BAB IX
INTERNAL AUDITOR DAN DILEMA ETIKA
9.1 Pendahuluan
Tema tentang independensi dan etika
dalam profesi akuntan memiliki pemahaman yang sangat penting dan mendalam.
Sorotan masyarakat terhadap profesi akuntan sangatlah besar sebagai dampak
beberapa skandal perusahaan besar dunia seperti Enron dan WorldCom yang
melibatkan para akuntan (Largay III, 2002; Verrechia, 2003).
Finn et.al. (1988) dan
Bazerman et.al. (1997) menyatakan bahwa akuntan seringkali dihadapkan
pada situasi adanya dilema yang menyebabkan dan memungkinkan akuntan tidak
dapat independen. Akuntan diminta untuk tetap independen dari klien, tetapi
pada saat yang sama kebutuhan mereka tergantung kepada klien karena fee yang
diterimanya, sehingga seringkali akuntan berada dalam situasi dilematis. Hal
ini akan berlanjut jika hasil temuan auditor tidak sesuai dengan harapan klien,
sehingga menimbulkan konflik audit (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996). Konflik
audit ini akan berkembang menjadi sebuah dilemma etika ketika auditor
diharuskan membuat keputusan yang bertentangan dengan independensi dan
integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi atau tekanan di sisi
lainnya (Windsor dan Askhanasy, 1995). Auditor secara social juga bertanggung
jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan
pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata. Situasi
seperti hal tersebut di atas sangat sering dihadapi oleh auditor. Auditor
seringkali dihadapkan kepada situasi dilema etika dalam pengambilan keputusannya
(Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996; Larkin, 2000; Dillard dan Yuthas, 2002).
Auditing internal adalah sebuah
fungsi penilaian independen yang dijalankan di dalam organisasi untuk menguji
dan mengevaluasi system pengendalian internal organisasi. Kualitas auditing
internal yang dijalankan akan berhubungan dengan kompetensi dan obyektivitas
dari staf internal auditor organisasi tersebut (Adams, 1994; Bou-Raad, 2000).
Sebagai pekerja, internal auditor mendapatkan penghasilan dari organisasi di
mana dia bekerja, hal ini berarti internal auditor sangat bergantung kepada
organisasinya sebagai pemberi kerja. Di lain pihak, internal auditor dituntut
untuk tetap independen sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada publik dan
profesinya (Abdolmohammadi dan Owhoso, 2000; Windsor; 2002). Di sini konflik
audit muncul ketika auditor internal menjalankan aktivitas auditing internal.
Internal auditor sebagai pekerja di dalam organisasi yang diauditnya akan
menjumpai masalah ketika harus melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak
menguntungkan dalam penilaian kinerja manajemen atau obyek audit yang
dilakukannya. Ketika manajemen atau subyek audit menawarkan sebuah imbalan atau
tekanan kepada internal auditor untuk menghasilkan laporan audit yang
diinginkan oleh manajemen maka menjadi dilema etika. Untuk itu auditor
dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan yang terkait dengan hal-hal
keputusan etis dan tidak etis.
Keputusan etis (ethical decision)
per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat
diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986; Jones, 1991). Kemampuan dalam
mengidentifikasi dan melakukan perilaku etis atau tidak etis adalah hal yang
mendasar dalam profesi akuntan. Internal auditor juga tidak terlepas dari
masalah bagaimana membuat keputusan etis. Internal auditor sebagai karyawan
mempunyai tanggung jawab kepada organisasi di mana dia bekerja, tetapi sebagai
seorang akuntan profesional dia harus bertanggunjawab kepada profesinya, kepada
masyarakat dan dirinya sendiri untuk berkelakuan etis yang baik. Kemampuan
internal auditor untuk membuat keputusan yang akan diambil ketika menghadapi
situasi dilema etika akan sangat bergantung kepada berbagai hal, karena
keputusan yang diambil oleh internal auditor juga akan banyak berpengaruh
kepada organisasi dan konstituen di mana dia berada (Arnold dan Ponemon, 1991).
Internal auditor secara terus menerus dihadapkan pada situasi dilema etika yang
melibatkan pilihan-pilihan antara nilainilai yang saling bertentangan.
Manajemen dapat mempengaruhi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh internal
auditor. Manajemen dapat menekan internal auditor untuk melanggar standar
pemeriksaan, tetapi internal auditor juga terikat kepada etika profesi dan
mempunyai tanggungjawab sosial, maka auditor berada dalam situasi yang
dilematis. Memenuhi tuntutan manajemen berarti melanggar standar dan etika
profesi, namun di lain pihak, jika tidak memenuhi tuntutan tersebut kemungkinan
dapat menghasilkan sanksi atas diri internal auditor.
Faktor determinan penting dalam
perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik
berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang
merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu
(Ford dan Richardson, 1994; Loe et.al., 2000; Larkin, 2000; Paolillo
& Vitell, 2002). Faktor-faktor individual tersebut meliputi
variabel-variabel yang merupakan ciri pembawaan sejak lahir (gender, umur,
kebangsaan dan sebagainya), sedangkan faktor-faktor lainnya adalah factor
organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya.
9.2 Kerangka Teori
9.2.1 Konflik Audit dan
Dilema Etika
Banyak pihak yang berkepentingan di
dalam sebuah organisasi bisnis. Investor yang menanamkan dananya ke dalam
perusahaan atau kreditur yang meminjamkan dananya, sehingga pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap laporan keuangan perusahaan tidak terbatas kepada
manajemen saja, tetapi meluas kepada investor dan kreditor serta calon investor
dan calon kreditur. Para pihak tersebut memerlukan informasi mengenai perusahaan,
sehingga seringkali ada dua pihak yang berlawanan dalam situasi ini. Di satu
pihak, manajemen perusahaan ingin menyampaikan informasi mengenai
pertanggunjawaban pengelolaan dana yang berasal dari pihak luar, di lain pihak,
pihal eksternal ingin memperoleh informasi yang andal dari manajemen
perusahaan. Profesi akuntan timbul untuk memberikan informasi yang terpercaya
bagi kedua belah pihak dalam situasi seperti ini.
Kode etik yang digunakan oleh para
profesional beranjak dari bentuk pertanggunjawaban profesi kepada masyarakat.
Akuntan sebagai sebuah profesi juga tidak terlepas dari pertanggungjawaban
kepada masyarakat. Damman (2003) menyatakan bahwa sebenarnya akuntan di dalam
aktivitas auditnya banyak hal yang harus dipertimbangkan, karena dalam diri auditor
mewakili banyak kepentingan yang melekat dalam proses audit (built-in
conflict of interest). Seringkali
dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam konflik
audit (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996). Konflik dalam sebuah audit akan
berkembang pada saat auditor mengungkapkan informasi tetapi informasi tersebut
oleh klien tidak ingin dipublikasikan kepada umum.
Konflik
ini akan menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan membuat
keputusan yang menyangkut independensi dan integritasnya dengan imbalan
ekonomis yang mungkin terjadi di sisi lainnya (Windsor dan Askhanasy, 1995).
Karena auditor seharusnya secara sosial juga bertanggung jawab kepada
masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis
pribadi atau kepentingan ekonomis semata, sehingga seringkali auditor
dihadapkan kepada masalah dilema etika dalam pengambilan keputusannya.
Situasi dilema menurut Gunz, Gunz dan
McCutcheon (2002) adalah “situations in which professional must choose between
two or more relevant, but contradictory, ethical directives, or when every
alternative results in an undesirable outcome for one or more persons”
Dilema etika muncul sebagai
konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam situasi pengambilan
keputusan yang terkait dengan keputusannya yang etis atau tidak etis. Situasi
tersebut terbentuk karena dalam konflik audit ada pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap keputusan auditor sehingga auditor daihadapkan kepada
pilihan keputusan etis dan tidak etis.
9.3 Pengambilan Keputusan
Etis (Ethical Decision Making)
Keputusan etis (ethical decision)
per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat
diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986; Jones, 1991). Beberapa review
tentang penelitian etika (Ford dan Richardson, 1994; Louwers, Ponemon dan
Radtke, 1997; Loe et.al., 2000; Paolillo & Vitell, 2002)
mengungkapkan beberapa penelitian empirik tentang pengambilan keputusan etis.
Mereka menyatakan bahwa salah satu determinan penting perilaku pengambilan
keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan
individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari
proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu. Faktor-faktor
individual tersebut meliputi variabel-variabel yang merupakan ciri pembawaan
sejak lahir (gender, umur, kebangsaan dan sebagainya). Sedangkan faktor-faktor
lainnya adalah faktor organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya.
Penelitian tentang pengambilan
keputusan etis, telah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan mulai dari
psikologi sosial dan ekonomi. Beranjak dari berbagai hasil penelitian tersebut
kemudian dikembangkan dalam paradigm ilmu akuntansi. Louwers, Ponemon dan
Radtke (1997) menyatakan pentingnya penelitian tentang pengambilan keputusan
etis dari pemikiran dan perkembangan moral (moral reasoning and development)
untuk profesi akuntan dengan 3 alasan, yaitu pertama, penelitian dengan topik
ini dapat digunakan untuk memahami tingkat kesadaran dan perkembangan moral
auditor dan akan menambah pemahaman tentang bagaimana perilaku auditor dalam
menghadapi konflik etika.
Kedua, penelitian dalam wilayah ini
akan lebih menjelaskan problematika proses yang terjadi dalam menghadapi
berbagai pengambilan keputusan etis auditor yang berbeda-beda dalam situasi
dilema etika. Ketiga, hasil penelitian ini akan dapat membawa dan menjadi
arahan dalam tema etika dan dampaknya pada profesi akuntan.
Beberapa model penelitian etis
seringkali hanya mendeskripsikan bagaimana proses seseorang mengambil keputusan
yang terkait dengan etika dalam situasi dilema etika (Jones, 1991; Trevino,
1986). Sebuah model pengambilan etis tidak berada kepada pemahaman bagaimana
seharusnya seseorang membuat keputusan etis (ought to do), namun lebih
kepada pengertian bagaimana proses pengambilan keputusan etis itu sendiri.
Alasannya adalah sebuah pengambilan keputusan akan memungkinkan menghasilkan
keputusan yang etis dan keputusan yang tidak etis, dan memberikan label atau
mendefinisikan apakah suatu keputusan tersebut etis atau tidak etis akan
mungkin sangat menyesatkan (McMahon, 2002).
Rest (dalam dalam Zeigenfuss dan
Martison, 2002) menyatakan bahwa model pengambilan keputusan etis terdiri dari
4 (empat tahapan), yaitu pertama pemahaman tentang adanya isu moral dalam
sebuah dilema etika (recognizing that moral issue exists). Dalam tahapan
ini menggambarkan bagaimana tanggapan seseorang terhadap isu moral dalam sebuah
dilema etika. Kedua adalah pengambilan keputusan etis (make a moral judgment),
yaitu bagaimana seseorang membuat keputusan etis. Ketiga adalah moral
intention yaitu bagaimana seseorang bertujuan atau bermaksud untuk
berkelakuan etis atau tidak etis. Sedangkan keempat adalah moral behavior,
yaitu bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku etis atau tidak etis.
Jones (1991) menyatakan ada 3 unsur
utama dalam pengambilan keputusan etis, yaitu pertama, moral issue, menyatakan
seberapa jauh ketika seseorang melakukan tindakan, jika dia secara bebas
melakukan tindakan itu, maka akan mengakibatkan kerugian (harm) atau
keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dalam bahasa yang lain adalah
bahwa suatu tindakan atau keputusan yang diambil akan mempunyai konsekuensi
kepada orang lain. Kedua adalah moral agent, yaitu seseorang yang
membuat keputusan moral (moral decision). Ketiga adalah keputusan etis (ethical
decision) itu sendiri, yaitu sebuah keputusan yang secara legal dan moral
dapat diterima oleh masyarakat luas (Jones, 1991).
Perkembangan penalaran moral (cognitive
moral development), sering disebut juga kesadaran moral (moral
reasoning, moral judgment, moral thinking), merupakan faktor penentu yang
melahirkan perilaku moral dalam pengambilan keputusan etis, sehingga untuk
menemukan perilaku moral yang sebenarnya hanya dapat ditelusuri melalui
penalarannya. Artinya, pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati
perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat pada kesadaran moral yang
mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat kesadaran
moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut (Jones, 1991).
Trevino (1986) menyusun sebuah model pengambilan
keputusan etis dengan menyatakan bahwa keputusan etis adalah merupakan sebuah
interaksi antara faktor individu dengan faktor situasional (person-situation
interactionist model). Dia menyatakan bahwa pengambilan keputusan etis
seseorang akan sangat tergantung kepada faktor-faktor individu (individual
moderators) seperti ego strength, field dependence, and locus of
control dan faktor situasional seperti immediate job context,
organizational culture, and characteristics of the work.
Model yang diajukan Trevino (1986)
dapat jelaskan yaitu, ketika seseorang dihadapkan pada sebuah dilema etika maka
individu tersebut akan mempertimbangkannya secara kognitif dalam benaknya. Hal
ini searah dengan pernyataan Jones (1991) tentang moral issue yang ada
dalam dilema etika tersebut bahwa kesadaran kognitif moral seseorang akan
sangat tergantung kepada level perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam
Arnold dan Sutton, 1997). Pembentukan pemahaman tentang moral issue tersebut
akan tergantung kepada faktor individual (pengalaman, orientasi etika dan
komitmen kepada profesi) dan faktor situasional (nilai etika organisasi).
Berdasarkan model dari Trevino (1986)
tersebut maka dalam penelitian ini akan diuji sebuah person-situation
interactionist model untuk internal auditor. Faktor yang dapat
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan etis internal auditor ketika
menghadapi dilema etika adalah faktor individual yaitu pengalaman, komitmen
profesional serta orientasi etika auditor dan factor situasional yaitu nilai
etika organisasi.
9.4 Pengalaman Kerja
Auditor
Pengalaman kerja telah dipandang
sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja auditor (Sularso dan
Na’im, 1999; Bonner, 1990; Davis, 1997; Jeffrey, 1992). Pengalaman auditor akan
semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman audit, diskusi mengenai audit
dengan rekan sekerja, pengawasan dan review oleh akuntan senior,
mengikuti program pelatihan dan penggunaan standar auditing.
Kidwell, Stevens dan Bethke (1987)
melakukan penelitian tentang perilaku manajer dalam menghadapi situasi dilema
etika, hasil penelitiannya adalah bahwa manajer dengan pengalaman kerja yang
lebih lama mempunyai hubungan yang positif dengan pengambilan keputusan etis.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Larkin (2000) dan Glover et.al.
(2002). Larkin (2000) melakukan penelitian yang melibatkan internal auditor di
lembaga keuangan dan menyatakan bahwa internal auditor yang berpengalaman
cenderung lebih konservatif dalam menghadapi situasi dilema etika. Glover
et.al. (2002) melakukan penelitian pada beberapa mahasiswa program bisnis dan
menyatakan bahwa mahasiswa yang senior lebih berperilaku etis dibandingkan
dengan yang lebih yunior.
Kalbers dan Fogarty (1995) dalam
penelitiannya tentang internal auditor menyatakan ada hubungan antara
pengalaman kerja dengan profesionalisme dan afiliasi terhadap komunitasnya (community
affiliation). Meskipun hasil penelitian tersebut hanya menunjukkan bukti
yang terbatas, alasan ini dimungkinkan karena untuk menguatkan komitmen
profesional seorang auditor perlu waktu dalam keterlibatannya untuk menjadi
bagian dan menerima manfaat sebagai bagian dari sebuah komunitas profesinya.
9.5 Komitmen Profesional
Komitmen profesional diartikan
sebagai intensitas identifikasi dan keterlibatan individu dengan profesinya.
Identifikasi ini membutuhkan beberapa tingkat kesepakatan antara individu
dengan tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam profesi termasuk nilai moral dan
etika. Definisi komitmen profesional banyak digunakan dalam literatur akuntansi
adalah sebagai: 1) suatu keyakinan dan penerimaan tujuan dan nilai-nilai di
dalam organisasi profesi 2) kemauan untuk memainkan peran tertentu atas nama
organisasi profesi 3) gairah untuk mempertahankan keanggotaan pada organisasi
profesi (Jeffrey dan Weatherholt, 1996).
Jeffrey dan Weatherholt (1996)
menguji hubungan antara komitmen profesional, pemahaman etika dan sikap
ketaatan terhadap aturan. Hasilnya menunjukkan bahwa akuntan dengan komitmen
profesional yang kuat maka perilakunya lebih mengarah kepada ketaatan terhadap
aturan dibandingkan dengan akuntan dengan komitmen profesional yang rendah.
Namun riset ini belum menunjukkan bagaimana komitmen profesi dan orientasi
etika berhubungan dengan perilaku akuntan dalam situsai dilema etika. Khomsiyah
dan Indriantoro (1998) mengungkapkan juga bahwa komitmen professional
mempengaruhi sensitivitas etika auditor pemerintah yang menjadi sampel
penelitiannya. Windsor dan Ashkanasy (1995) mengungkapkan bahwa asimilasi keyakinan
dan nilai organisasi yang merupakan definisi komitmen profesi mempengaruhi
integritas dan independensi auditor.
9.6 Orientasi Etika
Orientasi etika (ethical
orientation atau ethical ideology) berarti mengenai konsep diri dan
perilaku pribadi yang berhubungan dengan individu dalam diri seseorang. Cohen et.
al. (1995 dan 1996) dan Finegan (1994) menyatakan bahwa setiap orientasi
etika individu, pertama-tama ditentukan oleh kebutuhannya. Kebutuhan tersebut
berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem nilai individu yang akan
menentukan harapan atau tujuan dalam setiap perilakunya sehingga pada akhirnya
individu tersebut menentukan tindakan apa yang akan diambilnya.
Orientasi Etika menurut Forsyth
(dalam Barnett, Bass dan Brown, 1994) dioperasionalisasikan sebagai kemampuan
individu untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan nilai etika dalam suatu
kejadian. Orientasi etika menunjukkan pandangan yang diadopsi oleh
masing-masing individu ketika menghadapi situasi masalah yang membutuhkan
pemecahan dan penyelesaian etika atau dilema etika.
Kategori orientasi etika yang
dibangun oleh Forsyth (1992) menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua konsep
yaitu idealisme versus pragmatisme, dan relativisme versus
nonrelativisme yang ortogonal dan bersama-sama menjadi sebuah ukuran
dari orientasi etika individu.
Idealisme menunjukkan keyakinan bahwa
konsekuensi sebuah keputusan yang diinginkan dapat diperoleh tanpa melanggar
nilai-nilai luhur moralitas. Dimensi ini dideskripsikan sebagai sikap individu
terhadap suatu tindakan dan bagaimana tindakan itu berakibat kepada orang lain.
Individu dengan idealism yang tinggi percaya bahwa tindakan yang etis
seharusnya mempunyai konsekuensi yang positif dan selalu tidak akan berdampak
atau berakibat merugikan kepada orang lain sekecil apapun (Barnett, Bass dan
Brown, 1994). Di lain pihak, pragmatisme mengakui hasil keputusan adalah yang
utama dan jika perlu mengabaikan nilai-nilai moralitas untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih besar. Dalam kaitan dengan ini maka internal auditor yang
mempunyai idealisme yang tinggi akan selalu bekerja dengan cermat dan profesional
dan ini berarti internal auditor dengan orientasi etika yang idealis akan
berperilaku lebih etis dalam menghadapi dilema etika.
Konsep relativisme menunjukkan
perilaku penolakan terhadap kemutlakan aturan-aturan moral yang mengatur
perilaku individu yang ada. Orientasi etika ini mengkritik penerapan
prinsip-prinsip aturan moral yang universal. Relativisme menyatakan bahwa tidak
ada sudut pandang suatu etika yang dapat diidentifikasi secara jelas merupakan
‘yang terbaik’, karena setiap individu mempunyai sudut pandang tentang etika
dengan sangat beragam dan luas. Kebalikannya, orientasi etika non-relativisme
(atau absolutisme) menunjukkan pengakuan adanya prinsipprinsip moral dengan
kewajiban-kewajiban yang mutlak.
Shaub, Finn dan Munter (1993) dalam
penelitiannya tentang sensitivitas etika auditor, meneliti hubungan orientasi
etika auditor dengan komitmen profesional auditor. Mereka menyatakan bahwa
individu yang mempunyai idealisme secara otomatis akan memelihara tatacara
pekerjaannya sesuai dengan standar profesional, sehingga standar profesional
tersebut akan menjadi arahan dalam bekerja. Hal ini akan searah dengan konsep
non-relativisme yang menyatakan tingkat absolutisme yang tinggi. Tujuan utama
akuntan sebagai sebuah profesi audit adalah juga termasuk menghindari kerugian
yang diterima oleh pengguna laporan keuangan, sehingga seorang auditor yang
memiliki orientasi etika idealis akan selalu merujuk kepada tujuan dan arahan
yang ada pada standar profesionalnya.
Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994) melakukan
penelitian tentang persepsi etis dan nilai-nilai individu terhadap anggota
Institute of Internal Auditor. Mereka menyatakan bahwa orientasi etika internal
auditor mempunyai hubungan positif dengan perilaku pengambilan keputusan etis.
Internal auditor dengan skor idealisme yang tinggi akan cenderung membuat
keputusan yang secara absolute lebih bermoral (favor moral absolute) dan
sebaliknya.
9.7 Nilai Etika
Organisasi
Nilai etika organisasi (corporate
ethical value) adalah sebuah sistem nilainilai etis yang ada di dalam
organisasi. Sistem nilai ini dihasilkan dari proses akulturisasi dari berbagai
nilai-nilai yang ada, baik yang berasal dari di dalam maupun dari luar
organisasi. Nilai etika organisasi, atau lebih spesifik, lingkungan etika di
dalam organisasi, terbuat dari berbagai praktek yang dijalankan oleh manajemen
beserta nilai-nilai yang menyertainya (espoused values). Nilai etika
organisasi sebagai komponen utama kultur organisasi merupakan acuan yang
mangarahkan anggota-anggota organisasi dalam menghadapi lingkungan internal
maupun eksternalnya yang terbentuk dari nilai-nilai etika individual dari
manajemen baik formal maupun informal terhadap situasi etika di dalam
organisasi (Hunt et.al., 1989).
Nilai etika organisasi dapat
digunakan untuk menetapkan dan sebagai patokan dalam menggambarkan apa-apa yang
dikerjakan merupakan hal yang ‘baik’ atau ‘etis’ dan hal yang ‘tidak baik’ atau
‘tidak etis’ dalam organisasi. Hunt et.al. (1989) juga menyatakan bahwa nilai etika
organisasi adalah sebuah derajat pemahaman organisasi tentang bagaimana
organisasi bersikap dan bertindak dalam menghadapi isu-isu etika. Hal ini
meliputi tingkat persepsi 1) bagaimana para pekerja menilai manajemen dalam
bertindak menghadapi isu etika di dalam organisasinya 2) bagaimana para pekerja
menilai bahwa manajemen member perhatian terhadap isu-isu etika di dalam
organisasinya dan 3) bagaimana para pekerja menilai bahwa perilaku etis (atau
tidak etis) akan diberikan imbalan (hukuman) di dalam organisasinya. Douglas,
Davidson dan Schwartz (2001) menyatakan bahwa nilai etika organisasi mempunyai
hubungan yang positif dengan nilai kepribadian individu.
9.8 Model dan Hipotesis
Penelitian
Konflik audit muncul ketika auditor
internal menjalankan aktivitas auditing internal. Internal auditor sebagai
pekerja di dalam organisasi yang diauditnya akan menjumpai masalah ketika harus
melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak menguntungkan dalam penilaian
kinerja manajemen atau obyek audit yang dilakukannya. Konflik terjadi ketika
auditor dan auditee tidak sepakat terhadap beberapa aspek fungsi dan
tujuan pemeriksaan. Dalam keadaan ini, auditee dapat mempengaruhi proses
audit yang dilakukan oleh auditor internal. Auditee dapat menekan
auditor internal untuk melakukan tindakan yang melanggar standar pemeriksaan.
Untuk itu auditor dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan yang saling
berlawanan terkait dengan aktivitas pemeriksaannya. Karena auditor secara profesional
dilandasi oleh kode etik profesi dan standar pemeriksaan, maka auditor berada
dalam sebuah dilema etika. Memenuhi tuntutan auditee berarti melanggar
standar pemeriksaan dan kemungkinan mendapatkan imbalan manfaat, namun dengan
tidak memenuhi tuntutan auditee akan mendapatkan tekanan, baik berupa
penghentian penugasan, pemecatan dan kemungkinan sanksi lainnya. Internal
auditor dihadapkan kepada pilihan pengambilan keputusan etis atau tidak etis.
Keputusan etis (ethical decision)
per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat
diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986; Jones, 1991). Dengan mengadaptasi
model yang diajukan oleh Trevino (1986), maka proses pengambilan etis dalam
situasi dilema etika yang dialami oleh auditor internal dapat digambarkan dalam
berikut.
Gambar 9.1
Model Konseptual
Konflik audit kemungkinan akan
berkembang menjadi sebuah dilemma etika ketika internal auditor diharuskan
melakukan pilihan-pilihan pengambilan keputusan etis dan tidak etis. Dalam
proses tersebut faktor determinan penting dalam perilaku pengambilan keputusan
etis adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat
keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi
dan pengembangan masing-masing individu, yaitu pengalaman, orientasi etika dan
komitmen profesional serta factor situasional yaitu nilai etika organisasi.
Dari kerangka teori dan model
konseptual di atas maka dibuat model dan hipotesis dalam penelitian ini sebagai
berikut pada Gambar 2
Gambar 9.2
Model dan Hipotesis Penelitian
Sedangkan hipotesis dari
masing-masing kausalitas dalam model yang akan diuji dideskripsikan sebagai
berikut:
H1 :
Nilai etika organisasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap orientasi etika
internal auditor.
H2 :
Orientasi etika internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap pengambilan
keputusan etis internal auditor
H3 :
Orientasi etika internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap komitmen
profesional internal auditor
H4 :
Komitmen profesional internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap
pengambilan keputusan etis internal auditor
H5:
Pengalaman kerja internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap
pengambilan keputusan etis internal auditor.
H6:
Pengalaman kerja internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap
komitmen profesional internal auditor.
9.9 Metode Penelitian
9.9.1 Kuesioner
Nilai Etika Organisasi. Nilai etika organisasi diukur dengan
menggunakan item pertanyaan Corporate Ethical Value (CEV) yang
diadaptasi dari Hunt et.al. (1989). CEV menggambarkan tingkat persepsi
pekerja terhadap perilaku etis organisasinya, yaitu bagaimana organisasi
mempersepsikan dan memperhatikan terhadap isu-isu etika di lingkungan
organisasi itu sendiri. Responden diminta menjawab tentang bagaimana persepsi
mereka terhadap organisasi di mana responden itu berada tentang tanggapan
organisasinya terhadap isu-isu etika. Lima jawaban dengan skala Likert mulai
dari sangat setuju sampai ke jawaban sangat tidak setuju (1=Sangat Setuju
hingga 5=Sangat Tidak Setuju).
Orientasi Etika. Variabel orientasi etika dalam
penelitian ini menggunakan instrumen yang disusun oleh Forsyth (1980) yaitu Ethics
Position Questionaire (EPQ) yang terdiri dari 20 item kuesioner. EPQ telah
banyak digunakan untuk mengukur idealisme dan relativisme, yang merupakan 2
faktor dasar yang paling dari nilai etika individual seperti yang dibahas pada
landasan teoritik di awal proposal. Sepuluh item kuesioner pertama tentang
konstruk idealism versus pragmatism dan sepuluh kuesioner
berikutnya tentang relativism versus absolutism. Responden
diminta untuk memberikan tanggapan terhadap pernyataan dengan menjawab pada 5
skala Likert (1=Sangat Setuju sampai 5=Sangat Tidak Setuju).
Komitmen Profesional. Variabel ini dioperasionalisasikan
dengan tingkat identifikasi komitmen dan keterlibatan individu dalam profesi.
Variabel ini diukur dengan menggunakan 14 item pertanyaan yang di adopsi dari
Jefrey dan Weaterholt (1996). Responden diminta untuk memberikan tanggapan
terhadap pernyataan dengan menjawab pada 5 skala Likert (1=Sangat Setuju sampai
5=Sangat Tidak Setuju).
Pengalaman Kerja. Variabel pengalaman kerja auditor
diukur dengan meminta subyek penelitian mengisi pengalaman kerja mereka berapa
lama mereka bekerja sebagai internal auditor dalam satuan tahun dan bulan
Pengambilan Keputusan Etis. Variabel pengambilan keputusan etis
diukur dengan instrumen yang diadaptasi dari Sims (1999) dan disusun oleh
peneliti sendiri. Penggunaan skenario dilema etika telah banyak digunakan dalam
penelitian tentang pengambilan keputusan etis (Ford dan Richardson, 1994;
Louwers, Ponemon dan Radtke, 1997;
Loe et.al., 2000). Penggunaan skenario ini akan membantu untuk
menstandarisasikan stimulus sosial dari responden dan pada saat bersamaan
merupakan gambaran yang lebih nyata dalam proses pembuatan keputusan etis. Instrumen
pengambilan keputusan etis tersebut berupa skenario situasi dilema etika dan
responden diminta untuk memilih satu dari lima skala Likert jawaban alternatif
(yaitu mulai dari 1=Sangat Setuju hingga 5=Sangat Tidak Setuju). Kemudian
responden juga dimintai tanggapan mereka mengenai apakah mereka menyetujui
dalam setiap skenario tersebut ada intensitas muatan etika. Jawaban tanggapan
tersebut dirancang dengan skala Likert mulai dari sangat setuju sampai dengan
sangat tidak setuju (1=Sangat Setuju hingga 5=Sangat Tidak Setuju). Hal ini
sesuai dengan 2 tahapan pertama pengambilan keputusan etis menurut Rest (dalam
Zeigenfuss dan Martison, 2002) yaitu 1. Pemahaman mengenai ada tidaknya muatan etika
dan 2. pengambilan keputusan etis itu sendiri.
9.9.2 Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah para
internal auditor bank yang tergabung dalam Perhimpunan Bank Swasta
Nasional (PERBANAS) Wilayah Jawa Timur. Ada sejumlah 105 bank (8 Kantor Pusat
Operasional dan 97 Kantor Cabang) yang tergabung dalam PERBANAS Jawa Timur yang
menjadi obyek penelitian. Setiap Kantor Pusat Operasional atau Kantor Cabang
terdapat sejumlah 2 (dua) hingga 5 (lima) orang pejabat auditor internal bank
yang akan dijadikan subyek penelitian.
Dari sejumlah 313 kuesioner yang
disebarkan (3 kuesioner untuk kantor cabang dan 5 kuesioner untuk kantor pusat
operasional) diperoleh 79 kuesioner yang kembali. Kemudian dari 79 kuesioner, 1
tidak terjawab lengkap, sehingga yang diolah dalam penelitian ini hanya 78
kuesioner.
9.9.3 Reliabilitas
Pengukuran
Reliabilitas masing-masing konstrak
diukur dengan menggunakan criteria Cronbach Alpha dengan koefisien 0,6211 untuk
Nilai Etika Organisasi, 0,8326 untuk Orientasi Etika Idealisme, 0,8283 untuk
Orientasi Etika Nonrelativisme, 0,9187 untuk konstrak Komitmen Profesional dan
0,8826 untuk Pengambilan Keputusan Etis.
9.9.4 Validitas
Pengukuran
Pengujian validitas data dalam
penelitian ini dilakukan dengan melalui pengujian validitas konvergen dengan
menggunakan confirmatory factor analysis dengan menggunakan perangkat
lunak Amos versi 4.01. Indikator pengujian dalam penelitian ini adalah
terpenuhinya kriteria goodness-of-fit dari model, yang selanjutnya dilihat
signifikansi masing-masing item dalam konstrak. Pengujian validitas konvergen
dalam penelitian ini dibagi menjadi empat bagian yaitu, model nilai etika
organisasi, orientasi etika-idealisme, orientasi etika-nonrelativisme, komitmen
profesional dan pengambilan keputusan etis (Lihat
Tabel 9-1)
9.9.5 Pengujian Hipotesis
Untuk menguji hipotesis mengenai
kausalitas yang dikembangkan dalam model penelitian ini, diuji dengan melihat Standard
Estimates koefisien regresi yang dibandingkan dengan Critical Rationya
pada Regression Weight dalam aplikasi AMOS. Pengujian ini berlandaskan
dengan hipotesis nol yang menyatakan bahwa koefisien regresi antara hubungan
antar konstruk adalah nol atau tidak ada hubungan kausalitas. Pengujian
hipotesis tersebut dapat dilakukan dengan uji terhadap bobot dari masing-masing
kausalitas. Uji ini dalam aplikasi AMOS versi 4 mirip dengan uji-t terhadap regression
weights (atau loading factor, coefficient). Nilai t-hitung
dalam proses ini adalah Critical Ratio masingmasing kausalitas dan
dibandingkan dengan nilai t-tabel dengan tingkat signifikan 0,05 dan degree
of freedom masing-masing kausalitas. Jika nilai Critical Ratio (atau
t-hitung) lebih besar dengan t-tabel, maka hipotesis nol (Ho) ditolak sehingga nilai X-coefficient adalah signifikan
yang berarti hipotesis penelitian yang menyatakan ada kausalitas antar konstruk
gagal ditolak (failed to reject) dan sebaliknya. Kriteria
pengujian hipotesis tersebut dapat digambarkan dalam table sebagai
berikut di bawah ini.
Tabel 9.1
Kriteria
Pengujian Hipotesis – Regression Weight
Dari hasil tersebut di atas diperoleh
hasil untuk pengujian hipotesis yang diajukan dalam penelitian yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 9.2
Hipotesis dan Kesimpulan
9.9.6 Uji Kesesuaian
Model
Dalam metode SEM selain dapat menguji
hubungan antar masing-masing konstrak dalam penelitian, SEM dapat
menguji sesuai (fit) atau tidaknya sebuah model. Beberapa kriteria
pengujian dalam SEM yang lazim digunakan antara lain adalah Chi-square
Statistic X2, dan Goodness Fit Index (GFI).
Uji kesesuaian (goodness-of-fit) model ditabulasikan beserta kriteria
dan hasil model penelitian seperti Tabel 5.5 tersebut di bawah ini.
Tabel
9.3
Kriteria Goodness-of-Fit
Dari hasil penelitian yang diproses
dengan perangkat lunak Amos versi 4.01 dan dibandingkan dengan kriteria
pengujian model maka dalam penelitian ini model tersebut belum dapat
menggambarkan sebuah model yang baik. Hal tersebut terbukti dengan Chi-square
sebesar 1.494,67 (X2
dengan Degree of freedom sebesar 979 dan Probability 0,05 diharapkan
adalah lebih kecil dari
1.05290).
9.10 Pembahasan
Hasil pengujian hipotesis yang
menggambarkan hubungan yang terdapat dalam masing-masing konstrak dapat
digambarkan kembali dalam Gambar 6.1. Untuk hubungan antara nilai etika
organisasi dengan orientasi etika, tampak ditemukan hubungan yang
positif.. Temuan ini menunjukkan bahwa nilai etika organisasi pada sebuah
organisasi secara positif mempunyai pengaruh terhadap orientasi etika seorang
internal auditor. Sebuah organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika
akan membawa seorang internal auditor kepada orientasi etika yang menjunjung
tinggi pula nilai-nilai idealisme dan selalu memegang teguh sesuai dengan
aturan yang berlaku (orientasi etika nonrelativisme). Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Douglas,
Davidson dan Schwartz (2001) yang
menyatakan ada hubungan yang positif antara nilai etika organisasi dan
orientasi etika. Hunt et.al (1989) menyatakan bahwa nilai etika
organisasi merupakan komponen sangat penting dalam kultur organisasi dan secara
interaktif merupakan pembentuk orientasi etika individu dalam organisasi.
Gambar 9.3
Kausalitas Antar Konstrak dalam Model
Untuk hubungan antara orientasi etika
dengan pengambilan keputusan etis juga menunjukkan hasil yang positif. Temuan
ini menunjukkan bahwa orientasi etika seorang internal auditor akan berpengaruh
secara positif terhadap keputusan yang diambil dalam situasi dilema etika. Hal
ini seiring dengan penelitian Jones (1991) dan Douglas et.al (2001) yang
menyatakan orientasi etika seseorang akan berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan etis.
Dalam penelitian ini juga ditemukan
adanya hubungan yang positif antara komitmen profesional internal auditor
dengan pengambilan keputusan etis. Temuan ini mendukung hasil penelitian
Windsor dan Ashkanasy (1995) serta penelitian Khomsiyah dan Nurindriantoro
(1998) yang menyatakan bahwa komitmen profesional mempunyai pengaruh terhadap
sensitivitas etika individu dalam situasi dilema etika.
Nilai etika organisasi, orientasi
etika secara dan komitmen professional secara bersama mempunyai pengaruh
terhadap keputusan etis individu dalam situasi dilema searah dengan model yang
diajukan oleh Trevino (1986) tentang person-situation interactionist model dalam
pengambilan keputusan etis. Model tersebut menjelaskan bahwa pengambilan sebuah
keputusan etis di pengaruhi oleh faktor-faktor individual dan faktor-faktor
situasional. Namun dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang positif
antara faktor individual pengalaman kerja dengan pengambilan keputusan etis.
Faktor individual pengalaman kerja, dalam beberapa penelitian memang seringkali
tidak ditemukan pengaruhnya dalam sebuah pengambilan keputusan etis (Ford dan
Richardson, 1994), kecuali dalam penelitian yang dilakukan oleh Kidwell (1987)
yang menyatakan bahwa individu dengan lebih banyak pengalaman kerja akan
cenderung mempunyai tanggapan etis yang lebih baik.
9.11Kesimpulan
Berdasarkan pembuktian empiris terhadap
model konseptual yang disusun di awal penelitian maka dapat diberikan
kesimpulan umum bahwa nilai etika organisasi, orientasi etika dan
komitmen profesional secara individu maupun simultan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi
dilema etika. Nilai etika organisasi sebagai faktor situasional individu
mempunyai pengaruh yang dignifikan terhadap orientasi etika internal auditor.
Orientasi etika auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap komitmen
profesi, dan kemudian secara bersama-sama keduanya mempunyai hubungan positif
dengan pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi dilema etika.
Dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh pengalaman kerja dalm hubungannya
dengan komitnen profesional maupun pengambilan keputusan etis.
9.12 Keterbatasan
Penelitian dan Saran
Dari sisi metodologi penelitian ini
belum menunjukkan hasil yang memuaskan seperti yang disyaratkan untuk
penggunaan uji kesesuaian model dengan menggunakan SEM, seperti jumlah
responden yang kurang memenuhi karena rendahnya tingkat pengembalian kuesioner.
Untuk memperjelas hasil penelitian ini dan juga dalam rangka mencari benang
merah dengan beberapa penelitian sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut yang mengeksplorasi hubungan faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi pengambilan keputusan etis seorang internal auditor dalam situasi
dilema etika.
Terlepas dari berbagai keterbatasan
yang ada dalam penelitian ini, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan bagi berbagai pihak yang terkait dengan internal auditor pada khususnya
dan auditor pada umumnya terutama berkaitan dengan proses pengambilan keputusan
dalam situasi dilema etika.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar