Senin, 16 April 2012

Individu Dalam Organisasi


BAB 11
INDIVIDU DALAM ORGANISASI

11.1 Organisasi Rasional
Model organisasi bisnis yang “rasional” yang lebih tradisional mendefenisikan organisasi sebagai suatu struktur hubungan formal (yang didefenisikan secara eksplisit dan digunakan secara terbuka) yang bertujuan mencapai tujuan teknis atau ekonomi dengan efisiensi maksimal. E. H. Schein memberikan satu defenisi ringkas tentang organisasi dari prespektif tersebut yaitu organisasi adalah koordinasi rasional atas aktivitas-aktivitas sejumlah individu untuk mencapai tujuan atau sasaran eksplisit bersama, melalui pembagian tenaga kerja dan fungsi dan melalui hirarki otoritas dan tanggung jawab.
Berbagai tingkatan dalam organisasi dan yang mengatur semua individu ke dalam tujuan organisasi dan hirarki formal adalah kontrak. Hal ini mengasumsikan bahwa pegawai sebagai agen yang secara bebas dan sadar telah setuju untuk menerima otoritas formal organisasi dan berusaha mearaih tujuan organisasi, dan sebagai gantinya mereka memperoleh dukungan dalam bentuk gaji dan kondisi kerja yang baik. Dari perjanjian kontraktual tersebut, pegawai menerima tanggungjawab moral untuk mematuhi atasan dalam usaha mencapai organisasi, dan selanjutnya organisasi juga memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan dukungan ekonomi pada para pegawai seperti yang telah dijanjikan. Teori utilitarian memberikan dukungan tambahan pada pandangan bahwa pegawai memiliki kewajiban untuk berusaha mencapai tujuan perusahaan secara loyal.
 Tanggungjawab etis dasar yang muncul dari aspek-aspek ‘rasional” organisasi difokuskan pada dua kewajiban moral yakni a) kewajiban atasan untuk mematuhi atasan dalam organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi, dan b) kewajiban atasan untuk memberikan gaji yang adil dan kondisi kerja yang baik.

11.2 Kewajiban Pegawai Terhadap Perusahaan
Dalam pandangan rasional perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah untuk bekerja mencapai tujuan perusahaa dan menghindari kegiatan-kegiatan yang mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti menyimpang dari tujuan-tujuan tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri dalam cara-cara yang, jika melanggar hukum, dapat dinyatakan sebagai “kejahatan kerah putih”.
Ada sejumlah situasi dimana pegawai gagal melaksanakan kewajiban untuk mencapai tujuan perusahaan, yaitu sebagai berikut:
1.     Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan dalam bisnis muncul saat seorang pegawai atau pejabat duatu perusahaan melaksanakan tugasnya, namun dia memiliki kepentingan-kepentingan pribadi terhadap hasil dari pelaksanaan tugas tersebut yang (a) mungkin bertentangan dengan kepentingan perusahaan, dan (b) cukup substansial sehingga kemungkinan mempengaruhi penilaiannya sehingga tidak seperti yang diharapkan perusahaan. Konflik kepentingan bisa bersifat aktual dan potensial. Konflik kepentingan aktual terjadi saat seseorang melaksanakan kewajibannya dalam satu cara yang mengganggu perusahaan dan melakukannya demi kepentingan pribadi. Konflik kepentingan potensial terjadi saat seseorang, karena didorong kepentingan pribadi, bertindak dalam suatu cara yang merugikan perusahaan.
2.     Pencurian Pegawai dan Komputer
Pegawai perusahaan memiliki perjanjian kontraktual untuk hanya menerima keuntungan tertentu sebagai ganti hasil kerjanya dan menggunakan sumber daya perusahaan hanya dalam usaha untuk mencapai tujuan perusahaan. Tindakan pegawai yang mencari tambahan keuntungan pribadi atau menggunakan sumber daya perusahaan untuk dirinya sendiri merupakan tindakan pencurian karena keduanya berarti mengambil atau menggunakan properti milik orang lain (perusahaan) tanpa persetujuan pemilik yang sah.
Tindakan memeriksa, menggunakan atau menyalin informasi atau program komputer merupakan pencurian. Disebut pencurian karena informasi yang dikumpulkan dalam bank data komputer oleh suatu perusahaan dan program komputer yang dikembangkan atau dibeli perusahaan merupakan properti dari perusahaan yang bersangkutan.
3.     Insider Trading
Insider trading sebagai tindakan membeli dan menjual saham perusahaan berdasarkan informasi “orang dalam” perusahaan. Informasi “dari dalam” atau “dari orang dalam” tentang suatu perusahaan merupakan informasi rahasia yang tidak dimiliki publik di luar perusahaan, namun memiliki pengaruh material pada harga saham perusahaan.
Insider trading adalah ilegal dan tidak etis karena orang yang melakukannya berarti “mencuri” informasi dan memperoleh keuntungan yang tidak adil dari anggota masyarakat lain. Namun demikian, sejumlah pihak menyatakan bahwa insider trading secara sosial menguntungkan dan menurut prinsip utilitarian, tindakan ini seharusnya tidak dilarang, malah dianjurkan.



11.2 Kewajiban Perusahaan Terhadap Pegawai
Kewajiban moral dasar perusahaan terhadap pegawai, menurut pandangan rasional, adalah memberikan kompensasi yang secara sukarela dan sadar telah mereka setujui sebagai imbalan atas jasa mereka. Ada dua masalah yang berkaitan dengan kewajiban ini: kelayakan gaji dan kondisi kerja pegawai. Gaji dan kondisi kerja merupakan aspek-aspek kompensasi yang diterima pegawai dari jasa yang mereka berikan, dan keduanya berkaitan dengan masalah apakah pegawai menyetujui kontrak kerja secara sukarela dan sadar. Jika seorang pegawai "dipaksa" menerima pekerjaan tanpa upah yang memadai atau kondisi kerja yang layak, maka kontrak kerja tersebut dianggap tidak adil.

1. Gaji
Setiap perusahaan menghadapi dilema ketika menetapkan gaji pegawai: Bagaimana menyeimbangkan kepentingan perusahaan untuk menekan biaya dengan kepentingan pegawai untuk memperoleh kehidupan yang layak bagi diri mereka sendiri dan keluarga? Tidak ada rumus sederhana untuk menentukan "gaji yang layak". Kelayakan gaji sebagian bergantung pada dukungan yang diberikan masyarakat (jaminan sosial, perawatan kesehatan, kompensasi pengangguran, pendidikan umum, kesejahteraan, dan sebagainya), kebebasan pasar kerja, kontribusi pegawai, dan posisi kompetitif perusahaan. Meskipun tidak ada cara untuk menentukan gaji yang layak dengan pasti, namun kita setidaknya bisa mengidentifikasi sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan gaji dan upah, yaitu: 1) Gaji dalam industri dan wilayah tempat seseorang bekerja, 2) Kemampuan perusahaan, 3) Sifat pekerjaan, 4) Peraturan upah minimum, 5)  Hubungan dengan gaji lain, 6) Kelayakan negosiasi gaji, dan 7) Biaya hidup lokal.

2. Kondisi Kerja: Kesehatan dan Keamanan
Risiko memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pekerjaan. Masalahnya adalah dalam banyak pekerjaan yang berbahaya, syarat-syarat berikut tidak terpenuhi: 1) Gaji atau upah dikatakan gagal memberikan nilai kompensasi yang proporsional terhadap risiko pekerjaan jika pasar tenaga kerja dalam suatu industri tidak kompetitif atau bila pasar tidak mempertimbangkan risiko-risiko tersebut karena memang belum diketahui. 2) Pegawai mungkin menerima risiko tanpa mengetahuinya karena mereka tidak memiliki akses ke informasi tentang risiko-risiko tersebut. 3) Pegawai mungkin menerima risiko karena putus asa, karena mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan dalam industri-industri yang kurang berisiko, atau karena mereka tidak memiliki informasi tentang alternatif-alternatif yang tersedia bagi mereka.
Secara khusus, perusahaan mempunyai kewajiban: 1) Perusahaan wajib menawarkan gaji yang merefleksikan prevalensi risiko-pretni dalam pasar kerja yang serupa, namun kompetitif, 2) Untuk menjamin pegawai terhadap bahaya yang diketahui, perusahaan perlu memberikan program asuransi kesehatan yang sesuai, dan 3) Perusahaan perlu (secara individual atau bersama perusahaan lain) mengumpulkan informasi tentang bahaya kesehatan yang terdapat dalam suatu pekerjaan dan menyebarkan informasi tersebut ke seluruh pegawai.

3. Kondisi Kerja: Kepuasan Kerja
Spesialisasi pekerjaan yang berlebihan memang tidak baik karena alasan lain, yaitu bahwa cara ini memberikan beban yang tidak adil pada pekerja. Juga ada banyak bukti bahwa cara ini tidak mendukung efisiensi. Bagaimana masalah-masalah ketidakpuasan kerja dan kerugian mental ini ditangani? Hackman, Oldham, Jansen, dan Purdy menyatakan bahwa ada tiga determinan kepuasan kerja: 1) Arti yang dialami. Seseorang harus melihat pekerjaannya sebagai sesuatu yang bernilai atau penting melalui sistem nilai yang diterimanya. 2) Tanggung jawab yang dialami. Dia harus percaya bahwa dia secara pribadi bertanggung jawab atas hasil kerjanya. Dan 3) Pengetahuan akan hasil. Dia harus mampu menentukan, secara teratur, apakah hasil kerjanya memuaskan. Untuk memengaruhi ketiga determinan tersebut, menurut penulis, pekerjaan haruslah diperluas sepanjang lima dimensi berikut: 1) Keragaman keahlian. 2) Identitas tugas. 3) Arti penting tugas. 4) Otonomi. Dan 5) Umpan Balik.
Pendeknya, pemecahan masalah ketidakpuasan kerja adalah dengan memperluas cakupan kegiatan dari pekerjaan-pekerjaan yang sangat terspesialisasi: memperluas pekerjaan secara "horisontal" dengan memberikan tugas-tugas yang lebih beragam pada pegawai dan memperdalam pekerjaan secara "vertikal" dengan memberikan kontrol yang lebih besar pada pegawai atas tugas-tugas tersebut.

4. Organisasi Politik
Dalam model organisasi politik, individu dilihat berkumpul membentuk koalisi yang selanjutnya saling bersaing satu sama lain memperebutkan sumber daya, keuntungan, dan pengaruh. Dengan demikian, "tujuan" organisasi menjadi tujuan yang dibentuk oleh koalisi yang paling kuat dan paling dominan. Tujuan tidak ditetapkan oleh otoritas yang "sah", namun ditetapkan melalui tawar menawar antara berbagai koalisi. Realita dasar organisasi, menurut model ini, bukanlah otoritas formal atau hubungan kontraktual, namun kekuasaan: kemampuan individu (atau kelompok individu) untuk mengubah perilaku pihak lain menuju cara yang diinginkan tanpa harus mengubah perilaku mereka sendiri menuju cara yang tidak diinginkan.
Jika kita memfokuskan pada kekuasaan sebagai dasar realita organisasional, maka permasalahan etis utama yang akan kita temui saat kita mengamati suatu organisasi adalah masalah yang berkaitan dengan akuisisi dan pelaksanaan kekuasaan. Masalah etis utama difokuskan bukan pada kewajiban kontraktual perusahaan dan pegawai, namun pada hambatan-hambatan moral terhadap penggunaan kekuasaan di dalam organisasi. Etika perilaku organisasional yang dilihat dari perspektif model politik difokuskan pada pertanyaan: Apa batasan moral, jika ada, pada pelaksanaan kekuasaan dalam organisasi? Dalam bagian-bagian berikut ini, kita akan membahas dua aspek dari pertanyaan ini, yaitu: (a) Apa, jika ada, batasan moral pada kekuasaan manajer yang dapat diterapkan pada pegawai? (b) Apa, jika ada, batasan moral pada kekuasaan pegawai yang dapat diterapkan pada pegawai lain?

5. Hak Pegawai
Apa saja hak pegawai? Hak moral pegawai serupa dengan hak sipil warga negara: hak privasi, hak untuk setuju, hak atas kebebasan berbicara; dan sebagainya.
a.     Hak Privasi 
Hak privasi dapat didefinisikan sebagai hak individu untuk menentukan apa, dengan siapa, dan seberapa banyak informasi tentang dirinya yang boleh diungkapkan pada orang lain. Ada dua jenis privasi: privasi psikologis, yaitu privasi yang berkaitan dengan pemikiran, rencana, keyakinan, nilai, perasaan, dan keinginan seseorang; dan privasi fisik, yaitu privasi yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas fisik seseorang, khususnya yang mengungkapkan kehidupan pribadi seseorang dan aktivitas-aktivitas fisik yang secara umum dianggap sebagai aktivitas pribadi. Ada tiga elemen yang perlu dipertimbangkan saat mengumpulkan informasi yang mungkin mengancam hak privasi pegawai: relevansi, persetujuan, dan metode.
b.   Kebebasan Suara Hati
Seorang pegawai, ketika melaksanakan suatu pekerjaan, mungkin menemukan bahwa perusahaan tempatnya bekerja melakukan sesuatu yang menurutnya merugikan masyarakat. Dan memang, individu-individu dalam perusahaan biasanya merupakan pihak pertama yang mengetahui bahwa, misalnya, perusahaan memasarkan produk-produk yang tidak aman, mencemari lingkungan, menyembunyikan informasi kesehatan, atau melanggar hukum.

Pegawai yang memiliki perasaan tanggung jawab moral, yang menemukan bahwa perusahaan melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat, biasanya akan merasa perlu melakukan sesuatu agar perusahaan menghentikan aktivitas-aktivitas yang merugikan tersebut dengan melaporkannya kepada atasan. Namun sayangnya, jika manajemen internal perusahaan tidak bersedia melakukan apa-apa sehubungan dengan laporan tersebut, maka pegawai hanya memiliki sedikit pilihan. Jika, setelah ditolak perusahaan, pegawai tersebut memiliki keberanian untuk membawa masalah itu ke lembaga pemerintah di luar perusahaan atau, yang lebih buruk lagi, menyebarkan masalah ini kepada publik, maka perusahaan memiliki hak yang sah untuk menghukumnya dengan cara memecatnya. Lebih jauh lagi, jika permasalahannya cukup serius, perusahaan bisa melakukan langkah-langkah untuk memperkuat hukuman dengan menambahkannya pada catatan kerja pegawai yang bersangkutan dan, dalam kasus-kasus ekstrem, berusaha memastikan agar dia tidak akan diterima bekerja oleh perusahaan-perusahaan lain dalam industri.
c.   Whistleblowing
Whistleblowing merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seorang anggota atau mantan anggota suatu organisasi untuk mengungkapkan kesalahan atau aktivitas merugikan yang dilakukan organisasi yang bersangkutan. Whistleblowing bisa bersifat internal ataupun eksternal. Jika suatu pelanggaran hanya dilaporkan pada pihak-pihak yang lebih tinggi dalam organisasi, maka tindakan tersebut adalah whistleblowing internal. Apabila pelanggaran dilaporkan pada individu eksternal atau lembaga-lembaga seperti agen pemerintah, surat kabar, atau kelompok-kelompok kepentingan publik, maka tindakan tersebut merupakan whistleblowing eksternal.
Whistleblowing eksternal secara moral dibenarkan jika: 1) Ada bukti yang jelas, kuat, dan cukup komprehensif bahwa suatu organisasi melakukan aktivitas yang melanggar hukum atau berakibat serius pada pihak lain; 2) Usaha-usaha lain telah dilakukan untuk mencegahnya melalui whistleblowing internal dan gagal; 3) Dapat dipastikan bahwa tindakan whistleblowing eksternal akan mampu mencegah kerugian tersebut; dan 4) Pelanggaran tersebut cukup serius dan lebih buruk dibandingkan akibat tindakan whistleblowing pada diri seseorang, keluarganya, dan pihak-pihak lain.
Kapan seseorang memiliki kewajiban untuk mencegah tindakan yang salah? Misalkan saja syarat 1 sampai 4 telah terpenuhi sehingga tindakan whistleblowing boleh dilakukan. Akan tetapi, seseorang memiliki kewajiban melakukan whistleblowing apabila (a) orang tersebut memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya pelanggaran, baik karena itu merupakan bagian dari tanggung jawab profesionalnya (misalnya sebagai seorang akuntan, petugas pengawasan lingkungan, teknisi profesional, pengacara, dan sebagainya) atau karena tidak ada orang lain yang mampu atau bersedia mencegahnya; dan (b) pelanggaran tersebut bisa mengakibatkan kerugian serius terhadap kesejahteraan masyarakat, mengakibatkan ketidakadilan pada seseorang atau suatu kelompok, atau merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak moral seseorang atau banyak orang.
d.   Hak untuk Berpartisipasi dan Manajemen Partisipatif
Sejumlah penulis mengusulkan bahwa tujuan-tujuan demokrasi perlu diterapkan dalam organisasi bisnis. Sebagian menyatakan bahwa mengizinkan pegawai untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan suatu organisasi merupakan suatu "perintah etis". Sebagai langkah pertama menuju demokrasi seperti itu, sebagian penulis menyatakan bahwa meskipun keputusan-keputusan yang berpengaruh pada pegawai tidak boleh ditetapkan oleh pegawai itu sendiri, namun semua keputusan itu haruslah ditetapkan setelah dilakukan diskusi yang menyeluruh, bebas, dan terbuka dengan para pegawai. lni artinya komunikasi terbuka antara pegawai dengan penyelia mereka dan pembentukan suatu lingkungan yang mendukung proses konsultasi dengan pegawai. Para pegawai diizinkan menyampaikan kritik secara terbuka, memperoleh informasi yang tepat tentang keputusan-keputusan yang akan berpengaruh pada mereka, menyampaikan usulan, dan memprotes keputusan. Langkah kedua menuju "demokrasi organisasional" adalah dengan memberikan bukan hanya hak untuk berkonsultasi, namun juga hak untuk membuat keputusan tentang aktivitas-aktivitas kerja mereka. Keputusan ini bisa mencakup aspek-aspek seperti jam kerja, masa istirahat, pengaturan tugas kerja, dan cakupan tanggung jawab pegawai dan penyelia. Langkah ketiga menuju demokrasi di tempat kerja adalah dengan mengizinkan pegawai berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan besar yang berpengaruh pada operasi perusahaan secara umum.
e.      Hak atas Proses yang Layak dan PHK Sepihak
Doktrin PHK sepihak banyak mendapat kecaman. Pertama, pegawai sering tidak bebas untuk menerima atau menolak pekerjaan tanpa menderita kerugian karena banyak di antara mereka yang tidak bisa memperoleh pekerjaan lain. Lebih jauh lagi, sekalipun mereka bisa memperoleh pekerjaan lain, namun mereka tetap menanggung beban yang berat untuk mencari pekerjaan sementara tidak memperoleh penghasilan saat mencarinya. Jadi, salah satu asumsi dasar dari PHK sepihak bahwa pegawai "bebas" menerima pekerjaan dan "bebas" mencari pekerjaan lain adalah salah. Kedua, pegawai biasanya melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk memberikan kontribusi pada perusahaan, namun mereka melakukannya dengan harapan perusahaan akan memperlakukan mereka dengan adil dan sungguh-sungguh. Pegawai tentu saja tidak akan memilih bekerja di suatu perusahaan yang mereka yakini akan memperlakukan mereka dengan tidak adil. Jadi, ada semacam perjanjian implisit bahwa perusahaan akan memperlakukan pegawainya dengan adil, dan dari perjanjian kontraktual para pegawai berhak atas perlakuan seperti itu. Ketiga, pegawai berhak diperlakukan dengan hormat sebagai individu yang bebas dan sederajat. Sebagian dari hak ini mencakup hak atas perlakuan yang tidak sewenang-wenang dan hak untuk tidak dipaksa menderita kerugian secara tidak adil atau atas dasar tuduhan yang tidak benar. Karena pemecatan atau pengurangan gaji atau penurunan pangkat jelas merugikan pegawai khususnya bila mereka tidak memiliki pilihan pekerjaan lain maka hal itu berarti melanggar hak pegawai apabila tindakan tersebut dilakukan secara sepihak atau didasarkan pada tuduhan yang tidak benar. Untuk alasan-alasan tersebut, sebuah kecenderungan baru muncul dan secara bertahap menggantikan doktrin PHK sepihak, yang menyatakan bahwa pegawai memiliki hak atas proses yang layak.
f. Hak Pegawai dan Penutupan Pabrik
Di antara hak-hak pegawai yang berhubungan penutupan pabrik yang harus dihormati adalah hak untuk diperlakukan sejauh yang telah mereka setujui secara sadar dan sukarela hak yang mewajibkan agar mereka diberitahu tentang rencana penutupan yang akan dilaksanakan. Pertimbangan-pertimbangan etis tersebut dimasukkan dalam usulan-usulan yang dengan baik disampaikan oleh William Diehl, mantan wakil direktur salah satu industri baja, tentang delapan langkah yang dapat dilakukan perusahaan untuk menekan pengaruh-pengaruh merugikan dari penutupan pabrik: 1) Pemberitahuan sebelumnya, 2) Pesangon, 3) Jaminan kesehatan, 4) Pensiun awal, 5) Transfer, 6) Pelatihan kembali, 7) Pembelian oleh pegawai, dan 8) Pembayaran pajak lokal.



g. Serikat Pekerja dan Hak untuk Berorganisasi
Hak pekerja untuk berorganisasi dalam serikat pekerja berasal dari hak untuk diperlakukan sebagai manusia yang bebas dan sederajat. Serikat pekerja secara umum dilihat sebagai sarana untuk menyeimbangkan kekuasaan perusahaan besar sehingga para pekerja dapat saling membantu guna mencapai kekuatan negosiasi yang seimbang dengan perusahaan. Jadi, serikat pekerja mampu mencapai kesetaraan antara pekerja dengan perusahaan yang tidak dapat dicapai apabila pekerja tersebut hanya seorang diri, dan otomatis juga menjamin hak mereka untuk diperlakukan sebagai manusia yang bebas dan sederajat dalam negosiasi pekerjaan dengan perusahaan besar.
Pekerja tidak hanya berhak membentuk serikat pekerja, namun serikat pekerja juga berhak melakukan pemogokan. Hak serikat pekerja untuk melakukan pemogokan berasal dari hak pekerja untuk berhenti melakukan pekerjaan sejauh pelaksanaan pekerjaan tersebut melanggar perjanjian atau hak orang lain. Jadi, pemogokan serikat pekerja secara moral dibenarkan sejauh hal itu tidak melanggar ketentuan perjanjian untuk tidak mogok (yang mungkin saja dinegosiasikan oleh perusahaan) dan sejauh pemogokan tersebut tidak melanggar hak-hak moral pihak lain (seperti warga masyarakat yang hak atas perlindungan dan keselamatan mereka mungkin dilanggar oleh pemogokan yang dilakukan serikat pekerja publik seperti anggota pemadam kebakaran atau polisi).

6. Politik Organisasional
Hambatan etis atas penggunaan kekuasaan formal ini sebagian besar didasarkan pada perspektif moral. Hak atas privasi, proses yang layak, kebebasan suara hati, dan persetujuan semuanya dapat diformalisasikan dalam organisasi (dengan merumuskan dan menerapkan peraturan, undang-undang, dan prosedur) seperti halnya hubungan kekuasaan yang juga diformalisasikan.
Namun demikian, seperti yang telah kita lihat, organisasi juga memiliki kantung-kantung dan saluran kekuasaan informal: sumber-sumber kekuasaan yang tidak terlihat dalam bagan organisasional dan penggunaan kekuasaan yang samar dan mungkin tidak dianggap sah. Kita sekarang beralih pada bagian penting dalam organisasi: politik organisasional.
a.    Taktik Politik dalam Organisasi
Tidak ada definisi yang ditetapkan atas politik organisasional. Untuk tujuan pembahasan ini, kita bisa menggunakan definisi berikut: proses di mana individu atau kelompok menggunakan taktik-taktik kekuasaan yang dibentuk secara non-formal untuk mencapai tujuannya sendiri; kita semua menamakan taktik ini sebagai taktik politik.
Karena politik organisasional bertujuan untuk mencapai kepentingan individu atau kelompok (misalnya memperoleh promosi, kenaikan gaji atau anggaran, status, atau bahkan kekuasaan yang lebih besar) dengan menggunakan kekuasaan-kekuasaan nonformal atas individu atau kelompok lain, maka individu-individu politik cenderung menutupi maksud dan metode mereka. Fakta bahwa taktik politik biasanya tersembunyi memiliki arti bahwa taktik tersebut sangat mungkin mengandung unsur penipuan atau manipulasi. Berikut taktik-taktik yang mereka laporkan: Menyalahkan atau menyerang pihak lain, Mengendalikan informasi, Mengembangkan dukungan bagi gagasan seseorang, Membangun Image, Menjalin hubungan dengan pihak yang berpengaruh, Membentuk koalisi kekuasaan dan mengembangkan aliansi yang kuat, dan Menciptakan kewajiban.

b.      Etika Taktik Politik
Jelasnya, perilaku politik dalam suatu organisasi dapat dengan mudah menjadi kejam: taktik politik bisa digunakan untuk mencapai kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan organisasi dan kelompok, bisa menjadi tindakan manipulasi dan penipuan, serta sangat merugikan pihak-pihak yang hanya sedikit atau tidak memiliki kekuasaan dan keahlian politik. Namun demikian, taktik politik juga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan organisasi dan sosial, kadang diperlukan untuk melindungi yang lemah, dan kadang merupakan satu-satunya pertahanan yang dimiliki untuk menghadapi taktik pihak lain. Dilema bagi individu dalam suatu organisasi adalah mengetahui batas-ba tas yang memisahkan taktik politik yang sah dan perlu dilakukan dengan taktik yang tidak etis.
Masalah-masalah tersebut dapat diselidiki dengan menjawab empat pertanyaan yang bisa memfokuskan perhatian kita pada karakteristik-karakteristik yang secara moral relevan dengan penggunaan taktik politik: (a) pertanyaan dari prinsip utilitarian: Apakah tujuan yang ingin dicapai seseorang dengan menggunakan taktik politik secara sosial menguntungkan atau merugikan?; (b) pertanyaan dari prinsip hak: Apakah taktik politik digunakan sebagai cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan memperlakukan orang dalam cara yang konsisten dengan hak-hak moral mereka?; (c) pertanyaan dari prinsip keadilan: Apakah taktik politik mengarah kepada distribusi keuntungan dan beban yang wajar? dan (d) pertanyaan dari prinsip perhatian: Apa pengaruh taktik politik terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam organisasi?

11.4 Organisasi yang Penuh Perhatian
Aspek kehidupan organisasional tidak cukup baik digambarkan dalam model kontraktual yang merupakan dasar dari organisasi "rasional", ataupun dengan model kekuasaan yang mendasari organisasi "politik". Mungkin aspek tersebut paling tepat digambarkan sebagai organisasi penuh perhatian (caring), di mana konsep-konsep moral utamanya sama dengan konsep yang mendasari etika memberi perhatian. Jeanne M. Lied tka menggambarkan organisasi semacam itu sebagai organisasi, atau bagian organisasi, di mana tindakan memberi perhatian merupakan: a) Difokuskan sepenuhnya pada individu (pribadi), bukan "kualitas", "keuntungan", atau gagasan-gagasan lain yang saat ini banyak dibicarakan; b) Dilihat sebagai tujuan dalam dan dari dirinya sendiri, serta bukan hanya sarana untuk mencapai kualitas, keuntungan, dan sebagainya; c) Bersifat pribadi, dalam artian bahwa hal tersebur melibatkan individu-individu tertentu yang memberikan perhatian, pada tingkat subjektif, pada individu tertentu lainnya; dan d) Pendorong pertumbuhan bagi yang diberi perhatian, dalam artian bahwa tindakan ini menggerakkan mereka menuju pemanfaatan dan pengembangan kemampuan seutuhnya, dalam konteks kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.
Dalam organisasi caring, kepercayaan tumbuh subur karena "orang merasa wajib saling memercayai jika mereka melihat diri mereka sebagai pihak-pihak yang saling membutuhkan dan saling terkait". Karena kepercayaan tumbuh subur dalam organisasi semacam itu, maka organisasi tidak perlu melakukan banyak investasi untuk mengawasi para pegawainya dan memastikan bahwa mereka tidak melanggar perjanjian kontraktual.
Dalam model kontraktual, masalah etis penting muncul dari kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hubungan kontraktual. Dalam model politik, masalah etis penting muncul dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Lalu apa masalah etis penting dari perspektif organisasi carin? Jawabannya adalah memberikan perhatian terlalu banyak atau kurang banyak.


Daftar Pustaka

Velasquez, Manuel G. ETIKA BISNIS Konsep dan Kasus, Edisi 5, Penertbit Andi, Yogyakarta


DAFTAR PUSTAKA

1.   Velasquez, Manuel G. ETIKA BISNIS Konsep dan Kasus, Edisi 5, Penertbit Andi, Yogyakarta.
2.     Triyuwono, Iwan. 2002., Strategi Pendidikan Etika Bisnis dan Profesi pada Pendidikan Akuntansi, Tema, Volume III Nomor 2.
3.     Sasongko, Budi. Internal Auditor Dan Dilema Etika.  www.theAkuntan.Com
4.     Alan Stainer, Lorice Stainer and Alexandra Segal. Etika Perencanaan Pajak
5.     Mariyani, Titik. 1999. Survei Atas Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Dan Perilaku Etis Akuntan Dan Pendapat Tentang Perlunya Pembinaan Moral-Etika Di Kalangan Profesi Akuntan Oleh IAI. Skripsi. Universitas Brawijaya Malang.
6.     Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis bagi Pelaku Bisnis. Penerbit: Rajagrafindo Persada. Jakarta
7.     Ernawan, Erni. 2011. Business Ethics. Penerbit: Alfabeta. Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar