BAB VI
ETIKA DAN LINGKUNGAN
6.1 Pendahuluan
Di kalangan akademisi, gerakan lingkungan mulai marak pada tahun 1970-an, dengan
terbitnya makalah berjudul The Historical Roots of Our Ecological
Crisis (Lynn White, 1967) dan The Tragedy of The Commons (Garet Hardins, 1968). Kemudian
tanggal 5 Juni ditetapkan sebagai Hari Lingkungan
Sedunia oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan resolusinya nomor 2994 pada tanggal 15
Desember 1972. Tujuannya untuk memperdalam kesadaran publik memelihara dan
meningkatkan lingkungan dalam rangka keselamatan dan kesejahteraan hidup
dimuka bumi. Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan pembukaan
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup di Stockholm
pada tahun 1972, yang selanjutnya mendorong terbentuknya Program Lingkungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa atau dikenal sebagai United Nations Environment Programme (UNEP). Kerusakan lingkungan yang mengglobal antara lain disebabkan karena pemanasan global (gas-gas
yang menyerap dan menahan panas dari
matahari sehingga mencegah kembali
keruang angkasa), penyusutan ozon,
hujan asam (berkaitan dengan pembakaran bahan bakar fosil yang akan bercampur dengan uap air di awan), sampah padat, dan penyusutan cadangan mineral.
Di Indonesia sendiri sebenarnya etika lingkungan bukanlah merupakan hal yang
baru, etika lingkungan sebenarnya telah ada sejak dahulu kala, karena leluhur
kita sebenarnya telah menyebarkan hal ini melalui tembang, legenda ataupun
mitos. Contoh suku yang masih mempertahankan kearifan tradisional ini
adalah masyarakat Dayak, Asmat, Badui, Nias, Kampung Naga ataupun
Tengger. Seharusnya etika lingkungan yang penuh warna kearifan dan kebenaran tradisional
ini dapat dikembangkan untuk penyelamatan
lingkungan yang lebih luas di negara kita.
Bisnis yang etis adalah bisnis yang dapat memberi manfaat maksimal pada lingkungan,
bukan sebaliknya, menggerogoti keserasian lingkungan. Kerusakan
lingkungan pada dasarnya berasal dari dua sumber yaitu polusi dan penyusutan
sumber daya. Dalam kasus PT Lapindo Brantas misalnya, bencana memaksa penduduk
harus ke rumah sakit, bahkan sudah menelan korban jiwa dengan meledaknya pipa gas
Pertamina akibat pergerakan tanah. Perusahaan pun terkesan lebih
mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan sosial yang
ditimbulkan, walaupun korban jiwa sudah terjadi.
Atau kasus pembukaan lahan gambut dan rawa untuk pembangunan Pantai Indah Kapuk yang mengakibatkan banjir bagi wilayah Jakarta. Ataupun krisis air yang
berkepanjangan yang menimpa hampir
seluruh wilayah di Indonesia. Juga mencemaskan adalah penyedotan air
tanah melebihi kemampuan alam untuk mengisinya kembali sehingga volume air dalam tanah kian berkurang.
Di Indonesia saja, luas areal hutan sudah amat menciut. Dikhawatir-kan beberapa
tahun ke depan lagi hutan di Pulau Sumatera akan gundul, dan sepuluh tahun lagi
nasib sama berlaku untuk Pulau Kalimantan. Kondisi sungai-sungai terutama di Pulau Jawa
sudah sangat tercemar. Lautan di Indonesia bagian barat sudah terkuras ikannya melebihi kemampuan perkembangbiakannya, sehingga jumlah stok ikan di
laut menciut.
Kerusakan lingkungan Indonesia berdampak global. Tahun 2006 kebakaran hutan
Indonesia dan pembakaran tanah menjadi masalah yang tidak
terselesaikan, sehingga kebakaran hutan ini seakan tak terkendali lagi, dan
berlaku setiap tahun hingga kini. Semakin menciutnya hutan, tentu tidak bisa
menghasilkan bahan bagi industri kayu. Ikan yang terkuras habis tentu akan
membangkrutkan perusahaan perikanan. Demikian juga dengan kondisi sungai yang
tercemar mematikan tanaman beririgasi. Pantai laut yang tercemar mematikan
industri pariwisata. Singkatnya, lingkungan yang rusak akan menyebabkan
mandegnya pembangunan ekonomi.
Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menata kelestarian lingkungan dituduh
sebagai penyebab terjadinya krisis yang berkepanjangan. Krisis lingkungan
yang terjadi akhir-akhir ini berakar dari kesalahan perilaku manusia yang
berasal dari cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam. Masalah
lingkungan semakin terasa jauh terpinggirkan, bahkan sering hanya merupakan
embel-embel atau tempelan belaka dalam program-program pembangunan,
kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan menurun. Padahal, berbagai
bencana akibat pengelolaan lingkungan yang tidak benar telah berulang kali terjadi
dan merupakan bagian dari kehidupan sehari hari masyarakat. Menciptakan
kesadaran masyarakat yang berwawasan lingkungan merupakan fondasi untuk menjaga
agar lingkungan terhindar dari berbagai macam pengrusakan dan
pencemaran. Karena pada dasarnya
kerusakan lingkungan tersebut dikarenakan oleh tangan-tangan manusia itu sendiri.
Etika lingkungan disini tidak hanya membicarakan mengenai perilaku
manusia terhadap alam, namun berbicara mengenai relasi diantara semua kehidupan
alam semesta, antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak terhadap
alam, dan antara manusia dengan makhluk lain atau dengan alam
secara keseluruhan, termasuk dengan kebijakan politik dan ekonomi yang
berhubungan atau berdampak langsung atau tidak dengan alam. Etika lingkungan dapat
diartikan sebagai dasar moralitas yang mem-berikan
pedoman bagi individu atau masyarakat dalam berperilaku atau memilih tindakan yang baik dalam menghadapi dan
menyikapi segala sesuatu sekaitan dengan lingkungan sebagai kesatuan
pendukung kelang-sungan perikehidupan dan
kesejahteraan umat manusia serta makhluk hidup lainnya.
Etika lingkungan yang baik dapat menjadikan perilaku kita semakin arif dan
bijaksana terhadap lingkungan, sebaliknya etika yang salah akan menciptakan
malapetaka bagi kehidupan manusia, karena merusak Etika lingkungan hidup
adalah pertimbangan filosofis dan biologis mengenai hubungan
manusia dengan tempat tinggalnya serta dengan semua makhluk nonmanusia.
Dengan etika lingkungan hidup, manusia dipaksa untuk mereview segala
aktivitasnya yang berhubungan dengan lingkungan hidup; mana yang benar,
mana yang salah. James A. Nash (1996) menyatakan bahwa etika lingkungan hidup
adalah an expansion of every branch of ethics.
Setiap cabang etika, memiliki unsur etika lingkungan hidup sebagai pengembangannya.
Etika kehidupan ekonomi pun tidak hanya berpikir secara sosiologis-ekonomis,
melainkan juga secara ekologis. Setidaknya ada dua unsur utama dalam
mengusahakan etika lingkungan hidup yang ditawarkan oleh Velasques (2005) yaitu etika ekologi dan
etika konservasi sumber daya yang bisa
habis.
Etika ekologi menyadarkan bahwa manusia bukanlah penguasa alam.
Dalam hal ini perlu diubah sikap manusia yang antroposentrik, yaitu meng-anggap
bahwa hanya dirinya yang pantas menerima pertimbangan moral. Akibatnya,
semuanya yang di luar manusia tidak berharga dan pantas dieksploitasi
tanpa kira-kira. Manusia harus menyadari adanya nilai intrinsik dalam tiap
unsur nonmanusia. Bagian-bagian lingkungan yang bukan manusia itu perlu
dijaga, tidak masalah apakah hal tersebut menguntungkan manusia atau
tidak.
Etika konservasi sumberdaya yang bisa habis mengacu pada penghematan
sumberdaya alam untuk digunakan di masa mendatang, disini mempertimbangkan
kepentingan generasi yang akan datang. Setidaknya ada dua macam kepedulian
lingkungan, yaitu kepedulian lingkungan yang dangkal (shallow ecology) dan
kepedulian lingkungan yang dalam (deep ecology).
Kepedulian
lingkungan yang dangkal menunjukkan perhatian kepada kepentingan-kepentingan yang sering diabaikan dalam ekonomi
tradisional, pandangan ini menganggap alam bernilai hanya sejauh ia bermanfaat
bagi kepentingan manusia, dan bukan karena alam bernilai pada dirinya sendiri.
Pada kepedulian lingkungan yang dalam sudah mempertimbangkan kepentingan
generasi-generasi yang akan datang.
Pencemaran dan kemerosotan mutu lingkungan
hidup manusia karena ulah manusia
itu sendiri yang merusak habitatnya sendiri. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat manusia
terkadang tanpa disertai dengan wawasan
lingkungan yang benar dan kesadaran yang cukup dalam
memanfaatkan sumberdaya alam, hal tersebut tentu akan menyebabkan kemerosotan mutu lingkungan.
Dalam proses produksi misalnya diperlukan proses produksi yang efisien dan ramah
lingkungan. Perusahaan hendaknya memperhatikan limbah yang
dihasilkan. Jadi pada dasamya manusia itu harus memiliki komitmen moral
untuk menciptakan solidaritas kemanusiaan agar lebih peduli terhadap
penciptaan keharmonisan hidup sesama manusia dengan lingkungannya secara serasi
dan seimbang.
Setidaknya agenda enam masalah yang timbul berkaitan
dengan lingkungan, yaitu:
(1)
Limbah Beracun
Seringkali perusahaan membuang limbahnya ke sungai di
sekitarnya, tanpa terlebih dahulu mengolahnya menjadi tak beracun.
Akibatnya air sungai menjadi tercemar sehingga tidak layak dipakai, ikan-ikan
menjadi mati, bahkan limbah tersebut merembes ke air tanah mengakibatkan
air tanah tidak layak untuk dikonsumsi, dan tentu hal ini dapat
membahayakan kesehatan masyarakat.
(2)
Efek Rumah Kaca
Naiknya suhu permukaan bumi disebabkan karena panas yang
diterima bumi terhalang oleh partikel-partikel gas yang dilemparkan dalam
atmosfer karena ulah manusia, sehingga tidak bisa keluar. Penyebabnya
diantaranya adalah karena pembakaran produk-produk minyak bumi dan batu
bara. Hal ini akan berdampak negatif yaitu memperluas padang pasir,
melelehkan lapisan es di kutub serta meningkatkan permukaan air laut.
(3)
Perusakan Lapisan Ozon
Lapisan ozon berfungsi untuk menyaring sinar
ultraviolet. Namun sekarang lapisan ozon semakin rusak, hal ini dapat terjadi
karena pelepasan gas klorofluorokarbon (CFC) ke udara, pengaruh terbesar
disebabkan karena penyemprotan aerosol, lemari es, dan AC.
(4)
Hujan Asam
Asam dari emisi industri bergabung dengan air hujan,
yang nantinya akan masuk
ke dalam tanah, danau ataupun sungai. Tentunya hal ini dapat mengakibatkan
kerusakan hutan, merusak gedung, dan bahkan bisa menghancur-kan logam-logam beracun karena derajat
keasamannya.
(5)
Penebangan Hutan
Penebangan hutan secara liar tanpa menghijaukannya kembali
tentu berakibat sangat buruk. Hal ini sudah dibuktikan dengan bencana yang
terjadi akhir-akhir ini, dimana longsor dan banjir bandang telah menelan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.
(6)
Pencemaran Udara
Polusi udara bukanlah barang baru, udara telah bersama
kita semenjak terjadinya Revolusi industri dunia, saat cerobong-cerobong asap pabrik mulai berdiri.
Terutama dikeluarkan dari pembuangan kendaraan bermotor dan proses industri.
Ditambah lagi dengan kebakaran hutan yang asapnya sangat
mempengaruhi kesehatan dan juga mengganggu jarak pandang kita.
Indonesia menjadi negara produsen karbondioksida terbesar ketiga di dunia untuk sektor
kehutanan sehingga pemerintah terus berupaya menekan emisi karbon
hingga 26 persen. Untuk menekan emisi karbon dilakukan dengan cara pengelolaan hutan yang
benar. Masuknya Indonesia menjadi anggota
Group on Earth Observation (GEO), salah satu bukti keseriusan pemerintah dalam menjaga lingkungan serta
mengantisipasi dampak per-ubahan
global. Lapan sendiri sebagai lembaga non departemen terus melakukan penelitian di bidang kedirgantaraan,
selama ini juga aktif dalam penelitian
soal observasi bumi baik skala nasional dan internasional."Saat ini Indonesia menjadi tuan rumah Asia Pasifik Global
on Erath Observation System of
Systems (GEOSS), yang membahas perubahan iklim dunia yang berdampak pada
permasalahan global,".
Masalah iklim sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia sehingga
perubahan iklim berdampak besar terhadap kesejahteraan manusia. Untuk itulah,
negara-negara Asia Pasifik melakukan upaya sebagai langkah adaptasi dan
mitigasi dampak perubahan iklim. Simposium yang telah dilakukan di
Bali akhir-akhir ini dihadiri 26 negara di Sanur Paradise Plaza dan Suit Bali Indonesia berlansung dua hari mulai 10
hingga 12 Maret, dibuka Menteri Riset dan Teknologi Suharma Surapranata.
Empat topik bahasan dalam simposium ini, pertama menyangkut kapasitas
pemantauan dan variabilitas iklim Asia-Pasifik, kedua terkait manajemen sumber daya air dan mineral
dan hidromateorologi terkait bencana alam.
Selain itu topik bahasan utama menyangkut pemantauan karbon hutan serta
jaringan observasi biodiversity di
kawasan Asia-Pasifik. "Pertemuan GEO sendiri merupakan kolaborasi
internasional guna menggali potensi pengamatan bumi untuk mengatasi
permasalahan lingkungan dunia,"
Anggota
GEO sendiri adalah organisasi internasional dan pemerintah yang berhubungan dengan kegiatan pengamatan bumi.
Ada sembilan area yang menjadi wilayah pembahasan GEO yakni bencana alam,
kesehatan, energi iklim, air, cuaca, ekosistem, pertanian dan
biodiversity.
Bahaya
Polusi Kendaraan Bermotor, Misal selepas hujan diselimuti kabut. Terutama di
sore hari. Terlihat dingin dan adem. Tapi jangan salah sangka. Itu bukan kabut
alamiah. Kabut "buatan" yang berasal dari sisa pembakaran kendaraan
bermotor anda. Data Kompas menunjukkan sebesar 2-3 juta mobil berada di Kota Jakarta pada jam-jam kantor, dan sebesar 3-4 juta untuk
motor. Jika separuh saja dari jumlah kendaraan bermotor tersebut menderu pada saat yang sama, berapa juta karbon monoksida
(CO), nitrooksida (NOx), dan hidrokabon (HC) yang melayang-layang
mencari mangsa di udara kota?
Ketiga jenis gas tersebut sangat berbahaya bagi
kesehatan. CO adalah gas
beracun yang apabila terhirup berlebihan bisa menyebabkan kematian mendadak. Masih ingat peristiwa Mobil Mercy Pak
Kyai beberapa bulan lalu? Kebocoran
pada pipa knalpot berujung maut. Sisa pembakaran yang mengandung CO segera
mencabut nyawa seisi penumpang, berikut supirnya.
NOx dan HC sama beracunnya. Keduanya merusak paru-paru
sedikit demi sedikit. Kita tentu tidak inginkan paru-paru bocor setelah sekian
lama beraktivitas di jalan raya. Gejala kabut di sore hari dan selepas hujan
adalah fenomena kimiawi beracun di angkasa kota Anda. Penyebabnya adalah dua
jenis gar beracun ini. Jika volume gas NOx dan HC sudah demikian berat
menggelayut di angkasa, maka hujan asam akan terjadi pula di atas atmosfir.
Itu belum bicara soal ozon. Pemanasan bumi saat ini (global
warming) sudah menjadi kampanye internasional para aktivis dan nemerintah yang punya perhatian terhadap kerusakan
lapisan pengaman bumi ini.
Lapisan ozon merupakan pelindung di atmosfir
kita yang mencegah pemanasan bumi dan mengurangi dampak sinar matahari yang
bisa membahayakan kesehatan. Jika pemanasan bumi terus meningkat, maka
permukaan laut akan meningkat akibat melelehnya salju abadi di kutub-kutub
bumi. Sementara sinar ultraviolet dari
matahari yang tidak terfilter dengan baik oleh ozon bisa menyebabkan
berbagai penyakit. Antara lain berupa kanker kulit yang akut. Faktanya, lubang ozon saat ini semakin melebar,
dan upaya mencegahnya belumlah secepat
dan sebesar tindakan merusak oleh tangan manusia.
Cahaya akibat racun sisa pembakaran dan pemanasan global demikian memaksa otoritas transportasi untuk
menerbitkan regulasi terkait dengan pembatasan
polusi di dunia. Saat ini pembatasan telah dibuat dengan ketat oleh berbagai institusi. Paling getol dan
terkenal adalah The Euro Emission Regulation, US EPA, dan juga di Jepang dan
Asia umumnya dengan aturan-nya
masing-masing.
Perbedaan penerapan standar pembatasan ambang polusi di berbagai negara mengacu ke
salah satu standar yang sudah ada. Untuk kasus Indonesia, dipakai standar Euro. Mulai Euro I, lalu
kemudian Euro II sejak 2004. Sementara di
negara-negara Eropa sana, sudah dipakai standar Euro III ke atas. Beberapa kendaraan mewah seperti
Sedan Hi-Class, sudah mengadopsi
standar Euro V.
Bagi kita negara dengan seribu masalah, konsen mengenai polusi masih kecil
sekali. Baru belakangan pihak pemerintah meregulasi standar polusi kendaraan
bermotor. Namun dari yang banyak kita baca di media dan dengarkan dari
para pemakai kendaraan, infrastruktur pendukung dan law enforcement
masih sangat rendah. Ujung-ujungnya, aturan tidak jalan dan para pengguna
kendaraan bermotor cuek-bebek. Padahal masalah polusi pada akhirnya
adalah masalah bersama. Jika bukan diri sendiri, ya keluarga kita!
Bagi seorang
bikers, di ujung semua ini, adalah ancaman bagi kesehatan. Sebab bikers merupakan orang yang lama, kalau bukan yang
terlama, menghirup gas beracun di jalan raya.
6.2 Teori Etika
Lingkungan
Terdapat 3 (tiga) pandangan teori mengenai etika lingkungan,
sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
6.2.1 Teori Antroposentrisme
Teori ini memandang manusia sebagai pusat dari system alam semesta. Manusia dan
kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan
ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat perhatian dan
nilai sejauh menunjang kepentingan manusia. Bagi teori ini etika hanya
berlaku bagi manusia, segala tuntutan terhadap kewajiban dan tanggungjawab
moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sesuatu yang berlebihan,
kalaupun ada itu semata-mata demi memenuhi kepentingan sesama manusia.
Teori semacam ini dinilai bersifat instrumentalistik
(karena menganggap pola hubungan manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental, kalaupun peduli demi memenuhi
kebutuhan manusia) dan egoistis (karena
hanya mengutamakan kepentingan manusia).
6.2.2 Teori Biosentrisme
Teori ini menganggap alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas
dari kepentingan
manusia. Ciri etika ini adalah biocentric, karena menganggap setiap
kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Alam perlu diperlakukan secara
moral terlepas dari apakah ia berguna atau tidak bagi manusia. Sehingga
etika tidak lagi dipahami secara terbatas
pada komunitas manusia, namun berlaku juga bagi seluruh komunitas biotis, termasuk komunitas makhluk
hidup lain.
6.2.3 Teori Ekosentrisme
Etika ini memusatkan pada seluruh komunitas ekologis baik yang hidup maupun tidak,
karena secara ekologis makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya
saling terkait satu sama lain. Salah satu versi yang terkenal dari teori ini
adalah Deep Ecology.
Teori ini memusatkan perhatian pada kepada semua spesies,
termasuk spesies bukan manusia, dan menekankan perhatiannya pada jangka panjang,
dan tak kalah pentingnya merupakan gerakan diantara orang-orang yang mempunyai sikap dan keyakinan yang
sama, mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan alam, dan sama-sama
memperjuangkan isu lingkungan dan politik.
6.3 Prinsip Etika
Lingkungan Hidup
Prinsip ini menjadi pegangan dan tuntutan bagi perilaku kita dalam berhadapan
dengan alam, baik perilaku terhadap alam secara langsung maupun perilaku
terhadap sesama manusia yang berakibat tertentu terhadap alam (Keraf, 2002):
(1)
Sikap Hormat terhadap Alam (Respect for
Nature)
Pada dasarnya semua teori etika lingkungan mengakui
bahwa alam semesta perlu untuk dihormati. Secara khusus sebagai pelaku
moral, manusia mem-punyai kewajiban moral untuk menghormati kehidupan, baik
pada manusia maupun makhluk lain dalam komunitas ekologis seluruhnya. Hormat terhadap alam
merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam
semesta seluruhnya.
(2)
Prinsip Tanggung Jawab (Moral
Responsibility for Nature)
Setiap bagian dan benda di alam semesta ini diciptakan
oleh Tuhan dengan tujuannya masing-masing, terlepas dari apakah tujuan itu
untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh karena itu, manusia sebagai
bagian dari alam semesta bertanggungjawab pula untuk menjaganya. Tanggung
jawab ini bukan saja bersifat individual tetapi juga kolektif. Kelestarian dan
kerusakan alam merupakan tanggungjawab bersama seluruh umat manusia. Semua orang harus bisa
bekerjasama bahu membahu untuk menjaga dan meles-tarikan alam dan mencegah serta
memulihkan kerusakan alam, serta saling mengingatkan, melarang dan menghukum
siapa saja yang merusak alam.
(3)
Solidaritas Kosmis (Cosmic Solidarity)
Dalam diri manusia timbul perasaan solider, senasib
sepenanggungan dengan
alam dan sesama makhluk hidup lain. Prinsip ini bisa mendorong manusia untuk menyelamatkan lingkungan dan semua
kehidupan di alam ini. Prinsip ini
berfungsi sebagai pengendali moral untuk mengharmonisasikan manusia dengan ekosistemnya dan untuk mengontrol
perilaku manusia dalam batas-bats
keseimbangan kosmis. Solidaritas ini juga mendorong manusia untuk mengutuk dan menentang setiap
tindakan yang menyakitkan binatang
tertentu atau bahakn memusnakan spesies
tertentu.
(4)
Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian (Caring for
Nature)
Prinsip ini tidak didasarkan pada pertimbangan
kepentingan pribadi, tetapi semata-mata demi kepentingan alam. Dengan semakin
peduli terhadap alam, maka manusia menjadi semakin matang dengan identitas
yang kuat.
(5) Prinsip ”No Harm”
Terdapat kewajiban, sikap solider dan kepedulian, paling
tidak dengan tidak melakukan
tindakan yang merugikan atau mengancam eksistensi makhluk hidup lain di alam semesta ini (no harm). Jadi
kewajiban dan tanggung jawab moral
dapat dinyatakan dengan merawat, melindungi, menjaga dan melestarikan alam, dan tidak melakukan tindakan
seperti membakar hutan dan membuang
limbah sembarangan.
(6)
Prinsip Hidup Sederhana dan Selaras dengan Alam
Prinsip ini menekankan pada nilai, kualitas, cara hidup
yang baik, bukan menekankan pada sikap rakus dan tamak. Ada batas untuk
hidup secara layak sebagai manusia, yang selaras dengan alam.
(7)
Prinsip Keadilan
Prinsip ini menekankan bahwa terdapat akses yang sama
bagi semua kelompok dan anggota masyarakat untuk ikut dalam menentukan kebijakan pengelplaan dan pelestarian serta
pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam prinsip ini kita perlu memerhatikan
kepentingan masyarakat adat secara lebih khusus, karena dalam segi pemanfaatan
sumber daya alam dibandingkan dengan masyarakat modern akan kalah dari segi
permodalan, teknologi, informasi dan sebagainya, sehingga kepentingan masyarakat sangat rentan
dan terancam.
(8)
Prinsip Demokrasi
Prinsip ini terkait erat dengan hakikat alam, yaitu
keanekaragaman dan pluralitas. Demokrasi memberi tempat seluas-luasnya bagi
perbedaan, keanekaragaman
dan pluraritas. Prinsip ini sangat relevan dengan pengam-bilan kebijakan di bidang lingkungan, dan
memberikan garansi bagi kebijakan yang pro lingkungan hidup.
Dalam
prinsip ini tercakup beberapa prinsip moral lainnya, yaitu,
a.
Demokrasi
menjamin adanya keanekaragaman dan pluralitas yang memungkinkan nilai lingkungan hidup mendapat tempat untuk diperjuangkan
sebagai agenda politik dan ekonomi yang sama pentingnya dengan agenda lain.
b.
Demokrasi menjamin kebebasan dalam mengeluarkan pendapat
dan memperjuangkan
nilai yang dianut oleh setiap orang dan kelompok masyarakat dalam bingkai
kepentingan bersama.
c.
Demokrasi
menjamin setiap orang
dan kelompok masyarakat ikut berpartisipasi dalam menentukan
kebijakan publik dan memperoleh manfaatnya.
d.
Demokrasi menjamin sifat transparansi.
e.
Adanya akuntabilitas publik.
(9)
Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini terutama untuk pejabat publik, agar mempunyai
sikap dan perilaku moral yang terhormat serta memegang teguh prinsip-prinsip
moral yang mengamankan kepentingan publik, untuk menjamin kepentingan di bidang
lingkungan.
Sedangkan para penganut deep ecology menganut
delapan prinsip, diantaranya yaitu:
(1)
Kesejahteraan dan keadaan baik dari kehidupan manusiawi
ataupun bukan di bumi mempunyai nilai intrinsik.
(2)
Kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk hidup
menyumbangkan kepada
terwujudnya nilai-nilai ini dan merupakan nilai-nilai sendiri.
(3)
Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan
keanekaragaman ini, kecuali untuk memenuhi kebutuhan vitalnya.
(4)
Keadaan baik dari kehidupan dan kebudayaan manusia dapat
dicocok-kan dengan
dikuranginya secara substansial jumlah penduduk.
(5)
Campur
tangan manusia dengan dunia bukan manusia kini terlalu besar
(6)
Kebijakan umum harus dirubah, yang menyangkut
struktur-struktur dasar di bidang ekonomis, teknologis, dan ideologis.
(7)
Perubahan
ideologis terutama menghargai
kualitas kehidupan dan bukan berpegang pada standar hidup yang
semakin tinggi.
(8)
Mereka yang ifltjiyetujui buur-butir sebelumnya
berkewajiban secara langsung dan tidak iangsung untuk berusaha mengadakan
perubahan-perubahan yang perlu.
Prinsip-prinsip
etika lingkungan perlu diupayakan dan diimplemen-tasikan dalam kehidupan manusia karena krisis, persoalan ekologi dan bencana
aiam yang terjadi pada dasamya diakibatkan oleh pemahaman yang salah. Yaitu bahwa
alam adalah obyek
yang boleh diberlakukan
dan dieksploitasi sekehendak kita.
Pola pembangunan yang berlangsung saat ini perlu diubah
dan diimplementasikan secara
jelas. Aspek pembangunan tidak semata-mata hanya pemenuhan kebutuhan aspek ekonomi namun juga perlu memberikan bobot yang setara pada aspek-aspek sosial, budaya dan
lingkungan. Kerusakan yang terjadi pada masa sekarang, tidak hanya dirasakan
oleh kita sekarang ini, namun juga akan dirasakan pula oleh generasi
yang akan datang. Pembangunan yang dilakukan
harus merupakan pembangunan membumi
yang selalu selaras dengan keseimbangan alam. Pembangunan membumi dapat
dikatakan identik dengan pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Daftar Pustaka
Ernawan,
Erni. 2011. Business Ethics.
Penerbit: Alfabeta. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar