Senin, 16 April 2012

Internal Auditor Dan dilema Etika


BAB IX
INTERNAL AUDITOR DAN DILEMA ETIKA

9.1 Pendahuluan
Tema tentang independensi dan etika dalam profesi akuntan memiliki pemahaman yang sangat penting dan mendalam. Sorotan masyarakat terhadap profesi akuntan sangatlah besar sebagai dampak beberapa skandal perusahaan besar dunia seperti Enron dan WorldCom yang melibatkan para akuntan (Largay III, 2002; Verrechia, 2003).
Finn et.al. (1988) dan Bazerman et.al. (1997) menyatakan bahwa akuntan seringkali dihadapkan pada situasi adanya dilema yang menyebabkan dan memungkinkan akuntan tidak dapat independen. Akuntan diminta untuk tetap independen dari klien, tetapi pada saat yang sama kebutuhan mereka tergantung kepada klien karena fee yang diterimanya, sehingga seringkali akuntan berada dalam situasi dilematis. Hal ini akan berlanjut jika hasil temuan auditor tidak sesuai dengan harapan klien, sehingga menimbulkan konflik audit (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996). Konflik audit ini akan berkembang menjadi sebuah dilemma etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang bertentangan dengan independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi atau tekanan di sisi lainnya (Windsor dan Askhanasy, 1995). Auditor secara social juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata. Situasi seperti hal tersebut di atas sangat sering dihadapi oleh auditor. Auditor seringkali dihadapkan kepada situasi dilema etika dalam pengambilan keputusannya (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996; Larkin, 2000; Dillard dan Yuthas, 2002).
Auditing internal adalah sebuah fungsi penilaian independen yang dijalankan di dalam organisasi untuk menguji dan mengevaluasi system pengendalian internal organisasi. Kualitas auditing internal yang dijalankan akan berhubungan dengan kompetensi dan obyektivitas dari staf internal auditor organisasi tersebut (Adams, 1994; Bou-Raad, 2000). Sebagai pekerja, internal auditor mendapatkan penghasilan dari organisasi di mana dia bekerja, hal ini berarti internal auditor sangat bergantung kepada organisasinya sebagai pemberi kerja. Di lain pihak, internal auditor dituntut untuk tetap independen sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada publik dan profesinya (Abdolmohammadi dan Owhoso, 2000; Windsor; 2002). Di sini konflik audit muncul ketika auditor internal menjalankan aktivitas auditing internal. Internal auditor sebagai pekerja di dalam organisasi yang diauditnya akan menjumpai masalah ketika harus melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak menguntungkan dalam penilaian kinerja manajemen atau obyek audit yang dilakukannya. Ketika manajemen atau subyek audit menawarkan sebuah imbalan atau tekanan kepada internal auditor untuk menghasilkan laporan audit yang diinginkan oleh manajemen maka menjadi dilema etika. Untuk itu auditor dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan yang terkait dengan hal-hal keputusan etis dan tidak etis.
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986; Jones, 1991). Kemampuan dalam mengidentifikasi dan melakukan perilaku etis atau tidak etis adalah hal yang mendasar dalam profesi akuntan. Internal auditor juga tidak terlepas dari masalah bagaimana membuat keputusan etis. Internal auditor sebagai karyawan mempunyai tanggung jawab kepada organisasi di mana dia bekerja, tetapi sebagai seorang akuntan profesional dia harus bertanggunjawab kepada profesinya, kepada masyarakat dan dirinya sendiri untuk berkelakuan etis yang baik. Kemampuan internal auditor untuk membuat keputusan yang akan diambil ketika menghadapi situasi dilema etika akan sangat bergantung kepada berbagai hal, karena keputusan yang diambil oleh internal auditor juga akan banyak berpengaruh kepada organisasi dan konstituen di mana dia berada (Arnold dan Ponemon, 1991). Internal auditor secara terus menerus dihadapkan pada situasi dilema etika yang melibatkan pilihan-pilihan antara nilainilai yang saling bertentangan. Manajemen dapat mempengaruhi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh internal auditor. Manajemen dapat menekan internal auditor untuk melanggar standar pemeriksaan, tetapi internal auditor juga terikat kepada etika profesi dan mempunyai tanggungjawab sosial, maka auditor berada dalam situasi yang dilematis. Memenuhi tuntutan manajemen berarti melanggar standar dan etika profesi, namun di lain pihak, jika tidak memenuhi tuntutan tersebut kemungkinan dapat menghasilkan sanksi atas diri internal auditor.
Faktor determinan penting dalam perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu (Ford dan Richardson, 1994; Loe et.al., 2000; Larkin, 2000; Paolillo & Vitell, 2002). Faktor-faktor individual tersebut meliputi variabel-variabel yang merupakan ciri pembawaan sejak lahir (gender, umur, kebangsaan dan sebagainya), sedangkan faktor-faktor lainnya adalah factor organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya.

9.2 Kerangka Teori
9.2.1 Konflik Audit dan Dilema Etika
Banyak pihak yang berkepentingan di dalam sebuah organisasi bisnis. Investor yang menanamkan dananya ke dalam perusahaan atau kreditur yang meminjamkan dananya, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan perusahaan tidak terbatas kepada manajemen saja, tetapi meluas kepada investor dan kreditor serta calon investor dan calon kreditur. Para pihak tersebut memerlukan informasi mengenai perusahaan, sehingga seringkali ada dua pihak yang berlawanan dalam situasi ini. Di satu pihak, manajemen perusahaan ingin menyampaikan informasi mengenai pertanggunjawaban pengelolaan dana yang berasal dari pihak luar, di lain pihak, pihal eksternal ingin memperoleh informasi yang andal dari manajemen perusahaan. Profesi akuntan timbul untuk memberikan informasi yang terpercaya bagi kedua belah pihak dalam situasi seperti ini.
Kode etik yang digunakan oleh para profesional beranjak dari bentuk pertanggunjawaban profesi kepada masyarakat. Akuntan sebagai sebuah profesi juga tidak terlepas dari pertanggungjawaban kepada masyarakat. Damman (2003) menyatakan bahwa sebenarnya akuntan di dalam aktivitas auditnya banyak hal yang harus dipertimbangkan, karena dalam diri auditor mewakili banyak kepentingan yang melekat dalam proses audit (built-in conflict of interest).  Seringkali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam konflik audit (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996). Konflik dalam sebuah audit akan berkembang pada saat auditor mengungkapkan informasi tetapi informasi tersebut oleh klien tidak ingin dipublikasikan kepada umum.
Konflik ini akan menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi di sisi lainnya (Windsor dan Askhanasy, 1995). Karena auditor seharusnya secara sosial juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata, sehingga seringkali auditor dihadapkan kepada masalah dilema etika dalam pengambilan keputusannya.
Situasi dilema menurut Gunz, Gunz dan McCutcheon (2002) adalah “situations in which professional must choose between two or more relevant, but contradictory, ethical directives, or when every alternative results in an undesirable outcome for one or more persons”

Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam situasi pengambilan keputusan yang terkait dengan keputusannya yang etis atau tidak etis. Situasi tersebut terbentuk karena dalam konflik audit ada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor sehingga auditor daihadapkan kepada pilihan keputusan etis dan tidak etis.

9.3 Pengambilan Keputusan Etis (Ethical Decision Making)
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986; Jones, 1991). Beberapa review tentang penelitian etika (Ford dan Richardson, 1994; Louwers, Ponemon dan Radtke, 1997; Loe et.al., 2000; Paolillo & Vitell, 2002) mengungkapkan beberapa penelitian empirik tentang pengambilan keputusan etis. Mereka menyatakan bahwa salah satu determinan penting perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu. Faktor-faktor individual tersebut meliputi variabel-variabel yang merupakan ciri pembawaan sejak lahir (gender, umur, kebangsaan dan sebagainya). Sedangkan faktor-faktor lainnya adalah faktor organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya.
Penelitian tentang pengambilan keputusan etis, telah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan mulai dari psikologi sosial dan ekonomi. Beranjak dari berbagai hasil penelitian tersebut kemudian dikembangkan dalam paradigm ilmu akuntansi. Louwers, Ponemon dan Radtke (1997) menyatakan pentingnya penelitian tentang pengambilan keputusan etis dari pemikiran dan perkembangan moral (moral reasoning and development) untuk profesi akuntan dengan 3 alasan, yaitu pertama, penelitian dengan topik ini dapat digunakan untuk memahami tingkat kesadaran dan perkembangan moral auditor dan akan menambah pemahaman tentang bagaimana perilaku auditor dalam menghadapi konflik etika.
Kedua, penelitian dalam wilayah ini akan lebih menjelaskan problematika proses yang terjadi dalam menghadapi berbagai pengambilan keputusan etis auditor yang berbeda-beda dalam situasi dilema etika. Ketiga, hasil penelitian ini akan dapat membawa dan menjadi arahan dalam tema etika dan dampaknya pada profesi akuntan.
Beberapa model penelitian etis seringkali hanya mendeskripsikan bagaimana proses seseorang mengambil keputusan yang terkait dengan etika dalam situasi dilema etika (Jones, 1991; Trevino, 1986). Sebuah model pengambilan etis tidak berada kepada pemahaman bagaimana seharusnya seseorang membuat keputusan etis (ought to do), namun lebih kepada pengertian bagaimana proses pengambilan keputusan etis itu sendiri. Alasannya adalah sebuah pengambilan keputusan akan memungkinkan menghasilkan keputusan yang etis dan keputusan yang tidak etis, dan memberikan label atau mendefinisikan apakah suatu keputusan tersebut etis atau tidak etis akan mungkin sangat menyesatkan (McMahon, 2002).
Rest (dalam dalam Zeigenfuss dan Martison, 2002) menyatakan bahwa model pengambilan keputusan etis terdiri dari 4 (empat tahapan), yaitu pertama pemahaman tentang adanya isu moral dalam sebuah dilema etika (recognizing that moral issue exists). Dalam tahapan ini menggambarkan bagaimana tanggapan seseorang terhadap isu moral dalam sebuah dilema etika. Kedua adalah pengambilan keputusan etis (make a moral judgment), yaitu bagaimana seseorang membuat keputusan etis. Ketiga adalah moral intention yaitu bagaimana seseorang bertujuan atau bermaksud untuk berkelakuan etis atau tidak etis. Sedangkan keempat adalah moral behavior, yaitu bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku etis atau tidak etis.
Jones (1991) menyatakan ada 3 unsur utama dalam pengambilan keputusan etis, yaitu pertama, moral issue, menyatakan seberapa jauh ketika seseorang melakukan tindakan, jika dia secara bebas melakukan tindakan itu, maka akan mengakibatkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dalam bahasa yang lain adalah bahwa suatu tindakan atau keputusan yang diambil akan mempunyai konsekuensi kepada orang lain. Kedua adalah moral agent, yaitu seseorang yang membuat keputusan moral (moral decision). Ketiga adalah keputusan etis (ethical decision) itu sendiri, yaitu sebuah keputusan yang secara legal dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Jones, 1991).
Perkembangan penalaran moral (cognitive moral development), sering disebut juga kesadaran moral (moral reasoning, moral judgment, moral thinking), merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral dalam pengambilan keputusan etis, sehingga untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya hanya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Artinya, pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang tampak, tetapi harus melihat pada kesadaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat kesadaran moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut (Jones, 1991).
Trevino (1986) menyusun sebuah model pengambilan keputusan etis dengan menyatakan bahwa keputusan etis adalah merupakan sebuah interaksi antara faktor individu dengan faktor situasional (person-situation interactionist model). Dia menyatakan bahwa pengambilan keputusan etis seseorang akan sangat tergantung kepada faktor-faktor individu (individual moderators) seperti ego strength, field dependence, and locus of control dan faktor situasional seperti immediate job context, organizational culture, and characteristics of the work.
Model yang diajukan Trevino (1986) dapat jelaskan yaitu, ketika seseorang dihadapkan pada sebuah dilema etika maka individu tersebut akan mempertimbangkannya secara kognitif dalam benaknya. Hal ini searah dengan pernyataan Jones (1991) tentang moral issue yang ada dalam dilema etika tersebut bahwa kesadaran kognitif moral seseorang akan sangat tergantung kepada level perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Arnold dan Sutton, 1997). Pembentukan pemahaman tentang moral issue tersebut akan tergantung kepada faktor individual (pengalaman, orientasi etika dan komitmen kepada profesi) dan faktor situasional (nilai etika organisasi).
Berdasarkan model dari Trevino (1986) tersebut maka dalam penelitian ini akan diuji sebuah person-situation interactionist model untuk internal auditor. Faktor yang dapat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan etis internal auditor ketika menghadapi dilema etika adalah faktor individual yaitu pengalaman, komitmen profesional serta orientasi etika auditor dan factor situasional yaitu nilai etika organisasi.

9.4 Pengalaman Kerja Auditor
Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja auditor (Sularso dan Na’im, 1999; Bonner, 1990; Davis, 1997; Jeffrey, 1992). Pengalaman auditor akan semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman audit, diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja, pengawasan dan review oleh akuntan senior, mengikuti program pelatihan dan penggunaan standar auditing.
Kidwell, Stevens dan Bethke (1987) melakukan penelitian tentang perilaku manajer dalam menghadapi situasi dilema etika, hasil penelitiannya adalah bahwa manajer dengan pengalaman kerja yang lebih lama mempunyai hubungan yang positif dengan pengambilan keputusan etis. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Larkin (2000) dan Glover et.al. (2002). Larkin (2000) melakukan penelitian yang melibatkan internal auditor di lembaga keuangan dan menyatakan bahwa internal auditor yang berpengalaman cenderung lebih konservatif dalam menghadapi situasi dilema etika. Glover et.al. (2002) melakukan penelitian pada beberapa mahasiswa program bisnis dan menyatakan bahwa mahasiswa yang senior lebih berperilaku etis dibandingkan dengan yang lebih yunior.
Kalbers dan Fogarty (1995) dalam penelitiannya tentang internal auditor menyatakan ada hubungan antara pengalaman kerja dengan profesionalisme dan afiliasi terhadap komunitasnya (community affiliation). Meskipun hasil penelitian tersebut hanya menunjukkan bukti yang terbatas, alasan ini dimungkinkan karena untuk menguatkan komitmen profesional seorang auditor perlu waktu dalam keterlibatannya untuk menjadi bagian dan menerima manfaat sebagai bagian dari sebuah komunitas profesinya.

9.5 Komitmen Profesional
Komitmen profesional diartikan sebagai intensitas identifikasi dan keterlibatan individu dengan profesinya. Identifikasi ini membutuhkan beberapa tingkat kesepakatan antara individu dengan tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam profesi termasuk nilai moral dan etika. Definisi komitmen profesional banyak digunakan dalam literatur akuntansi adalah sebagai: 1) suatu keyakinan dan penerimaan tujuan dan nilai-nilai di dalam organisasi profesi 2) kemauan untuk memainkan peran tertentu atas nama organisasi profesi 3) gairah untuk mempertahankan keanggotaan pada organisasi profesi (Jeffrey dan Weatherholt, 1996).
Jeffrey dan Weatherholt (1996) menguji hubungan antara komitmen profesional, pemahaman etika dan sikap ketaatan terhadap aturan. Hasilnya menunjukkan bahwa akuntan dengan komitmen profesional yang kuat maka perilakunya lebih mengarah kepada ketaatan terhadap aturan dibandingkan dengan akuntan dengan komitmen profesional yang rendah. Namun riset ini belum menunjukkan bagaimana komitmen profesi dan orientasi etika berhubungan dengan perilaku akuntan dalam situsai dilema etika. Khomsiyah dan Indriantoro (1998) mengungkapkan juga bahwa komitmen professional mempengaruhi sensitivitas etika auditor pemerintah yang menjadi sampel penelitiannya. Windsor dan Ashkanasy (1995) mengungkapkan bahwa asimilasi keyakinan dan nilai organisasi yang merupakan definisi komitmen profesi mempengaruhi integritas dan independensi auditor.

9.6 Orientasi Etika
Orientasi etika (ethical orientation atau ethical ideology) berarti mengenai konsep diri dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan individu dalam diri seseorang. Cohen et. al. (1995 dan 1996) dan Finegan (1994) menyatakan bahwa setiap orientasi etika individu, pertama-tama ditentukan oleh kebutuhannya. Kebutuhan tersebut berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem nilai individu yang akan menentukan harapan atau tujuan dalam setiap perilakunya sehingga pada akhirnya individu tersebut menentukan tindakan apa yang akan diambilnya.
Orientasi Etika menurut Forsyth (dalam Barnett, Bass dan Brown, 1994) dioperasionalisasikan sebagai kemampuan individu untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan nilai etika dalam suatu kejadian. Orientasi etika menunjukkan pandangan yang diadopsi oleh masing-masing individu ketika menghadapi situasi masalah yang membutuhkan pemecahan dan penyelesaian etika atau dilema etika.
Kategori orientasi etika yang dibangun oleh Forsyth (1992) menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua konsep yaitu idealisme versus pragmatisme, dan relativisme versus nonrelativisme yang ortogonal dan bersama-sama menjadi sebuah ukuran dari orientasi etika individu.
Idealisme menunjukkan keyakinan bahwa konsekuensi sebuah keputusan yang diinginkan dapat diperoleh tanpa melanggar nilai-nilai luhur moralitas. Dimensi ini dideskripsikan sebagai sikap individu terhadap suatu tindakan dan bagaimana tindakan itu berakibat kepada orang lain. Individu dengan idealism yang tinggi percaya bahwa tindakan yang etis seharusnya mempunyai konsekuensi yang positif dan selalu tidak akan berdampak atau berakibat merugikan kepada orang lain sekecil apapun (Barnett, Bass dan Brown, 1994). Di lain pihak, pragmatisme mengakui hasil keputusan adalah yang utama dan jika perlu mengabaikan nilai-nilai moralitas untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Dalam kaitan dengan ini maka internal auditor yang mempunyai idealisme yang tinggi akan selalu bekerja dengan cermat dan profesional dan ini berarti internal auditor dengan orientasi etika yang idealis akan berperilaku lebih etis dalam menghadapi dilema etika.
Konsep relativisme menunjukkan perilaku penolakan terhadap kemutlakan aturan-aturan moral yang mengatur perilaku individu yang ada. Orientasi etika ini mengkritik penerapan prinsip-prinsip aturan moral yang universal. Relativisme menyatakan bahwa tidak ada sudut pandang suatu etika yang dapat diidentifikasi secara jelas merupakan ‘yang terbaik’, karena setiap individu mempunyai sudut pandang tentang etika dengan sangat beragam dan luas. Kebalikannya, orientasi etika non-relativisme (atau absolutisme) menunjukkan pengakuan adanya prinsipprinsip moral dengan kewajiban-kewajiban yang mutlak.
Shaub, Finn dan Munter (1993) dalam penelitiannya tentang sensitivitas etika auditor, meneliti hubungan orientasi etika auditor dengan komitmen profesional auditor. Mereka menyatakan bahwa individu yang mempunyai idealisme secara otomatis akan memelihara tatacara pekerjaannya sesuai dengan standar profesional, sehingga standar profesional tersebut akan menjadi arahan dalam bekerja. Hal ini akan searah dengan konsep non-relativisme yang menyatakan tingkat absolutisme yang tinggi. Tujuan utama akuntan sebagai sebuah profesi audit adalah juga termasuk menghindari kerugian yang diterima oleh pengguna laporan keuangan, sehingga seorang auditor yang memiliki orientasi etika idealis akan selalu merujuk kepada tujuan dan arahan yang ada pada standar profesionalnya.
Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994) melakukan penelitian tentang persepsi etis dan nilai-nilai individu terhadap anggota Institute of Internal Auditor. Mereka menyatakan bahwa orientasi etika internal auditor mempunyai hubungan positif dengan perilaku pengambilan keputusan etis. Internal auditor dengan skor idealisme yang tinggi akan cenderung membuat keputusan yang secara absolute lebih bermoral (favor moral absolute) dan sebaliknya.

9.7 Nilai Etika Organisasi
Nilai etika organisasi (corporate ethical value) adalah sebuah sistem nilainilai etis yang ada di dalam organisasi. Sistem nilai ini dihasilkan dari proses akulturisasi dari berbagai nilai-nilai yang ada, baik yang berasal dari di dalam maupun dari luar organisasi. Nilai etika organisasi, atau lebih spesifik, lingkungan etika di dalam organisasi, terbuat dari berbagai praktek yang dijalankan oleh manajemen beserta nilai-nilai yang menyertainya (espoused values). Nilai etika organisasi sebagai komponen utama kultur organisasi merupakan acuan yang mangarahkan anggota-anggota organisasi dalam menghadapi lingkungan internal maupun eksternalnya yang terbentuk dari nilai-nilai etika individual dari manajemen baik formal maupun informal terhadap situasi etika di dalam organisasi (Hunt et.al., 1989).
Nilai etika organisasi dapat digunakan untuk menetapkan dan sebagai patokan dalam menggambarkan apa-apa yang dikerjakan merupakan hal yang ‘baik’ atau ‘etis’ dan hal yang ‘tidak baik’ atau ‘tidak etis’ dalam organisasi. Hunt et.al. (1989) juga menyatakan bahwa nilai etika organisasi adalah sebuah derajat pemahaman organisasi tentang bagaimana organisasi bersikap dan bertindak dalam menghadapi isu-isu etika. Hal ini meliputi tingkat persepsi 1) bagaimana para pekerja menilai manajemen dalam bertindak menghadapi isu etika di dalam organisasinya 2) bagaimana para pekerja menilai bahwa manajemen member perhatian terhadap isu-isu etika di dalam organisasinya dan 3) bagaimana para pekerja menilai bahwa perilaku etis (atau tidak etis) akan diberikan imbalan (hukuman) di dalam organisasinya. Douglas, Davidson dan Schwartz (2001) menyatakan bahwa nilai etika organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan nilai kepribadian individu.

9.8 Model dan Hipotesis Penelitian
Konflik audit muncul ketika auditor internal menjalankan aktivitas auditing internal. Internal auditor sebagai pekerja di dalam organisasi yang diauditnya akan menjumpai masalah ketika harus melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak menguntungkan dalam penilaian kinerja manajemen atau obyek audit yang dilakukannya. Konflik terjadi ketika auditor dan auditee tidak sepakat terhadap beberapa aspek fungsi dan tujuan pemeriksaan. Dalam keadaan ini, auditee dapat mempengaruhi proses audit yang dilakukan oleh auditor internal. Auditee dapat menekan auditor internal untuk melakukan tindakan yang melanggar standar pemeriksaan. Untuk itu auditor dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan yang saling berlawanan terkait dengan aktivitas pemeriksaannya. Karena auditor secara profesional dilandasi oleh kode etik profesi dan standar pemeriksaan, maka auditor berada dalam sebuah dilema etika. Memenuhi tuntutan auditee berarti melanggar standar pemeriksaan dan kemungkinan mendapatkan imbalan manfaat, namun dengan tidak memenuhi tuntutan auditee akan mendapatkan tekanan, baik berupa penghentian penugasan, pemecatan dan kemungkinan sanksi lainnya. Internal auditor dihadapkan kepada pilihan pengambilan keputusan etis atau tidak etis.
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986; Jones, 1991). Dengan mengadaptasi model yang diajukan oleh Trevino (1986), maka proses pengambilan etis dalam situasi dilema etika yang dialami oleh auditor internal dapat digambarkan dalam berikut.
Gambar 9.1
Model Konseptual


 







Konflik audit kemungkinan akan berkembang menjadi sebuah dilemma etika ketika internal auditor diharuskan melakukan pilihan-pilihan pengambilan keputusan etis dan tidak etis. Dalam proses tersebut faktor determinan penting dalam perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu, yaitu pengalaman, orientasi etika dan komitmen profesional serta factor situasional yaitu nilai etika organisasi.
Dari kerangka teori dan model konseptual di atas maka dibuat model dan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut pada Gambar 2
Gambar 9.2
Model dan Hipotesis Penelitian


 












Sedangkan hipotesis dari masing-masing kausalitas dalam model yang akan diuji dideskripsikan sebagai berikut:
H1 : Nilai etika organisasi mempunyai pengaruh yang positif terhadap orientasi etika internal auditor.
H2 : Orientasi etika internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor
H3 : Orientasi etika internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap komitmen profesional internal auditor
H4 : Komitmen profesional internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor
H5: Pengalaman kerja internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor.
H6: Pengalaman kerja internal auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap komitmen profesional internal auditor.



9.9 Metode Penelitian
9.9.1 Kuesioner
Nilai Etika Organisasi. Nilai etika organisasi diukur dengan menggunakan item pertanyaan Corporate Ethical Value (CEV) yang diadaptasi dari Hunt et.al. (1989). CEV menggambarkan tingkat persepsi pekerja terhadap perilaku etis organisasinya, yaitu bagaimana organisasi mempersepsikan dan memperhatikan terhadap isu-isu etika di lingkungan organisasi itu sendiri. Responden diminta menjawab tentang bagaimana persepsi mereka terhadap organisasi di mana responden itu berada tentang tanggapan organisasinya terhadap isu-isu etika. Lima jawaban dengan skala Likert mulai dari sangat setuju sampai ke jawaban sangat tidak setuju (1=Sangat Setuju hingga 5=Sangat Tidak Setuju).
Orientasi Etika. Variabel orientasi etika dalam penelitian ini menggunakan instrumen yang disusun oleh Forsyth (1980) yaitu Ethics Position Questionaire (EPQ) yang terdiri dari 20 item kuesioner. EPQ telah banyak digunakan untuk mengukur idealisme dan relativisme, yang merupakan 2 faktor dasar yang paling dari nilai etika individual seperti yang dibahas pada landasan teoritik di awal proposal. Sepuluh item kuesioner pertama tentang konstruk idealism versus pragmatism dan sepuluh kuesioner berikutnya tentang relativism versus absolutism. Responden diminta untuk memberikan tanggapan terhadap pernyataan dengan menjawab pada 5 skala Likert (1=Sangat Setuju sampai 5=Sangat Tidak Setuju).
Komitmen Profesional. Variabel ini dioperasionalisasikan dengan tingkat identifikasi komitmen dan keterlibatan individu dalam profesi. Variabel ini diukur dengan menggunakan 14 item pertanyaan yang di adopsi dari Jefrey dan Weaterholt (1996). Responden diminta untuk memberikan tanggapan terhadap pernyataan dengan menjawab pada 5 skala Likert (1=Sangat Setuju sampai 5=Sangat Tidak Setuju).
Pengalaman Kerja. Variabel pengalaman kerja auditor diukur dengan meminta subyek penelitian mengisi pengalaman kerja mereka berapa lama mereka bekerja sebagai internal auditor dalam satuan tahun dan bulan
Pengambilan Keputusan Etis. Variabel pengambilan keputusan etis diukur dengan instrumen yang diadaptasi dari Sims (1999) dan disusun oleh peneliti sendiri. Penggunaan skenario dilema etika telah banyak digunakan dalam penelitian tentang pengambilan keputusan etis (Ford dan Richardson, 1994;
Louwers, Ponemon dan Radtke, 1997; Loe et.al., 2000). Penggunaan skenario ini akan membantu untuk menstandarisasikan stimulus sosial dari responden dan pada saat bersamaan merupakan gambaran yang lebih nyata dalam proses pembuatan keputusan etis. Instrumen pengambilan keputusan etis tersebut berupa skenario situasi dilema etika dan responden diminta untuk memilih satu dari lima skala Likert jawaban alternatif (yaitu mulai dari 1=Sangat Setuju hingga 5=Sangat Tidak Setuju). Kemudian responden juga dimintai tanggapan mereka mengenai apakah mereka menyetujui dalam setiap skenario tersebut ada intensitas muatan etika. Jawaban tanggapan tersebut dirancang dengan skala Likert mulai dari sangat setuju sampai dengan sangat tidak setuju (1=Sangat Setuju hingga 5=Sangat Tidak Setuju). Hal ini sesuai dengan 2 tahapan pertama pengambilan keputusan etis menurut Rest (dalam Zeigenfuss dan Martison, 2002) yaitu 1.  Pemahaman mengenai ada tidaknya muatan etika dan 2. pengambilan keputusan etis itu sendiri.

9.9.2 Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah para internal auditor bank yang tergabung dalam Perhimpunan Bank Swasta Nasional (PERBANAS) Wilayah Jawa Timur. Ada sejumlah 105 bank (8 Kantor Pusat Operasional dan 97 Kantor Cabang) yang tergabung dalam PERBANAS Jawa Timur yang menjadi obyek penelitian. Setiap Kantor Pusat Operasional atau Kantor Cabang terdapat sejumlah 2 (dua) hingga 5 (lima) orang pejabat auditor internal bank yang akan dijadikan subyek penelitian.
Dari sejumlah 313 kuesioner yang disebarkan (3 kuesioner untuk kantor cabang dan 5 kuesioner untuk  kantor  pusat operasional) diperoleh 79 kuesioner yang kembali. Kemudian dari 79 kuesioner, 1 tidak terjawab lengkap, sehingga yang diolah dalam penelitian ini hanya 78 kuesioner.

9.9.3 Reliabilitas Pengukuran
Reliabilitas masing-masing konstrak diukur dengan menggunakan criteria Cronbach Alpha dengan koefisien 0,6211 untuk Nilai Etika Organisasi, 0,8326 untuk Orientasi Etika Idealisme, 0,8283 untuk Orientasi Etika Nonrelativisme, 0,9187 untuk konstrak Komitmen Profesional dan 0,8826 untuk Pengambilan Keputusan Etis.

9.9.4 Validitas Pengukuran
Pengujian validitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan melalui pengujian validitas konvergen dengan menggunakan confirmatory factor analysis dengan menggunakan perangkat lunak Amos versi 4.01. Indikator pengujian dalam penelitian ini adalah terpenuhinya kriteria goodness-of-fit dari model, yang selanjutnya dilihat signifikansi masing-masing item dalam konstrak. Pengujian validitas konvergen dalam penelitian ini dibagi menjadi empat bagian yaitu, model nilai etika organisasi, orientasi etika-idealisme, orientasi etika-nonrelativisme, komitmen profesional dan pengambilan keputusan etis (Lihat
Tabel 9-1)

9.9.5 Pengujian Hipotesis
Untuk menguji hipotesis mengenai kausalitas yang dikembangkan dalam model penelitian ini, diuji dengan melihat Standard Estimates koefisien regresi yang dibandingkan dengan Critical Rationya pada Regression Weight dalam aplikasi AMOS. Pengujian ini berlandaskan dengan hipotesis nol yang menyatakan bahwa koefisien regresi antara hubungan antar konstruk adalah nol atau tidak ada hubungan kausalitas. Pengujian hipotesis tersebut dapat dilakukan dengan uji terhadap bobot dari masing-masing kausalitas. Uji ini dalam aplikasi AMOS versi 4 mirip dengan uji-t terhadap regression weights (atau loading factor, coefficient). Nilai t-hitung dalam proses ini adalah Critical Ratio masingmasing kausalitas dan dibandingkan dengan nilai t-tabel dengan tingkat signifikan 0,05 dan degree of freedom masing-masing kausalitas. Jika nilai Critical Ratio (atau t-hitung) lebih besar dengan t-tabel, maka hipotesis nol  (Ho) ditolak sehingga nilai X-coefficient adalah signifikan yang berarti hipotesis penelitian yang menyatakan ada kausalitas antar konstruk gagal ditolak (failed to reject) dan sebaliknya. Kriteria pengujian hipotesis tersebut dapat digambarkan dalam table sebagai berikut di bawah ini.
Tabel 9.1
Kriteria Pengujian Hipotesis – Regression Weight










Dari hasil tersebut di atas diperoleh hasil untuk pengujian hipotesis yang diajukan dalam penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 9.2
Hipotesis dan Kesimpulan


 







9.9.6 Uji Kesesuaian Model
Dalam metode SEM selain dapat menguji hubungan antar masing-masing konstrak dalam penelitian, SEM dapat menguji sesuai (fit) atau tidaknya sebuah model. Beberapa kriteria pengujian dalam SEM yang lazim digunakan antara lain adalah Chi-square Statistic X2, dan Goodness Fit Index (GFI). Uji kesesuaian (goodness-of-fit) model ditabulasikan beserta kriteria dan hasil model penelitian seperti Tabel 5.5 tersebut di bawah ini.
Tabel 9.3
Kriteria Goodness-of-Fit





Dari hasil penelitian yang diproses dengan perangkat lunak Amos versi 4.01 dan dibandingkan dengan kriteria pengujian model maka dalam penelitian ini model tersebut belum dapat menggambarkan sebuah model yang baik. Hal tersebut terbukti dengan Chi-square sebesar 1.494,67 (X2 dengan Degree of freedom sebesar 979 dan Probability 0,05 diharapkan adalah lebih kecil dari
1.05290).

9.10 Pembahasan
Hasil pengujian hipotesis yang menggambarkan hubungan yang terdapat dalam masing-masing konstrak dapat digambarkan kembali dalam Gambar 6.1. Untuk hubungan antara nilai etika organisasi dengan orientasi etika, tampak ditemukan hubungan yang positif.. Temuan ini menunjukkan bahwa nilai etika organisasi pada sebuah organisasi secara positif mempunyai pengaruh terhadap orientasi etika seorang internal auditor. Sebuah organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika akan membawa seorang internal auditor kepada orientasi etika yang menjunjung tinggi pula nilai-nilai idealisme dan selalu memegang teguh sesuai dengan aturan yang berlaku (orientasi etika nonrelativisme). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Douglas,
Davidson dan Schwartz (2001) yang menyatakan ada hubungan yang positif antara nilai etika organisasi dan orientasi etika. Hunt et.al (1989) menyatakan bahwa nilai etika organisasi merupakan komponen sangat penting dalam kultur organisasi dan secara interaktif merupakan pembentuk orientasi etika individu dalam organisasi.
Gambar 9.3
Kausalitas Antar Konstrak dalam Model


 








Untuk hubungan antara orientasi etika dengan pengambilan keputusan etis juga menunjukkan hasil yang positif. Temuan ini menunjukkan bahwa orientasi etika seorang internal auditor akan berpengaruh secara positif terhadap keputusan yang diambil dalam situasi dilema etika. Hal ini seiring dengan penelitian Jones (1991) dan Douglas et.al (2001) yang menyatakan orientasi etika seseorang akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan etis.
Dalam penelitian ini juga ditemukan adanya hubungan yang positif antara komitmen profesional internal auditor dengan pengambilan keputusan etis. Temuan ini mendukung hasil penelitian Windsor dan Ashkanasy (1995) serta penelitian Khomsiyah dan Nurindriantoro (1998) yang menyatakan bahwa komitmen profesional mempunyai pengaruh terhadap sensitivitas etika individu dalam situasi dilema etika.
Nilai etika organisasi, orientasi etika secara dan komitmen professional secara bersama mempunyai pengaruh terhadap keputusan etis individu dalam situasi dilema searah dengan model yang diajukan oleh Trevino (1986) tentang person-situation interactionist model dalam pengambilan keputusan etis. Model tersebut menjelaskan bahwa pengambilan sebuah keputusan etis di pengaruhi oleh faktor-faktor individual dan faktor-faktor situasional. Namun dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang positif antara faktor individual pengalaman kerja dengan pengambilan keputusan etis. Faktor individual pengalaman kerja, dalam beberapa penelitian memang seringkali tidak ditemukan pengaruhnya dalam sebuah pengambilan keputusan etis (Ford dan Richardson, 1994), kecuali dalam penelitian yang dilakukan oleh Kidwell (1987) yang menyatakan bahwa individu dengan lebih banyak pengalaman kerja akan cenderung mempunyai tanggapan etis yang lebih baik.

9.11Kesimpulan
Berdasarkan pembuktian empiris terhadap model konseptual yang disusun di awal penelitian maka dapat diberikan kesimpulan umum bahwa nilai etika organisasi, orientasi etika dan komitmen profesional secara individu maupun simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi dilema etika. Nilai etika organisasi sebagai faktor situasional individu mempunyai pengaruh yang dignifikan terhadap orientasi etika internal auditor. Orientasi etika auditor mempunyai pengaruh yang positif terhadap komitmen profesi, dan kemudian secara bersama-sama keduanya mempunyai hubungan positif dengan pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi dilema etika. Dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh pengalaman kerja dalm hubungannya dengan komitnen profesional maupun pengambilan keputusan etis.

9.12 Keterbatasan Penelitian dan Saran
Dari sisi metodologi penelitian ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan seperti yang disyaratkan untuk penggunaan uji kesesuaian model dengan menggunakan SEM, seperti jumlah responden yang kurang memenuhi karena rendahnya tingkat pengembalian kuesioner. Untuk memperjelas hasil penelitian ini dan juga dalam rangka mencari benang merah dengan beberapa penelitian sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang mengeksplorasi hubungan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan etis seorang internal auditor dalam situasi dilema etika.
Terlepas dari berbagai keterbatasan yang ada dalam penelitian ini, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi berbagai pihak yang terkait dengan internal auditor pada khususnya dan auditor pada umumnya terutama berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dalam situasi dilema etika.


Daftar Pustaka

1.     Sasongko, Budi. Internal Auditor Dan Dilema Etika.  www.theAkuntan.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar