BAB II
PRINSIP ETIS DALAM BERBISNIS
2.1 Pendahuluan
Perkembangan bisnis saat ini telah memasuki era globalisasi, dimana
terjadi pergerakan
komoditas, modal, dan juga manusia yang seolah tanpa batas menembus ke segala penjuru dunia. Modal paling
utama dalam bisnis adalah nama dan
kepercayaan. Ukuran etika dan sopan santun dalam dunia bisnis sangatlah keras, kalaulah ada pengusaha yang
melanggar etika, mereka lebih banyak mendapat hukuman dari masyarakat, dibandingkan
dari pemerintah. Karena pada dasarnya juga masyarakat
bisnis itu punya jaringan tersendiri, yang sangat luas dan efektif, sehingga
setiap pengusaha yang berbuat curang atau
tidak etis, maka namanya akan segera tersiar, hal itu tentunya akan merusak
nama baiknya sendiri. Etika bisnis itu tidak hanya terlihat dalam hubungan antara pengusaha saja, namun juga terkait
hubungan dengan pemerintah dan
tentunya masyarakat. Walaupun sejauh ini ukuran etis atau tidak etisnya
praktik perusahaan dalam masyarakat masih susah diukur, namun paling
tidak kita bisa kembalikan ke hati nurani pengusaha itu sendiri.
Terdapat beberapa alasan yang menjadikan etika bisnis menjadi sedemikian
pentingnya (Faisal Afiff, 2003):
(1) Ada kelaziman
masyarakat yang sudah maju untuk cenderung menuntut para pebisnisnya
agar mampu bertindak etis, atau masyarakat pada umumnya mengharapkan kinerja etik
yang tinggi. Suatu perusahaan yang memiliki kinerja etik yang tinggi akan mendapat
dukungan dan pembenaran dari masyarakat.
(2) Untuk
menghindari kerugian kelompok kepentingan dalam masyarakat. seperti para
pelanggan, perantara, pemasok dan pesaing.
(3) Untuk melindungi
atmosfir berbisnis dari
kemungkinan tumbu suburnya perilaku tidak etis, baik dari karyawan
(lingkungan internal) maupun dari
para pesaing (lingkungan eksternal).
(4)
Untuk melindungi masyarakat yang akan bekerja di sektor
bisnis dari ancaman lingkungan kerja yang tidak adil, produk berbahaya, dan bahkan pemalsuan
laporan keuangan dan juga memberikan kontribusi pada ketenangan, keamanan dan kenyamanan psikologis bagi para pebisnis agar
mampu berkiprah melakukan
tindakan bisnis yang konsisten
sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
(5)
Umumnya orang menginginkan akan bertindak konsisten dengan
pandangan hidupnya, menyangkut nilai-nilai kebaikan dan keburukan perilaku
dirinya. Sesuatu yang dipaksakan dan beitentangan dengan nilai
pribadinya, lazimnya akan melahirkan sumber konflik batin dan stress
emosional yang besar.
Munculnya kasus-kasus yang melahirkan problematik etika
bisnis bisa beragam sifatnya, seperti adanya kepentingan pribadi yang berseberangan dengan kepentingan
orang lain, hadirnya tekanan persaingan dalam meraih keuntungan yang melahirkan
konflik perusahaan dengan pesaingnya,
munculnya pertentangan antara tujuan
perusahaan dengan nilai-nilai pribadi yang melahirkan pertentangan
antara kepentingan atasan dan bawahannya akibat adanya mentalitas pebisnis yang otoriter.
Terjadinya krisis
multi dimensional beberapa tahun terakhir menjadikan etika bisnis sebagai sorotan dan perhatian dari masyarakat dan para pengamat.
Tuntutan masyarakat akan etika dan tolok ukur etika meningkat. hal ini disebabkan pula oleh pengungkapan dan
publikasi, kepedulian publik, regulasi pemerintah, kesadaran CEO akan
etika dan profesionalisme bisnis meningkat
Ferdy (1998) mengutip Cassese menyebutkan bebcrapa alasan perusahaan yang mempunyai orientasi laba menaruh
perhatian pada etika bisnis.
(1)
Tekanan dari konsumen.
(2)
Persaingan.
(3)
Perubahan nilai sosial.
(4)
Munculnya beberapa kasus yang menyebabkan ambruknya
reputasi
perusahaan atau individu akibat tindakan yang tidak etis.
perusahaan atau individu akibat tindakan yang tidak etis.
Jauhnya sentuhan etika atas bisnis disebabkan oleh terlalu terfokusnya perhatian,
tanggung jawab dan kewajiban para pelaku bisnis dan manajer untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besaraya. Usaha untuk meraih keuntungan telah menenggelamkan
dan mengubur kesadaran moral para pelaku bisnis untuk berbisnis secara
baik dan etis, terlepas dari kenyataan bahwa masih banyak juga pelaku bisnis
yang tetap punya kepekaan terhadap kesadaran moral.
Tingkat urgensi perilaku etis bagi perusahaan sangat menentukan, karena dalam
jangka panjang bila perusahaan tidak concern dengan perilaku etis dalam bisnis
maka kelangsungan hidupnya akan terganggu. Hal ini terjadi akibat
manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan sehingga
terjadi penyimpangan norma-norma etis, segala kompetensi, ketrampilan,
keahlian, potensi, dan modal lainnya ditujukan sepenuhnya untuk
memenangkan kompetisi. Dalam jangka pendek mungkin akan meningkatkan
keuntungan perusahaan, akan tetapi untuk jangka panjang akan merugikan
perusahaan itu sendiri akibat hilangnya kepercayaan pelanggan/konsumen terhadap
perusahaan tersebut (Bertens, 1995), karena kepercayaan merupakan salah satu
unsur keutamaan yang sangat vital dalam aktivitas bisnis. Tanpa ada kepercayaan
tidak akan ada transakasi dan kemitraan.
Penyimpangan atau pelanggaran etika akan mengundang sangsi dari masyarakat
bisnis. Bentuknya bisa ditinggalkan konsumen dan relasi, dikomplain
langsung, via telepon atau surat pembaca, dan sebagainya. Akibatnya nama baik akan hancur,
sehingga konsumen akan berkurang, dan bisnis
menjadi terhambat.
Pelanggaran etika bisnis memang banyak dilakukan, namun
kita harus selalu mengupayakan untuk menggalakkan etika bisnis, paling tidak kita
bisa memulai dari
pemimpin perusahaan, karena dialah panutan bagi karyawannya. Perilaku etis atau tidak etis dalam perusahaan dikendalikan secara eksplisit maupun implisit oleh budaya perusahaan
yang ada. Disini pelatihan etika
menjadi aspek penting dari pengendalian perilaku karyawan, karena dalam pelatihan tersebut dapat diberikan pedoman
mengenai peraturan dan kebijakan
perusahaan, serta perilaku yang dianggap baik atau buruk dalam berbagai
situasi.
2.2 Prinsip dalam
Berbisnis
Secara umum,
prinsip-prinsip yang dipakai dalam bisnis tidak akan pernah lepas dari
kehidupan keseharian kita. Namun prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis
sesungguhnya adalah implementasi dari prinsip etika pada umumnya.
2.2.1 Prinsip Otonomi
Orang bisnis yang otonom sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya
dalam dunia bisnis. la akan sadar dengan tidak begitu saja mengikuti saja
norma dan nilai moral yang ada, namun juga melakukan sesuatu karena
tahu dan sadar bahwa hal itu baik, karena semuanya sudah dipikirkan dan
dipertimbangkan secara masak-masak. Dalam kaitan ini salah satu contohnya
perusahaan memiliki kewajiban terhadap para pelanggan, diantaranya
adalah:
(1)
Memberikan produk dan jasa dengan kualitas yang terbaik
dan sesuai dengan tuntutan
mereka;
(2)
Memperlakukan pelanggan secara adil dalam semua
transaksi, termasuk pelayanan
yang tinggi dan memperbaiki ketidakpuasan mereka;
(3)
Membuat setiap usaha menjamin mengenai kesehatan dan
keselamatan pelanggan, demikian juga kualitas Iingkungan mereka, akan dijaga kelangsungannyadan ditingkatkan
terhadap produk dan jasa perusahaan;
(4)
Perusahaan harus menghormati martabat manusia dalam
menawarkan, memasarkan dan mengiklankan produk.
Untuk bertindak otonom, diandaikan ada kebebasan untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan yang menurutnya terbaik. karena kebebasan adalah unsur hakiki
dari prinsip otonomi ini. Dalam etika, kebebasan
adalah prasyarat utama untuk bertindak secara etis, walaupun kebebasan
belum menjamin bahwa seseorang bertindak secara otonom dan etis. Unsur lainnya dari prinsip otonomi adalah
tanggungjawab, karena selain sadar
akan kewajibannya dan bebas dalam mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang dianggap baik,
otonom juga harus bisa mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya (di
sinilah dimung-kinkan adanya
pertimbangan moral). Kesediaan bertanggungjawab merupakan ciri khas dari makhluk bermoral, dan tanggungjawab disini adalah tanggung jawab pada diri kita
sendiri dan juga tentunya pada stakeholder.
2.2.2 Prinsip
Kejujuran
Bisnis tidak akan bertahan lama jika tidak ada kejujuran, karena
kejujuran merupakan
modal utama untuk memperoleh kepercayaan dari mitra bisnis-nya, baik berupa kepercayaan komersial, material,
maupun moril. Kejujuran menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran. Terdapat
tiga lingkup kegiatan bisnis yang
berkaitan dengan kejujuran:
1.
Kejujuran
relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Pelaku bisnis disini secara a priori saling percaya satu
sama lain, bahwa masing-masing pihak
jujur melaksanakan janjinya. Karena jika
salah satu pihak melanggar, maka tidak mungkin lagi pihak yang dicuranginya mau bekerjasama lagi, dan pihak
pengusaha lainnya akan tahu dan tentunya malas berbisnis dengan pihak yang
bertindak curang tersebut.
2.
Kejujuran relevan dengan penawaran barang dan jasa dengan
mutu dan harga yang baik. Kepercayaan konsumen adalah prinsip pokok dalam berbisnis. Karena
jika ada konsumen yang merasa tertipu, tentunya hal tersebut akan rnenyebar
yang menyebabkan konsumen tersebut beralih ke produk lain.
3.
Kejujuran relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu
perusahaan yaitu antara pemberi
kerja dan pekerja, dan berkait dengan kepercayaan.
Perusahaan akan hancur jika kejujuran karyawan ataupun atasannya tidak
terjaga.
2.2.3 Prinsip
Keadilan
Prinsip ini menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan
yang adil dan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Keadilan berarti tidak ada pihak yang dirugikan hak dan
kepentingannya. Salah satu teori mengenai keadilan yang dikemukakan oleh
Aristoteles adalah:
1.
Keadilan
legal. Ini menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Semua pihak dijamin untuk mendapat perlakuan yangsama sesuai dengan hukum yang berlaku. Secara khusus dalam bidang bisnis,
keadilan legal menuntut agar Negara bersikap netral dalam memperlakukan
semua pelaku ekonomi, negara menjamin
kegiatan bisnis yang sehat dan baik dengan mengeluarkan aturan dan hukum bisnis
yang berlaku secara sama bagi semua
pelaku bisnis.
2.
Keadilan
komunitatif. Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain. Keadilan ini
menyangkut hubungan vertikal antara negara dan warga negara, dan
hubungan horizontal antar warga negara.
Dalam bisnis keadilan ini berlaku sebagai kejadian tukar, yaitu menyangkut
pertukaran yang fair antara pihak-pihak yang terlibat.
3.
Keadilan
distributif. Atau disebut juga keadilan ekonomi, yaitu distribusi ekonomi yang merata atau dianggap adil bagi semua warga negara. Dalam dunia bisnis keadilan ini berkaitan dengan prinsip perlakuan yang sama sesuai dengan aturan dan ketentuan dalam perusahaan yang juga adil dan baik.
2.2.4 Prinsip
Saling Menguntungkan
Prinsip ini menuntut agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu
sama lain. Dalam dunia bisnis, prinsip ini menuntut persaingan bisnis haruslah
bisa melahirkan suatu win-win situation.
2.2.5 Prinsip Integritas
Moral
Prinsip ini menyarankan dalam berbisnis selayaknya dijalankan dengan
tetap menjaga nama baiknya dan nama baik perusahaan.
Dari kelima prinsip yang tentulah dipaparkan di atas, menurut Adam
Smith, prinsip keadilanlah yang merupakan prinsip yang paling penting dalam
berbisnis. Prinsip ini menjadi dasardan jiwa dari semua aturan bisnis, walaupun
prinsip lainnya juga tidak akan terabaikan. Karena menurut Adam Smith, dalam
prinsip keadilan khususnya keadilan komutatif berupa no harm, bahwa sampai
tingkat tertentu, prinsip ini telah mengandung semua prinsip etika
bisnis lainnya. Karena orang yang jujur tidak akan merugikan orang lain,
orang yang mau saling menguntungkan dengan pibak Iain, dan bertanggungjawab
untuk tidak merugikan orang lain tanpa alasan yang diterima dan
masuk akal.
Sedangkan Velasques (2005) menyebutkan ada empat prinsip yang dipakai dalam berbisnis, yaitu:
(1)
Utilitarianisme
Prinsip ini menyatakan bahwa tindakan dan kebijakan perlu
dievaluasi berdasarkan keuntungan dan biaya yang dibebankan kepada masyara-kat. Sebuah
prinsip moral yang mengklaim bahwa sesuatu dianggap benar apabila
mampu menekan biaya sosial dan memberikan keuntungan sosial yang lebih besar.
(2)
Hak
Hak merupakan sebuah sarana atau cara yang penting dan
bertujuan agar memungkinkan individu untuk memilih dengan bebas apapun kepentingan atau
aktivitas mereka dan melindungi pilihan-pilihan mereka. Hak kebebasan dan
kesejahteraan orang lain harus dihormati. Hak-hak moral semacam ini memiliki
tiga karakteristik penting yang memberikan fungsi pemungkinan dan
perlindungan, pertama: hak moral sangat erat kaitannya dengan kewajiban,
dimana kewajiban secara umum merupakan sisi lain dari hak moral; kedua: hak moral
memberikan otonomi dan kesetaraan bagi individu dalam mencari kepentingan-kepentingan
mereka; ketiga: hak moral memberikan dasar untuk membenarkan tindakan yang
dilakukan seseorang dan untuk melindungi orang lain.
(3)
Keadilan
Mengidentifikasi cara-cara yang adil dalam
mendistribusikan keuntungan dan beban pada para anggota masyarakat. Biasanya
masalah keadilan dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: keadilan
distribute rberkaitan dengan distribusi yang adil atas keuntungan dan beban
dalam masyarakat) dan
keadilan retributif (pemberlakuan yang adil pada pihak-pihak yang melakukan kesalahan); keadilan kompensatif
(cara yang adil dalam memberikan
kompensasi pada seseorang atas kerugian yang mereka alami akibat perbuatan orang lain).
(4)
Perhatian (Caring)
Pandangan ini menekankan bahwa kita mempunyai kewajiban
untuk memberikan perhatian terhadap kesejahteraan orang-orang yang ada di
sekitar kita, terutama yang mempunyai hubungan ketergantungan.
Selain itu Caux Round Table: Principles for Business (1992) menyebutkan bahwa pengelola
bisnis memiliki beberapa tanggung jawab sebagai penghormatan atas kepercayaan
mengelola bisnisnya, yaitu:
(1)
Menerapkan manajemen yang profesional dan tekun guna
memperoleh keuntungan yang wajar
dan kompetitif atas
modal yang
telah ditanamkan.
(2)
Memperlihatkan
informasi yang relevan kepada investor mengenai masalah tuntutan-tuntutan legal dan
hambatan persaingan
(3)
Menghemat,
melindungi, dan menumbuhkan aset-aset investor,
(4)
Menghormati
permintaan, saran, keluhan, dan solusi dari investor.
Prinsip-prinsip umum yang diterapkan dalam Caux Round Table'. Principles for
Business (1992) yaitu:
(1)
Tanggung jawab bisnis: dari pemegang saham ke stakeholder.
Nilai bisnis bagi masyarakat adalah kesejahteraan dan lapangan pekerjaan yang menghasilkan
barang dan jasa yang dapat dipasarkan dengan harga yang sebanding dengan
kualitasnya. Perusahaan memainkan peran dalam
memperbaiki kehidupan pelanggan,
karyawan, dan pemegang saham
dengan berbagai kesejahteraan kepada
mereka. Pemasok dan pesaing
juga mengharapkan agar perusahaan menghormati
kewajiban-kewajibannya dalam semangat
kejujuran dan fairness.
(2)
Dampak ekonomi dan sosial bisnis, inovasi, keadilan, dan
masyarakat dunia. Bisnis harus
menghormati hak asasi manusia,
peningkatanpendidikan dan kesejahteraan, serta
pemberdayaan negara dimana perusahaan beroperasi.bisnis
harus beipartisipasi dalam pengembangan ekonomi dan sosial tidak hanya untuk
negara dimana mereka beroperasitetapi juga masyarakat dunia yang lebih luas, melalui
penggunaan
sumberdaya yang efisien dan hati-hati, persaingan yang wajar dan bebas, dan menekankan pada inovasi teknologi, metode produksi, pemasaran dan komunikasi.
sumberdaya yang efisien dan hati-hati, persaingan yang wajar dan bebas, dan menekankan pada inovasi teknologi, metode produksi, pemasaran dan komunikasi.
(3)
Perilaku bisnis: dari letter of law ke semangat
saling percaya. Disamping menerima legitimasi rahasia-rahasia perdagangan,
bisnis juga harus mengakui adanya kesungguhan, keterusterangan, kejujuran, kesetiaan pada
janji dan keterbukaan. Hal itu penting bagi kredibilitas dan integritas
mereka dan juga bagi kelancaran dan efisiensi dalam transaksi
bisnis terutama pada level internasional.
(4)
Menghargai peraturan. Untuk menghindari friksi dan
mengembangkan perdagangan yang lebih bebas, menciptakan kondisi persaingan dan perlakuan
yang adil dan wajar bagi semua pelaku, perusahaan harus menghormati ketentuan-ketentuan domestik dan internasional. Dari mereka harus menyadari adanya beberapa
perilaku yang legal tapi mungkin
masih memiliki konsekuensi-konsekuensi yang merugikan.
(5)
Mendukung perdagangan multilateral. Bisnis harus mendukung
system perdagangan multilateral
seperti GATT/WTO dan persetujuan-persetujuan internasional serupa. Mereka harus bekerjasama dalam usaha mengembangkan liberalisasi perdagangan
yang maju dan bijaksana dan mengurangi ketentuan
domestik yang tidak masuk akal yang menghalangi perdagangan global.
(6)
Menghormati lingkungan pelaku bisnis harus melindungi dan sejauh
mungkin memperbaiki lingkungan, mengembangkan pembangunan berkelanjutan
dan mencegah penggunaan sumber daya alam secara boros.
(7)
Menghindari praktik-praktik yang kotor. Seorang pelaku
bisnis tidak boleh berpartisipasi dalam atau membenarkan tindakan penyuapan, money laundering atau praktik-praktik korupsi lainnya.
Untuk itu perlu diadakan kerjasama untuk
menekan dan mengurangi tindakan tercela seperti itu. Pelaku bisnis juga tidak boleh terlibat dalam perdagangan senjata atau perdagangan lain yang berhubungan
dengan terorisme, perdagangan obat terlarang atau kejahatan terorganisir
lainnya.
Dalam hokum Islam juga disebutkan bagaimana prinsip-prinsip dalam berbisnis.
Etika bisnis Islami merupakan tata cara pengelolaan bisnis berdasarkan Al-Qur'an, hadits, dan
hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih.
Terdapat enam
prinsip etika bisnis Islami:
(1)
Prinsip tauhid yang memadukan semua aspek kehidupan manusia,
sehingga antara etika dan bisnis terintegrasi, baik secara vertical (hablumminallah)
maupun
secara horizontal (hablumminannas). Sebagai manifestasi dari prinsip ini,
para pelaku bisnis tidak akan melakukan diskriminasi di antara pekerja, dan akan menghindari
praktik-praktik bisnis haram atau yang melanggar ketentuan syariah.
(2)
Prinsip
pertanggungjawaban. Manusia bertindak berdasarkan pemikiran dan kesadarannya sendiri mengenai apa yang
seharusnya dilakukan untuk mendapatkan penghasilan
dengan cara memproses potensi sehingga
menjadi produk yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Para pelaku bisnis hams bisa mempertanggungjawabkan segala
aktivitas bisnisnya, baik kepada
Allah SWT maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk memenuhi tuntutan keadilan.
(3)
Prinsip
keseimbangan atau keadilan.
Keadilan adalah persyaratan mutlak dalam
berbisnis. Adil berarti bahwa seseorang harus diperlakukan
sesuai haknya. Sistem ekonomi dan bisnis harus sanggup menciptakan
keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
(4)
Prinsip kebenaran. Dalam prinsip ini terkandung dua unsur
penting, yaitu kebajikan dan kejujuran. Kebajikan dalam bisnis ditunjukkan dengan sikap
kerelaan dan keramahan dalam bermuamalah, sedangkan kejujuran
ditunjukkan dengan sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan
tanpa adanya penipuan sedikitpun.
(5)
Persaudaraan dan persamaan. Tidak ada tempat bagi seorang
pebisnis untuk melakukan diskriminasi karena perbedaan ras ataupun suku. Persaingan dilakukan secara sehat
demi kesejahteraan seluruh umat.
(6)
Ketulusan hati.
Ketulusan biasanya dilandasi oleh komitmen yang mendorong batin seseorang untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Pengaruh dari sikap yang tulus
dalam berbisnis dapat menghasilkan kegiatan yang lebih efisien dan meningkatkan
produkti vitas.
Bagi perusahaan yang berkeinginan untuk membangun sebuah dinasti bisnis yang
berhasil untuk tahan lama dituntut untuk memiliki etos kerja (bisnis),
tradisi, dan kebiasaan berbisnis secara baik dan etis. Yang dimaksud dengan
etos disini adalah suatu kebiasaan moral yang menyangkut kegiatan bisnis yang
dianut dalam suatu perusahaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun
etika memang tidak bisa dipaksakan, kita memerlukan payung hukum yang memungkinkan
prinsip-prinsip etika ini dilaksanakan, agar
ada sangsi yang jelas dan tegas.
2.3 Menjalankan
Bisnis Secara Etis dan Bertanggung Jawab
2.3.1 Peranan Nilai dalam Etika Bisnis
Dalam teori etika, kedudukan nilai (value) sangat krusial dan
strategis. Karena dengan nilailah orang-orang dapat dipersatukan untuk mencapai
suatu
tujuan yang diharapkan dan dengan nilai pula konflik dapat terjadi dan diselesaikan.
Sebagai bagian dari aksiologi dalam filsafat, etika mengakomodasikan
berbagai nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai hanya ada
dalam kehidupan manusia.
Sebagai makhluk yang berbudaya, manusia senantiasa
melakukan penilaian terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya. Menilai
berarti memberikan
pertimbangan untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek, berguna atau tidak
berguna. Hasil penilaian itu disebut
nilai, yang secara sederhana nilai dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang benar, yang baik dan yang
indah. Nilai dapat berarti pula
sebagai keyakinan abadi jangka panjang tentang apa yang penting dalam berbagai situasi dan merupakan standar
untuk membantu menentukan apa yang
benar atau salah dan apa yang baik dan yang buruk. Nilai bukan hanya menunjukkan apa yang diinginkan, tetapi juga
apa seharusnya dilakukan serta cara
bagaimana untuk mencapainya.
Dalam etika bisnis nilai itu dapat berarti apa yang baik
dan apa yang buruk dilakukan oleh para partisipan bisnis dalam mencapai tujuannya, melalui berbagai
aktivitas bisnisnya. Dalam hal ini baik buruk tidak saja diukur dari kepentingan pencapaian
tujuan bisnis perusahaan, tetapi juga sekaligus
bagi kepentingan para stakeholder dan masyarakatnya. Sebagai suatu
organisasi, lembaga bisnis tentu mempekerjakan orang-orang dan karenanya nilai
dalam bisnis dapat berbentuk nilai perseorangan (personal value) dan
nilai-nilai kelompok (group value) dan organisasional (organizational value).
Manusia dalam organisasi bisnis, memperoleh nilai (Value
Added) merupakan suatu harapan, dengan menganut nilai-nilai
terminal dan nilai
inkrementai. Nilai terminal (Terminal Value) adalah keadaan yang diinginkan seseorang dari bisnisnya baik sebagai
nilai yang dimaknai sebagai
kepercayaan bersama atau norma kelompok yang telah diserap (internalized) oleh individu (berupa modifikasi), norma yang dimaknai sebagai kepercayaan yang dianut dengan konsensus
dari suatu kelompok sehubungan dengan
kaidah prilaku untuk
anggota individual pekerja karyawan) sebagai mitra kerja, maupun pemilik usaha atau pebisnisnya. Termasuk dalam nilai-nilai terminal ini antara lain
adalah sesuatu yang indah, persamaan
hak, kebijaksanaan, dan kenyamanan hidupnya.
Sedangkan Nilai Inkremental (Incremental Value)
adalah cara bertingkah laku yang diinginkan untuk mencapai nilai
terminal. Dalam hal ini kedudukan nilai inkremental lebih merupakan suatu prosesi
yang diharapkan
dari seseorang dalam mendukung pencapaian tujuan bersama dari bisnis yang
diselenggarakan. Contoh dari nilai inkremental adalah tingkah laku
sopan, bertanggung jawab, pengendalian diri, pengendalian emosi dan sikap
ambisi.
Nilai personal dalam banyak hal dipengaruhi oleh
pengalaman seseorang, interaksi, nilai budaya, nilai profesi, dan nilai
organisasionalnya. Termasuk dalam nilai personal perhitungan, kalem,
santai, kejujuran, cinta kasih, kedamaian, kegembiraan dan sebagainya. Kadang kala
nilai personal berdampak positif bagi organisasi dan dapat juga
berbenturan dengan apa yang diharapkan organisasi termasuk pebisnis. Nilai
personal yang dianut seseorang
dapat saja berbeda dengan nilai organisasional atau nilai perusa-haan. Kedua nilai ini sering dipengaruhi oleh
nilai-nilai budaya. Ketiga nilai ini
berpotensi untuk menimbulkan konflik dalam organisasi bisnis dan karenanya pihak pebisnis dengan manajemennya
harus menyalaraskan nilai-nilai tersebut sehingga dapat mendorong pencapaian
tujuan organisasi dan bisnis. Nilai perusahaan adalah nilai yang
dikaitkan dengan tujuan perusa-haan seperti keberhasilan, efisiensi atau
penghematan, peningkatan output, kekuatan,
daya saing, efektif dan produktifitas.
Pada saat nilai personal berbenturan dengan nilai
perusahaan, maka konflik nilai tidak dapat dihindari. Untuk itu pihak
manajemen harus menyelaraskan kedua perbedaan nilai tersebut sehingga
diperoleh kesamaan nilai yang menjadi panutan para pihak dalam organisasi
bisnis yang disebut dengan share values.
Nilai dalam bisnis biasanya juga dikaitkan dengan manfaat
produk dan pengorbanan konsumen. Nilai dapat dibatasi dengan sejumlah pengorbanan yang
bersedia dibayar konsumen terhadap produk barang/jasa, yang diberikan
perusahaan. Nilai-nilai yang diperoleh pelanggan dalam dunia bisnis secara
umum terdiri dari nilai rasional, emosional, dan nilai spiritual. Ketiga nilai ini
harus disinergiskan dalam perusahaan. Nilai spiritual atau religius yang
mengandung kebenaran mutlak saat ini sudah disadari oleh banyak pebisnis dan para ahli paling
efektif dalam mendorong keberhasilan bisnis.
2.4 Sumber-sumber Nilai Etika dalam Berbisnis
Bisnis yang agung dan bermartabat adalah bisnis yang menjunjung tinggi
nilai-nilai etika dalam bisnisnya dan pelaku bisnis dengan penuh kesadaran,
bukan karena suatu keterpaksaan melaksanakan prinsip-prinsip etika yang
berlandaskan moral dalam seluruh rangkaian aktivitas bisnisnya. Untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat dan memperkaya nilai-nilai moral yang menjadi acuannya
diperlukan referensi dan sumber yang memadai dan tidak menyesatkan.
Sumber-sumber yang dapat dan layak digunakan seseorang atau pelaku bisnis bagi kegiatan-kegiatan
bisnis yang bernilai etika antara lain adalah: filsafat, pengalaman budaya, hukum dan agama.
2.4.1 Filsafat
Sumber utama nilai-nilai etika yang dapat dijadikan
sebagai acuan dan referensi dalam pengeJolaan dan pengendalian perilaku pebisnis
dengan aktifitas usaha bisnisnya adalah filsafat. Ajaran-ajaran filsafat
tersebut mengandung nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari pemikiran-pemikiran
filsuf
dan ahli filsafat yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada
zaman Yunani Kuno, pemikiran tentang salah dan benar telah dikemukakan, antara lain oleh Socrates (470-399 SM)
yang menyatakan bahwa "manusia
itu ada untuk suatu tujuan dan bahwa salah dan benar memainkan peranan yang penting dalam mendefinisikan
hubungan seseorang dengan lingkungan
dan sesamanya". Menurutnya, kebajikan berasal dari pengetahuan diri, dan bahwa manusia pada dasarnya adalah
jujur dan kejahatan merupakan suatu upaya akibat salah pengarahan
yang membebani kondisi seseorang.
Hal ini dapat bermakna bahwa secara hakiki seseorang itu
bersih dan suci dari segala dosa dan cela, namun lingkungan dan situasilah
yang menjadikannya
berprilaku tercela dan berbuat berbagai dosa. Karena manusia
dianggap belum mengenal dirinya yang berasal dari zat yang suci, maka Socrates
meminta kepada semua orang untuk mengenal diri kita sendiri sebelum
berusaha untuk mengenal orang Iain. Harapannya
itu terungkap dalam moto "kenalilah dirimu".
Dalam banyak kesempatan Socrates menyampaikan hasil pemikirannya
tentang moral dan memperkenalkan gagasan briliannya tentang hukum moral yang lebih tinggi
dari hukum manusia. Pengetahuan, seni,
moralitas dan bahkan agama, tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang parsial dan baerdiri sendiri, tetapi selalu
dikaitkan dengan kegunaannya bagi
manusia dalam menuju kehidupan yang lebih baik. Terkait dengan hubungan antara kekayaan dan kebaikan Socrates
justru berpersepsi dan menganggap
bahwa kebaikan sebagai penentu kekayaan, bukan sebaliknya kekayaan sebagai penentu kebaikan.
Kekayaan dalam banyak hal tidak membawa kebaikan (yakni keluhuran) tetapi kebaikan membawa
kekayaan dan segala berkahnya, baik bagi
individu maupun negara (Palmquis, 2000: 50). Untuk itu setiap pebisnis yang
mendambakan kekayaan dan keberkahannya, mereka harus dan wajib melakukan kebaikan-kebaikan dalam usaha
bisnisnya.
Pandangan Plato (428-348 SM) dapat dijadikan referensi
bagi usaha bisnis dalam melihat dunianya. Plato menyebutkan bahwa "dunia ini
tiada lain kecuali refleksi atau bayangan daripada dunia ideal yang semuanya sangat sempurna". Aristoteles
(384-322 SM), menyatakan pandangannya tentang
etika, menurutnya etika merupakan periiaku jiwa yang baik yang menuntun kepada kebahagiaan dan kebenaran. Jiwa
dilihat sebagai suatu fakta yang
menginginkan kebahagiaan, tidak sekedar kesenangan inderawi semata. Kebajikan moral dan intelektual menuntun
jiwa kepada kebahagiaan.
Dari statement Aristoteles tersebut dapat
dikemukakan bahwa kebahagiaan itu fungsi dari kebajikan moral dan
intelektual. Kedua variabel tersebut secara bersama-sama atau sendiri
memberikan dampak terhadap kebahagiaan yang dapat diraih manusia termasuk
pelaku bisnis.
Teolog-teolog
Kristiani yang juga filsuf-filsuf terkenal seperti St Augustine dan Thomas Aquinas juga menyampaikan pemikirannya terhadap etika dalam versi etika Kristiani. Nabi Muhammad
SAW adalah sosok pebisnis yang jujur (al-amien). Bisnis yang dikelola
Nabi, menempatkan manusia sebagai postulat
atau fokusnya, bukan untuk mengejar target produksi. Nabi Muhammad SAW, mengelola dan mempertahankan kerja sama dengan stafnya dalam waktu yang Jama dan
bukan hanya hubungan sesaat.
Salah satu kebiasaan Nabi adalah memberikan reward (peng-hargaan) atas
kreativitas dan prestasi yang ditunjukkan pegawainya. Manajemen Islam
pun tak mengenal perbedaan perlakuan (diskriminasi) berdasarkan suku,
agama, ataupun ras. Nabi Muhammad SAW bahkan pernah bertransaksi bisnis dengan kaum Yahudi. Suatu
pandangan agama (Islam) tentang kegiatan bisnis ini adalah berlaku sama untuk
semua orang tanpa perduli jenis kelamin,
suku, bangsa, agama, keluarga atau bukan keluarga.
Dalam bisnis tidak mengenal keluarga semuanya adalah mitra bisnis dengan tujuan
mendapatkan keuntungan yang layak atas investasinya. Selain penjual dalam bisnis
adalah pembeli yang hams dihormati hak-haknya dalam perlakuan dan pelayanannya.
Nabi Muhammad pernah bersabda yang artinya bersahabatlah kamu seperti anggota
keluarga dan berbisnislah kamu seperti orang lain.
Dengan demikian tidak ada istilah kepada keluarganya pebisnis menetapkan harga
yang lebih murah dari orang lain dan memberikan pelayanan yang lebih istimewa
dibandingkan pembeli lainnya. Semua orang terutama pembeli membutuhkan sesuatu yang bermanfaat bagi
diri dan keluarganya dan karenanya tawarkanlah
sesuatu yang bermanfaat dalam setiap
bisnis itu.
Salah satu
acuan etika yang dapat dijadikan referensi bagi pebisnis yang menyangkut dengan tawaran manfaat dan
kebaikan bagi pelanggan dan manusia adalah pemikiran Bentham (1748-1832) dengan
ide utilitarismenya. Dalam gagasan utilitarianisme Bentham dengan tegas
menyatakan bahwa perilaku yang
beretika itu bilamana apa yang dilakukan tersebut mengha-silkan kebaikan bagi orang banyak. Mudharat dan
manfaat (pain and pleasure)
dapat diukur dengan kalkulus hedonistic
(hedonistic calculus), yakni pengukuran tingkat kebahagiaan yang dapat
diperoleh seseorang, seperti halnya
utilitas yang diperoleh konsumen akibat mengkonsumsi suatu produk perusahaan dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkannya. Pengukuran nilai etika dengan indikator tersebut dapat
menjelaskan betapa baik manfaat dan betapa
tidak baik mudharat yang dihasilkan dari suatu aktivitas. Kendala dalam
penerapan pemikiran bentham antara lain nilainya yang sangat subjektif terutama karena
tidak adanya pemeringkatan kebahagiaan atau kepuasan.
Dalam etika bisnis yang diukur tentunya aktivitas bisnis
seseorang, suatu perusahaan atau suatu holding. Memperlengkapi pengukuran
etis tidaknya
suatu aktivitas, John Stuart Mill (1806-1873) mengajukan indikator eformasi
komunitas, dengan mengacu kepada kualitas kebahagiaan. Kebahagiaan
menurutnya dapat diperingkatkan, sehingga pengukuran etika dititikberatkan
pada unsur baik atau buruk dan kuantitas dan juga kualitas dari kebahagiaan
itu.
Hukuman yang bersifat subjektif diperlukan dalam membuat keputusan
etika. Kebahagiaan yang berkualitas tinggi dalam teori etika Mill adalah yang
mempunyai sifat kesejahteraan, kebahagiaan mental, pendi-dikan, sensitif
terhadap orang lain, berakhlak dan sehat tubuh. Kebahagiaan jenis rendah adalah
kejahatan, mementingkan diri sendiri dan sifat pemalas. Nilai-nilai
fungsi itu dimiliki oleh manusia sejati, sedangkan nilai-nilai yang rendah itu
bercampur baur dengan binatang. Etika kesejahteraan yang rendah itu memberi
kesan yang buruk.
Manusia membutuhkan etika, kapan dan dimanapun juga dan
karena manusia mempunyai hak asasinya, maka praktik etika harus dikaitkan dengan hak asasi
manusia. John Locke (1632-1704) sebagai pelopor hak asasi manusia.
Dalam pandangannya menyebutkan bahwa Manusia sebagai makhluk TUHAN yang dalam hidup di
dunia mempunyai hak yakni hak manusia. Hak manusia adalah hak yang melekat pada
setiap manusia, sebab berkaitan dengan
realitas hidup manusia sendiri. Hak tersebut dinamakan "hak manusia" sebab manusia harus
dinilai menurut martabatnya. Hak manusia
tidak dapat direbut atau dicabut karena sudah ada sejak manusia itu ada, tidak tergantung dari persetujuan orang,
merupakan bagian dari eksistensi manusia di dunia. Jadi hak manusia
mempunyai sifat dasar, dan asasi, sehingga disebut
juga hak asasi manusia (human rights).
Dengan demikian semua pihak termasuk pebisnis kiranya
dapat memaklumi dan menghargai manusia sebagai pemilik hak-hak dasar, yang meliputi: hak atas
kehidupan, hak milik pribadi, dan hak atas kebebasan. Dengan memiliki
kesadaran dan kehendak, manusia sebagai makhluk memiliki hak untuk hidup, hak atas sarana untuk
menunjang kehidupannya (hak milik), dan hak
atas kebebasan untuk mewujudkan kehendaknya.
Praktik bisnis yang beretika salah satunya dapat mengacu kepada
pemikiran Locke. Suatu bisnis harus dapat memberikan kepada orang lain kehidupan,
menjamin hak milik seseorang, seperti hak kepada pelanggan dan pekerja serta
menghargai kebebasan dari setiap mitra atau pesaing bisnis kita.
Hak asasi manusia yang harus dihormati pebisnis meliputi
hak asasi manusia dan hak sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki hak sosial yang terdiri dari hak ekonomi,
sosial, dan kultural. Dengan hak sosial ini
manusia berhak untuk memenuhi segala kebutuhan hidup pokok, yakni pangan,
sandang, perumahan, kesehatan, kerja, dan pendidikan. Di negara sosialis, hak-hak sosial lebih diutamakan daripada
hak-hak individual. Sebaliknya di
negara liberalis setiap manusia individual lebih bebas dalam memperjuangkan
hak-haknya.
Dalam paham bisnis dan ekonomi secara makro, dikenal paham
sosialis
dan paham kapitalis. Paham kapitalis membenarkan adanya kepemilikan hak
pribadi, sementara dalam pandangan sosialis hak kepemilikan pribadi di dorong penghapusannya,
untuk kepentingan pemerataan. Paham Sosialis dipelopori Karl Marx yang
mengusung paham sosialis dengan menekankan
agar status kepemilikan swasta dihapuskan terutama untuk beberapa komoditas
penting dan strategis demi kepentingan masyarakat. Paham sosialis tidak dapat
dipertahankan, karena berbenturan dengan hak azasi manusia dan berati
tidak sesuai dengan nilai-nilai etika bisnis.
Menurut
Mihaly (2008:14) Kebutuhan-kebutuhan yang diatur dan diprioritaskan secara
terpusat dalam paham solusi sosialis dengan menentu-kan produksi dan konsumsi, terbukti sangat lemah dan akhirnya hancur karena tidak bisa menghasilkan keuntungan
materiil yang di janjikan, dan sebagian
karena organisasi politiknya lebih rentan digerogoti oleh keserakahan
para pemimpinnya ketimbang aristokrasi dan elit bisnis.
Pada tahap selanjutnya berkembang paham kapitalis yang mengagungkan pasar bebas sebagai solusi,
namun aspek moral manusia ternyata lebih
banyak pengaruhnya kepada kesejahteraan manusia dari pada paham ekonomi itu
sendiri. Peluang untuk memperkaya diri dan mengeksploitasi manusia sebenarnya
lebih terbuka dalam paham kapitalis. Karena itu paham apapun tidak dapat
terbebas dari ajaran-ajaran filsafat yang mengutamakan nilai moral dan
kesejahteraan bagi umat manusia. Dalam paham ekonomi seperti sekarang ini para pemimpin bisnis harusnya membuat pernyataan yang bisa dipercaya yang intinya menegaskan bahwa
dengan mendukung Groperasinya pasar bebas, tanpa kekangan
regulasi sosial dan politik, kita ikan meningkatkan kualitas hidup setiap
orang.
2.4.2 Pengalaman dan Perkembangan Budaya
Referensi penting lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai
acuan etika bisnis adalah pengalaman dan perkembangan budaya, baik budaya dari suatu
bangsa
maupun budaya yang bersumber dari berbagai negara (Cracken, 1986). Budaya
yang mengalami transisi akan melahirkan nilai, aturan-aturan dan
standar-standar yang diterima oleh suatu komunitas tertentu dan selanjutnya
diwujudkan dalam perilaku seseorang, suatu kelompok atau suatu komunitas
yang lebih besar.
Setiap individu dengan pengetahuannya akan beradaptasi
dengan perkembangan nilai budaya dari suatu komunitasnya, terutama untuk kepentingan
bertahan hidup (survival) dengan menterjemahkan lingkungan sekitarnya.
Budaya adalah suatu sistem nilai dan norma yang diberikan pada suatu kelompok
atau komunitas manusia dan ketika itu disepakati atau disahkan
bersama-sama sebagai landasan dalam kehidupan (Rusdin, 2002). Masyarakat memasukkan nilai dalam
komunitasnya dari berbagai sumber, tidak ada budaya tanpa nilai yang diperoleh
manusia dari berbagai sumber, baik
keluarga, agama, maupun teman hidupnya semasa kecil.
Budaya tersebut dapat berbeda antar suku, daerah, bangsa
dan regional. Bangsa (orang) Jepang dikenal dengan budaya biaya rendah, Inggris dengan status sosialnya,
Amerika menjunjung nilai dan memprio-ritaskan
nilai kebersamaannya, Rusia dengan keamanan keluarganya, Francis dengan kemandiriannya dan Malaysia dengan keamanan
keluarganya. Bangsa Jepang menghargai nilai-nilai keselarasan, hubungan,
keamanan keluarga, kebebasan, kerja sama,
kesepakatan kelompok dan prestasi kelompok
dan menempatkan budaya hubungan sebagai prioritas pertamanya. Bangsa-bangsa di Eropa cenderung berbudaya
individualis dan tentunya kurang
cocok dengan budaya bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia sebagaimana bangsa-bangsa lain di Asia,
memiliki ciri khas budaya: kekeluargaan, kerjasama dan hubungan kekerabatan
yang kental. Sikap
tenggang rasa juga membudaya di Indonesia, sehingga bangsa ini dikenal toleran dengan orang dan bangsa lain.
Nilai-nilai etika hams dilihat dari aspek positif
budayanya, bukan malah menginterpretasikan menurut kemauan pribadi dan
kelompok teitentu. Tentu kita tidak perlu mereferensi kepada budaya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) yang bernilai etika negatif pada masa orde baru dan sayangnya
budaya yang buruk tersebut hingga kini masih eksis di Indonesia.
2.4.3 Sejarah
Budaya memperlengkapi orang dengan rasa identitas dan pengertian akan
perilaku yang dapat diterima di dalam masyarakat. Beberapa dari sikap dan prilaku yang
lebih penting yang dipengaruhi oleh budaya adalah sebagai berikut:
(1)
Rasa
diri dan ruang;
(2)
Komunikasi dan bahasa;
(3)
Pakaian dan penampilan;
(4)
Makanan dan kebiasaan makan;
(5)
Waktu dan kesadaran akan waktu;
(6)
Hubungan
(keluarga, organisasi, pemerintah dan sebagainya);
(7)
Nilai
dan norma;
(8)
Kepercayaan dan sikap;
(9)
Proses mental dan pelajaran; dan
(10)
Kebiasaan kerja dan praktik.
Masyarakat mempengaruhi nilai budaya dari berbagai sumber
tidak ada manusia tanpa nilai. Nilai yang
dipengaruhi itu berasal dari berbagai sumber,
baik budaya, budaya agama, sekolah, maupun pengalaman hidupnya semasa
kecil. Budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pada suatu periode waktu tertentu akan diteruskan ke
periode waktu yang lain, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Prosesi pergeseran nilai budaya tersebut
biasanya dilakukan melalui kelembagaan keluarga, agama dan sekolah (Lembaga Pendidikan). Keterkaitan dan
proses pergeseran nilai budaya
tersebut dapat ditunjukkan gambar berikut.
Sumber: Engel. et.att (1994:72)
Gambar
2.1
Proses Pergeseran Nilai Budaya
Dalam Kehidupan Masyarakat
Kehidupan dalam masyarakat kita, budaya korupsi, kolusi
dan nepotisme
(KKN) seharusnya bukan budaya bangsa kita. KKN adalah penyimpangan yang
merupakan perpaduan nilai-nilai hubungan kekeluargaan dengan sistem kapitalis saat orde baru, sehingga
etika yang berlaku saat itu adalah etika
penguasa dan etika elit pemerintah an, etika Asal Bapak Senang (ABS) dan etika menjilat yang
mengabaikan nilai-nilai moral bangsa Indonesia. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam Pancasila sepatutnya
menjadi referensi bagi pelaku bisnis kita, sehingga dengan demikian akan lebih menjamin tercapainya suatu
masyarakat yang adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Untuk menjamin kelanggengan hidup berbangsa dan bernegara
pemerintah menyusun dan memberlakukan hukum. Hukum merupakan aturan hidup yang bersifat memaksa dan si pelanggar dapat diberi
tindakan hukum yang tegas dan
nyata. Hukum moral dalam banyak hal lebih banyak mewarnai lilai-nilai etika.
Hukum moral adalah tuntunan perilaku manusia yang ditaati karena kesadaran yang bersumber pada hati nurani dan
bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan.
Selain
hukum moral yang biasanya tidak tertulis dan hanya ditulis untuk penjelasan informasi semata, etika bisnis
juga mengadopsi aturan-aturan yang
berlaku pada suatu daerah, negara atau kesepakatan-kesepakatan hukum
internasional. Harapan-harapan etika ditentukan oleh hukum yang berlaku itu.
Hukurn mengatur serta mendorong perbaikan masalah yang dipandang buruk atau baik dalam suatu komunitas. Sayangnya hingga saat ini kita masih menemukan kendala-kendala
penyelenggaraan hukum etika di Indonesia.
Hukum etika dalam masyarakat kita terutama dalam etika
bisnis belum mampu
mengantisipasi perkembangan bisnis. Kita memakluminya, karena hukum dibuat setelah pelanggaran-pelanggaran itu terjadi dalam suatu komunitas. Dengan sistem hukum yang ada dan
ditambah dengan hukum agama dan adat
sebenarnya Indonesia tidak kekurangan referensi etika yang berasal dari hukum. Dalam banyak hal dan kesempatan pelaku usaha kita lebih banyak menggunakan perangkat hukum
sebagai cermin etika dalam
penyelenggaraan fungsi dan kegiatan bisnisnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa hukum memiliki
bentuk hukuman yang paling tegas dan jelas dibandingkan dengan
sumber-sumber etika lainnya. Filsafat, budaya dan agama cenderung pada hukuman
yang abstrak seperti dosa, malu, tidak
berbudaya dan sebagainya.
Menyadari pada hukum semata dalam penyelenggaraan etika
dapat berdampak negatif pada pertumbuhan bisnis di masa yang akan datang. Untuk itu
beberapa aspek yang belum terakomodir dalam hukum etika harus dicari jalan
keluarnya. Misalnya hubungan interpersonal kerja dengan pesaing yang
masih lemah dan kelaziman perbuatan curang dalam pelelangan umum
pada instansi pemerintah dengan penyediaan pendamping oleh satu atau group perusahaan yang
berbenturan dengan hukum. Harus segera diatur
aturan hukumnya. Negara dan aparatur hukum juga harus mampu menggali perkembangan bisnis dan dengan sesegera
mungkin membuat produk hukumnya,
sehingga kehadiran hukum dapat menyelesaikan masalah etika yang dihadapi tepat pada waktunya. Masalah
dalam penegakan etika bisnis di
Indonesia yang masih dirasakan antara lain adalah belum efektifnya pemberlakuan
Undang-undang tentang hak cipta, Undang-undang pornografi dan pornoaksi.
Selain itu kendala yang di hadapi adalah sulitnya memahami bahasa hukum, demikian
juga kepastiannya. Sesuatu baru dapat dianggap legal, setelah adanya
putusan pengadilan (praduga tak bersalah) dan dalam banyak hal pengadilan
tetap mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam penetapan keputusannya.
Hal ini dapat melahirkan sikap masyarakat bisnis yang menganggap
tindakannya benar bilamana tidak melanggar hukum walaupun itu tidak etis dan
bermoral.
Beberapa
aturan yang dapat dipakai untuk praktik etika bisnis di Indonesia antara lain adalah; Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia; Undang-undang Anti Korupsi, Undang-undang
Pornografi dan Pornoaksi; Undang-undang Hak Cipta.
2.4.4 Agama
Agama adalah sumber dari segala moral dalam etika apapun dengan kebenarannya
yang absolut. Tiada keraguan dan tidak boleh diragukan nilai-nilai etika yang
bersumber dari agama. Agama berkorelasi kuat dengan moral. Setiap
agama mengandung ajaran moral atau etika yang di jadikan pegangan bagi
para penganutnya. Pada umumnya, kehidupan beragama yang baik akan
menghasilkan kehidupan moral yang baik pula. Orang-orang dalam organisasi bisnis secara luas
harus menganut nilai shiddiq, tabligh, amanah
dan fathanah.
1.
Shiddiq dapat dimaknai jujur, benar atau sungguh;
2.
Tabligh berarti menyampaikan, kemampuan berkomunikasi,
menjalin hubungan, menjalin kerjasama, membentuk reputasi diri dan seterusnya;
3.
Amanah
berarti dapat dipercaya, punya kelayakan untuk dipercaya atau credible baik secara moral maupun secara profesional dan fathanah bermakna kecerdasan atau kecerdikan.
Sebagai ajaran yang menetapkan baik-buruk, benar dan salah suatu tindakan atau
perilaku manusia termasuk penyelenggaraan ekonomi dan bisnis, maka
etika sering mengandalkan sumber ajaran agama. Umat Kristiani dalam
beretika bisnis merujuk kepada kitab suci agama Kristen yaitu Injil, kaum
Yahudi kepada Kitab Taurat, dan Umat Islam kepada etika Al-Qur'an.
Penganut-penganut agama tertentu dengan keyakinannya menggunakan kitab
suci yang berasal dari Tuhan sebagai referensi dalam beretika bisnis. Agama-agama langit (Kristen,
Yahudi, dan Islam) dalam pandangan Hans Kung
(2005) memiliki prinsip-prinsip dasar yang sama dalam etika, yakni keadilan, saling menghormati, dan
kejujuran. Referensi agama sebagai metode dan nilai etika biasanya memberikan
keberuntungan kepada segenap partisipan
bisnis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, di dunia dan juga di akhirat kelak.
Menurut pandangan Islam etika manajemen bisnis berdiri
atas empat pilar, yakni: Pertama "Tauhid" yang berarti bahwa segala
asset dari transaksi bisnis yang terjadi di dunia adalah milik Allah, manusia
hanya mendapatkan amanah untuk mengelolanya. Kedua "Adil", artinya
segala keputusan menyangkut transaksi dengan lawan bisnis atau kesepakatan
kerja hams dilandasi dengan "akad saling setuju" dengan sistem "profit
and loss sharing". Ketiga "kehendak bebas" dalam hal
ini manajemen Islam mempersilahkan umatnya untuk menumpahkan kreativitas
dalam melakukan transaksi
bisnisnya sepanjang memenuhi asas hukum ekonomi Islam, yaitu halal dan Keempat adalah
pertanggungjawaban"semua keputusan seorang pemimpin harus "dipertanggungjawabkan
oleh yang bersangkutan.
Dalam ajaran Islam, etika bisnis ditekankan pada empat
hal, yaitu: kesatuan; keseimbangan; kebebasan, dan; tanggung jawab. Etika bisnis Islam sesungguhnya menjunjung tinggi
semangat saling percaya, kejujuran dan
keadilan. Moto seperti jujur untuk modal, akal untuk laba adalah ajaran-ajaran
etika yang bersumber dari agama dan moral. Selain sumber rujukan tersebut dapat pula digunakan nilai yang positif
yang berkembang di lingkungan umum, lingkungan pekerjaan, dan hati
nurani kita.
Daftar Pustaka
Ernawan,
Erni. 2011. Business Ethics. Penerbit: Alfabeta. Bandung
Bahan Ajar Mata Kuliah Etika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar