BAB X
ETIKA
PERENCANAAN PAJAK
Alan
Stainer, Lorice Stainer and Alexandra Segal Salah satu isu yang paling under-estimated bisnis
modern adalah dimensi etika dari pajak dan perencanaan pajak. Hal ini
dikarenakan sebagian besar bisnis menganggap pajak sebagai sebuah persoalan
yang paling besar. Secara mengejutkan masih sedikit yang telah ditulis atau
diteliti pada subjek ini secara jauh dan penelitian masih menekankan pada dua
pilar dari bisnis kontemporer yaitu profitabilitas dan moralitas.
10.1 Etika Pajak
Walter (1990) mengemukakan beberapa etos bagi profesi
akuntansi. Berkenaan dengan isu etika dan khususnya menyangkut pajak, Dox
(1992) menyakini bahwa sekarang ini praktisi pajak haruslah menjadi agile
tightrope-walker, mampu untuk menyeimbangkan permintaan yang saling
berbeda. Mereka harus berurusan dengan permintaan yang bertentangan dari klien
dan aparat pajak (fiskus) dan pada saat yang sama harus mematuhi kode
profesinya sendiri. The Institute of Chartered Accountants in
England & Wales (ICAEW) (1995), dalam publikasinya “Professional Conduct in
Relation to Taxation), memberikan seperangkat pedoman etis untuk praktisi etis.
Ini berkaitan dengan pertanyaan berapa banyak
kebutuhan yang akan diungkapkan kepada aparat pajak (fiskus). Mereka juga
mengambil sudut pandang bahwa tax adviser adalah seorang agen yang
bertugas untuk melakukan tindakan sesuai dengan kepentingan pribadi dari klien
dan tidak untuk masyarakat secara keseluruhan. Implikasinya adalah bahwa
kewajiban pajak klien seharusnya menjadi subjek untuk diminimalisasi pada
batasan kejujuran. Kata kejujuran mempunyai subjektifitas uang tinggi dan dapat
memberi makna yang berbeda pada orang yang berbeda. Secara paradoks, Hanson et.
Al. (1992) menyakini bahwa meminimalkan kewajiban pajak tidak selalu cocok
dengan kode perilaku profesional dan etika.
Lynch (1995) menyatakan praktisi pajak tidak berbeda
dengan profesi lainnya terkait dengan kesesuaiannya dengan standar etika,
mempunyai tingkat keahlian, pengetahuan dan kompetensi. Hal ini adalah vital
saat mendiskusikan isu moral, untuk menyakinkan bahwa definisi yang paling
jelas yang digunakan. Hal ini karena beberapa penulis bingung melalui kurangnya
pemahaman tentang proses bisnis strategis.
Perencanaan
pajak didesain untuk hubungan individual atau organisasi dalam rangka
memaksimalkan pengembalian setelah pajak. Bisnis secara substansial dinilai
pada kinerja mereka dalam hubungannya dengan laba setelah pajak dan oleh
karenanya gain dikaitkan dengan
meminimalkan kewajiban pajak mereka. Ketika
pajak dan perencanaannya adalah bahwa mereka berhubungan dengan tingkat
pengelakan atau penghindaran. Secara definisi, pengelakan adalah illegal dan
tidak etis. Sedangkan penghindaran adalah dapat diterima, sebagaimana dapat
mengurangi kewajiban pajak dengan segala alat legal yang memungkinkan dan oleh
karenanya secara basis dapat diterima secara etis. Former dapat membawa pada
tuntutan dan hukuman penjara yang seringkali merefleksikan penyesalan dari
klien. Namun, sebagaimana klaim Lynch (1995), hidup dan khususnya pajak tidak
sesimpel itu. James dan Nobes (1996) mengatakan bahwa pada satu sisi, ada
tingkatan dalam tax evasion sedang
dalam tax avoidance biasanya ada
perbedaan antara kelonggaran dan skema artifisial meminimalkan pembayaran
pajak. Yang terakhir seringkali alat penghindaran yang tidak disukai oleh
klien. Kata campuran “avoision”
mengimplikasikan bahwa baik evasion
maupun avoidance boleh dalam beberapa
lingkungan yang tidak dapat dibedakan karena tidak hanya garis baik antara evasion dan avoidance namun sebuah area abu-abu yang berkabut (a foggy grey
area). Pengaruhnya adalah kerugian pendapatan yang dialami aparat pajak
(fiskus) dan masyarakat secara keseluruhan.
Beberapa ide yang disajikan oleh Jackson (1996), dalam
hubungannya dengan etika dan pajak. Jackson menyatakan bahwa pembayaran ahli
pajak untuk memberi nasehat dalam cara pengurangan kewajiban pajak yang legal
telah menjadi strategi bisnis dan terhormat secara etika. Dalam cara ini, tidak
ada penyalahgunaan kepercayaan dalam pembayaran tidak melebihi yang
dipersyaratkan secara legal. Ia menyakini bahwa jika ada lubang dalam aturan
yang dibuat oleh legislator maka tugas merekalah untuk menggantinya dan bahwa
tidak ada kebutuhan bagi pebisnis untuk merasakan kewajiban untuk memusatkan
pada lubang tersebut. Bagaimanapun, menurutnya pertimbangan itu seharusnya
berbeda jika organisasi melalui loophole,
tidak secara legal tidak membahayakan kesehatan dan keamanan masyarakat.
Sebagaimana yang diklaim oleh Stainer dan Stainer (1993) ada kebutuhan bisnis
untuk menyeimbangkan diantara aturan hukum, profit dan etika, dimana aturan
hukum seharusnya menjadi denominator terendah dari perilaku etis yang dapat
diterima. Hal ini sesuai dengan Macintosh (1995), hal ini merupakan sindrom
perilaku yang dapat diterima secara sosial. Oleh karenanya, perilaku etika
dasar seharusnya seragam dalam lingkungan yang bagaimanapun dan tanggung jawab
sosial seharusnya tidak hanya berhubungan dengan isu-isu tertentu seperti
kesehatan dan keamanan, namun juga pada setiap aspek bisnis.
Apa yang benar-benar dibutuhkan dalam diskusi bisnis yang
beretika merupakan filosofi dari stakeholder. RSA Inquiry into Tomorrow’s
Company (1995) mendukung pandangan ini dan merekomendasikan pendekatan yang
inklusif, yang mengimplikasikan pengakuan stakeholder dan hubungan bersama.
Sebagaimana Evers (1996) mencatat, seperti pengakuan sebagian besar pemikiran
dalam etika bisnis, mempromosikan apa yang Mahoney (1995) deskripsikan sebagai
kualitas bisnis yang beretika. Lebih dari itu, Stainer dan Stainer (1996)
menganjurkan pendekatan berbasis nilai untuk kinerja bisnis melalui Value Index for Business Excellence (VIBE).
Indeks ini mencakup 5 elemen kunci keberhasilan yaitu kepuasan pelanggan,
efektifitas pasar, efektifitas sumber daya, efektifitas sosial, dan kepuasan
tempat kerja. Metodologi stakeholder ini berbeda dengan Sternberg (1994), dalam
mendiskusikan tujuan bisnis dan etika bisnis, mempertahankan bahwa tujuan utama
adalah maksimalisasi nilai pemilik dalam jangka panjang.
10.2 Perencanaan Pajak Dalam Konteks
Secara fundamental, pajak merupakan transfer kekayaan
dari rakyat kepada publik. Laba setelah pajak ditentukan oleh kedua hal yaitu
level tarif pajak dan efisiensi dari sistem pengumpulan pajak. Hal ini berarti
bahwa penghasilan ini mengatur standar hidup individu dan menjalankan peluang
dan ancaman untuk bisnis. Oleh karena itu, perencanaan pajak dapat dipandang
dari sudut pandang sosial maupun kepentingan pribadi.
Penghindaran pajak (tax avoidance) mempunyai
konotasi yang tidak baik utamanya menyangkut manipulasi terhadap aturan hukum.
Pengelakan pajak (tax evasion) didefinisikan oleh Tamari (1995) dengan
istilah “human greed” atau ketamakan manusia yaitu sisi gelap dari
manipulasi itu. Akuntan dan praktisi pajak merujuk pada manuver penghindaran
sebagaimana perencanaan pajak atau kelonggaran pajak yang menekankan pada aspek
legalnya dan dapat diterima secara etika. Sandford (1973) menitikberatkan bahwa
istilah “penghindaran” seharusnya digunakan untuk mengartikan sesuatu yang
berbeda dengan spirit hukum dan menyelesaikan tujuan sebelum pajak. James dan
Nobes (1996) mengemukakan pandangan bahwa ada sedikit informasi yang sulit
mengenai penghindaran atau pengelakan dan bahwa tidak ada estimasi kuantitatif
yang akurat mengenai kepentingannya. Fiskus secara terus menerus khawatir oleh
urusan negaranya dan mencari loophole
melalui penasehat pajak secara kontinyu. Ini menunjukkan, suatu kemungkinan
yang tidak disebabkan oleh hambatan etika pada pembayar pajak melainkan ini
lebih pada hasil pengembangan dan perbaikan Ramsay Principle (1982), yang
melihat realitas beberapa penyusunan legal yang kelihatan sangat artifisial
yang mereka mungkin melihatnya sebagai pengelakan.
10.3 Dimensi
Etika
Sesuai dengan Prodhan (1994), etika dapat didefinisikan sebagai
bentuk perilaku manusia yang memasukkan tujuan, norma, baik, benar dan pilihan
dalam hubungannya dengan lainnya. Keuangan seringkali dilihat sebagai disiplin
positif yang bernilai netral, mempertimbangkan efisiensi tanpa memperdulikan
konsekuensi sosial yang menyertainya. Boone dan Kurtz (1987) menyakini bahwa
bisnis menghadapi berbagai isu etika setiap hari dan dalam hubungannya dengan
investor dan komunitas keuangan tidak ada tempat dimana ekspektasi publik lebih besar level moralitas bisnis daripada
dalam arena transaksi-transaksi keuangan. Eksekutif diharapkan untuk standar
perilaku etika yang tertinggi berkaitan dengan praktik-praktik keuangan dalam
rangka untuk membenarkan kepercayaan publik yang dialamatkan pada mereka. Lebih
jauh Hosmer (1991), ada kenaikan bertahap piramid hierarki dari tanggung jawab
manajerial dari operasional, untuk fungsional, teknologi, konseptual dan pada
akhirnya untuk etika. Kunci bagi kinerja bisnis yang baik sesuai dengan
Creelman (1996), adalah untuk menemukan bagaimana manusia, organisasi dan
konsumen dapat diseimbangkan sehingga dapat menciptakan nilai.
Perencanaan pajak, sinonim dengan penghindaran pajak,
membawa reaksi yang berbeda dalam individu yang berbeda. Tiga petunjuk untuk
perencanaan pajak yang mereflesikan pengembangan historis sebagaimana
dijelaskan berikut: 1) Diktum Lord Clyde (1929) bahwa pembayar pajak adalah
diberi pilihan menjadi lihai untuk mencegah deplesi harta oleh Penghasilan”. 2)
Pernyataan Lord Tomlin (1936) bahwa “Setiap laki-laki diberi pilihan, jika ia
mampu, untuk urusannya sehingga pencapaian pajak berdasarkan tindakan yang
tepat adalah kurang dari sebaliknya”. 3) Opini yang disampaikan oleh Lord Simon
of Glaisdale (1974) bahwa “Ketidaksetujuan yang mungkin adalah beberapa
pembayar pajak melarikan diri apa yang tampak sebagai bagian yang wajar dari
beban umum pengeluaran nasional.
Selanjutnya,
dapat dilihat bahwa etika dan perencanaan pajak adalah masalah yang
kontroversial, bahkan dalam hukum sekalipun. Dan dalam melihat isu etika dalam kinerja praktik pajak
Dox (1992) berpendapat bahwa praktisi pajak kontemporer dihadapkan dengan
banyak sekali permintaan konflik sama baiknya dengan kebanyakan penalti dari
aparat pajak. Alasan dari anggapan seperti ini adalah bahwa beberapa klien berkeinginan
untuk melangkah ke dalam wilayah abu-abu. Bagaimanapun juga, praktisi pajak
harus mempunyai level kesesuaian yang dapat diterima dengan strategi pajak dan
respon klien sebelum merekomendasikan peluang adanya perencanaan pajak.
Sebuah jalan adalah Recker dkk. (1994) mendemonstrasikan
bahwa pengembangan model pengambilan keputusan pajak berfokus pada
faktor-faktor ekonomi dan keperilakuan yang dapat mempengaruhi kepatuhan,
dengan keyakinan etika pajak menjadi faktor yang banyak dilihat. Hasil mengindikasikan
bahwa etika pajak adalah signifikan dalam keputusan pengelakan pajak dan
mungkin menjadi satu diantara variabel-variabel yang lepas dalam model
pengambilan keputusan pajak. Erard dan Feinstein (1994) menyatakan bahwa model
konvensional kepatuhan pajak menekankan pada kenyataan bahwa pembayar pajak
membuat laporan pajak strategis mealui pelaporan kurang pendapatan pada
perluasan bahwa perilaku akan diberi reward secara keuangan.
Sorell dan Hendry (1994) mendeskripsikan praktik pajak di
Italia dimana utilitarianism tindakan bekerja lebih baik dibanding dengan
utilitarianism aturan. Dengan konvensi, bisnis di Italia kurang menyatakan
kewajiban mereka untuk pajak dan selanjutnya negosiasi, hasil dalam persetujuan
bisnis untuk membayar lebih pajak. Perusahaan multinasional mengkalkulasi
kewajiban pajaknya dengan benar dan jujur pertama kali, merasa melanggar
penyusunan ini, sebagaimana dipersyaratkan untuk membayar tagihan pajak lebih
besar yang seharusnya dimiliki. Ulititarisnism tindakan telah merekomendasikan
kepatuhan dengan praktik Italian yang dapat diterima dianding dengan aturan
yang menyatakan kebenaran. Namun utilitarisnism aturan datang kedalam diirnya
sendiri klaim ketika ada pertanyaan apakah klaim utilitarianism untuk menjadi
teori moral.
Argandona (1994) mengobservasi dalam tahun 1991 sejumlah
organisasi besar di Spanyol yang dituduh menggunakan faktur yang salah untuk
mengindari pembayaran PPN. Di Inggris, praktik penghindaran pajak yang
meragukan kedudukan etika seringkali diterima secara umum. Beberapa kasus
seperti bonus yang dibayarkan dalam bentuk natura daripada kas, untuk
mengurangi tambahan kontribusi asuransi nasional – loophole tertutup secara sebagian – dan praktik “bed-and-breakfast” untuk mengurangi
capital gain. Ada semacam kritik yang diberikan yaitu bahwa sistem pajak di
Inggris adalah regresif, sebagaimana dilaporkan oleh Institute of Fiscal
Studies (IFS) (1997). Pajak regresif adalah dimana tarif marjinal pajak kurang
dari tarif rata-rata, sehingga proporsi income yang diambil dalam pajak
meningkat.
Kesimpulan
Sesuai
dengan The Economist (1997), setiap orang yang berkepentingan dalam pajak dan
birokrat yang menjalankan European Union (EU) tidak terkecuali. Usaha mereka di masa lalu untuk mengharmonisasikan pajak
yang telah sedikit berhasil mereka mensyaratkan persetujuan anggota UE yang
tetap jealous dengan kedaulatan
fiskalnya. Namun pajak adalah kembali pada agenda EU dan sebuah tangisan baru
terdenagr dari Jerman, Prancis, Italia dan Belgia, adalah untuk mengakhiri
kepada apa yang mereka sebut dengan persaingan pajak yang tidak wajar. Mario
Monti, komisioner pasar tunggal, lebih suka melihat kode perilaku yang baik
untuk menghentikan kompetisi pajak yang merugikan. Bagaimanapun juga, siapa
yang menetukan bahwa ini adalah merugikan?
Clarke (1990) menyatakan bahwa dalam setiap negara
otoritas pajak adalah tergantung pada tingkat substansial dari kemauan
kepatuhan dari pembayar pajak. Lebih jauh, sistem akan melibatkan operasi yang
mahal jika mempunyai sumber daya yang komprehensif daripada pelaksanaan
seleksi. Mereka menyakini bahwa beberapa sanksi dalam sebuah demokrasi bukanlah
alat penangkis yang efektif dan bahwa negosiasi dan penempatan merupakan jalan
yang lebih efektif daripada penuntutan. Hal ini terlihat bahwa garis dasar
sebagaimana perencanaan pajak adalah dikaitkan dengan kejujuran. Di Inggris,
pentingnya etika pajak adalah untuk mengakselerasikan masa mendatang, terutama
dengan pengenalan pendekatan self
assessment untuk pengumpulan pajak.
Perencanaan pajak harus dilatihkan dalam sebuah atmosfer
integritas, mutual trust dan semuanya diatas, sebuah iklim etika yang baik.
Praktisi pajak harus objektif dalam pendekatan perencanaan pajak mereka sebaik
ketika mereka menjalankan tugas profesionalnya.
Financial Times (1995) mengobeservasi, “Hal ini menajdi bagian dari
sebuah masyarakat bahwa orang, didalam bisnis dan diluar bisnis bertindak
secara moral. Tidak lebih dan tidak kurang.” Hal ini haruslah menjadi pelajaran
untuk milenium mendatang.
Daftar
Pustaka
Alan Stainer, Lorice Stainer and Alexandra
Segal. Etika Perencanaan
Pajak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar