terdapat dalam suatu pekerjaan dan menyebarkan informasi tersebut ke seluruh pegawai.
3. Kondisi Kerja: Kepuasan Kerja
Spesialisasi
pekerjaan yang berlebihan memang tidak baik karena alasan lain, yaitu bahwa cara ini memberikan beban yang tidak adil pada
pekerja. Juga ada banyak bukti bahwa cara ini tidak mendukung efisiensi.
Bagaimana masalah-masalah ketidakpuasan kerja dan kerugian mental ini
ditangani? Hackman, Oldham, Jansen, dan Purdy menyatakan bahwa ada tiga
determinan kepuasan kerja: 1) Arti yang dialami. Seseorang harus melihat pekerjaannya sebagai
sesuatu yang bernilai atau penting melalui sistem nilai yang diterimanya. 2) Tanggung
jawab yang dialami. Dia harus percaya
bahwa dia secara pribadi bertanggung jawab atas hasil kerjanya. Dan 3) Pengetahuan akan hasil. Dia harus mampu
menentukan, secara teratur, apakah hasil kerjanya memuaskan. Untuk memengaruhi ketiga determinan tersebut, menurut
penulis, pekerjaan haruslah diperluas sepanjang lima dimensi berikut: 1) Keragaman
keahlian. 2) Identitas tugas. 3) Arti
penting tugas. 4) Otonomi. Dan 5) Umpan Balik.
Pendeknya, pemecahan
masalah ketidakpuasan kerja adalah dengan memperluas cakupan kegiatan dari
pekerjaan-pekerjaan yang sangat terspesialisasi: memperluas pekerjaan
secara "horisontal" dengan memberikan tugas-tugas yang lebih beragam
pada pegawai dan memperdalam pekerjaan secara "vertikal" dengan
memberikan kontrol yang lebih besar pada pegawai atas tugas-tugas tersebut.
4. Organisasi Politik
Dalam model organisasi politik, individu dilihat
berkumpul membentuk koalisi yang selanjutnya saling bersaing satu sama lain
memperebutkan sumber daya, keuntungan, dan pengaruh. Dengan demikian,
"tujuan" organisasi menjadi tujuan yang dibentuk oleh koalisi yang
paling kuat dan paling dominan. Tujuan tidak ditetapkan oleh otoritas yang
"sah", namun ditetapkan melalui tawar menawar antara berbagai
koalisi. Realita dasar organisasi, menurut model ini, bukanlah otoritas formal
atau hubungan kontraktual, namun kekuasaan: kemampuan individu (atau kelompok
individu) untuk mengubah perilaku pihak lain menuju cara yang diinginkan tanpa
harus mengubah perilaku mereka sendiri menuju cara yang tidak diinginkan.
Jika kita memfokuskan pada kekuasaan sebagai dasar
realita organisasional, maka permasalahan etis utama yang akan kita temui saat
kita mengamati suatu organisasi adalah masalah yang berkaitan dengan akuisisi
dan pelaksanaan kekuasaan. Masalah etis utama difokuskan bukan pada kewajiban
kontraktual perusahaan dan pegawai, namun pada hambatan-hambatan moral terhadap
penggunaan kekuasaan di dalam organisasi. Etika perilaku organisasional yang dilihat dari
perspektif model politik difokuskan pada pertanyaan: Apa batasan moral, jika
ada, pada pelaksanaan kekuasaan dalam organisasi? Dalam bagian-bagian berikut
ini, kita akan membahas dua aspek dari pertanyaan ini, yaitu: (a) Apa, jika
ada, batasan moral pada kekuasaan manajer yang dapat diterapkan pada pegawai?
(b) Apa, jika ada, batasan moral pada kekuasaan pegawai yang dapat diterapkan
pada pegawai lain?
5. Hak
Pegawai
Apa saja hak pegawai? Hak moral pegawai serupa
dengan hak sipil warga negara: hak privasi,
hak untuk setuju, hak atas kebebasan berbicara; dan sebagainya.
a. Hak
Privasi
Hak privasi dapat didefinisikan sebagai hak individu
untuk menentukan apa, dengan siapa, dan seberapa banyak informasi tentang
dirinya yang boleh diungkapkan pada orang lain. Ada dua jenis privasi: privasi psikologis, yaitu privasi yang
berkaitan dengan pemikiran, rencana, keyakinan, nilai, perasaan, dan keinginan
seseorang; dan privasi fisik, yaitu privasi
yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas fisik seseorang, khususnya yang mengungkapkan kehidupan pribadi
seseorang dan aktivitas-aktivitas fisik yang secara umum dianggap sebagai aktivitas pribadi. Ada tiga elemen yang
perlu dipertimbangkan saat mengumpulkan informasi yang mungkin mengancam
hak privasi pegawai: relevansi, persetujuan, dan metode.
b.
Kebebasan Suara Hati
Seorang pegawai, ketika melaksanakan suatu
pekerjaan, mungkin menemukan bahwa perusahaan tempatnya bekerja melakukan
sesuatu yang menurutnya merugikan masyarakat. Dan
memang, individu-individu dalam perusahaan biasanya merupakan pihak
pertama yang mengetahui bahwa, misalnya, perusahaan memasarkan produk-produk
yang tidak aman, mencemari lingkungan, menyembunyikan informasi kesehatan, atau
melanggar hukum.
Pegawai yang memiliki perasaan tanggung
jawab moral, yang menemukan bahwa perusahaan melakukan sesuatu yang merugikan
masyarakat, biasanya akan merasa perlu melakukan
sesuatu agar perusahaan menghentikan aktivitas-aktivitas yang merugikan
tersebut dengan melaporkannya kepada
atasan. Namun sayangnya, jika manajemen internal perusahaan tidak
bersedia melakukan apa-apa sehubungan dengan laporan tersebut, maka pegawai
hanya memiliki sedikit pilihan. Jika, setelah
ditolak perusahaan, pegawai tersebut memiliki keberanian untuk membawa
masalah itu ke lembaga pemerintah di luar perusahaan atau, yang lebih buruk lagi, menyebarkan masalah ini kepada publik,
maka perusahaan memiliki hak yang sah untuk
menghukumnya dengan cara memecatnya. Lebih jauh lagi, jika permasalahannya
cukup serius, perusahaan bisa melakukan langkah-langkah untuk memperkuat
hukuman dengan menambahkannya pada catatan kerja pegawai yang bersangkutan dan,
dalam kasus-kasus ekstrem, berusaha
memastikan agar dia tidak akan diterima bekerja oleh perusahaan-perusahaan
lain dalam industri.
c.
Whistleblowing
Whistleblowing merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh
seorang anggota atau mantan anggota suatu organisasi untuk mengungkapkan
kesalahan atau aktivitas merugikan yang dilakukan
organisasi yang bersangkutan. Whistleblowing bisa bersifat internal
ataupun eksternal. Jika suatu pelanggaran hanya dilaporkan pada pihak-pihak
yang lebih tinggi dalam organisasi, maka tindakan tersebut adalah
whistleblowing internal. Apabila pelanggaran dilaporkan pada individu eksternal
atau lembaga-lembaga seperti agen pemerintah, surat kabar, atau kelompok-kelompok
kepentingan publik, maka tindakan tersebut merupakan whistleblowing eksternal.
Whistleblowing eksternal secara moral
dibenarkan jika: 1) Ada bukti yang jelas, kuat, dan cukup komprehensif bahwa
suatu organisasi melakukan aktivitas yang melanggar hukum atau berakibat serius
pada pihak lain; 2) Usaha-usaha lain telah dilakukan untuk mencegahnya
melalui whistleblowing internal dan gagal; 3) Dapat dipastikan bahwa tindakan
whistleblowing eksternal akan mampu mencegah kerugian tersebut; dan 4) Pelanggaran
tersebut cukup serius dan lebih buruk dibandingkan akibat tindakan
whistleblowing pada diri seseorang, keluarganya, dan pihak-pihak lain.
Kapan seseorang memiliki kewajiban untuk
mencegah tindakan yang salah? Misalkan saja syarat 1 sampai 4 telah terpenuhi
sehingga tindakan whistleblowing boleh dilakukan. Akan tetapi, seseorang
memiliki kewajiban melakukan whistleblowing apabila (a) orang tersebut memiliki
kewajiban untuk mencegah terjadinya pelanggaran, baik karena itu merupakan
bagian dari tanggung jawab profesionalnya (misalnya sebagai seorang akuntan,
petugas pengawasan lingkungan, teknisi profesional, pengacara, dan sebagainya)
atau karena tidak ada orang lain yang mampu atau bersedia mencegahnya; dan (b)
pelanggaran tersebut bisa mengakibatkan kerugian serius terhadap kesejahteraan
masyarakat, mengakibatkan ketidakadilan pada seseorang atau suatu kelompok,
atau merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak moral seseorang atau banyak
orang.
d.
Hak untuk
Berpartisipasi dan Manajemen Partisipatif
Sejumlah penulis mengusulkan bahwa
tujuan-tujuan demokrasi perlu diterapkan dalam organisasi bisnis. Sebagian
menyatakan bahwa mengizinkan pegawai untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan suatu organisasi merupakan suatu "perintah etis".
Sebagai langkah pertama menuju demokrasi seperti itu, sebagian penulis
menyatakan bahwa meskipun keputusan-keputusan yang berpengaruh pada pegawai
tidak boleh ditetapkan oleh pegawai itu
sendiri, namun semua keputusan itu haruslah ditetapkan setelah dilakukan
diskusi yang menyeluruh, bebas, dan terbuka dengan para pegawai. lni
artinya komunikasi terbuka antara pegawai
dengan penyelia mereka dan pembentukan suatu lingkungan yang mendukung proses konsultasi dengan pegawai. Para pegawai
diizinkan menyampaikan kritik secara terbuka, memperoleh informasi yang tepat tentang keputusan-keputusan yang akan
berpengaruh pada mereka, menyampaikan usulan, dan memprotes keputusan.
Langkah kedua menuju "demokrasi organisasional" adalah dengan
memberikan bukan hanya hak untuk berkonsultasi, namun juga hak untuk membuat
keputusan tentang aktivitas-aktivitas kerja mereka. Keputusan ini bisa mencakup
aspek-aspek seperti jam kerja, masa istirahat, pengaturan tugas kerja, dan
cakupan tanggung jawab pegawai dan penyelia. Langkah ketiga menuju demokrasi di
tempat kerja adalah dengan mengizinkan pegawai berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan besar yang
berpengaruh pada operasi perusahaan
secara umum.
e.
Hak atas Proses yang Layak dan PHK Sepihak
Doktrin PHK sepihak banyak mendapat
kecaman. Pertama, pegawai sering tidak bebas untuk menerima atau menolak
pekerjaan tanpa menderita kerugian karena banyak di antara mereka yang tidak
bisa memperoleh pekerjaan lain. Lebih jauh lagi, sekalipun mereka bisa
memperoleh pekerjaan lain, namun mereka tetap menanggung beban yang berat untuk
mencari pekerjaan sementara tidak memperoleh penghasilan saat mencarinya. Jadi,
salah satu asumsi dasar dari PHK sepihak bahwa pegawai "bebas"
menerima pekerjaan dan "bebas" mencari pekerjaan lain adalah salah.
Kedua, pegawai biasanya melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk memberikan
kontribusi pada perusahaan, namun mereka
melakukannya dengan harapan
perusahaan akan memperlakukan mereka dengan adil dan sungguh-sungguh. Pegawai
tentu saja tidak akan memilih bekerja di suatu perusahaan yang mereka yakini
akan memperlakukan mereka dengan tidak adil. Jadi, ada semacam perjanjian
implisit bahwa perusahaan akan memperlakukan pegawainya dengan adil, dan dari
perjanjian kontraktual para pegawai berhak atas perlakuan seperti itu. Ketiga,
pegawai berhak diperlakukan dengan hormat sebagai individu yang bebas dan
sederajat. Sebagian dari hak ini mencakup hak atas perlakuan yang tidak
sewenang-wenang dan hak untuk tidak dipaksa menderita kerugian secara tidak adil
atau atas dasar tuduhan yang tidak benar. Karena pemecatan atau pengurangan
gaji atau penurunan pangkat jelas merugikan pegawai khususnya bila mereka tidak
memiliki pilihan pekerjaan lain maka hal itu berarti melanggar hak pegawai
apabila tindakan tersebut dilakukan secara sepihak atau didasarkan pada tuduhan
yang tidak benar. Untuk
alasan-alasan tersebut, sebuah kecenderungan baru muncul dan secara bertahap
menggantikan doktrin PHK sepihak, yang menyatakan bahwa pegawai memiliki hak
atas proses yang layak.
f. Hak Pegawai dan Penutupan Pabrik
Di antara hak-hak pegawai yang berhubungan
penutupan pabrik yang harus dihormati adalah hak untuk diperlakukan sejauh yang
telah mereka setujui secara sadar dan sukarela hak yang mewajibkan agar
mereka diberitahu tentang rencana penutupan yang akan dilaksanakan.
Pertimbangan-pertimbangan etis tersebut dimasukkan dalam usulan-usulan yang
dengan baik disampaikan oleh William Diehl, mantan wakil direktur salah satu
industri baja, tentang delapan langkah yang dapat dilakukan perusahaan untuk
menekan pengaruh-pengaruh merugikan dari penutupan pabrik: 1) Pemberitahuan
sebelumnya, 2) Pesangon, 3) Jaminan kesehatan, 4) Pensiun awal, 5) Transfer, 6)
Pelatihan kembali, 7) Pembelian oleh pegawai, dan 8) Pembayaran pajak lokal.
g. Serikat Pekerja dan Hak
untuk Berorganisasi
Hak pekerja untuk berorganisasi dalam
serikat pekerja berasal dari hak untuk diperlakukan sebagai manusia yang bebas dan sederajat. Serikat pekerja secara
umum dilihat sebagai sarana untuk menyeimbangkan kekuasaan perusahaan besar
sehingga para pekerja dapat saling membantu guna mencapai kekuatan negosiasi
yang seimbang dengan perusahaan. Jadi, serikat pekerja mampu
mencapai kesetaraan antara pekerja dengan perusahaan yang tidak dapat dicapai
apabila pekerja tersebut hanya seorang diri, dan otomatis juga menjamin hak
mereka untuk diperlakukan sebagai manusia yang bebas dan sederajat dalam
negosiasi pekerjaan dengan perusahaan besar.
Pekerja tidak hanya berhak membentuk serikat
pekerja, namun serikat pekerja juga berhak melakukan pemogokan. Hak serikat
pekerja untuk melakukan pemogokan berasal dari hak pekerja untuk berhenti
melakukan pekerjaan sejauh pelaksanaan pekerjaan tersebut melanggar perjanjian
atau hak orang lain. Jadi, pemogokan serikat pekerja secara moral dibenarkan
sejauh hal itu tidak melanggar ketentuan perjanjian untuk tidak mogok (yang
mungkin saja dinegosiasikan oleh perusahaan) dan sejauh pemogokan tersebut
tidak melanggar hak-hak moral pihak lain (seperti warga masyarakat yang hak
atas perlindungan dan keselamatan mereka mungkin dilanggar oleh pemogokan yang
dilakukan serikat pekerja publik seperti anggota pemadam kebakaran atau
polisi).
6. Politik Organisasional
Hambatan etis atas penggunaan kekuasaan formal ini
sebagian besar didasarkan pada perspektif moral. Hak atas privasi, proses yang
layak, kebebasan suara hati, dan persetujuan semuanya dapat diformalisasikan
dalam organisasi (dengan merumuskan dan menerapkan peraturan, undang-undang,
dan prosedur) seperti halnya hubungan kekuasaan yang juga diformalisasikan.
Namun demikian, seperti yang
telah kita lihat, organisasi juga memiliki kantung-kantung dan saluran
kekuasaan informal: sumber-sumber kekuasaan yang tidak terlihat dalam bagan
organisasional dan penggunaan kekuasaan yang samar dan mungkin tidak dianggap sah.
Kita sekarang beralih pada bagian penting dalam organisasi: politik
organisasional.
a.
Taktik Politik dalam
Organisasi
Tidak ada definisi yang ditetapkan atas politik
organisasional. Untuk tujuan pembahasan ini, kita bisa menggunakan definisi
berikut: proses di mana individu atau kelompok menggunakan taktik-taktik
kekuasaan yang dibentuk secara non-formal untuk mencapai tujuannya sendiri;
kita semua menamakan taktik ini sebagai taktik politik.
Karena politik organisasional bertujuan untuk
mencapai kepentingan individu atau kelompok (misalnya memperoleh promosi,
kenaikan gaji atau anggaran, status, atau bahkan kekuasaan yang lebih besar)
dengan menggunakan kekuasaan-kekuasaan nonformal atas individu atau kelompok
lain, maka individu-individu politik cenderung menutupi maksud dan metode
mereka. Fakta bahwa taktik politik biasanya tersembunyi memiliki arti bahwa
taktik tersebut sangat mungkin mengandung
unsur penipuan atau manipulasi. Berikut taktik-taktik yang mereka laporkan: Menyalahkan
atau menyerang pihak lain, Mengendalikan informasi, Mengembangkan dukungan bagi gagasan seseorang, Membangun Image,
Menjalin hubungan dengan pihak yang berpengaruh, Membentuk koalisi kekuasaan
dan mengembangkan aliansi yang kuat, dan Menciptakan kewajiban.
b.
Etika Taktik Politik
Jelasnya, perilaku politik dalam suatu organisasi
dapat dengan mudah menjadi kejam: taktik politik bisa digunakan untuk mencapai
kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan organisasi dan kelompok,
bisa menjadi tindakan manipulasi dan penipuan, serta sangat merugikan
pihak-pihak yang hanya sedikit atau tidak memiliki kekuasaan dan keahlian
politik. Namun demikian, taktik politik juga dapat digunakan untuk
tujuan-tujuan organisasi dan sosial, kadang diperlukan untuk melindungi yang lemah, dan kadang merupakan
satu-satunya pertahanan yang dimiliki untuk menghadapi taktik pihak lain.
Dilema bagi individu dalam suatu organisasi adalah mengetahui batas-ba tas yang
memisahkan taktik politik yang sah dan perlu dilakukan dengan taktik yang tidak
etis.
Masalah-masalah tersebut dapat diselidiki dengan
menjawab empat pertanyaan yang bisa memfokuskan perhatian kita pada
karakteristik-karakteristik yang secara moral relevan dengan penggunaan taktik
politik: (a) pertanyaan dari prinsip utilitarian: Apakah tujuan yang ingin
dicapai seseorang dengan menggunakan taktik politik secara sosial menguntungkan atau merugikan?;
(b) pertanyaan dari prinsip hak: Apakah taktik politik digunakan sebagai cara
untuk mencapai tujuan tersebut dengan memperlakukan orang dalam cara yang
konsisten dengan hak-hak moral mereka?; (c) pertanyaan dari prinsip keadilan:
Apakah taktik politik mengarah kepada distribusi keuntungan dan beban yang wajar?
dan (d) pertanyaan dari prinsip perhatian: Apa pengaruh taktik politik terhadap
hubungan-hubungan yang ada di dalam organisasi?
11.4 Organisasi yang Penuh
Perhatian
Aspek kehidupan organisasional tidak cukup baik
digambarkan dalam model kontraktual yang merupakan dasar dari organisasi
"rasional", ataupun dengan model kekuasaan yang mendasari organisasi
"politik". Mungkin aspek tersebut paling
tepat digambarkan sebagai organisasi penuh
perhatian (caring), di mana
konsep-konsep moral utamanya sama dengan konsep yang
mendasari etika memberi perhatian. Jeanne M. Lied tka menggambarkan organisasi semacam itu sebagai organisasi, atau bagian organisasi,
di mana tindakan memberi perhatian merupakan: a) Difokuskan sepenuhnya pada
individu (pribadi), bukan "kualitas", "keuntungan", atau
gagasan-gagasan lain yang saat ini banyak dibicarakan; b) Dilihat sebagai
tujuan dalam dan dari dirinya sendiri, serta bukan hanya sarana untuk mencapai
kualitas, keuntungan, dan sebagainya; c) Bersifat pribadi, dalam artian bahwa
hal tersebur melibatkan individu-individu tertentu yang memberikan perhatian,
pada tingkat subjektif, pada individu tertentu lainnya; dan d) Pendorong
pertumbuhan bagi yang diberi perhatian, dalam artian bahwa tindakan ini
menggerakkan mereka menuju pemanfaatan dan pengembangan kemampuan seutuhnya,
dalam konteks kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.
Dalam organisasi caring, kepercayaan tumbuh subur karena
"orang merasa wajib saling memercayai jika mereka melihat diri mereka
sebagai pihak-pihak yang saling membutuhkan dan saling
terkait". Karena kepercayaan tumbuh subur dalam organisasi semacam itu, maka organisasi tidak perlu melakukan
banyak investasi untuk mengawasi para pegawainya dan memastikan bahwa mereka
tidak melanggar perjanjian kontraktual.
Dalam model kontraktual, masalah etis penting muncul dari
kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hubungan kontraktual. Dalam model
politik, masalah etis penting muncul dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
Lalu apa masalah etis penting dari perspektif organisasi carin? Jawabannya adalah
memberikan perhatian terlalu banyak atau kurang banyak.
Daftar Pustaka
Velasquez, Manuel G. ETIKA BISNIS Konsep dan Kasus, Edisi 5,
Penertbit Andi, Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA
1. Velasquez, Manuel G. ETIKA BISNIS Konsep dan Kasus, Edisi 5,
Penertbit Andi, Yogyakarta.
2.
Triyuwono, Iwan. 2002., Strategi
Pendidikan Etika Bisnis dan Profesi pada Pendidikan Akuntansi, Tema, Volume III Nomor 2.
4. Alan
Stainer, Lorice Stainer and Alexandra Segal. Etika Perencanaan Pajak
5.
Mariyani,
Titik. 1999. Survei Atas Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Dan Perilaku
Etis Akuntan Dan Pendapat Tentang Perlunya Pembinaan Moral-Etika Di Kalangan
Profesi Akuntan Oleh IAI. Skripsi. Universitas Brawijaya Malang.
6.
Arijanto,
Agus. 2011. Etika Bisnis bagi Pelaku Bisnis. Penerbit: Rajagrafindo Persada.
Jakarta
7.
Ernawan,
Erni. 2011. Business Ethics. Penerbit: Alfabeta. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar