Minggu, 15 April 2012

Etika dan Bisnis


BAB I
ETIKA DAN BISNIS

1.1 Pendahuluan
Salah satu dampak globalisasi adalah adanya persaingan bisnis yang semakin ketat, yang ditandai oleh kegiatan bisnis yang kini tumbuh dan berkembang melewati apa yang pernah diprediksikan dan di'visi'kan sebelumnya. Pelakunya terbuai dengan visi dan, misinya, terjebak  di antara harapan dan kenyataan. Bangkitnya negara berkembang dengan industri labour intensive seperti Korea Selatan dan Taiwan pada tahun 1980-an dan setelah runtuhnya rezim komunis 1990, mulailah dikenal Bisnis Global yang berbasis pada efisiensi yang diperkirakan akan terus berlangsung sampai tahun 2020 dan bahkan lebih.
Ketika mendengar kata ‘bisnis’ apa yang tersirat dalam pikiran Anda?  Apakah yang tersirat tersebut adalah perusahaan besar? Atau sebuah organisasi besar? Atau perusahaan/organisasi biasa-biasa saja? Atau sebuah bisnis industry perumahan (Home Industry)?
Bisnis bisa dijalankan dengan cara berbeda antara suatu negara atau organisasi atau perusahaan baik dari sisi budaya, politik, hukum, ekonomi, perilaku maupun sudut pandang. Bisnis sudah tak mengenal ruang dan waktu, dari bisnis yang hanya mempertukarkan barang dengan barang (barter) sampai dengan bisnis dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi.  Transaksi bisnis kini dapat diwujudkan tanpa harus adanya pertemuan fisik pembeli dan penjual. Mereka bisa tinggal dimana saja, dan kapan saja dapat menyelenggarakan aktivitas bisnisnya. Teknologi dan Informasi (komunikasi) telah mengubah dunia yang begitu luas menjadi semakin kecil, kini dunia seakan telah menjadi sebuah kampung besar yang dengan mudah dijangkau manusia.
Etika merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk  menganalisis batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan. Kompetisi inilah yang harus memanas belakangan ini. Kata itu mengisyaratkan sebuah konsep bahwa mereka yang berhasil  adalah  yang mahir menghancurkan musuh-musuhnya. Banyak yang mengatakan kompetisi lambang ketamakan. Padahal perdagangan dunia yang lebih bebas di masa mendatang justru mempromosikan kompetisi yang juga lebih bebas.

Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan eksportir kita yang ditantang untuk terjun karena baru yaitu pasar bebas di masa mendatang. Kemampuan berkompetisi seharusnya sama sekali tidak ditentukan oleh ukuran besar kecilnya sebuah perusahaan. Inilah yang sering dikonsepkan berbeda oleh sudut pandang pemerintah atau bahkan si pelaku bisnis itu sendiri.
Jika kita ingin mencapai target di tahun 2020, sudah saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah ke bawah dan pengusaha golongan atas.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada bcberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Kalabelcce, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu benar, dll.
Kebutuhan dan keinginan manusia dengan bantuan ilmu dan teknologi kini semakin mudah untuk dipenuhi. Peran dunia bisnis semakin terasa bagi kehidupan dan pemenuhan  kebutuhan manusia itu.  Karena ada banyak peluang yang menguntungkan,  saat ini orang yang terlibat dalam kegiatan dan profesi bisnispun semakin banyak pula. Kecenderungan manu­sia untuk  menggantungkan hidup pada sektor bisnis semakin meningkat dari waktu ke waktu. Semua orang yang hidup di dunia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai pengaruh bisnis. Perilaku dunia bisnis dapat membuat manusia lebih bahagia dan juga sebaliknya dapat menjadikan manusia sengsara dan jauh dari kesejahteraannya. Semuanya terpulang kepada itikad, perilaku para pebisnis dan pemangku kepentingannya. Tanpa etika, dunia bisnis menjadi kejam dan beringas. Bisnis bagaikan suatu pertempuran sengit tanpa kasih sayang  dan rasa kemanusiaan. Yang satu berusaha dengan segala cara untuk mematikan yang lainnya. Pada hal dalam  pertempuran dan peperangan juga ada etika. Di sana ada kode etik pertempuran dan peperangan. Hanya  Zionis Yahudi yang apatis dengan etika dan karenanya wajar kalau bangsa yang zalim itu dianggap bangsa paling terkutuk di dunia. Kutukan semacam itu tidak  seharusnya dialamatkan kepada dunia bisnis.
Aktivitas bisnis adalah pekerjaan mulia, karena dapat memberikan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan  manusia Persaingan dalam bisnis adalah wajar dan dibenarkan, tetapi tidak harus identik dengan pertempuran dan peperangan. Persaingan yang baik dalam bisnis adalah persaingan damai. Damai dalam sebuah dinamika  persaingan dan bersaing dalam suasana perdamaian. Dalam bisnis beretika persaingan hanyalah sarana untuk memperbaiki citra produk dan perusahaan di mata pelanggannya. Di samping itu persaingan juga dapat menjadi instrumen untuk memperbaiki kinerja  organisasional. Justru itu makna  persaingan  dalam ranah bisnis harus diluruskan, demikian juga pandangan terhadap bisnis itu sendiri.
Menafsirkan dan berpandangan bahwa bisnis hanya sebagai aktivitas untuk mendapatkan  pendapatan dan keuntungan semata adalah sebuah kekeliruan dan itu adalah paradigma lama yang harus ditinggalkan. Apalagi menghalalkan segala cara dengan mengabaikan nilai moral. Itulah sebuah dosa bisnis berjamaah yang sulit terampuni dan memang tidak layak diampuni. Banyak para filosof terutama pada masa Yunani kuno menganggap bisnis sesuatu  yang  mengerikan. Setan-setan sangat senang  bersahabat dengan pelaku bisnis dan mereka sangat sulit untuk menghindar dari godaannya. Kata sebagian orang takut dengan aktivitas bisnis,  pasar  dan bisnis adalah rumahnya setan. Di sana banyak ditemukan penipuan dan penggelapan.  Keduanya  telah  dianggap  sebagai sesuatu yang biasa dan diupayakan pembenarannya. Bisnis yang penuh penipuan dan penindasan tidak pernah bisa dibenarkan dan hanya bisnis bermoral yang diperkenankan karena pelakunya mencintai kebaikan dan menjauhi segala larangan (kemungkaran). Allah mengharamkan riba dan menghalalkan bisnis (jual beli). Bisnis yang dihalalkan adalah bisnis yang dapat mengakomodasikan nilai-nilai ajaran agama yang di dalamnya mempertimbangkan nilai moralitas.
Bisnis yang baik adalah bisnis bermoral, yakni suatu bisnis yang tidak saja menempatkan dan mementingkan pribadi pelakunya semata. Bisnis tidak melarang keuntungan yang besar bagi suatu perusahaan. Hanya saja semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka semakin besar pula tanggung jawab etika dan sosialnya kepada masyarakat. Dalam ajaran etika, selain untuk membahagiakan dirinya, pelaku bisnis juga mengemban amanah dan kewajiban untuk membahagiakan orang lain dan masyarakat sekitarnya. Memelihara alam dengan segala sumber dayanya adalah juga tanggung jawab kita semua, dan pelaku bisnis harus berada di barisan depannya.
Untuk melaksanakan tanggung jawab moral, diperlukan suatu panduan yang mengandung prinsip-prinsip, norma-norma   dan  standar, sehingga didapatkan kebenaran moral dalam sikap dan perilakunya. Kesemuanya itu telah  dikemas oleh para ahli dan filosof dalam bingkai etika. Aplikasi semua nilai-nilai etika dalam kerangka bisnis disebut dengan etika bisnis. Dengan panduan etika bisnis, pelaku usaha dan partisipan organisasi bisnis harus berlaku manusiawi  dengan  menempatkan manusia di atas segalanya. Sebagai mana dirinya, pebisnis seyogianya menyadari bahwa  setiap manusia itu mempunyai hak yang mendasar dan dilindungi, yakni hak asasi manusia. Sayangnya hak-hak manusia ini sering diremehkan, diabaikan dan dilecehkan banyak usahawan (pelaku bisnis) saat ini. Trend pelecehan hak-hak dasar manusia ini terindikasi pada banyaknya skandal dan kasus eksploitasi manusia dalam penyelenggaraan bisnis di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Kita  seharusnya tidak perlu pusing dan gelisah dengan isu dan skandal apapun yang mengancam dunia bisnis pada awal abad ini. Berupaya berlaku etis dan berdoa adalah solusi terbaik untuk  mengatasi berbagai masalah. Selain banyak skandal dalam dunia bisnis, kini juga masih banyak dan semoga lebih banyak lagi pelaku bisnis bermoral yang aktif dan bertekad  untuk  dapat memberi sesuatu yang bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraan umat manusia.  Bagaimanapun manusia yang masih memiliki nurani dan meyakini adanya hari pembalasan, suatu saat pasti kembali dan menyadari bahwa dia wajib berbuat baik untuk sesama manusia, dimanapun dan apapun status jabatannya.
Pada dasarnya manusia itu adalah baik dan hanya faktor lingkungan dan keterpaksaanlah kadangkala membuat dirinya berbuat kejahatan. Persoalannya apakah manusia, termasuk  pelaku bisnis  menyadari bahwa dirinya itu diciptakan dari yang baik dan dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kemudian pada dirinya dibebankan amanah-amanah kebajikan. Terkait dengan situasi itu, Socrates menghimbau "Kenalilah Dirimu" agar kita tidak berbuat kejahatan dengan sesama makhluk Allah.
Dengan keyakinan bahwa manusia sesungguhnya mencintai dan membutuhkan kebaikan dan tidak berharap adanya kerusakan di muka bumi, maka nilai-nilai etika harus disebarluaskan  dengan cara-cara yang arif dan bijaksana. Untuk  itu semua diperlukan metoda yang efektif dan perilaku keteladanan. Keteladanan yang  paling  pokok dalam bisnis beretika adalah menjauhi keserakahan, kerakusan, dan merasa. Bertanggungjawab secara moral terhadap semua orang yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam bisnis yang dijalankannya. Tokoh filsafat, pemuka agama, negarawan dan para nabi dan rasul adalah sumber  keteladanan. Dalam keyakinan Islam Nabi Muhammad SAW adalah rujukan utama yang  mendapat  garansi dari Allah Yang Maha Kuasa. Sungguh adalah pada diri Muhammad itu teladan yang baik dan Muhammad  itu  diutus tidak lain, kecuali untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Muhammad  adalah  keteladanan sempurna dan paripurna. Tiada kesalahan sedikitpun yang dia perbuat dalam bisnisnya dan menghargai pendapat orang lain yang lebih ahli khususnya dalam urusan duniawi. Para sahabat nabi yang telah teruji mentalitas dan moral, sepatutnya di jadikan referensi seperti: Umar Bin Khattab yang dikenal dengan amirul mukminin, dengan sikapnya yang transparan, tegas dan kritis. Siapapun orangnya, apapun status dan  pekerjaannya, manusia itu perlu membuat perhitungan dan mengevaluasi dirinya. Pesan Umar yang penting perlu dicatat antara lain adalah "Hitung-hitunglah dirimu sebelum engkau dihitung orang lain" Artinya lakukanlah introspeksi dan koreksi diri kita sebelum kita menghadapi penghitungan Allah kelak.
Tokoh-tokoh negarawan dan guru dunia seperti Mahatma Gandhi dapat dijadikan rujukan bagi pelaku bisnis. Beliau dicatat sebagai pembela demokrasi yang tangguh dan kepribadiannya sangat menghargai semua orang terutama  orang-orang kecil dan rakyat jelata. Walaupun kedudukannya sebagai pemimpin yang berkuasa, beliau rela di koreksi, dan tekun mengoreksi dirinya sendiri. Berpenampilan sederhana, dan gemar memakai produk dalam negeri. Perilaku pemimpin yang demikian, diikuti rakyat dan dengan demikian negerinya menjadi rnakmur dan masyarakatnya sejahtera. Banyak sekali pemimpin agama yang  pantas  ditiru, karena nilai-nilai kepemimpinan dan keteladannya antara lain adalah Imam Al Ghazali, Bunda Theresia dan Budha Gautama. Tokoh-tokoh dan pelaku bisnis yang juga dapat diikuti jejaknya antara lain: William Soerdjaja, Mochtar Riady, dan Boenyamin Setiawan dan sejumlah pelaku bisnis bermoral lainnya. Mereka adalah pebisnis handal yang visioner dan telah mengemban amanah kemanusiaan, sehingga dalam aktivitas bisnisnya tidak mengeksploitasi manusia. Pebisnis besar yang dapat diteladani di negara kita masih terbilang langka jumlahnya, namun pelaku-pelaku bisnis kecil yang bermoral relatif menggembirakan. Kata orang di luar negeri pelaku bisnis kelas kakap yang beretika masih relatif banyak dibandingkan dengan negara kita, baik sebagai pemilik maupun manajer atau chief executive organizer-nya. Kita mengenal nama Chris Miller CEO Anglian Water (Inggris), Konosuke Matsushita, Soichiro Honda (Jepang), Anita Rhodick, Warren Buffet, Azim Premji dan lain-lainnya. Dibandingkan  dengan  jumlah usaha swasta dan pelaku bisnis dunia, jumlah perusahaan dan pelaku bisnis yang bermoral masih jauh dari yang diharapkan. Ini adalah tantangan yang menghendaki perhatian kita semua. Mari kita mulai dari perusahaan kita untuk mewujudkan etika dan kemudian mengajak yang lainnya.
Tantangan yang paling mendasar dalam upaya menciptakan pelaku usaha beretika adalah bagaimana mensosialisasi nilai-nilai etika bisnis itu dan menjadikannya sebagai acuan dalam setiap perilaku pebisnis kita. Nilai-nlai positif yang terkandung dalam etika sepantasnya menjadi panutan dari pemimpin organisasi bisnis dalam berbagai skala dan dimanapun mereka berada. Terkesan banyak pelaku usaha yang masih keberatan dengan penyelenggaraan etika dalam usaha bisnisnya. Padahal dalam banyak hasil penelitian etika, jarang sekali ditemukan pebisnis yang mempraktikkan nilai etika gagal dalam bisnisnya. Malah sebaliknya praktik etika yang baik dalam setiap kegiatan bisnis akan mendukung keberhasilan usaha, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Keberadaan nilai dalam etika bisnis adalah penting, krusial dan strategis. Hal ini bermakna bahwa penyelenggaraan etika bisnis tidak bisa terlepas dari kemampuan menerima dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam setiap kegiatan bisnisnya. Nilai adalah sesuatu yang benar, yang baik dan yang indah. Keberadaan nilai dalam banyak hal dapat mempersatukan orang-orang yang terlibat dalam suatu bisnis dan menyelesaikan konflik nilai yang terjadi, sehingga dengan demikian penganutan nilai oleh pelaku bisnis itu akan memudahkan pencapaian tujuan organisasinya.
Organisasi bisnis adalah organisasi yang mengemban multi tanggung jawab. Selain tanggungjawab dalam menciptakan keuntungan dan nilai bagi pemegang saham, tanggung jawab terhadap karyawan, pelanggan dan mitra kerja, organisasi bisnis juga mengemban tanggung jawab sosial yang Iebih besar. Organisasi bisnis merupakan bahagian dari organisasi yang Iebih besar dan secara kolektif berarti masyarakat. Karenanya usaha bisnis selain memiliki tanggung jawab dalam kinerja ekonomi, juga dituntut untuk bertanggung jawab sosial. Ahli ekonomi Milton Friedman hanya mengagungkan kinerja ekonomi sebagai tanggung jawab perusahaan. Sebuah perusahaan yang tidak menghasilkan laba sekurang-kurangnya sama dengan biaya modalnya adalah perusahaan yang tidak berkinerja ekonomi. Perusa­haan yang tidak mampu meraih kinerja ekonomi dengan baik tidak dapat dikatakan secara sosial memenuhi tanggung jawabnya. Perusahaan ini dianggap membuang-buang sumber daya masyarakat. Tanpa kinerja ekonomi, sebuah perusahaan tak akan dapat menunaikan tanggungjawab apapun. Dia tak akan dapat menjadi majikan yang baik, tetangga yang baik dan warga negara yang baik. Pakar manajemen Peter F. Drucker juga menanggapi pandangan Friedman tersebut dan menyatakan bahwa kinerja ekonomi bukanlah satu-satunya tanggung jawab sebuah perusahaan. Seperti halnya kinerja pendidikan juga bukan satu-satunya tanggungjawab sebuah sekolah atau universitas, demikian juga kinerja perawatan kesehatan bukanlah satu-satunya tanggung jawab sebuah rumah sakit. Sebuah organisasi mempunyai tanggung jawab penuh atas dampaknya terhadap masyarakat lingkungan dan masyarakat luas. Tanggung jawab organisasi yang sesungguhnya adalah mendapatkan suatu pendekatan ke masalah-masalah sosiat yang sesuai dengan kompetensinya dan dapat menjadikan masalah-masalah sosial sebagai suatu kesempatan bagi organisasi.
Tanggung jawab sosial adalah bahagian dari sebuah etika bisnis suatu organisasi berorientasi keuntungan (profit oriented). Penyelenggaraan tanggung jawab sosial dalam konteks etika harus mengacu kepada nilai-nilai moral. Nilai-nilai etika bisnis itu dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari ajaran filsafat, pengalaman budaya, hukum dan aturan yang berlaku dan ajaran-ajaran agama. Tanpa mengadopsi nilai etika bisnis, kemungkinan besar dunia bisnis akan dilanda musibah dahsyat. Dalam makna bahwa kehadirannya dapat saling menghancurkan semuanya dan jauh dari hakikat tujuan hidup manusia di dunia secara universal. Dalam dunia bisnis Indonesia kini banyak didapati pelanggaran etika, penyimpangan nilai-nilai etika sudah semakin kentara dan tanpa penanganan yang serius akan berdampak negatif terhadap situasi persaingan, iklim bisnis, dan jalannya aktivitas perekonomian bangsa. Beberapa perilaku menyimpang yang melanda dunia bisnis Indonesia saat ini antara lain: sikap menghalalkan semua cara untuk mendapatkan pendapatan dan keuntungan; berbisnis dengan pola kekerasan sudah menjadi suatu tradisi; kolusi, kedekatan dan nepotisme (KKN) menjadi salah satu pendekatan dalam praktik bisnis; penipuan dianggap trik-trik usaha dan biasa-biasa saja; semakin banyaknya pebisnis bertopeng etika; tren saling membongkar rahasia dan hal-hal privasi menjadi lumrah; serta maraknya pelanggaran hak cipta dan intelektual.
Karenanya kepada semua pihak yang berkompetensi diharapkan dapat mengambil bagian sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing dalam memasyarakatkan etika bisnis. Penulis berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama etika bisnis menjadi suatu gerakan dan rujukan yang menyentuh dan dibutuhkan berbagai lapisan masyarakat.

1.2 Pengertian Etika
Secara etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani yang dalam bentuk tunggal yaitu ethos dan dalam bentuk jamaknya yaitu ta etha. "Ethos" yang berarti sikap, cara berpikir, watak kesusilaan atau adat. Kata ini identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata latin "mos" yang dalam bentuk jamaknya Mores yang berarti juga adat atau cara hidup. Kata mores  ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores atau manners, morals. Dalam  bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Etika dan Moral memiliki arti yang sama, namun dalam pemakaian sehari-harinya ada sedikit perbedaan. Moral biasanya dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai/dikaji (dengan kata lain perbuatan itu dilihat dari dalam diri orang itu sendiri), artinya moral disini merupakan subjek, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada dalam kelompok atau masyarakat tertentu (merupakan aktivitas atau hasil pengkajian).
Menurut Larkin (2000) "Ethics is concerned with moral obligation, responsibility, and social justice" Hal ini berarti bahwa etika sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban moral, tanggung jawab, dan keadilan sosial. Etika yang dimiliki individu ini secara lebih luas mencerminkan karakter organisasi/perusahaan, yang merupakan kumpulan individu-individu. Etika menjelaskan standar dan norma perilaku baik dan buruk yang kemudian diimplementasikan oleh masing-masing karyawan dalam organisasi (Fatt, 1995) dan (Louwers, 1997). Perusahaan pada dasarnya merupakan sekumpulan individu, sehingga etika yang dianut oleh individu tersebut pada akhirnya akan tercermin dalam standar dan norma perilaku yang kemudian diimplementasikan oleh masing-masing karyawan dalam pekerjaan sehari-hari.
Etika menurut Gray (1994) merupakan nilai-nilai tingkah laku atau aturan-aturan tingkah laku yang diterima oleh suatu golongan tertentu atau individu. Penulis lainnya Magnis Suseno (1989) dan Sony Keraf (1991) menyatakan bahwa untuk memahami etika perlu dibedakan dengan  moralitas.  Moralitas  adalah suatu sistem nilai tertang bagaimana seseorang harus berperilaku sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk  konkret tentang bagaimana harus hidup, bagaimana harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah etika diartikan sebagai:
1.         Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral.
2.         Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3.         Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
Etika  merupakan cabang dari filsafat etika mencari ukuran baik buruknya bagi tingkah laku manusia. Etika  hendak mencari, tindakan manusia yang manakah yang baik. Etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia dan masyarakat seperti: antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum. Perbedaannya terletak pada aspek keharusan (ought). Perbedaannya dengan teologi moral, karena tidak bersandarkan pada  kaidah-kaidah keagamaan, tetapi hanya terbatas pada pengetahuan yang dihasilkan dari tenaga manusianya sendiri. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika. Etika (Ethics) yang dalam bahasa Yunani adalah ethos berarti adat kebiasaan, adat istiadat dan akhlak yang baik dan banyak  ahli filsafat menyebutnya dengan istilah moralitas. Dengan kata lain "ethos" yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu atau kelompok untuk  menilai apakah tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik (Adams, 1995 dan Asgary, 2002).
Memasukkan kata adat atau  kebiasaan yang baik dalam memberikan batasan Etika berarti mempertimbangkan dan merujuk kepada nilai ajaran filsafat. .Pada tataran berikutnya pemahaman Etika dikaitkan dengan faktor waktu dan ruang, sehingga dengan demikian akan memperkaya pemahaman-nya. Dalam makna filsafat, Etika termasuk  dalam kategori filsafat moral. Istilah etika kadang digandengkan  dengan moral yang di namakan dengan etika moral. Etika moral terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran dan kesadaran itu adalah suara hati.
Jadi secara etimologis, etika adalah ajaran atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan dengan kebiasaan baik atau buruk, yang diterima umurn mengenai sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh sesuatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana etika, atau dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu profesi. Belakangan ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral karena dalam banyak hal filsafat moral mengkaji pula prinsip-prinsip etika. Etika, kadang-kadang didefinisikan sebagai ilmu perilaku, walaupun masih dipertanyakan apakah etika dapat dipandang sebagai ilmu. Johnson (1989) menjelaskan etika sebagai berikut:
"Ethics is a science in the sense that its study represents an intellectual enterprise, a rational inquiry into its subject matter in the hope of gaining knowledge. As such ethics can be contrasted with art or religion or technology, whose purposes are not the same. Although ethics differ from the various empirical sciences both in its subject matter and its special methodology, it shares with them a general methodology, rational inquiry and an overall goal the attainment of truth. These relationships between ethics and science have led philosophers to speaks of ethics as a normative science, because it concerns itself with norm and standards, in contrast to the descriptive sciences, which concerns themselves which describing empirical facts ".
Dapat disimpulkan bahwa etika adalah merupakan suatu cabang ilmu filsafat, tujuannya adalah mempelajari perilaku, baik moral maupun immoral, dengan tujuan membuat pertimbangan yang cukup beralasan dan akhirnya sampai pada rekomendasi yang memadai yang tentunya dapat diterima oleh suatu golongan tertentu atau individu. Menurut Wiley (1995 dalam Mauro et al., 1999) "Ethics is concerned with moral obligation, responsibility, and social justice" Hal ini berarti bahwa etika berpengaruh terhadap kewajiban moral, tanggung jawab, dan keadilan sosial. Etika secara lebih kontemporer mencerminkan karakter perusahaan, yang merupakan kumpulan individu-individu. Etika menjelaskan standar dan norma perilaku tanggungjawab masyarakat, kemudian di internalkan kepada masing-masing karyawan dalam organisasi (Daft, 1992).
Menurut Magnis Suseno (1989) dan Sony Keraf (1991) bahwa untuk memahami etika perlu dibedakan dengan moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus berperilaku sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana harus hidup, bagaimana harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
Antonius Alijoyo (2004) menerangkan perusahaan perlu menerapkan nilai-nilai etika berusaha, karena dengan adanya praktik etika berusaha dan kejujuran dalam berusaha dapat menciptakan aset yang langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan nilai perusahaan. Etika bisnis tidak akan dilanggar jika terdapat aturan dan sangsi. Kalau perilaku yang salah tetap dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Sehingga perlu ada sanksi bagi yang  melanggar untuk memberi pelajaran kepada yang bersang-kutan.
Moral dan etika mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi orientasi bagaimana dan ke mana harus melangkah dalam hidup ini, namun terdapat sedikit perbedaan bahwa moralitas langsung menunjukkan inilah caranya untuk melangkah sedangkan etika justru mempersoalkan apakah harus melangkah dengan cara ini? Dan mengapa harus dengan cara itu. Dengan kata lain moralitas adalah suatu pranata, sedangkan etika adalah sikap kritis setiap pribadi atau kelompok masyarakat dalam merealisasikan moralitas. Pada akhirnya etika memang menghimbau orang untuk bertindak sesuai dengan moralitas. Etika berusaha membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pelaku usaha dapat memperoleh ilmu etika melalui teori etika, selain pengalaman dan informasi moral yang diterima dari berbagai sumber. Dalam teori etika terungkap etika deontologi, etika teleologi, etika hak dan etika Keutamaan.
1)     Etika Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang  berkewajiban" atau sesuai dengan prosedur dan logos yang berarti ilmu atau teori. Menurut teori ini beberapa prinsip moral itu bersifat mengikat betapapun akibatnya. Etika ini menekankankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Atau dengan kata lain tindakan itu bernilai moral   karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Teori ini menekankan kewajiban sebagai tolak ukur bagi penilaian baik atau buruknya perbuatan manusia, dengan mengabaikan dorongan lain seperti rasa cinta atau belas kasihan. Terdapat tiga kemungkinan seseorang memenuhi kewajibannya yaitu: karena nama baik, karena dorongan tulus dari hati nurani, serta memenuhi kewajibannya. Deontologist menetapkan aturan, prinsip dan hak berdasarkan pada agama, tradisi, atau adat istiadat yang berlaku. Yang menjadi tantangan dalam penerapan deontological di sini adalah menentukan yang mana tugas, kewajiban, hak, prinsip yang didahulukan. Sehingga banyak filosof yang menyarankan bahwa tidak semua prinsip deontological  harus diterapkan secara absolut. Teori ini memang berpijak pada norma-norma moral konkret yang harus ditaati, namun belum tentu mengikat untuk kondisi yang bersifat khusus. Contohnya, seseorang boleh saja merampok kalau hasil rampokannya dipakai untuk memberi makan orang yang terkena musibah.

2)     Etika Teleologi
Istilah teleologi berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan, sasaran atau hasii dan logos yang berarti ilmu atau teori. Etika ini mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tin­dakan itu, atau berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau konsekuensi yang ditimbulkannya baik dan berguna. Bila kita akan memutuskan apa yang benar, kita tidak hanya melihat konsekuensi keputusan tersebut dari sudut pandang kepentingan kita sendiri. Tantangan yang sering dihadapi dalam penggunaan teori ini adalah bila kita bisa kesulitan dalam mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam mengevaluasi semua kemungkinan konsekuensi dari keputusan yang diambil.

3)     Etika Hak
Etika Hak memberi, bekal kepada pebisnis untuk mengevaluasi apakah tindakan, perbuatan dan kebijakan bisnisnya telah tergolong baik atau buruk dengan menggunakan kaidah hak seseorang. Hak seseorang sebagai manusia tidak dapat dikorbankan oleh orang lain apa statusnya.
Hak manusia adalah hak yang dianggap melekat pada setiap manu­sia, sebab berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri.  Etika hak kadangkala dinamakan "hak manusia" sebab manusia berdasarkan etika hams dinilai menurut martabatnya. Etika hak mempunyai sifat dasar dan asasi (human rights), sehingga etika hak tersebut merupakan hak yang; (1) Tidak dapat dicabut atau direbut karena sudah ada sejak manusia itu ada; (2) Tidak tergantung dari persetujuan orang; (3) Merupakan bagian dari eksistensi manusia di dunia.

4)     Etika Keutmaann
Etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak mendasarkan penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal seperti kedua teori sebelumnya. Etika ini lebih mengutamakan pembangunan karakter moral pada diri setiap orang. Nilai moral bukan muncul dalam bentuk adanya aturan berupa larangan atau perintah, namun dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktikkan oleh tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Di dalam etika karakter lebih banyak dibentuk oleh komunitasnya. Pendekatan ini terutama berguna dalam menentukan etika individu yang bekerja dalam sebuah komunitas profesional yang telah mengembangkan norma dan standar yang cukup baik. Keuntungan teori ini bahwa para pengambil keputusan dapat dengan mudah mencocokkan dengan standar etika komunitas tertentu untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah tanpa ia harus menentukan kriteria terlebih dahulu (dengan asumsi telah ada kode perilaku).
Indikator Etika (Ethics) merupakan kemampuan individu untuk memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan issue etika dan moral, baik dan buruk, salah dan benar (Forsyth, 1980; Kohlberg, 1981; Velasques, 2005):
1.            Karena untuk menghindari hukuman;
2.     Melakukan hal yang baik jika mendapat imbalan;
3.     Sesuai dengan pendapatteman;
4.     Mentaati hukum dan Peraturan;
5.     Memenuhi kontrak sosial; dan
6.     Kesadaran individu, memenuhi tuntutan moral dan menerapkan dengan konsisten

1.3 Etika,Etiket, Moral, Hukum, dan Agama
1.3.1 Persamaan dan Perbedaan Etika dan Etiket
1.3.1.1 Persamaan Etika dan Etiket
Seringkali dua istilah tersebut disamakan artinya, padahal terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya. Dari asal katanya saja berbeda, yakni Ethics dan Ethiquetle. Etika berarti moral sedangkan Etiket berarti sopan santun. Pengertian etika berbeda dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama manusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama. Namun meskipun berbeda, ada persamaan antara keduanya, yaitu:
1.     Keduanya menyangkut objek yang sama yaitu perilaku manusia;
2.     Etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

1.3.1.2 Perbedaan Etika dan Etiket
Setelah kita ketahui persamaan etika dan etiket, maka dapat kita bedakan etika dan etiket sebagai berikut:
1.            Etiket menyangkut cara suatu melakukan perbuatan harus dilakukan manusia. Diantara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkancara yang tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu.
2.            Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan. Etika menyangkut pilihan yaitu apakah perbuatan boleh dilakukan atau tidak.
3.            Etiket hanya berlaku dalam pergaulan pada suatu kelompok tertentu. Bila tidak ada saksi mata , maka etiket tidak berlaku.
4.            Etika selalu berhku dimana saja dan kapan saja, meskipun tidak ada saksi mata, tidak tergantung pada ada dan tidaknya seseorang.
5.            Etiket bersifat relatif artinya yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
6.            Etika bersifat absolut. Prinsip-prinsipnya tidak dapat ditawar lagi, dan harus dilakukan.
7.            Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja.
8.       Etika menyangkut manusia dari segi rohaniahnya. Orang yang bersikap etis adalah  rang yang sungguh-sungguh baik, dimana nilai moralnya sudah terinternalisasi dalam hati nuraninya.
1.3.2     Etika dan Hukum
1.3.2.1 Hubungan Etika dengan Hukum
Cara paling mudah untuk menggambarkan hubungan antara etika dan hukum adalah dengan diagram Venn, seperti pada Gambar 1.1 sebagai berikut (Trevino & Nelson, 1995):


 








Gambar 1.1 Diagram Ven "Hubungan Etika dengan Hukum
Hukum adalah refleksi minimum norma sosial dan standar dari sifat bisnis. Secara umum, kebanyakan orang percaya bahwa sifat mematuhi hukum adalah juga sifat yang beretika. Tapi banyak standar sifat di dalam sosial yang tidak tertuliskan dalam hukum. Contohnya saja dalam konflik kepentingan mungkin tidak ilegal, tapi secara umum dapat menjadi tidak beretika dalam kehidupan sosial.

1.3.2.2 Perbedaan Etika dan Hukum
Perbedaan etika dengan hukum dapat diuraikan sebagai berikut:
(1)     Hukum pada dasarnya tidak hanya mencakup ketentuan yang dirumuskan secara tertulis, tapi juga nilai-nilai konvensi yang telah menjadi norma di masyarakat.
(2)     Etika mencakup lebih banyak ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis.
(3)     Pada umumnya kebanyakan orang percaya bahwa dengan perilaku yang patuh terhadap hukum adalah juga merupakan perilaku yang etis.
(4)     Banyak sekali standar perilaku yang sudah disepakati oleh masyarakat yang tidak tercakup dalam hukum, sehingga terdapat bagian etika yang tercakup dalam hukum, namun sebagian juga belum tercakup di dalam hukum,  seperti  contoh kasus  di  dalam masyarakat yang  dianggap melanggar etika tetapi dalam hukum itu tidak melanggar, sepanjang tidak ada aturan yang tertulis bahwa tindakan tersebut adalah melanggar hukum.
(5)     Norma hukum cepat ketinggalan zaman, hingga bisa menyebabkan celah hukum.


1.3.3 Perbedaan Moral dan Hukum
Sebenarnya antara keduanya terdapat hubungan yang cukup erat. Moralitas adalah keyakinan dan sikap batin, bukan hanya sekedar penyesuaian atau asal taat terhadap aturan. Karena antara satu dengan yang lain saling mempe-ngaruhi dan saling membutuhkan. Kualitas penegakan hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralitasnya. Karena itu hukum harus dinilai/diukur dengan norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti apabila dalam suatu masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Sebaliknya moral pun membutuhkan hukum, moral akan mengambang saja apabila tidak dikukuhkan, diungkapkan dan dilembagakan dalam masyara­kat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan dampak sosial moralitas. Walaupun begitu tetap saja antara Moral dan Hukum harus dibedakan. Perbedaan tersebut antara lain:
(1)       Hukum bersifat obyektif karena hukum dituliskan dan disusun dalam kitab undang-undang. Maka hukum lebih memiliki kepastian yang lebih besar.
(2)       Moral bersifat subyektif dan akibatnya seringkali diganggu oleh pertanyaan atau diskusi yang mengigingkan kejelasan tentang etis dan tidaknya.
(3)       Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah faktual.
(4)       Moralitas menyangkut perilaku batin seseorang.
(5)       Pelanggaran terhadap hukum mengakibatkan si pelaku dikenakan sanksi yang jelas dan tegas.
(6)       Pelanggaran moral biasanya mengakibatkan hati nuraninya akan merasa tidak tenang.
(7)       Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat.
(8)       Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat.

1.3.4 Etika dan Agama
Etika mendukung keberadaan Agama, dimana etika sanggup membantu manusia dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Pada dasarnya agama memberikan ajaran moral untuk menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Menurut Kanter (2001) tidak mungkin orang dapat sungguh-sungguh hidup bermoral tanpa agama, karena (1) moralitas pada hakikatnya bersangkut paut dengan bagaimana manusia menjadi baik, jalan terbaiknya adalah kita mengikuti perintah dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan kita (2) agama merupakan salah satu pranata kehidupan manusia yang paling lama bertahan sejak dulu kala, sehingga moralitas dalam masyarakat erat terjalin dengan kehidupan ber-agama (3) agama menjadi penjamin yang kuat bagi hidup bermoral. Perbedaan antara etika dan ajaran moral agama yakni etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional. Sedangkan Agama menuntut seseorang untuk mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dan ajaran agama.

1.3.5  Etika dan Moral
Etika Iebih condong ke arah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu etika lebih sering dikenal sebagai kode etik. Moral berasal dari kata bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores atau manners, morals (BP-7, 1993: Poespoprodjo, 1986). Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk, atau dengan kata lain moralitas merupakan pedoman/standar yang dimiliki oleh individu atau kelompok mengenai benar atau salah dan baik atau buruk. Velasques (2005) menyebutkan lima ciri yang berguna untuk menentukan hakikat standar moral, yaitu:
(1) Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
(2)       Standar moral moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu, standar moral tidak dibuat oleh kekuasaan, validitas standar moral terletak pada kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung atau membenarkannya, jadi sejauh nalarnya mencukupi maka standarnya tetap sah.
(3)       Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai yang lain, khusus-nya kepentingan pribadi.
(4)       Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
(5)    Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu, seperti jika kita bertindak bertentangan dengan standar moral, normalnya kita akan merasa bersalah, malu atau menyesal.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can act as the performance index or reference for our control system". Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Jadi etika lebih berkaitan dengan kepatuhan, sementara moral lebih berkaitan dengan tindak kejahatan.

1.4 Pengertian Bisnis
Bisnis adalah kegiatan manusia dalam mengorganisasikan sumberdaya untuk menghasilkan dan mcndistribusikan barang dan jasa guna memenuhi kebu-tuhan dan keinginan masyarakat. Bisnis adalah membuktikan apa yang dijanjikan (promise) dengan yang diberikan (deliver). Bisnis adalah kegiatan diantara manusia untuk mendatangkan keuntungan. Dalam bisnis terdapat persaingan dengan aturan yang berbeda dengan norma-norma yang berada dalam masyarakat. Pengertian bisnis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
a.  Kegiatan   dengan   mengarahkan   tenaga,   pikiran,   atau   badan   untuk
mencapai sesuatu maksud.
b.  Kegiatan di bidang perdagangan/perbisnisan.
Bisnis dapat pula diartikan berdasarkan konteks organisasi atau perusahaan, yaitu: usaha yang dilakukan organisasi atau perusahaan dengan menyediakan produk barang atau jasa dengan tujuan memperoieh nilai lebih (value added). Karena organisasi (perusahaan) yang menyediakan produk barang atau jasa tentu dengan tujuan memperoleh laba, tentu saja prospek mendapatkan laba, selalu memperhitungkan perbedaan penerimaan bisnis dengan biaya yang dikeluarkan. Maka laba di sini merupakan pemicu (driver) bagi pebisnis untuk memulai dan mengembangkan bisnis. Bagai-manapun juga pebisnis mendapatkan laba dari risiko yang diambil ketika mengivestasikan sumber daya (modal, keahlian/skill, dan waktu) mereka.
Dalam sistem kapitalis bisnis dijalankan untuk mendapatkan laba bagi pemilik yang juga bebas untuk menjalankannya. Namun konsumen juga memiliki kebebasan untuk memilih. Dalam memilih cara mengejar laba, bisnis harus memperhitungkan apa yang diinginkan dan dibutuhkan konsu­men. Terlepas dari seberapa efisien bisnis itu dijalankan.

1.5 Pengertian Etika Bisnis
Istilah etika bisnis (Business Ethics), jauh lebih muda dari etika itu sendiri. Etika bisnis sudah mulai muncul sejak tahun 1960an. Pada saat itu ditandai dengan perubahan-perubahan sudut pandang dalam perilaku komunitas di Amerika Serikat dan juga menghadapi dunia bisnis. Setelah perang dunia kedua berakhir, perang dingin dengan Uni Sovyet masih tetap berlanjut, Amerika saat itu melibatkan diri dalam perang Vietnam, yang mendorong para oposisi untuk mengeluarkan isu-isu kebijakan publik dan pergerakan-pergerakan hak-hak rakyat sipil mencuat di tengah-tengah masyarakat.
Ekonomi Amerika kala itu bertumbuh cepat dan niendorninasi pertumbuhan ekonomi dunia, Amerika merajai bisnis dunia, perusahaan-perusahaannya beroperasi di banyak negara. Pelaku-pelaku bisnis yang memiliki harta yang cukup banyak memasuki panggung politik dan berhasil, dan sebagian pengusaha lainnya menjadi penguasa pemerintahan kala itu. Bisnis-bisnis besar telah menggeser posisi bisnis-bisnis kecil dan menengah. Di sektor industri tercatat perkembangan yang cukup tajam dengan meng- hasilkan banyak inovasi baru yang spektakuler. Tidak semua inovasi dan teknologi yang ditemukan itu berdampak positif bagi kehidupan manusia dan malah sebagian menjadi penyebab kerusakan lingkungan yang parah. Sustainability nyaris terabaikan dalam pemikiran pebisnis saat itu, hingga mereka menuai protes-protes dari berbagai lapisan masyarakat, terutama pencinta lingkungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kritikan-kritikan dari politisi pun bermunculan, demikian juga gerakan-gerakan swadaya masyarakat yang mengusung kepentingan publik. Desakan-desakan tersebut akhirnya mendorong perusahaan-perusahaan untuk merumuskan berbagai program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Tidak jelas apakah program tersebut lahir dari nurani atau karena suatu keterpaksaan. Mulai saat itu etika bisnis mulai diteliti dan dibahas oleh berbagai kalangan dan lapisan masyarakat dengan etika dalih penyelamatan komunitas dalam jangka panjang dalam suatu tatanan nilai moralitas.
Etika bisnis yang lahir di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an dan menjadi isu utama yang mengglobal sejak tahun 1990-an, selanjutnya men­jadi isu yang ramai di bicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat. Pada awalnya hanya kalangan ahli agama dan filsafat saja yang fokus dengan etika ini, Itu pun masih pada hal-hal yang bersifat makro dan universal. Dewasa ini isu dan topik etika bisnis menjadi hangat dibicarakan mulai dari masyarakat awam, pemerintah, praktisi (manajer, konsultan dan investor), para akademisi dari berbagai disiplin ilmu, lembaga swadaya, sampai kepada para politisi. Walaupun dibahas oleh banyak kalangan dan diamini oleh para pelaku bisnis, namun etika juga terlihat masih sangat langka diterapkan secara sepenuh hati. Bagi pemerintah dan negara Amerika sebagai pelopor etika bisnis, mengakui bahwa etika bisnis adalah sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis mereka. Ironisnya justru Amerika yang paling gigih menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007. Ketika sebagian besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang menjadi sumber  penyebab global warning, Amerika menolaknya. (Eldine, Achyar: 2008).
Sebagai cabang dari filsafat etika, maka etika bisnis tidak lain merupakan penerapan prinsip-prinsip etika dengan pendekatan filsafat dalam kegiatan dan program bisnis. Karenanya semua teori tentang etika dapat dimanfaatkan untuk membahas tentang etika bisnis. Aspek yang dominan dari  semua  kata  etika  bisnis  bermuara  pada  perilaku  bermoral   dalam kegiatan bisnis.
Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan, aktivitas  atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karenanya etika bisnis sudah tentu mengacu dan akan berbicara mengenai masalah baik atau tidak baiknya suatu aktivitas bisnis. Dalam etika bisnis akan diuji peran-peran dan prinsip etika dalam konteks komersial/bisnis (Rudito dan Famiola, 2007: 4). Moral selalu berkaitan dengan tindakan manusia yang baik dan yang buruk sesuai dengan ukuran-ukuran yang diterima umum dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini ukuran baik dan buruk manusia adalah manusia bukan sebagai pelaku peran tertentu, dengan menggunakan norma moral, bukan sopan santun atau norma hukum (Sumodiningrat dan Agustian, 2008: 58)
Moral itas adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan dimensi nyata dalam hidup manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa moralitas dalam menjalan usaha bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos, tiada keteraturan dan ketenteraman dan pada giliran-nya dunia bisnis menjadi sadis dan saling mematikan.
Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli yang telah dikemukakan, maka peran etika bisnis adalah membahas dan menunjuk alternatif pemecahan masalah bisnis yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip, nilai dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan perangai (akhlak) para pelaku bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan menjunjung tinggi partisipan bisnisnya.
Penelitian yang dilakukan Mauro et al. (1999) tentang etika bisnis dan pengambilan keputusan perusahaan menggunakan definisi etika dan etika bisnis yang dikembangkan oleh Walton. Menurut Walton (1977 dalam Mauro,1999):
Ethics. A critical analysis of human acts to determine their tightness or wrongness in terms of two major: truth and justice Business ethics. A range of criteria whereby human actions are judge to include such things as societal expectations: fair competition; the aesthetics or advertising and the used public relations; the meaning of social responsibilities;   reconciling   corporate   behavior   at   home   with behavior abroad; the extent of consumer sovereignty; the relevance of corporate size; the handling communications, and the like
Maksudnya, etika merupakan analisis kritis tentang tindakan manusia untuk menentukan kebenarannya atau kesalahannya dalam kerangka 2 kriteria utama: kebenaran dan keadilan. Sementara etika bisnis merupakan sekumpulan kriteria di mana tindakan manusia di nilai berdasarkan harapan masyarakat. Hasil penelitian Mouro (1999) menemukan bahwa "that personal and business ethics are not separate entities, that they coexist in the behavior of managers within the corporation, is supported in the current literature". Maksudnya adalah etika personal dan etika bisnis merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi dalam mempengaruhi perilaku manajer. Banyak literatur terbaru yang mendukung perayataan dan hasil penelitian Mauro ini. Bagi mereka yang tidak mempunyai etika dalam berbisnis adalah mereka yang hanya tergiur dengan keuntungan jangka pendek. Mereka yang menjadikan keuntungan sebagai satu-satunya tujuan bisa menyebabkan perusahaan menghalalkan segala macam cara untuk mengejar keuntungannya. Akibatnya merekapun sering mengabaikan nilai-nilai etika bisnis. Bisnispun dijalankan secara tidak jujur, tidak adil, melanggar kewajaran, penuh mark-up.
Pada Seminar Manajemen Profetik (Profesional Etik) yang diseleng-garakan Universitas Paramadina Mulya (1999), Nurcholis Madjid menyim-pulkan bahwa etika subjektif seseorang akan terefleksikan dalam aktivitas bisnisnya. Dengan kata lain etika bisnis seseorang merupakan perpanjangan moda-moda tingkah lakunya atau tindakan-tindakan konstan, yang membentuk keseluruhan citra diri atau akhlak orang itu. Hal ini didukung dengan pernyataan Fritzche (1995) yang mengatakan bahwa:
Tampak tidak ada pemisahan antara etika bisnis dengan etika sehari-hari. Dengan kata lain kita berketetapan bahwa tidak mungkin kita etis dalam berbisnis dan tidak etis dalam hal yang lainnya, atau sebaliknya. Secara sedeerhan etika adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari individu, hal ini tidak dapat berubah pada setiap kesempatan. Pada tingkat praktis, ini memunculkan tiga pernyataan dasar. Pertama, orang yang etis harus menghormati orang lain. Kedua, etika itu dipelajari, tidak muncul secara langsung dari lahir. Ketiga, akar dari semua hubungan etik yang sebenarnya adalah kehidupan spiritual dari Islam, Kristen, Budha, Hindu ataupun yang tidak beragama sekalipun.

Etika bisnis merupakan salah satu bagian dari prinsip etika yang diterapkan dalam dunia bisnis (Lozano, 1996). Istilah etika bisnis mengan-dung pengertian bahwa etika bisnis merupakan sebuah rentang aplikasi etika yang khusus mempelajari tindakan yang diambil oleh bisnis dan pelaku bisnis. Epstein (1989) menyatakan etika bisnis sebagai sebuah perspektif analisis etika di dalam bisnis yang menghasilkan sebuah proses dan sebuah kerangka kerja untuk membatasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan individu, organisasi, dan terkadang seluruh masyarakat sosial. Menurut David (1998), etika bisnis adalah aturan main prinsip dalam organisasi yang menjadi pedoman membuat keputusan dan tingkah laku. Etika bisnis adalah etika pelaku bisnis. Pelaku bisnis tersebut bisa saja manajer, karyawan, konsumen, dan masyarakat.
Etika bisnis merupakan produk pendidikan etika masa kecil, namun tetap dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Sebagian besar pakar psikologi berkeyakinan bahwa penanaman awal nilai-nilai kedisiplinan, moral, etika yang dilakukan pada masa balita akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsi hati nurani seseorang tatkala ia mulai beranjak dewasa (Faisal Afiff, 2003). Lingkungan bisnis dapat merontokkan etika individu dan sebaliknya etika individu dapat mempengaruhi lingkungan bisnis tergantung mana yang kuat. Terjadinya krisis multi dimensional beberapa tahun terakhir menjadikan etika bisnis sebagai sorotan dan perhatian dari masyarakat dan para pengamat. Tuntutan masyarakat akan etika dan tolok ukur etika meningkat, hal ini disebabkan pula oleh peng-ungkapan dan publikasi, kepedulian publik, regulasi pemerintah, kesadaran CEO akan etika dan profesionalisme bisnis meningkat (Hoesada, 1997). Etika bisnis adalah bisnis setiap orang di setiap hari, sehingga etika bisnis termasuk semua manajer dan hubungan bisnis mereka serta tindakan-tindakan mereka. Etika bisnis adalah tuntutan harkat etis manusia dan tidak bisa ditunda sementara untuk membenarkan tindakan dan sikap tidak adil, tidak jujur dan tidak bermoral.
Sebagai cabang dari filsafat etika, maka etika dalam aktivitas bisnis tidak lain merupakan penerapan prinsip-prinsip etika dengan pendekatan filsafat dalam kegiatan dan program bisnis. Karenanya semua teori tentang etika dapat dimanfaatkan untuk membahas tentang etika dalam aktivitas bisnis. Aspek yang dominan dari semua kata etika dalam aktivitas bisnis bermuara pada perilaku bermoral.
Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan, aktivitas atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karenanya etika bisnis sudah tentu mengacu dan akan berbicara mengenai masalah baik atau tidak baiknya suatu aktivitas bisnis. Dalam etika bisnis akan diuji peranperan dan prinsip etika dalam konteks komersial/bisnis. Moral selalu berkaitan dengan tindakan manusia yang baik dan yang buruk sesuai dengan ukuran-ukuran yang diterima umum dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini ukuran baik dan buruk manusia adalah manusia bukan sebagai pelaku peran tertentu, dengan menggunakan norma moral, bukan sopan santun atau norma hukum.
Moral (Moralitas) adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan dimensi nyata dalam hidup manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa moralitas dalam menjalan usaha bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos, tiada keteraturan dan ketenteraman dan pada gilirannya dunia bisnis menjadi sadis dan saling mematikan.
Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli yang telah dikemukakan, maka peran etika adalah membahas dan menunjuk alternatif pemecahan masalah bisnis yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip, nilai dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan perangai (akhlak) para pelaku bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan menjunjung tinggi partisipan bisnisnya.
Pada dasarnya etika bisnis menyoroti moral perilaku manusia yang mempunyai profesi di bidang bisnis dan dimiliki secara global oleh perusahaan secara umum, sedangkan perwujudan dari etika bisnis yang ada pada masing-masing perusahaan akan terbentuk dan terwujud sesuai dengan kebudayaan perusahaan yang bersangkutan. Etika bisnis ini akan muncul ketika masing-masing perusahaan berhubungan dan berinteraksi satu sama lain sebagai sebuah satuan stakeholder. Tujuan etika bisnis disini adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnis dengan "baik dan bersih".
Etika bisnis dapat dibagi ke dalam 2 (dua) pandangan, yaitu:
(1)      Normative ethics:
Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions, and decisions.
(2)    Descriptive ethics:
Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and values.

Banyak yang mempertanyakan apakah ada bukti bahwa etika dalam berbisnis secara sistematis berkorelasi dengan keuntungan? Contoh yang paling sederhana coba kita sajikan disini. Jika bisnis berusaha mengambil keuntungan dari karyawan, pelanggan, pemasok, dan kreditur melalui perilaku yang sekarang tidak etis, maka kemungkinan mereka akan menemu-kan cara untuk membalas dendam kepada kita ketika bertemu lagi. Balas dendam dapat berbentuk sederhana seperti menolak untuk membeli, menolak untuk bekerja, menolak berbisnis dengan pihak yang bersangkutan. Secara empiris sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali dan pada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan iahxmml revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Beberapa pebisnis berpendapat bahwa terdapat hubungan simbiosis antara etika dan bisnis dimana masalah etik sering dibicarakan pada bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Dalam hal ini terdapat versi yang lemah dan versi yang kuat mengenai pendekatan ini. Versi yang lemah mengatakan bahwa etika yang baik dihasilkan dari bisnis yang baik, secara sederhana praktik bisnis yang bermoral adalah praktik bisnis yang menguntungkan. Kebutuhan aspek moral dalam bisnis adalah:
(1) Praktik bisnis yang bermoral hanya akan memberikan keuntungan ekonomis dalam jangka panjang. Bagi bisnis yang didesain untuk keun­tungan jangka pendek hanya akan memberikan insentif yang kecil. Dalam kompetisi bisnis di pasar yang sama,  keuntungan jangka pendek merupakan keputusan yang diambil oleh kebanyakan perusahaan untuk dapat bertahan.
(2)   Beberapa praktik bisnis yang bermoral mungkin tidak memiliki nilai ekonomis bahkan dalam jangka panjang sekalipun. Sebagai contoh, bagaimana mengkampanyekan kerugian merokok, sebagai lawan dari promosi rokok itu sendiri.
(3)   Praktik bisnis yang bermoral akan menghasilkan keuntungan akan sangat tergantung pada saat bisnis tersebut dijalankan. Pada pasar yang berbeda, praktik yang sama mungkin tidak memberikan nilai ekonomis. Jadi masalah tumpang tindih antara eksistensi moral dan keuntungan sifatnya terbatas dan insidental (situasional)
Versi yang kuat mengenai pendekatan keuntungan mengungkapkan bahwa dalam pasar yang kompetitif dan bebas, motif keuntungan akan terkait dengan lingkungan yang sesuai dengan isu moral tersebut. Itulah sebabnya, jika pelanggan menginginkan produk yang aman, atau para pekerja menginginkan privasi, maka mereka akan memperolehnya dari bisnis yang memenuhi kebutuhannya tersebut. Bisnis yang tidak memenuhi harapan tersebut maka mereka tidak akan bertahan. Sejak adanya pandangan bahwa dorongan untuk  memperoleh keuntungan akan menciptakan moralitas, versi yang kuat mengemukakan bahwa bisnis yang baik dihasilkan dalam etika yang baik.
Dalam etika bisnis, kewajiban moral dalam bisnis dibatasi oleh persyaratan hukum. Aspek yang paling universal dalam moralitas barat telah digunakan pada sistem legal bangsa kita, yaitu hukum yang menegaskan mengenai sangsi bagi pembunuhan, pencurian, penipuan, pelecehan dan perilaku yang membahayakan lainnya. Terlebih lagi jika masalah etika itu sudah berkaitan dengan nilai budaya, politik dan agama. Tuntutan masyarakat internasional terutama berkaitan dengan mutu barang atau jasa yang dijual. Banyak kasus dimana pengusaha sangat mengabaikan lingkungan, dan masyarakat pun kadangkala miris melihat pemerintah seolah tidak ada upaya yang tegas terhadap perilaku pengusaha yang bandel ini. Kasus yang terjadi beberapa waktu yang lalu yaitu ditolaknya pengiriman kayu kita ke Skotlandia karena dinyatakan tidak berekolabel, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berbisnis, tidak hanya memperhatikan keuntungan saja, namun juga perlu memperhatikan etika dalam pengolahan. Disini kita melihat bahwa etika bisnis menjadi suatu hal yang sangat mendesak untuk diterapkan, sebab dengan etika pertimbangan mengenai baik atau buruk dapat distandardisasi secara tepat dan benar. Namun perlu juga dicatat bahwa etika bisnis tidak akan berfungsi jika praktik-praktik bisnis yang curang dilegalkan. Di sinilah diperlukan dua perangkat utama yaitu moral dan legal politis.


1.6   Indikator Etika Bisnis
Kehidupan bisnis modern menurut banyak pengamat cenderung mementing-kan keberhasilan material. Menempatkan material pada urutan prioritas utama, dapat mendorong para pelaku bisnis dan masyarakat umum melirik dan menggunakan paradigma dangkal tentang makna dunia bisnis itu sendiri. Sesungguhnya dunia bisnis tidak sesadis yang dibayangkan orang dan mate­rial bukanlah harga mati yang harus diupayakan dengan cara apa dan bagaimanapun. Dengan paradigma sempit dapat berkonotasi bahwa bisnis hanya dipandang sebagai sarana meraih pendapatan dan keuntungan uang semata, dengan mengabaikan kepentingan yang lainnya. Organisasi bisnis dan perusahaan dipandang hanya sekedar mesin dan sarana untuk memaksi-malkan keuntungannya dan dengan demikian bisnis seuu^u-mata berperan sebagai jalan untuk menumpuk kekayaan dan bisnis telah menjadi jati diri tidak lebih dari mesin pengganda modal atau kapitalis.
Untuk itu diperlukan pemahaman yang ideal tentang bisnis dalam nuansa paradigma baru dan kata ideal itu tentunya mengacu kepada nilai-nilai filosofis dari bisnis itu sendiri. Paradigma baru dalam bisnis penuh dengan nilai-nilai positif, didukung oleh nilai-nilai moralitas yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan kini dan akan datang. Pertanggungjawaban itu tidak saja bagi sesama manusia selama hidup di dunia, tetapi juga kepada Yang Menciptakan Manusia Allah Azza Wajalla.
Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang baru, bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral keuntungan memungkinkan organisasi/ perusahaan untuk bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal (investor) yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan (ekspansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru (Eldine, 2008).
Nilai-nilai etika yang positif hams menjadi referensi bagi pelaku usaha dan partisipannya dalam penyelenggaraan bisnisnya. Pelaku bisnis seyogianya menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis yang digelutinya. Sementara itu tugas pelaku bisnis adalah berorientasi pada norma-norma dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari sehingga pekerjaannya tetap berada dalam sebutan etis dan tidak merugikan siapapun secara moral.
Penerapan dan penyampaian nilai moral dalam etika bisnis adalah suatu kewaj iban. Dalam arti bahwa pebisnis mengemban misi untuk menyampaikan informasi moral, baik secara formal maupun informal dalam lingkungan perusahaannya. Disadari atau tidak, prosesi penyampaian informasi moral ini sebenarnya telah berlangsung lama di luar kemauan dan hajat suatu organisasi/perusahaan. Prosesi penyampaian informasi tersebut berasal dari berbagai sumber dan sebagian perusahaan dan pelaku bisnis telah memperlakukan atau menyeleggarakannya dengan baik.
Sumber inier'nasi moral adalah orang tua, kerabat, lingkungan setempat, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, baik dengan lisan maupun tertulis, yang berintikan ajaran moral. Bentuk-bentuk informasi moral tersebut dapat berupa nasehat (advis), lagu-lagu, permainan, tarian, pantun, pepatah, dongeng (mitos) dan sebagainya.
Ditilik dari dimensi waktu, prosesi penyampaian dan sosialisasi informasi nilai moral itu ternyata telah berlangsung lama dan terus menerus. Walaupun demikian tidak semua nilai moral yang ada diterima dan dipraktikkan oleh pengelola organisasi/perusahaan. Keterbatasan manusia sebagai pelaku bisnis memiliki nurani dan moral, maka nilai kebajikan dan kebenaran itu akan diterima dengan tulus, tentu setelah melalui suatu proses yang panjang dan berbagai upaya melalui berpikir.
Moral agama sangat penting kedudukan dan peranannya dalam pembentukan perilaku seseorang. Ada pengaruh signifikan antara pengajaran moral agama semasa kecil dengan perilaku seseorang tatkala dia dewasa, sehingga berpengaruh pula terhadap tindakan atau kebijakan bisnis yang dikelolanya. Membentuk atau menanam moral bukanlah persoalan mudah. Prosesi itu memerlukan pengorbanan waktu, metode yang tepat dan dilakukan dengan penuh kearifan dan kesabaran. Untuk keefektifan prosesi pembentukan moral atau akhlak diperlukan pemahaman watak dan karakter manusianya. Hal ini merupakan persoalan berat dan membutuhkan perjuang-an panjang. Nabi saja di utus Allah untuk kepentingan perbaikan akhlak manusia. Tuhan Pencipta manusia mengutus Nabi Muhammad SAW untuk memperbaiki etika (bahasa Arab: identik dengan akhlak) manusia (Innama Buistu Liutammima makarimal Akhlaq).
Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut bidang tugas yang diembannya. Dengan kata lain mengikat manajer, pimpinan unit kerja dan kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/ perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan sempit suatu perusahaan dianggap sudah melaksanakan etika bisnis bilamana perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab sosial itu timbul sebagai akibat adanya eksternalitas yang negatif dan perusahaan harus membayar biaya sosialnya (social cost). Dari berbagai pandangan tentang etika bisnis, beberapa indikator yang dapat dipakai untuk menyatakan apakah seseorang dan suatu perusahaan telah melaksanakan etika bisnis dalam kegiatan usahanya antara lain adalah: Indikator ekonomi; indikator peraturan khusus yang berlaku; indikator hukum; indikator ajaran agama; indikator budaya dan indikator etik dari masing-masing pelaku bisnis.
1. Indikator Etika bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan masyarakat lain.
1.     Indikator etika bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan  indikator ini  seseorang pelaku bisnis dikatakan  beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing pelaku bisnis mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya.
2.     Indikator etika bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hokum seseorang atau suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnis  apabila  seseorang pelaku  bisnis  atau  suatu perusahaan telah mematuhi   segala   norma  hukum   yang   berlaku   dalam   menjalankan kegiatan bisnisnya.
3.     Indikator  etika   berdasarkan   ajaran   agama.   Pelaku  bisnis   dianggap beretika  bilamana  dalam  pelaksanaan  bisnisnya  senantiasa  merujuk kepada nilai- nilai ajaran agama yang dianutnya.
4.     Indikator etika berdasarkan nilai budaya.  Setiap pelaku  bisnis baik
5.     secara individu maupun kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnya dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa.
6.     Indikator etika bisnis menurut masing-masing individu adalah apabila masing-masing pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankan integritas pribadinya.


Daftar Pustaka

Ernawan, Erni. 2011. Business Ethics. Penerbit: Alfabeta. Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar