Minggu, 15 April 2012

Prinsip Etis Dalam Berbisnis


BAB II
PRINSIP ETIS DALAM BERBISNIS

2.1 Pendahuluan
Perkembangan bisnis saat ini telah memasuki era globalisasi, dimana terjadi pergerakan komoditas, modal, dan juga manusia yang seolah tanpa batas menembus ke segala penjuru dunia. Modal paling utama dalam bisnis adalah nama dan kepercayaan. Ukuran etika dan sopan santun dalam dunia bisnis sangatlah keras, kalaulah ada pengusaha yang melanggar etika, mereka lebih banyak mendapat hukuman dari masyarakat, dibandingkan dari pemerintah. Karena pada dasarnya juga masyarakat bisnis itu punya jaringan tersendiri, yang sangat luas dan efektif, sehingga setiap pengusaha yang berbuat curang atau tidak etis, maka namanya akan segera tersiar, hal itu tentunya akan merusak nama baiknya sendiri. Etika bisnis itu tidak hanya terlihat dalam hubungan antara pengusaha saja, namun juga terkait hubungan dengan pemerintah dan tentunya masyarakat. Walaupun sejauh ini ukuran etis atau tidak etisnya praktik perusahaan dalam masyarakat masih susah diukur, namun paling tidak kita bisa kembalikan ke hati nurani pengusaha itu sendiri. Terdapat beberapa alasan yang menjadikan etika bisnis menjadi sedemikian pentingnya (Faisal Afiff, 2003):
(1) Ada kelaziman masyarakat yang sudah maju untuk cenderung menuntut para pebisnisnya agar mampu bertindak etis, atau masyarakat pada umumnya mengharapkan kinerja etik yang tinggi. Suatu perusahaan yang memiliki kinerja etik yang tinggi akan mendapat dukungan dan pembenaran dari masyarakat.
(2) Untuk menghindari kerugian kelompok kepentingan dalam masyarakat. seperti para pelanggan, perantara, pemasok dan pesaing.
(3) Untuk   melindungi   atmosfir   berbisnis   dari   kemungkinan   tumbu suburnya perilaku tidak etis, baik dari karyawan (lingkungan internal) maupun dari para pesaing (lingkungan eksternal).
(4)   Untuk melindungi masyarakat yang akan bekerja di sektor bisnis dari ancaman lingkungan kerja yang tidak adil, produk berbahaya, dan bahkan pemalsuan laporan keuangan dan juga memberikan kontribusi pada ketenangan,  keamanan dan kenyamanan  psikologis bagi  para pebisnis   agar   mampu   berkiprah   melakukan   tindakan   bisnis yang konsisten sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
(5)   Umumnya orang menginginkan akan bertindak konsisten dengan pandangan hidupnya, menyangkut nilai-nilai kebaikan dan keburukan perilaku dirinya. Sesuatu yang dipaksakan dan beitentangan dengan nilai pribadinya, lazimnya akan melahirkan sumber konflik batin dan stress emosional yang besar.
Munculnya kasus-kasus yang melahirkan problematik etika bisnis bisa beragam sifatnya, seperti adanya kepentingan pribadi yang berseberangan dengan kepentingan orang lain, hadirnya tekanan persaingan dalam meraih keuntungan yang melahirkan konflik perusahaan dengan pesaingnya, munculnya pertentangan antara tujuan perusahaan dengan nilai-nilai pribadi yang melahirkan pertentangan antara kepentingan atasan dan bawahannya akibat adanya mentalitas pebisnis yang otoriter.
Terjadinya krisis multi dimensional beberapa tahun terakhir menjadi­kan etika bisnis sebagai sorotan dan perhatian dari masyarakat dan para pengamat. Tuntutan masyarakat akan etika dan tolok ukur etika meningkat. hal ini disebabkan pula oleh pengungkapan dan publikasi, kepedulian publik, regulasi pemerintah, kesadaran CEO akan etika dan profesionalisme bisnis meningkat Ferdy (1998) mengutip Cassese menyebutkan bebcrapa alasan perusahaan yang mempunyai orientasi laba menaruh perhatian pada etika bisnis.
(1)       Tekanan dari konsumen.
(2)    Persaingan.
(3)       Perubahan nilai sosial.
(4)        Munculnya beberapa kasus yang menyebabkan ambruknya reputasi
perusahaan atau individu akibat tindakan yang tidak etis.
Jauhnya sentuhan etika atas bisnis disebabkan oleh terlalu terfokusnya perhatian, tanggung jawab dan kewajiban para pelaku bisnis dan manajer untuk memperoleh keuntungan sebesar-besaraya. Usaha untuk meraih keuntungan telah menenggelamkan dan mengubur kesadaran moral para pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik dan etis, terlepas dari kenyataan bahwa masih banyak juga pelaku bisnis yang tetap punya kepekaan terhadap kesadaran moral.
Tingkat urgensi perilaku etis bagi perusahaan sangat menentukan, karena dalam jangka panjang bila perusahaan tidak concern dengan perilaku etis dalam bisnis maka kelangsungan hidupnya akan terganggu. Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keun­tungan sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis, segala kompetensi, ketrampilan, keahlian, potensi, dan modal lainnya ditujukan sepenuhnya untuk memenangkan kompetisi. Dalam jangka pendek mungkin akan meningkatkan keuntungan perusahaan, akan tetapi untuk jangka panjang akan merugikan perusahaan itu sendiri akibat hilangnya kepercayaan pelanggan/konsumen terhadap perusahaan tersebut (Bertens, 1995), karena kepercayaan merupakan salah satu unsur keutamaan yang sangat vital dalam aktivitas bisnis. Tanpa ada kepercayaan tidak akan ada transakasi dan kemitraan. Penyimpangan atau pelanggaran etika akan mengundang sangsi dari masyarakat bisnis. Bentuknya bisa ditinggalkan konsumen dan relasi, dikomplain langsung, via telepon atau surat pembaca, dan sebagainya. Akibatnya nama baik akan hancur, sehingga konsumen akan berkurang, dan bisnis menjadi terhambat.
Pelanggaran etika bisnis memang banyak dilakukan, namun kita harus selalu mengupayakan untuk menggalakkan etika bisnis, paling tidak kita bisa memulai dari pemimpin perusahaan, karena dialah panutan bagi karyawannya. Perilaku etis atau tidak etis dalam perusahaan dikendalikan secara eksplisit maupun implisit oleh budaya perusahaan yang ada. Disini pelatihan etika menjadi aspek penting dari pengendalian perilaku karyawan, karena dalam pelatihan tersebut dapat diberikan pedoman mengenai peraturan dan kebijakan perusahaan, serta perilaku yang dianggap baik atau buruk dalam berbagai situasi.

2.2  Prinsip dalam Berbisnis
Secara umum, prinsip-prinsip yang dipakai dalam bisnis tidak akan pernah lepas dari kehidupan keseharian kita. Namun prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis sesungguhnya adalah implementasi dari prinsip etika pada umumnya.

2.2.1 Prinsip Otonomi
Orang bisnis yang otonom sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. la akan sadar dengan tidak begitu saja mengikuti saja norma dan nilai moral yang ada, namun juga melakukan sesuatu karena tahu dan sadar bahwa hal itu baik, karena semuanya sudah dipikirkan dan dipertimbangkan secara masak-masak. Dalam kaitan ini salah satu contohnya perusahaan memiliki kewajiban terhadap para pelanggan, diantaranya adalah:
(1)       Memberikan produk dan jasa dengan kualitas yang terbaik dan sesuai dengan tuntutan mereka;
(2)       Memperlakukan pelanggan secara adil dalam semua transaksi, termasuk pelayanan yang tinggi dan memperbaiki ketidakpuasan mereka;
(3)    Membuat setiap usaha menjamin mengenai kesehatan dan keselamatan pelanggan, demikian juga kualitas Iingkungan mereka, akan dijaga kelangsungannyadan ditingkatkan terhadap produk  dan  jasa perusahaan;
(4)       Perusahaan harus menghormati martabat manusia dalam menawarkan, memasarkan dan mengiklankan produk.
Untuk bertindak otonom, diandaikan ada kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan yang menurutnya terbaik. karena kebebasan adalah unsur hakiki dari prinsip otonomi ini. Dalam etika, kebebasan adalah prasyarat utama untuk bertindak secara etis, walaupun kebebasan belum menjamin bahwa seseorang bertindak secara otonom dan etis. Unsur lainnya dari prinsip otonomi adalah tanggungjawab, karena selain sadar akan kewajibannya dan bebas dalam mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang dianggap baik, otonom juga harus bisa mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya (di sinilah dimung-kinkan adanya pertimbangan moral). Kesediaan bertanggungjawab merupakan ciri khas dari makhluk bermoral, dan tanggungjawab disini adalah tanggung jawab pada diri kita sendiri dan juga tentunya pada stakeholder.

2.2.2    Prinsip Kejujuran
Bisnis tidak akan bertahan lama jika tidak ada kejujuran, karena kejujuran merupakan modal utama untuk memperoleh kepercayaan dari mitra bisnis-nya, baik berupa kepercayaan komersial, material, maupun moril. Kejujuran menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang berkaitan dengan kejujuran:
1.            Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Pelaku bisnis disini secara a priori saling percaya satu sama lain, bahwa masing-masing pihak jujur melaksanakan janjinya. Karena jika salah satu pihak melanggar, maka tidak mungkin lagi pihak yang dicuranginya mau bekerjasama lagi, dan pihak pengusaha lainnya akan tahu dan tentunya malas berbisnis dengan pihak yang bertindak curang tersebut.
2.            Kejujuran relevan dengan penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga yang baik. Kepercayaan konsumen adalah prinsip pokok dalam berbisnis. Karena jika ada konsumen yang merasa tertipu, tentunya hal tersebut akan rnenyebar yang menyebabkan konsumen tersebut beralih ke produk lain.
3.            Kejujuran relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan yaitu   antara   pemberi    kerja   dan   pekerja, dan berkait dengan kepercayaan. Perusahaan akan hancur jika kejujuran karyawan ataupun atasannya tidak terjaga.

2.2.3    Prinsip Keadilan
Prinsip ini menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Keadilan berarti tidak ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Salah satu teori mengenai keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles adalah:
1.            Keadilan legal. Ini menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat  dengan negara. Semua  pihak dijamin untuk mendapat perlakuan yangsama sesuai dengan hukum yang berlaku. Secara khusus dalam bidang bisnis, keadilan legal menuntut agar  Negara bersikap netral dalam memperlakukan semua pelaku ekonomi, negara menjamin kegiatan bisnis yang sehat dan baik dengan mengeluarkan aturan dan hukum bisnis yang berlaku secara sama bagi semua pelaku bisnis.
2.            Keadilan komunitatif. Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain. Keadilan ini menyangkut hubungan vertikal antara negara dan warga negara, dan hubungan horizontal antar warga negara. Dalam bisnis keadilan ini berlaku sebagai kejadian tukar, yaitu menyangkut pertukaran yang fair antara pihak-pihak yang terlibat.
3.            Keadilan distributif. Atau disebut juga keadilan ekonomi, yaitu distribusi ekonomi yang merata atau dianggap adil bagi semua warga negara. Dalam dunia bisnis keadilan ini   berkaitan dengan prinsip perlakuan yang sama sesuai dengan aturan dan ketentuan   dalam perusahaan yang juga adil dan baik.

2.2.4   Prinsip Saling Menguntungkan
Prinsip ini menuntut agar semua pihak berusaha untuk saling mengun­tungkan satu sama lain. Dalam dunia bisnis, prinsip ini menuntut persaingan bisnis haruslah bisa melahirkan suatu win-win situation.

2.2.5    Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini menyarankan dalam berbisnis selayaknya dijalankan dengan tetap menjaga nama baiknya dan nama baik perusahaan.
Dari kelima prinsip yang tentulah dipaparkan di atas, menurut Adam Smith, prinsip keadilanlah yang merupakan prinsip yang paling penting dalam berbisnis. Prinsip ini menjadi dasardan jiwa dari semua aturan bisnis, walaupun prinsip lainnya juga tidak akan terabaikan. Karena menurut Adam Smith, dalam prinsip keadilan khususnya keadilan komutatif berupa no harm, bahwa sampai tingkat tertentu, prinsip ini telah mengandung semua prinsip etika bisnis lainnya. Karena orang yang jujur tidak akan merugikan orang lain, orang yang mau saling menguntungkan dengan pibak Iain, dan bertanggungjawab untuk tidak merugikan orang lain tanpa alasan yang diterima dan masuk akal.


Sedangkan Velasques (2005) menyebutkan ada empat prinsip yang dipakai dalam berbisnis, yaitu:
(1)  Utilitarianisme
Prinsip ini menyatakan bahwa tindakan dan kebijakan perlu dievaluasi berdasarkan keuntungan dan biaya yang dibebankan kepada masyara-kat. Sebuah prinsip moral yang mengklaim bahwa sesuatu dianggap benar apabila mampu menekan biaya sosial dan memberikan keuntung­an sosial yang lebih besar.
(2)  Hak
Hak merupakan sebuah sarana atau cara yang penting dan bertujuan agar memungkinkan individu untuk memilih dengan bebas apapun kepentingan atau aktivitas mereka dan melindungi pilihan-pilihan mereka. Hak kebebasan dan kesejahteraan orang lain harus dihormati. Hak-hak moral semacam ini memiliki tiga karakteristik penting yang memberikan fungsi pemungkinan dan perlindungan, pertama: hak moral sangat erat kaitannya dengan kewajiban, dimana kewajiban secara umum merupakan sisi lain dari hak moral; kedua: hak moral membe­rikan otonomi dan kesetaraan bagi individu dalam mencari kepentingan-kepentingan mereka; ketiga: hak moral memberikan dasar untuk membenarkan tindakan yang dilakukan seseorang dan untuk melindungi orang lain.
(3)  Keadilan
Mengidentifikasi cara-cara yang adil dalam mendistribusikan keuntung­an dan beban pada para anggota masyarakat. Biasanya masalah keadilan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: keadilan distribute rberkaitan dengan distribusi yang adil atas keuntungan dan beban dalam masyara­kat) dan keadilan retributif (pemberlakuan yang adil pada pihak-pihak yang melakukan kesalahan); keadilan kompensatif (cara yang adil dalam memberikan kompensasi pada seseorang atas kerugian yang mereka alami akibat perbuatan orang lain).
(4)  Perhatian (Caring)
Pandangan ini menekankan bahwa kita mempunyai kewajiban untuk memberikan perhatian terhadap kesejahteraan orang-orang yang ada di sekitar kita, terutama yang mempunyai hubungan ketergantungan.
Selain itu Caux Round Table: Principles for Business (1992) menyebutkan bahwa pengelola bisnis memiliki beberapa tanggung jawab sebagai penghormatan atas kepercayaan mengelola bisnisnya, yaitu:
(1)     Menerapkan manajemen yang profesional dan tekun guna memperoleh keuntungan   yang   wajar   dan   kompetitif   atas   modal   yang   telah ditanamkan.
(2)     Memperlihatkan  informasi  yang relevan  kepada investor  mengenai masalah tuntutan-tuntutan legal dan hambatan persaingan
(3)     Menghemat, melindungi, dan menumbuhkan aset-aset investor,
(4)     Menghormati permintaan, saran, keluhan, dan solusi dari investor.
Prinsip-prinsip umum yang diterapkan dalam Caux Round Table'. Principles for Business (1992) yaitu:
(1)     Tanggung jawab bisnis: dari pemegang saham ke stakeholder. Nilai bisnis bagi masyarakat adalah kesejahteraan dan lapangan pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa yang dapat dipasarkan dengan harga yang sebanding dengan kualitasnya.  Perusahaan memainkan peran   dalam   memperbaiki   kehidupan   pelanggan,   karyawan,   dan pemegang saham   dengan   berbagai   kesejahteraan   kepada   mereka. Pemasok dan pesaing juga mengharapkan agar perusahaan meng­hormati kewajiban-kewajibannya   dalam   semangat   kejujuran   dan fairness.
(2)     Dampak ekonomi dan sosial bisnis, inovasi, keadilan, dan masyarakat dunia.  Bisnis  harus  menghormati  hak asasi  manusia,  peningkatanpendidikan  dan  kesejahteraan,  serta  pemberdayaan  negara  dimana perusahaan beroperasi.bisnis harus beipartisipasi dalam pengembangan ekonomi dan sosial tidak hanya untuk negara dimana mereka beroperasitetapi juga masyarakat dunia yang lebih luas, melalui penggunaan
sumberdaya yang efisien dan hati-hati, persaingan yang wajar dan
bebas,  dan menekankan pada inovasi  teknologi,  metode produksi, pemasaran dan komunikasi.
(3)       Perilaku bisnis: dari letter of law ke semangat saling percaya. Disamping menerima legitimasi rahasia-rahasia perdagangan, bisnis juga harus mengakui adanya kesungguhan, keterusterangan, kejujuran, kesetiaan pada janji dan keterbukaan. Hal itu penting bagi kredibilitas dan integritas mereka dan juga bagi kelancaran dan efisiensi dalam transaksi bisnis terutama pada level internasional.
(4)       Menghargai peraturan. Untuk menghindari friksi dan mengembangkan perdagangan yang lebih bebas, menciptakan kondisi persaingan dan perlakuan yang adil dan wajar bagi semua pelaku, perusahaan harus menghormati   ketentuan-ketentuan domestik dan   internasional.   Dari mereka harus menyadari adanya beberapa perilaku yang legal tapi mungkin masih memiliki konsekuensi-konsekuensi yang merugikan.
(5)       Mendukung perdagangan multilateral. Bisnis harus mendukung system perdagangan    multilateral seperti GATT/WTO dan persetujuan-persetujuan internasional serupa.  Mereka harus bekerjasama dalam usaha   mengembangkan   liberalisasi   perdagangan   yang   maju   dan bijaksana dan mengurangi ketentuan domestik yang tidak masuk akal yang menghalangi perdagangan global.
(6)       Menghormati lingkungan pelaku bisnis harus melindungi dan sejauh mungkin   memperbaiki   lingkungan, mengembangkan pembangunan berkelanjutan dan mencegah penggunaan sumber daya alam secara boros.
(7)       Menghindari praktik-praktik yang kotor. Seorang pelaku bisnis tidak boleh berpartisipasi dalam atau membenarkan tindakan penyuapan, money laundering atau praktik-praktik korupsi lainnya. Untuk itu perlu diadakan kerjasama untuk menekan dan mengurangi tindakan tercela seperti itu. Pelaku bisnis juga tidak boleh terlibat dalam perdagangan senjata atau perdagangan lain yang berhubungan dengan terorisme, perdagangan obat terlarang atau kejahatan terorganisir lainnya.
Dalam hokum Islam juga disebutkan bagaimana prinsip-prinsip dalam berbisnis. Etika bisnis Islami merupakan tata cara pengelolaan bisnis berdasarkan Al-Qur'an, hadits, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih.
Terdapat enam prinsip etika bisnis Islami:
(1)    Prinsip tauhid yang memadukan semua aspek kehidupan manusia, sehingga antara etika dan bisnis terintegrasi, baik secara vertical (hablumminallah) maupun secara horizontal (hablumminannas). Sebagai manifestasi dari prinsip ini, para pelaku bisnis tidak akan melakukan diskriminasi di antara pekerja, dan akan menghindari praktik-praktik bisnis haram atau yang melanggar ketentuan syariah.
(2)        Prinsip pertanggungjawaban. Manusia bertindak berdasarkan pemikiran dan kesadarannya sendiri mengenai apa yang seharusnya dilakukan untuk mendapatkan   penghasilan   dengan cara memproses potensi sehingga menjadi produk yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Para pelaku bisnis hams bisa mempertanggungjawabkan segala aktivitas bisnisnya, baik kepada Allah SWT maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memenuhi tuntutan keadilan.
(3)        Prinsip   keseimbangan   atau   keadilan.   Keadilan   adalah   persyaratan mutlak    dalam   berbisnis. Adil berarti bahwa seseorang harus diperlakukan sesuai haknya. Sistem ekonomi dan bisnis harus sanggup menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
(4)        Prinsip kebenaran. Dalam prinsip ini terkandung dua unsur penting, yaitu kebajikan dan kejujuran. Kebajikan dalam bisnis ditunjukkan dengan sikap kerelaan dan keramahan dalam bermuamalah, sedangkan kejujuran ditunjukkan dengan sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun.
(5)        Persaudaraan dan persamaan. Tidak ada tempat bagi seorang pebisnis untuk melakukan diskriminasi karena perbedaan ras ataupun suku. Persaingan dilakukan secara sehat demi kesejahteraan seluruh umat.
(6)        Ketulusan hati.  Ketulusan biasanya dilandasi oleh komitmen yang mendorong batin seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Pengaruh dari sikap yang tulus dalam berbisnis dapat menghasilkan kegiatan yang lebih efisien dan meningkatkan produkti vitas.
Bagi perusahaan yang berkeinginan untuk membangun sebuah dinasti bisnis yang berhasil untuk tahan lama dituntut untuk memiliki etos kerja (bisnis), tradisi, dan kebiasaan berbisnis secara baik dan etis. Yang dimaksud dengan etos disini adalah suatu kebiasaan moral yang menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun etika memang tidak bisa dipaksakan, kita memerlukan payung hukum yang memungkinkan prinsip-prinsip etika ini dilaksanakan, agar ada sangsi yang jelas dan tegas.

2.3   Menjalankan Bisnis Secara Etis dan Bertanggung Jawab
2.3.1 Peranan Nilai dalam Etika Bisnis
Dalam teori etika, kedudukan nilai (value) sangat krusial dan strategis. Karena dengan nilailah orang-orang dapat dipersatukan untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan dan dengan nilai pula konflik dapat terjadi dan diselesaikan. Sebagai bagian dari aksiologi dalam filsafat, etika mengakomodasikan berbagai nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai hanya ada dalam kehidupan manusia.
Sebagai makhluk yang berbudaya, manusia senantiasa melakukan penilaian terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya. Menilai berarti memberikan pertimbangan untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek, berguna atau tidak berguna. Hasil peni­laian itu disebut nilai, yang secara sederhana nilai dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang benar, yang baik dan yang indah. Nilai dapat berarti pula sebagai keyakinan abadi jangka panjang tentang apa yang penting dalam berbagai situasi dan merupakan standar untuk membantu menentukan apa yang benar atau salah dan apa yang baik dan yang buruk. Nilai bukan hanya menunjukkan apa yang diinginkan, tetapi juga apa seharusnya dilakukan serta cara bagaimana untuk mencapainya.
Dalam etika bisnis nilai itu dapat berarti apa yang baik dan apa yang buruk dilakukan oleh para partisipan bisnis dalam mencapai tujuannya, melalui berbagai aktivitas bisnisnya. Dalam hal ini baik buruk tidak saja diukur dari kepentingan pencapaian tujuan bisnis perusahaan, tetapi juga sekaligus bagi kepentingan para stakeholder dan masyarakatnya. Sebagai suatu organisasi, lembaga bisnis tentu mempekerjakan orang-orang dan karenanya nilai dalam bisnis dapat berbentuk nilai perseorangan (personal value) dan nilai-nilai kelompok (group value) dan organisasional (organizational value).
Manusia dalam organisasi bisnis, memperoleh nilai (Value Added) merupakan suatu harapan, dengan menganut nilai-nilai terminal dan nilai inkrementai. Nilai terminal (Terminal Value) adalah keadaan yang diinginkan seseorang dari bisnisnya baik sebagai nilai yang dimaknai sebagai kepercayaan bersama atau norma kelompok yang telah diserap (internalized) oleh individu (berupa modifikasi), norma yang dimaknai sebagai kepercayaan yang dianut dengan konsensus dari suatu kelompok sehubungan   dengan   kaidah   prilaku   untuk   anggota   individual   pekerja karyawan) sebagai mitra kerja, maupun pemilik usaha atau pebisnisnya. Termasuk dalam nilai-nilai terminal ini antara lain adalah sesuatu yang indah, persamaan hak, kebijaksanaan, dan kenyamanan hidupnya.
Sedangkan Nilai Inkremental (Incremental Value) adalah cara bertingkah laku yang diinginkan untuk mencapai nilai terminal. Dalam hal ini kedudukan nilai inkremental lebih merupakan suatu prosesi yang diharapkan dari seseorang dalam mendukung pencapaian tujuan bersama dari bisnis yang diselenggarakan. Contoh dari nilai inkremental adalah tingkah laku sopan, bertanggung jawab, pengendalian diri, pengendalian emosi dan sikap ambisi.
Nilai personal dalam banyak hal dipengaruhi oleh pengalaman seseorang, interaksi, nilai budaya, nilai profesi, dan nilai organisasionalnya. Termasuk dalam nilai personal perhitungan, kalem, santai, kejujuran, cinta kasih, kedamaian, kegembiraan dan sebagainya. Kadang kala nilai personal berdampak positif bagi organisasi dan dapat juga berbenturan dengan apa yang diharapkan organisasi termasuk pebisnis. Nilai personal yang dianut seseorang dapat saja berbeda dengan nilai organisasional atau nilai perusa-haan. Kedua nilai ini sering dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya. Ketiga nilai ini berpotensi untuk menimbulkan konflik dalam organisasi bisnis dan karenanya pihak pebisnis dengan manajemennya harus menyalaraskan nilai-nilai tersebut sehingga dapat mendorong pencapaian tujuan organisasi dan bisnis. Nilai perusahaan adalah nilai yang dikaitkan dengan tujuan perusa-haan seperti keberhasilan, efisiensi atau penghematan, peningkatan output, kekuatan, daya saing, efektif dan produktifitas.
Pada saat nilai personal berbenturan dengan nilai perusahaan, maka konflik nilai tidak dapat dihindari. Untuk itu pihak manajemen harus menyelaraskan kedua perbedaan nilai tersebut sehingga diperoleh kesamaan nilai yang menjadi panutan para pihak dalam organisasi bisnis yang disebut dengan share values.
Nilai dalam bisnis biasanya juga dikaitkan dengan manfaat produk dan pengorbanan konsumen. Nilai dapat dibatasi dengan sejumlah pengorbanan yang bersedia dibayar konsumen terhadap produk barang/jasa, yang diberikan perusahaan. Nilai-nilai yang diperoleh pelanggan dalam dunia bisnis secara umum terdiri dari nilai rasional, emosional, dan nilai spiritual. Ketiga nilai ini harus disinergiskan dalam perusahaan. Nilai spiritual atau religius yang mengandung kebenaran mutlak saat ini sudah disadari oleh banyak pebisnis dan para ahli paling efektif dalam mendorong keberhasilan bisnis.

2.4   Sumber-sumber Nilai Etika dalam Berbisnis
Bisnis yang agung dan bermartabat adalah bisnis yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam bisnisnya dan pelaku bisnis dengan penuh kesadaran, bukan karena suatu keterpaksaan melaksanakan prinsip-prinsip etika yang berlandaskan moral dalam seluruh rangkaian aktivitas bisnisnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dan memperkaya nilai-nilai moral yang menjadi acuannya diperlukan referensi dan sumber yang memadai dan tidak menyesatkan. Sumber-sumber yang dapat dan layak digunakan seseorang atau pelaku bisnis bagi kegiatan-kegiatan bisnis yang bernilai etika antara lain adalah: filsafat, pengalaman budaya, hukum dan agama.

2.4.1   Filsafat
Sumber utama nilai-nilai etika yang dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi dalam pengeJolaan dan pengendalian perilaku pebisnis dengan aktifitas usaha bisnisnya adalah filsafat. Ajaran-ajaran filsafat tersebut mengandung nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari pemikiran-pemikiran filsuf dan ahli filsafat yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada zaman Yunani Kuno, pemikiran tentang salah dan benar telah dikemukakan, antara lain oleh Socrates (470-399 SM) yang menyatakan bahwa "manusia itu ada untuk suatu tujuan dan bahwa salah dan benar memainkan peranan yang penting dalam mendefinisikan hubungan seseorang dengan lingkungan dan sesamanya". Menurutnya, kebajikan berasal dari pengetahuan diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah jujur dan kejahatan merupakan suatu upaya akibat salah pengarahan yang membebani kondisi seseorang.
Hal ini dapat bermakna bahwa secara hakiki seseorang itu bersih dan suci dari segala dosa dan cela, namun lingkungan dan situasilah yang menjadikannya berprilaku tercela dan berbuat berbagai dosa. Karena manusia dianggap belum mengenal dirinya yang berasal dari zat yang suci, maka Socrates meminta kepada semua orang untuk mengenal diri kita sendiri sebelum berusaha untuk mengenal orang Iain. Harapannya  itu terungkap dalam moto "kenalilah dirimu".
Dalam banyak kesempatan Socrates menyampaikan hasil pemikirannya tentang moral dan memperkenalkan gagasan briliannya tentang hukum moral yang lebih tinggi dari hukum manusia. Pengetahuan, seni, moralitas dan bahkan agama, tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang parsial dan baerdiri sendiri, tetapi selalu dikaitkan dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju kehidupan yang lebih baik. Terkait dengan hubungan antara kekayaan dan kebaikan Socrates justru berpersepsi dan menganggap bahwa kebaikan sebagai penentu kekayaan, bukan sebaliknya kekayaan sebagai penentu kebaikan.
Kekayaan dalam banyak hal tidak membawa kebaikan (yakni keluhuran) tetapi kebaikan membawa kekayaan dan segala berkahnya, baik bagi individu maupun negara (Palmquis, 2000: 50). Untuk itu setiap pebisnis yang mendambakan kekayaan dan keberkahannya, mereka harus dan wajib melakukan kebaikan-kebaikan dalam usaha bisnisnya.
Pandangan Plato (428-348 SM) dapat dijadikan referensi bagi usaha bisnis dalam melihat dunianya. Plato menyebutkan bahwa "dunia ini tiada lain kecuali refleksi atau bayangan daripada dunia ideal yang semuanya sangat sempurna". Aristoteles (384-322 SM), menyatakan pandangannya tentang etika, menurutnya etika merupakan periiaku jiwa yang baik yang menuntun kepada kebahagiaan dan kebenaran. Jiwa dilihat sebagai suatu fakta yang menginginkan kebahagiaan, tidak sekedar kesenangan inderawi semata. Kebajikan moral dan intelektual menuntun jiwa kepada kebahagiaan.
Dari statement Aristoteles tersebut dapat dikemukakan bahwa kebahagiaan itu fungsi dari kebajikan moral dan intelektual. Kedua variabel tersebut secara bersama-sama atau sendiri memberikan dampak terhadap kebahagiaan yang dapat diraih manusia termasuk pelaku bisnis.
Teolog-teolog Kristiani yang juga filsuf-filsuf terkenal seperti St Augustine dan Thomas Aquinas juga menyampaikan pemikirannya terhadap etika dalam versi etika Kristiani. Nabi Muhammad SAW adalah sosok pebisnis yang jujur (al-amien). Bisnis yang dikelola Nabi, menempatkan manusia sebagai postulat atau fokusnya, bukan untuk mengejar target produksi. Nabi Muhammad SAW, mengelola dan mempertahankan kerja sama dengan stafnya dalam waktu yang Jama dan bukan hanya hubungan sesaat.
Salah satu kebiasaan Nabi adalah memberikan reward (peng-hargaan) atas kreativitas dan prestasi yang ditunjukkan pegawainya. Manajemen Islam pun tak mengenal perbedaan perlakuan (diskriminasi) berdasarkan suku, agama, ataupun ras. Nabi Muhammad SAW bahkan pernah bertransaksi bisnis dengan kaum Yahudi. Suatu pandangan agama (Islam) tentang kegiatan bisnis ini adalah berlaku sama untuk semua orang tanpa perduli jenis kelamin, suku, bangsa, agama, keluarga atau bukan keluarga.
Dalam bisnis tidak mengenal keluarga semuanya adalah mitra bisnis dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang layak atas investasinya. Selain penjual dalam bisnis adalah pembeli yang hams dihormati hak-haknya dalam perlakuan dan pelayanannya. Nabi Muhammad pernah bersabda yang artinya bersahabatlah kamu seperti anggota keluarga dan berbisnislah kamu seperti orang lain.
Dengan demikian tidak ada istilah kepada keluarganya pebisnis menetapkan harga yang lebih murah dari orang lain dan memberikan pelayanan yang lebih istimewa dibandingkan pembeli lainnya. Semua orang terutama pembeli membutuhkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri dan keluarganya dan karenanya tawarkanlah sesuatu yang bermanfaat dalam setiap bisnis itu.
Salah satu acuan etika yang dapat dijadikan referensi bagi pebisnis yang menyangkut dengan tawaran manfaat dan kebaikan bagi pelanggan dan manusia adalah pemikiran Bentham (1748-1832) dengan ide utilitarismenya. Dalam gagasan utilitarianisme Bentham dengan tegas menyatakan bahwa perilaku yang beretika itu bilamana apa yang dilakukan tersebut mengha-silkan kebaikan bagi orang banyak. Mudharat dan manfaat (pain and pleasure) dapat diukur dengan kalkulus hedonistic (hedonistic calculus), yakni pengukuran tingkat kebahagiaan yang dapat diperoleh seseorang, seperti halnya utilitas yang diperoleh konsumen akibat mengkonsumsi suatu produk perusahaan dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkannya. Pengukuran nilai etika dengan indikator tersebut dapat menjelaskan betapa baik manfaat dan betapa tidak baik mudharat yang dihasilkan dari suatu aktivitas. Kendala dalam penerapan pemikiran bentham antara lain nilainya yang sangat subjektif terutama   karena   tidak   adanya   pemeringkatan kebahagiaan atau kepuasan.
Dalam etika bisnis yang diukur tentunya aktivitas bisnis seseorang, suatu perusahaan atau suatu holding. Memperlengkapi pengukuran etis tidaknya suatu aktivitas, John Stuart Mill (1806-1873) mengajukan indikator eformasi komunitas, dengan mengacu kepada kualitas kebahagiaan. Kebahagiaan menurutnya dapat diperingkatkan, sehingga pengukuran etika dititikberatkan pada unsur baik atau buruk dan kuantitas dan juga kualitas dari kebahagiaan itu.
Hukuman yang bersifat subjektif diperlukan dalam membuat keputusan etika. Kebahagiaan yang berkualitas tinggi dalam teori etika Mill adalah yang mempunyai sifat kesejahteraan, kebahagiaan mental, pendi-dikan, sensitif terhadap orang lain, berakhlak dan sehat tubuh. Kebahagiaan jenis rendah adalah kejahatan, mementingkan diri sendiri dan sifat pemalas. Nilai-nilai fungsi itu dimiliki oleh manusia sejati, sedangkan nilai-nilai yang rendah itu bercampur baur dengan binatang. Etika kesejahteraan yang rendah itu memberi kesan yang buruk.
Manusia membutuhkan etika, kapan dan dimanapun juga dan karena manusia mempunyai hak asasinya, maka praktik etika harus dikaitkan dengan hak asasi manusia. John Locke (1632-1704) sebagai pelopor hak asasi manusia. Dalam pandangannya menyebutkan bahwa Manusia sebagai makhluk TUHAN yang dalam hidup di dunia mempunyai hak yakni hak manusia. Hak manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia, sebab berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Hak tersebut dinamakan "hak manusia" sebab manusia harus dinilai menurut martabatnya. Hak manusia tidak dapat direbut atau dicabut karena sudah ada sejak manusia itu ada, tidak tergantung dari persetujuan orang, merupakan bagian dari eksistensi manusia di dunia. Jadi hak manusia mempunyai sifat dasar, dan asasi, sehingga disebut juga hak asasi manusia (human rights).
Dengan demikian semua pihak termasuk pebisnis kiranya dapat memaklumi dan menghargai manusia sebagai pemilik hak-hak dasar, yang meliputi: hak atas kehidupan, hak milik pribadi, dan hak atas kebebasan. Dengan memiliki kesadaran dan kehendak, manusia sebagai makhluk memiliki hak untuk hidup, hak atas sarana untuk menunjang kehidupannya (hak milik), dan hak atas kebebasan untuk mewujudkan kehendaknya.
Praktik bisnis yang beretika salah satunya dapat mengacu kepada pemikiran Locke. Suatu bisnis harus dapat memberikan kepada orang lain kehidupan, menjamin hak milik seseorang, seperti hak kepada pelanggan dan pekerja serta menghargai kebebasan dari setiap mitra atau pesaing bisnis kita.
Hak asasi manusia yang harus dihormati pebisnis meliputi hak asasi manusia dan hak sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki hak sosial yang terdiri dari hak ekonomi, sosial, dan kultural. Dengan hak sosial ini manusia berhak untuk memenuhi segala kebutuhan hidup pokok, yakni pangan, sandang, perumahan, kesehatan, kerja, dan pendidikan. Di negara sosialis, hak-hak sosial lebih diutamakan daripada hak-hak individual. Sebaliknya di negara liberalis setiap manusia individual lebih bebas dalam memperjuangkan hak-haknya.
Dalam paham bisnis dan ekonomi secara makro, dikenal paham sosialis dan paham kapitalis. Paham kapitalis membenarkan adanya kepemilikan hak pribadi, sementara dalam pandangan sosialis hak kepemilikan pribadi di dorong penghapusannya, untuk kepentingan pemerataan. Paham Sosialis dipelopori Karl Marx yang mengusung paham sosialis dengan menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan terutama untuk beberapa komoditas penting dan strategis demi kepentingan masyarakat. Paham sosialis tidak dapat dipertahankan, karena berbenturan dengan hak azasi manusia dan berati tidak sesuai dengan nilai-nilai etika bisnis.
Menurut Mihaly (2008:14) Kebutuhan-kebutuhan yang diatur dan diprioritaskan secara terpusat dalam paham solusi sosialis dengan menentu-kan produksi dan konsumsi, terbukti sangat lemah dan akhirnya hancur karena tidak bisa menghasilkan keuntungan materiil yang di janjikan, dan sebagian karena organisasi politiknya lebih rentan digerogoti oleh keserakahan para pemimpinnya ketimbang aristokrasi dan elit bisnis.
Pada tahap selanjutnya berkembang paham kapitalis yang mengagungkan pasar bebas sebagai solusi, namun aspek moral manusia ternyata lebih banyak pengaruhnya kepada kesejahteraan manusia dari pada paham ekonomi itu sendiri. Peluang untuk memperkaya diri dan mengeksploitasi manusia sebenarnya lebih terbuka dalam paham kapitalis. Karena itu paham apapun tidak dapat terbebas dari ajaran-ajaran filsafat yang mengutamakan nilai moral dan kesejahteraan bagi umat manusia. Dalam paham ekonomi seperti sekarang ini para pemimpin bisnis harusnya membuat pernyataan yang bisa dipercaya yang intinya menegaskan bahwa dengan mendukung Groperasinya pasar bebas, tanpa kekangan regulasi sosial dan politik, kita ikan meningkatkan kualitas hidup setiap orang.

2.4.2 Pengalaman dan Perkembangan Budaya
Referensi penting lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai acuan etika bisnis adalah pengalaman dan perkembangan budaya, baik budaya dari suatu bangsa maupun budaya yang bersumber dari berbagai negara (Cracken, 1986). Budaya yang mengalami transisi akan melahirkan nilai, aturan-aturan dan standar-standar yang diterima oleh suatu komunitas tertentu dan selanjutnya diwujudkan dalam perilaku seseorang, suatu kelompok atau suatu komunitas yang lebih besar.
Setiap individu dengan pengetahuannya akan beradaptasi dengan perkembangan nilai budaya dari suatu komunitasnya, terutama untuk kepentingan bertahan hidup (survival) dengan menterjemahkan lingkungan sekitarnya. Budaya adalah suatu sistem nilai dan norma yang diberikan pada suatu kelompok atau komunitas manusia dan ketika itu disepakati atau disahkan bersama-sama sebagai landasan dalam kehidupan (Rusdin, 2002). Masyarakat memasukkan nilai dalam komunitasnya dari berbagai sumber, tidak ada budaya tanpa nilai yang diperoleh manusia dari berbagai sumber, baik keluarga, agama, maupun teman hidupnya semasa kecil.
Budaya tersebut dapat berbeda antar suku, daerah, bangsa dan regional. Bangsa (orang) Jepang dikenal dengan budaya biaya rendah, Inggris dengan status sosialnya, Amerika menjunjung nilai dan memprio-ritaskan nilai kebersamaannya, Rusia dengan keamanan keluarganya, Francis dengan kemandiriannya dan Malaysia dengan keamanan keluarganya. Bangsa Jepang menghargai nilai-nilai keselarasan, hubungan, keamanan keluarga, kebebasan, kerja sama, kesepakatan kelompok dan prestasi kelompok dan menempatkan budaya hubungan sebagai prioritas pertamanya. Bangsa-bangsa di Eropa cenderung berbudaya individualis dan tentunya kurang cocok dengan budaya bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia sebagaimana bangsa-bangsa lain di Asia, memiliki ciri khas budaya: kekeluargaan, kerjasama dan hubungan kekerabatan yang kental. Sikap tenggang rasa juga membudaya di Indonesia, sehingga bangsa ini dikenal toleran dengan orang dan bangsa lain.
Nilai-nilai etika hams dilihat dari aspek positif budayanya, bukan malah menginterpretasikan menurut kemauan pribadi dan kelompok teitentu. Tentu kita tidak perlu mereferensi kepada budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang bernilai etika negatif pada masa orde baru dan sayangnya budaya yang buruk tersebut hingga kini masih eksis di Indonesia.

2.4.3 Sejarah
Budaya memperlengkapi orang dengan rasa identitas dan pengertian akan perilaku yang dapat diterima di dalam masyarakat. Beberapa dari sikap dan prilaku yang lebih penting yang dipengaruhi oleh budaya adalah sebagai berikut:
(1)        Rasa diri dan ruang;
(2)     Komunikasi dan bahasa;
(3)     Pakaian dan penampilan;
(4)     Makanan dan kebiasaan makan;
(5)     Waktu dan kesadaran akan waktu;
(6)        Hubungan (keluarga, organisasi, pemerintah dan sebagainya);
(7)     Nilai dan norma;
(8)     Kepercayaan dan sikap;
(9)     Proses mental dan pelajaran; dan
(10) Kebiasaan kerja dan praktik.
Description: C:\Documents and Settings\User\My Documents\My Scans\2011-12 (Dec)\scan000j.jpgMasyarakat mempengaruhi nilai budaya dari berbagai sumber tidak ada manusia tanpa nilai. Nilai yang dipengaruhi itu berasal dari berbagai sumber, baik budaya, budaya agama, sekolah, maupun pengalaman hidupnya semasa kecil. Budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pada suatu periode waktu tertentu akan diteruskan ke periode waktu yang lain, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Prosesi pergeseran nilai budaya tersebut biasanya dilakukan melalui kelembagaan keluarga, agama dan sekolah (Lembaga Pendidikan). Keterkaitan dan proses pergeseran nilai budaya tersebut dapat ditunjukkan gambar berikut.








Sumber: Engel. et.att (1994:72)
Gambar 2.1
Proses Pergeseran Nilai Budaya Dalam Kehidupan Masyarakat

Kehidupan dalam masyarakat kita, budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) seharusnya bukan budaya bangsa kita. KKN adalah penyimpangan yang merupakan perpaduan nilai-nilai hubungan kekeluargaan dengan sistem kapitalis saat orde baru, sehingga etika yang berlaku saat itu adalah etika penguasa dan etika elit pemerintah an, etika Asal Bapak Senang (ABS) dan etika menjilat yang mengabaikan nilai-nilai moral bangsa Indonesia. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam Pancasila sepatutnya menjadi referensi bagi pelaku bisnis kita, sehingga dengan demikian akan lebih menjamin tercapainya suatu masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Untuk menjamin kelanggengan hidup berbangsa dan bernegara pemerintah menyusun dan memberlakukan hukum. Hukum merupakan aturan hidup yang bersifat memaksa dan si pelanggar dapat diberi tindakan hukum yang tegas dan nyata. Hukum moral dalam banyak hal lebih banyak mewarnai lilai-nilai etika. Hukum moral adalah tuntunan perilaku manusia yang ditaati karena kesadaran yang bersumber pada hati nurani dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan.
Selain hukum moral yang biasanya tidak tertulis dan hanya ditulis untuk penjelasan informasi semata, etika bisnis juga mengadopsi aturan-aturan yang berlaku pada suatu daerah, negara atau kesepakatan-kesepakatan hukum internasional. Harapan-harapan etika ditentukan oleh hukum yang berlaku itu. Hukurn mengatur serta mendorong perbaikan masalah yang dipandang buruk atau baik dalam suatu komunitas. Sayangnya hingga saat ini kita masih menemukan kendala-kendala penyelenggaraan hukum etika di Indonesia.
Hukum etika dalam masyarakat kita terutama dalam etika bisnis belum mampu mengantisipasi perkembangan bisnis. Kita memakluminya, karena hukum dibuat setelah pelanggaran-pelanggaran itu terjadi dalam suatu komunitas. Dengan sistem hukum yang ada dan ditambah dengan hukum agama dan adat sebenarnya Indonesia tidak kekurangan referensi etika yang berasal dari hukum. Dalam banyak hal dan kesempatan pelaku usaha kita lebih banyak menggunakan perangkat hukum sebagai cermin etika dalam penyelenggaraan fungsi dan kegiatan bisnisnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa hukum memiliki bentuk hukuman yang paling tegas dan jelas dibandingkan dengan sumber-sumber etika lainnya. Filsafat, budaya dan agama cenderung pada hukuman yang abstrak seperti dosa, malu, tidak berbudaya dan sebagainya.
Menyadari pada hukum semata dalam penyelenggaraan etika dapat berdampak negatif pada pertumbuhan bisnis di masa yang akan datang. Untuk itu beberapa aspek yang belum terakomodir dalam hukum etika harus dicari jalan keluarnya. Misalnya hubungan interpersonal kerja dengan pesaing yang masih lemah dan kelaziman perbuatan curang dalam pelelangan umum pada instansi pemerintah dengan penyediaan pendamping oleh satu atau group perusahaan yang berbenturan dengan hukum. Harus segera diatur aturan hukumnya. Negara dan aparatur hukum juga harus mampu menggali perkembangan bisnis dan dengan sesegera mungkin membuat produk hukumnya, sehingga kehadiran hukum dapat menyelesaikan masalah etika yang dihadapi tepat pada waktunya. Masalah dalam penegakan etika bisnis di Indonesia yang masih dirasakan antara lain adalah belum efektifnya pemberlakuan Undang-undang tentang hak cipta, Undang-undang pornografi dan pornoaksi.
Selain itu kendala yang di hadapi adalah sulitnya memahami bahasa hukum, demikian juga kepastiannya. Sesuatu baru dapat dianggap legal, setelah adanya putusan pengadilan (praduga tak bersalah) dan dalam banyak hal pengadilan tetap mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam penetapan keputusannya. Hal ini dapat melahirkan sikap masyarakat bisnis yang menganggap tindakannya benar bilamana tidak melanggar hukum walaupun itu tidak etis dan bermoral.
Beberapa aturan yang dapat dipakai untuk praktik etika bisnis di Indonesia antara lain adalah; Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia; Undang-undang Anti Korupsi, Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi; Undang-undang Hak Cipta.

2.4.4 Agama
Agama adalah sumber dari segala moral dalam etika apapun dengan kebenarannya yang absolut. Tiada keraguan dan tidak boleh diragukan nilai-nilai etika yang bersumber dari agama. Agama berkorelasi kuat dengan moral. Setiap agama mengandung ajaran moral atau etika yang di jadikan pegangan bagi para penganutnya. Pada umumnya, kehidupan beragama yang baik akan menghasilkan kehidupan moral yang baik pula. Orang-orang dalam organisasi bisnis secara luas harus menganut nilai shiddiq, tabligh, amanah dan fathanah.
1.                   Shiddiq dapat dimaknai jujur, benar atau sungguh;
2.           Tabligh berarti menyampaikan, kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan, menjalin kerjasama, membentuk reputasi diri dan seterusnya;
3.           Amanah berarti dapat dipercaya, punya kelayakan untuk dipercaya atau credible baik secara moral maupun secara profesional dan fathanah bermakna kecerdasan atau kecerdikan.
Sebagai ajaran yang menetapkan baik-buruk, benar dan salah suatu tindakan atau perilaku manusia termasuk penyelenggaraan ekonomi dan bisnis, maka etika sering mengandalkan sumber ajaran agama. Umat Kristiani dalam beretika bisnis merujuk kepada kitab suci agama Kristen yaitu Injil, kaum Yahudi kepada Kitab Taurat, dan Umat Islam kepada etika Al-Qur'an. Penganut-penganut agama tertentu dengan keyakinannya menggunakan kitab suci yang berasal dari Tuhan sebagai referensi dalam beretika bisnis. Agama-agama langit (Kristen, Yahudi, dan Islam) dalam pandangan Hans Kung (2005) memiliki prinsip-prinsip dasar yang sama dalam etika, yakni keadilan, saling menghormati, dan kejujuran. Referensi agama sebagai metode dan nilai etika biasanya memberikan keberuntungan kepada segenap partisipan bisnis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, di dunia dan juga di akhirat kelak.
Menurut pandangan Islam etika manajemen bisnis berdiri atas empat pilar, yakni: Pertama "Tauhid" yang berarti bahwa segala asset dari transaksi bisnis yang terjadi di dunia adalah milik Allah, manusia hanya mendapatkan amanah untuk mengelolanya. Kedua "Adil", artinya segala keputusan menyangkut transaksi dengan lawan bisnis atau kesepakatan kerja hams dilandasi dengan "akad saling setuju" dengan sistem "profit and loss sharing". Ketiga "kehendak bebas" dalam hal ini manajemen Islam mempersilahkan umatnya untuk menumpahkan kreativitas dalam melakukan transaksi bisnisnya sepanjang memenuhi asas hukum ekonomi Islam, yaitu halal dan Keempat adalah pertanggungjawaban"semua keputusan seorang pemimpin harus "dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan.
Dalam ajaran Islam, etika bisnis ditekankan pada empat hal, yaitu: kesatuan; keseimbangan; kebebasan, dan; tanggung jawab. Etika bisnis Islam sesungguhnya menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran dan keadilan. Moto seperti jujur untuk modal, akal untuk laba adalah ajaran-ajaran etika yang bersumber dari agama dan moral. Selain sumber rujukan tersebut dapat pula digunakan nilai yang positif yang berkembang di lingkungan umum, lingkungan pekerjaan, dan hati nurani kita.



Daftar Pustaka

Ernawan, Erni. 2011. Business Ethics. Penerbit: Alfabeta. Bandung
Bahan Ajar Mata Kuliah Etika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar