Senin, 16 April 2012

Etika Perencanaan Pajak


BAB X
ETIKA PERENCANAAN PAJAK

Alan Stainer, Lorice Stainer and Alexandra Segal Salah satu isu yang paling under-estimated bisnis modern adalah dimensi etika dari pajak dan perencanaan pajak. Hal ini dikarenakan sebagian besar bisnis menganggap pajak sebagai sebuah persoalan yang paling besar. Secara mengejutkan masih sedikit yang telah ditulis atau diteliti pada subjek ini secara jauh dan penelitian masih menekankan pada dua pilar dari bisnis kontemporer yaitu profitabilitas dan moralitas.

10.1 Etika Pajak
Walter (1990) mengemukakan beberapa etos bagi profesi akuntansi. Berkenaan dengan isu etika dan khususnya menyangkut pajak, Dox (1992) menyakini bahwa sekarang ini praktisi pajak haruslah menjadi agile tightrope-walker, mampu untuk menyeimbangkan permintaan yang saling berbeda. Mereka harus berurusan dengan permintaan yang bertentangan dari klien dan aparat pajak (fiskus) dan pada saat yang sama harus mematuhi kode profesinya sendiri. The Institute of Chartered Accountants in England & Wales (ICAEW) (1995), dalam publikasinya “Professional Conduct in Relation to Taxation), memberikan seperangkat pedoman etis untuk praktisi etis. Ini berkaitan dengan pertanyaan berapa banyak kebutuhan yang akan diungkapkan kepada aparat pajak (fiskus). Mereka juga mengambil sudut pandang bahwa tax adviser adalah seorang agen yang bertugas untuk melakukan tindakan sesuai dengan kepentingan pribadi dari klien dan tidak untuk masyarakat secara keseluruhan. Implikasinya adalah bahwa kewajiban pajak klien seharusnya menjadi subjek untuk diminimalisasi pada batasan kejujuran. Kata kejujuran mempunyai subjektifitas uang tinggi dan dapat memberi makna yang berbeda pada orang yang berbeda. Secara paradoks, Hanson et. Al. (1992) menyakini bahwa meminimalkan kewajiban pajak tidak selalu cocok dengan kode perilaku profesional dan etika.
Lynch (1995) menyatakan praktisi pajak tidak berbeda dengan profesi lainnya terkait dengan kesesuaiannya dengan standar etika, mempunyai tingkat keahlian, pengetahuan dan kompetensi. Hal ini adalah vital saat mendiskusikan isu moral, untuk menyakinkan bahwa definisi yang paling jelas yang digunakan. Hal ini karena beberapa penulis bingung melalui kurangnya pemahaman tentang proses bisnis strategis.
Perencanaan pajak didesain untuk hubungan individual atau organisasi dalam rangka memaksimalkan pengembalian setelah pajak. Bisnis secara substansial dinilai pada kinerja mereka dalam hubungannya dengan laba setelah pajak dan oleh karenanya gain dikaitkan dengan meminimalkan kewajiban pajak mereka. Ketika pajak dan perencanaannya adalah bahwa mereka berhubungan dengan tingkat pengelakan atau penghindaran. Secara definisi, pengelakan adalah illegal dan tidak etis. Sedangkan penghindaran adalah dapat diterima, sebagaimana dapat mengurangi kewajiban pajak dengan segala alat legal yang memungkinkan dan oleh karenanya secara basis dapat diterima secara etis. Former dapat membawa pada tuntutan dan hukuman penjara yang seringkali merefleksikan penyesalan dari klien. Namun, sebagaimana klaim Lynch (1995), hidup dan khususnya pajak tidak sesimpel itu. James dan Nobes (1996) mengatakan bahwa pada satu sisi, ada tingkatan dalam tax evasion sedang dalam tax avoidance biasanya ada perbedaan antara kelonggaran dan skema artifisial meminimalkan pembayaran pajak. Yang terakhir seringkali alat penghindaran yang tidak disukai oleh klien. Kata campuran “avoision” mengimplikasikan bahwa baik evasion maupun avoidance boleh dalam beberapa lingkungan yang tidak dapat dibedakan karena tidak hanya garis baik antara evasion dan avoidance namun sebuah area abu-abu yang berkabut (a foggy grey area). Pengaruhnya adalah kerugian pendapatan yang dialami aparat pajak (fiskus) dan masyarakat secara keseluruhan.
Beberapa ide yang disajikan oleh Jackson (1996), dalam hubungannya dengan etika dan pajak. Jackson menyatakan bahwa pembayaran ahli pajak untuk memberi nasehat dalam cara pengurangan kewajiban pajak yang legal telah menjadi strategi bisnis dan terhormat secara etika. Dalam cara ini, tidak ada penyalahgunaan kepercayaan dalam pembayaran tidak melebihi yang dipersyaratkan secara legal. Ia menyakini bahwa jika ada lubang dalam aturan yang dibuat oleh legislator maka tugas merekalah untuk menggantinya dan bahwa tidak ada kebutuhan bagi pebisnis untuk merasakan kewajiban untuk memusatkan pada lubang tersebut. Bagaimanapun, menurutnya pertimbangan itu seharusnya berbeda jika organisasi melalui loophole, tidak secara legal tidak membahayakan kesehatan dan keamanan masyarakat. Sebagaimana yang diklaim oleh Stainer dan Stainer (1993) ada kebutuhan bisnis untuk menyeimbangkan diantara aturan hukum, profit dan etika, dimana aturan hukum seharusnya menjadi denominator terendah dari perilaku etis yang dapat diterima. Hal ini sesuai dengan Macintosh (1995), hal ini merupakan sindrom perilaku yang dapat diterima secara sosial. Oleh karenanya, perilaku etika dasar seharusnya seragam dalam lingkungan yang bagaimanapun dan tanggung jawab sosial seharusnya tidak hanya berhubungan dengan isu-isu tertentu seperti kesehatan dan keamanan, namun juga pada setiap aspek bisnis.
Apa yang benar-benar dibutuhkan dalam diskusi bisnis yang beretika merupakan filosofi dari stakeholder. RSA Inquiry into Tomorrow’s Company (1995) mendukung pandangan ini dan merekomendasikan pendekatan yang inklusif, yang mengimplikasikan pengakuan stakeholder dan hubungan bersama. Sebagaimana Evers (1996) mencatat, seperti pengakuan sebagian besar pemikiran dalam etika bisnis, mempromosikan apa yang Mahoney (1995) deskripsikan sebagai kualitas bisnis yang beretika. Lebih dari itu, Stainer dan Stainer (1996) menganjurkan pendekatan berbasis nilai untuk kinerja bisnis melalui Value Index for Business Excellence (VIBE). Indeks ini mencakup 5 elemen kunci keberhasilan yaitu kepuasan pelanggan, efektifitas pasar, efektifitas sumber daya, efektifitas sosial, dan kepuasan tempat kerja. Metodologi stakeholder ini berbeda dengan Sternberg (1994), dalam mendiskusikan tujuan bisnis dan etika bisnis, mempertahankan bahwa tujuan utama adalah maksimalisasi nilai pemilik dalam jangka panjang.

10.2 Perencanaan Pajak Dalam Konteks
Secara fundamental, pajak merupakan transfer kekayaan dari rakyat kepada publik. Laba setelah pajak ditentukan oleh kedua hal yaitu level tarif pajak dan efisiensi dari sistem pengumpulan pajak. Hal ini berarti bahwa penghasilan ini mengatur standar hidup individu dan menjalankan peluang dan ancaman untuk bisnis. Oleh karena itu, perencanaan pajak dapat dipandang dari sudut pandang sosial maupun kepentingan pribadi.
Penghindaran pajak (tax avoidance) mempunyai konotasi yang tidak baik utamanya menyangkut manipulasi terhadap aturan hukum. Pengelakan pajak (tax evasion) didefinisikan oleh Tamari (1995) dengan istilah “human greed” atau ketamakan manusia yaitu sisi gelap dari manipulasi itu. Akuntan dan praktisi pajak merujuk pada manuver penghindaran sebagaimana perencanaan pajak atau kelonggaran pajak yang menekankan pada aspek legalnya dan dapat diterima secara etika. Sandford (1973) menitikberatkan bahwa istilah “penghindaran” seharusnya digunakan untuk mengartikan sesuatu yang berbeda dengan spirit hukum dan menyelesaikan tujuan sebelum pajak. James dan Nobes (1996) mengemukakan pandangan bahwa ada sedikit informasi yang sulit mengenai penghindaran atau pengelakan dan bahwa tidak ada estimasi kuantitatif yang akurat mengenai kepentingannya. Fiskus secara terus menerus khawatir oleh urusan negaranya dan mencari loophole melalui penasehat pajak secara kontinyu. Ini menunjukkan, suatu kemungkinan yang tidak disebabkan oleh hambatan etika pada pembayar pajak melainkan ini lebih pada hasil pengembangan dan perbaikan Ramsay Principle (1982), yang melihat realitas beberapa penyusunan legal yang kelihatan sangat artifisial yang mereka mungkin melihatnya sebagai pengelakan.

10.3 Dimensi Etika
Sesuai dengan Prodhan (1994), etika dapat didefinisikan sebagai bentuk perilaku manusia yang memasukkan tujuan, norma, baik, benar dan pilihan dalam hubungannya dengan lainnya. Keuangan seringkali dilihat sebagai disiplin positif yang bernilai netral, mempertimbangkan efisiensi tanpa memperdulikan konsekuensi sosial yang menyertainya. Boone dan Kurtz (1987) menyakini bahwa bisnis menghadapi berbagai isu etika setiap hari dan dalam hubungannya dengan investor dan komunitas keuangan tidak ada tempat dimana ekspektasi publik  lebih besar level moralitas bisnis daripada dalam arena transaksi-transaksi keuangan. Eksekutif diharapkan untuk standar perilaku etika yang tertinggi berkaitan dengan praktik-praktik keuangan dalam rangka untuk membenarkan kepercayaan publik yang dialamatkan pada mereka. Lebih jauh Hosmer (1991), ada kenaikan bertahap piramid hierarki dari tanggung jawab manajerial dari operasional, untuk fungsional, teknologi, konseptual dan pada akhirnya untuk etika. Kunci bagi kinerja bisnis yang baik sesuai dengan Creelman (1996), adalah untuk menemukan bagaimana manusia, organisasi dan konsumen dapat diseimbangkan sehingga dapat menciptakan nilai.
Perencanaan pajak, sinonim dengan penghindaran pajak, membawa reaksi yang berbeda dalam individu yang berbeda. Tiga petunjuk untuk perencanaan pajak yang mereflesikan pengembangan historis sebagaimana dijelaskan berikut: 1) Diktum Lord Clyde (1929) bahwa pembayar pajak adalah diberi pilihan menjadi lihai untuk mencegah deplesi harta oleh Penghasilan”. 2) Pernyataan Lord Tomlin (1936) bahwa “Setiap laki-laki diberi pilihan, jika ia mampu, untuk urusannya sehingga pencapaian pajak berdasarkan tindakan yang tepat adalah kurang dari sebaliknya”. 3) Opini yang disampaikan oleh Lord Simon of Glaisdale (1974) bahwa “Ketidaksetujuan yang mungkin adalah beberapa pembayar pajak melarikan diri apa yang tampak sebagai bagian yang wajar dari beban umum pengeluaran nasional.
Selanjutnya, dapat dilihat bahwa etika dan perencanaan pajak adalah masalah yang kontroversial, bahkan dalam hukum sekalipun. Dan dalam melihat isu etika dalam kinerja praktik pajak Dox (1992) berpendapat bahwa praktisi pajak kontemporer dihadapkan dengan banyak sekali permintaan konflik sama baiknya dengan kebanyakan penalti dari aparat pajak. Alasan dari anggapan seperti ini adalah bahwa beberapa klien berkeinginan untuk melangkah ke dalam wilayah abu-abu. Bagaimanapun juga, praktisi pajak harus mempunyai level kesesuaian yang dapat diterima dengan strategi pajak dan respon klien sebelum merekomendasikan peluang adanya perencanaan pajak.
Sebuah jalan adalah Recker dkk. (1994) mendemonstrasikan bahwa pengembangan model pengambilan keputusan pajak berfokus pada faktor-faktor ekonomi dan keperilakuan yang dapat mempengaruhi kepatuhan, dengan keyakinan etika pajak menjadi faktor yang banyak dilihat. Hasil mengindikasikan bahwa etika pajak adalah signifikan dalam keputusan pengelakan pajak dan mungkin menjadi satu diantara variabel-variabel yang lepas dalam model pengambilan keputusan pajak. Erard dan Feinstein (1994) menyatakan bahwa model konvensional kepatuhan pajak menekankan pada kenyataan bahwa pembayar pajak membuat laporan pajak strategis mealui pelaporan kurang pendapatan pada perluasan bahwa perilaku akan diberi reward secara keuangan.
Sorell dan Hendry (1994) mendeskripsikan praktik pajak di Italia dimana utilitarianism tindakan bekerja lebih baik dibanding dengan utilitarianism aturan. Dengan konvensi, bisnis di Italia kurang menyatakan kewajiban mereka untuk pajak dan selanjutnya negosiasi, hasil dalam persetujuan bisnis untuk membayar lebih pajak. Perusahaan multinasional mengkalkulasi kewajiban pajaknya dengan benar dan jujur pertama kali, merasa melanggar penyusunan ini, sebagaimana dipersyaratkan untuk membayar tagihan pajak lebih besar yang seharusnya dimiliki. Ulititarisnism tindakan telah merekomendasikan kepatuhan dengan praktik Italian yang dapat diterima dianding dengan aturan yang menyatakan kebenaran. Namun utilitarisnism aturan datang kedalam diirnya sendiri klaim ketika ada pertanyaan apakah klaim utilitarianism untuk menjadi teori moral.
Argandona (1994) mengobservasi dalam tahun 1991 sejumlah organisasi besar di Spanyol yang dituduh menggunakan faktur yang salah untuk mengindari pembayaran PPN. Di Inggris, praktik penghindaran pajak yang meragukan kedudukan etika seringkali diterima secara umum. Beberapa kasus seperti bonus yang dibayarkan dalam bentuk natura daripada kas, untuk mengurangi tambahan kontribusi asuransi nasional – loophole tertutup secara sebagian – dan praktik “bed-and-breakfast” untuk mengurangi capital gain. Ada semacam kritik yang diberikan yaitu bahwa sistem pajak di Inggris adalah regresif, sebagaimana dilaporkan oleh Institute of Fiscal Studies (IFS) (1997). Pajak regresif adalah dimana tarif marjinal pajak kurang dari tarif rata-rata, sehingga proporsi income yang diambil dalam pajak meningkat.

Kesimpulan
Sesuai dengan The Economist (1997), setiap orang yang berkepentingan dalam pajak dan birokrat yang menjalankan European Union (EU) tidak terkecuali. Usaha mereka di masa lalu untuk mengharmonisasikan pajak yang telah sedikit berhasil mereka mensyaratkan persetujuan anggota UE yang tetap jealous dengan kedaulatan fiskalnya. Namun pajak adalah kembali pada agenda EU dan sebuah tangisan baru terdenagr dari Jerman, Prancis, Italia dan Belgia, adalah untuk mengakhiri kepada apa yang mereka sebut dengan persaingan pajak yang tidak wajar. Mario Monti, komisioner pasar tunggal, lebih suka melihat kode perilaku yang baik untuk menghentikan kompetisi pajak yang merugikan. Bagaimanapun juga, siapa yang menetukan bahwa ini adalah merugikan?
Clarke (1990) menyatakan bahwa dalam setiap negara otoritas pajak adalah tergantung pada tingkat substansial dari kemauan kepatuhan dari pembayar pajak. Lebih jauh, sistem akan melibatkan operasi yang mahal jika mempunyai sumber daya yang komprehensif daripada pelaksanaan seleksi. Mereka menyakini bahwa beberapa sanksi dalam sebuah demokrasi bukanlah alat penangkis yang efektif dan bahwa negosiasi dan penempatan merupakan jalan yang lebih efektif daripada penuntutan. Hal ini terlihat bahwa garis dasar sebagaimana perencanaan pajak adalah dikaitkan dengan kejujuran. Di Inggris, pentingnya etika pajak adalah untuk mengakselerasikan masa mendatang, terutama dengan pengenalan pendekatan self assessment untuk pengumpulan pajak.
Perencanaan pajak harus dilatihkan dalam sebuah atmosfer integritas, mutual trust dan semuanya diatas, sebuah iklim etika yang baik. Praktisi pajak harus objektif dalam pendekatan perencanaan pajak mereka sebaik ketika mereka menjalankan tugas profesionalnya.  Financial Times (1995) mengobeservasi, “Hal ini menajdi bagian dari sebuah masyarakat bahwa orang, didalam bisnis dan diluar bisnis bertindak secara moral. Tidak lebih dan tidak kurang.” Hal ini haruslah menjadi pelajaran untuk milenium mendatang.


Daftar Pustaka

Alan Stainer, Lorice Stainer and Alexandra Segal. Etika Perencanaan Pajak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar