BAB I
ETIKA DAN BISNIS
1.1 Pendahuluan
Salah satu dampak globalisasi adalah adanya persaingan bisnis yang
semakin ketat, yang ditandai oleh kegiatan bisnis yang kini tumbuh dan
berkembang melewati apa yang pernah diprediksikan dan di'visi'kan sebelumnya. Pelakunya
terbuai dengan visi dan, misinya, terjebak di antara harapan dan kenyataan.
Bangkitnya negara berkembang dengan industri labour intensive seperti
Korea Selatan dan Taiwan pada tahun 1980-an dan setelah runtuhnya rezim komunis
1990, mulailah dikenal Bisnis Global yang berbasis pada efisiensi yang diperkirakan akan
terus berlangsung sampai tahun 2020 dan bahkan
lebih.
Ketika mendengar kata ‘bisnis’ apa yang tersirat dalam pikiran Anda? Apakah yang tersirat tersebut adalah
perusahaan besar? Atau sebuah organisasi besar? Atau perusahaan/organisasi biasa-biasa saja? Atau
sebuah bisnis industry perumahan (Home Industry)?
Bisnis
bisa dijalankan dengan cara berbeda antara suatu negara atau organisasi atau
perusahaan baik dari sisi budaya, politik, hukum, ekonomi, perilaku maupun sudut pandang. Bisnis sudah tak
mengenal ruang dan waktu, dari bisnis yang hanya mempertukarkan barang dengan
barang (barter) sampai dengan bisnis dengan menggunakan sarana
teknologi dan informasi. Transaksi bisnis
kini dapat diwujudkan tanpa harus adanya pertemuan
fisik pembeli dan penjual. Mereka bisa tinggal dimana saja, dan kapan saja
dapat menyelenggarakan aktivitas bisnisnya. Teknologi dan Informasi (komunikasi) telah mengubah dunia yang begitu
luas menjadi semakin kecil, kini dunia seakan telah menjadi sebuah kampung
besar yang dengan mudah dijangkau manusia.
Etika merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain.
Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk menganalisis
batas-batas
kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari
kegagalan. Kompetisi inilah yang harus memanas belakangan ini. Kata itu
mengisyaratkan sebuah konsep bahwa mereka yang berhasil adalah yang
mahir menghancurkan musuh-musuhnya. Banyak yang mengatakan kompetisi lambang
ketamakan. Padahal perdagangan dunia yang lebih bebas di masa mendatang justru
mempromosikan kompetisi yang juga lebih bebas.
Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan
eksportir
kita yang ditantang untuk terjun karena baru yaitu pasar bebas di masa
mendatang. Kemampuan berkompetisi seharusnya sama sekali tidak ditentukan
oleh ukuran besar kecilnya sebuah perusahaan. Inilah yang sering
dikonsepkan berbeda oleh sudut pandang pemerintah atau bahkan si pelaku
bisnis itu sendiri.
Jika kita ingin mencapai target di tahun 2020, sudah
saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan
beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara
golongan menengah ke bawah dan pengusaha golongan atas.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada bcberapa hal yang perlu diperhatikan
antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial,
mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan
konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Kalabelcce,
Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu
benar, dll.
Kebutuhan dan keinginan manusia dengan bantuan ilmu dan teknologi kini
semakin mudah untuk dipenuhi. Peran dunia bisnis semakin terasa bagi kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia itu. Karena ada banyak peluang yang menguntungkan, saat ini orang yang terlibat dalam kegiatan
dan profesi bisnispun semakin banyak pula. Kecenderungan manusia untuk menggantungkan
hidup pada sektor bisnis semakin meningkat dari waktu ke waktu. Semua orang yang hidup di dunia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai pengaruh bisnis. Perilaku dunia
bisnis dapat membuat manusia lebih
bahagia dan juga sebaliknya dapat menjadikan manusia sengsara dan jauh dari kesejahteraannya. Semuanya
terpulang kepada itikad, perilaku
para pebisnis dan pemangku kepentingannya. Tanpa etika, dunia bisnis menjadi kejam dan beringas. Bisnis bagaikan
suatu pertempuran sengit tanpa kasih
sayang dan rasa kemanusiaan. Yang satu
berusaha dengan segala cara untuk mematikan yang lainnya. Pada hal dalam pertempuran dan peperangan juga ada etika. Di sana ada kode etik pertempuran dan peperangan. Hanya Zionis Yahudi yang apatis dengan etika dan
karenanya wajar kalau bangsa yang
zalim itu dianggap bangsa paling terkutuk di dunia. Kutukan semacam itu
tidak seharusnya dialamatkan kepada
dunia bisnis.
Aktivitas
bisnis adalah pekerjaan mulia, karena dapat memberikan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan manusia Persaingan dalam bisnis adalah wajar
dan dibenarkan, tetapi tidak harus identik dengan pertempuran dan peperangan. Persaingan yang baik dalam bisnis
adalah persaingan damai. Damai dalam
sebuah dinamika persaingan dan bersaing
dalam suasana perdamaian. Dalam bisnis beretika persaingan hanyalah
sarana untuk memperbaiki citra produk dan perusahaan
di mata pelanggannya. Di samping itu persaingan juga dapat menjadi
instrumen untuk memperbaiki kinerja organisasional. Justru itu makna persaingan dalam ranah bisnis harus diluruskan,
demikian juga pandangan terhadap bisnis itu sendiri.
Menafsirkan dan berpandangan bahwa bisnis hanya sebagai aktivitas untuk mendapatkan pendapatan dan keuntungan semata adalah sebuah
kekeliruan dan itu adalah paradigma lama
yang harus ditinggalkan. Apalagi menghalalkan
segala cara dengan mengabaikan nilai moral. Itulah sebuah dosa bisnis berjamaah yang sulit terampuni dan
memang tidak layak diampuni. Banyak para filosof terutama pada masa
Yunani kuno menganggap bisnis sesuatu yang mengerikan.
Setan-setan sangat senang bersahabat dengan pelaku bisnis dan mereka sangat sulit untuk
menghindar dari godaannya. Kata
sebagian orang takut dengan aktivitas bisnis, pasar dan
bisnis adalah rumahnya setan. Di
sana banyak ditemukan penipuan dan penggelapan.
Keduanya telah dianggap
sebagai sesuatu yang biasa dan
diupayakan pembenarannya. Bisnis yang penuh penipuan dan penindasan tidak pernah bisa dibenarkan dan hanya bisnis bermoral
yang diperkenankan karena pelakunya
mencintai kebaikan dan menjauhi segala larangan (kemungkaran). Allah
mengharamkan riba dan menghalalkan bisnis (jual beli). Bisnis yang dihalalkan adalah bisnis yang dapat mengakomodasikan
nilai-nilai ajaran agama yang di
dalamnya mempertimbangkan nilai moralitas.
Bisnis yang baik adalah bisnis bermoral, yakni suatu bisnis yang tidak saja
menempatkan dan mementingkan pribadi pelakunya semata. Bisnis tidak
melarang keuntungan yang besar bagi suatu perusahaan. Hanya saja semakin besar
keuntungan yang diperoleh, maka semakin besar pula tanggung jawab etika dan sosialnya
kepada masyarakat. Dalam ajaran etika, selain
untuk membahagiakan dirinya, pelaku bisnis juga mengemban amanah dan
kewajiban untuk membahagiakan orang lain dan masyarakat sekitarnya. Memelihara
alam dengan segala sumber dayanya adalah juga tanggung
jawab kita semua, dan pelaku bisnis harus berada di barisan depannya.
Untuk
melaksanakan tanggung jawab moral, diperlukan suatu panduan yang mengandung prinsip-prinsip, norma-norma dan standar, sehingga didapatkan kebenaran
moral dalam sikap dan perilakunya. Kesemuanya itu telah dikemas oleh para ahli dan
filosof dalam bingkai etika. Aplikasi semua nilai-nilai etika dalam kerangka
bisnis disebut dengan etika bisnis. Dengan panduan etika bisnis, pelaku usaha dan partisipan organisasi bisnis
harus berlaku manusiawi dengan menempatkan
manusia di atas segalanya. Sebagai mana dirinya, pebisnis seyogianya
menyadari bahwa setiap manusia itu mempunyai hak yang mendasar dan dilindungi, yakni
hak asasi manusia. Sayangnya hak-hak
manusia ini sering diremehkan, diabaikan dan dilecehkan banyak usahawan (pelaku bisnis) saat ini. Trend
pelecehan hak-hak dasar manusia ini terindikasi pada banyaknya
skandal dan kasus eksploitasi manusia dalam
penyelenggaraan bisnis di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Kita seharusnya
tidak perlu pusing dan gelisah dengan isu dan skandal apapun yang mengancam
dunia bisnis pada awal abad ini. Berupaya berlaku etis dan berdoa adalah solusi
terbaik untuk mengatasi berbagai masalah. Selain
banyak skandal dalam dunia bisnis, kini juga masih banyak dan semoga lebih
banyak lagi pelaku bisnis bermoral yang aktif dan bertekad untuk dapat
memberi sesuatu yang bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraan umat
manusia. Bagaimanapun manusia yang masih
memiliki nurani dan meyakini adanya hari pembalasan, suatu saat pasti
kembali dan menyadari bahwa dia wajib berbuat baik untuk sesama manusia, dimanapun
dan apapun status jabatannya.
Pada dasarnya manusia itu adalah baik dan hanya faktor
lingkungan dan keterpaksaanlah kadangkala membuat dirinya berbuat kejahatan.
Persoalannya apakah manusia, termasuk pelaku
bisnis menyadari bahwa dirinya itu
diciptakan dari yang baik dan dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kemudian
pada dirinya dibebankan amanah-amanah kebajikan. Terkait dengan situasi itu,
Socrates menghimbau "Kenalilah Dirimu" agar kita tidak
berbuat kejahatan dengan sesama makhluk Allah.
Dengan keyakinan bahwa manusia sesungguhnya mencintai
dan membutuhkan kebaikan dan tidak berharap adanya kerusakan di muka bumi, maka
nilai-nilai etika harus disebarluaskan dengan
cara-cara yang arif dan bijaksana. Untuk itu semua diperlukan metoda yang efektif dan
perilaku keteladanan. Keteladanan yang paling
pokok dalam bisnis beretika adalah menjauhi
keserakahan, kerakusan, dan merasa. Bertanggungjawab secara moral terhadap
semua orang yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam bisnis
yang dijalankannya. Tokoh filsafat, pemuka agama, negarawan dan para nabi dan
rasul adalah sumber keteladanan. Dalam
keyakinan Islam Nabi
Muhammad SAW adalah rujukan utama yang mendapat
garansi dari Allah Yang Maha Kuasa.
Sungguh adalah pada diri Muhammad itu teladan yang
baik dan Muhammad itu diutus tidak lain, kecuali untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Muhammad adalah keteladanan sempurna dan paripurna. Tiada
kesalahan sedikitpun yang dia perbuat dalam bisnisnya dan menghargai
pendapat orang lain yang lebih ahli khususnya dalam urusan duniawi. Para sahabat nabi yang telah teruji
mentalitas dan moral, sepatutnya di
jadikan referensi seperti: Umar Bin Khattab yang dikenal dengan amirul mukminin, dengan sikapnya yang transparan, tegas
dan kritis. Siapapun orangnya, apapun status dan pekerjaannya, manusia itu perlu membuat perhitungan dan mengevaluasi dirinya. Pesan Umar
yang penting perlu dicatat antara
lain adalah "Hitung-hitunglah dirimu sebelum engkau dihitung orang
lain" Artinya lakukanlah introspeksi dan koreksi diri kita sebelum kita
menghadapi penghitungan Allah kelak.
Tokoh-tokoh negarawan dan guru dunia seperti Mahatma
Gandhi dapat dijadikan rujukan bagi pelaku bisnis. Beliau dicatat sebagai
pembela demokrasi yang tangguh dan kepribadiannya sangat menghargai semua orang terutama orang-orang kecil dan rakyat jelata. Walaupun
kedudukannya sebagai
pemimpin yang berkuasa, beliau rela di koreksi, dan tekun mengoreksi dirinya sendiri. Berpenampilan sederhana,
dan gemar memakai produk dalam negeri. Perilaku pemimpin yang demikian,
diikuti rakyat dan dengan demikian
negerinya menjadi rnakmur dan masyarakatnya sejahtera. Banyak sekali pemimpin
agama yang pantas ditiru, karena nilai-nilai kepemimpinan dan
keteladannya antara lain adalah Imam Al Ghazali, Bunda Theresia dan Budha Gautama. Tokoh-tokoh dan pelaku bisnis yang
juga dapat diikuti jejaknya antara lain: William Soerdjaja, Mochtar Riady, dan
Boenyamin Setiawan dan sejumlah pelaku
bisnis bermoral lainnya. Mereka adalah pebisnis handal yang visioner dan telah mengemban amanah kemanusiaan, sehingga
dalam aktivitas bisnisnya tidak mengeksploitasi manusia. Pebisnis besar yang dapat diteladani di negara kita masih
terbilang langka jumlahnya, namun
pelaku-pelaku bisnis kecil yang bermoral relatif menggembirakan. Kata orang di luar negeri pelaku bisnis kelas
kakap yang beretika masih relatif
banyak dibandingkan dengan negara kita, baik sebagai pemilik maupun manajer atau chief executive
organizer-nya. Kita mengenal nama Chris Miller CEO Anglian Water (Inggris),
Konosuke Matsushita, Soichiro Honda
(Jepang), Anita Rhodick, Warren Buffet, Azim Premji dan lain-lainnya. Dibandingkan dengan jumlah
usaha swasta dan pelaku bisnis dunia, jumlah perusahaan dan pelaku bisnis yang
bermoral masih jauh dari yang diharapkan.
Ini adalah tantangan yang menghendaki perhatian kita semua. Mari kita mulai dari perusahaan kita untuk
mewujudkan etika dan kemudian mengajak yang lainnya.
Tantangan yang paling mendasar dalam upaya menciptakan
pelaku usaha beretika adalah bagaimana mensosialisasi nilai-nilai etika bisnis
itu dan
menjadikannya sebagai acuan dalam setiap perilaku pebisnis kita. Nilai-nlai positif
yang terkandung dalam etika sepantasnya menjadi panutan dari pemimpin
organisasi bisnis dalam berbagai skala dan dimanapun mereka berada.
Terkesan banyak pelaku usaha yang masih keberatan dengan penyelenggaraan etika dalam usaha
bisnisnya. Padahal dalam banyak hasil penelitian
etika, jarang sekali ditemukan pebisnis yang mempraktikkan nilai etika gagal dalam bisnisnya. Malah sebaliknya praktik
etika yang baik dalam setiap kegiatan bisnis akan mendukung keberhasilan usaha,
baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Keberadaan nilai dalam etika bisnis adalah penting,
krusial dan strategis. Hal ini bermakna bahwa penyelenggaraan etika bisnis
tidak bisa terlepas dari kemampuan menerima dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut
dalam setiap kegiatan bisnisnya. Nilai adalah sesuatu yang benar, yang baik dan
yang indah. Keberadaan nilai dalam banyak hal dapat mempersatukan orang-orang yang
terlibat dalam suatu bisnis dan menyelesaikan konflik nilai yang terjadi, sehingga dengan
demikian penganutan nilai oleh pelaku bisnis itu
akan memudahkan pencapaian tujuan organisasinya.
Organisasi bisnis adalah organisasi yang mengemban multi
tanggung jawab. Selain
tanggungjawab dalam menciptakan keuntungan dan nilai bagi pemegang saham, tanggung jawab terhadap karyawan,
pelanggan dan mitra kerja, organisasi bisnis juga mengemban tanggung jawab
sosial yang Iebih besar. Organisasi
bisnis merupakan bahagian dari organisasi yang Iebih besar dan secara kolektif berarti masyarakat.
Karenanya usaha bisnis selain memiliki
tanggung jawab dalam kinerja ekonomi, juga dituntut untuk bertanggung jawab sosial. Ahli ekonomi Milton
Friedman hanya mengagungkan kinerja ekonomi sebagai tanggung jawab
perusahaan. Sebuah perusahaan yang tidak
menghasilkan laba sekurang-kurangnya sama dengan biaya modalnya adalah
perusahaan yang tidak berkinerja ekonomi. Perusahaan yang tidak mampu meraih kinerja ekonomi dengan baik tidak dapat dikatakan secara sosial memenuhi tanggung
jawabnya. Perusahaan ini dianggap
membuang-buang sumber daya masyarakat. Tanpa kinerja ekonomi, sebuah
perusahaan tak akan dapat menunaikan tanggungjawab apapun. Dia tak akan dapat menjadi majikan yang baik, tetangga
yang baik dan warga negara yang baik. Pakar manajemen Peter F. Drucker juga
menanggapi pandangan Friedman
tersebut dan menyatakan bahwa kinerja ekonomi bukanlah satu-satunya
tanggung jawab sebuah perusahaan. Seperti halnya kinerja pendidikan juga bukan
satu-satunya tanggungjawab sebuah sekolah atau
universitas, demikian juga kinerja perawatan kesehatan bukanlah satu-satunya
tanggung jawab sebuah rumah sakit. Sebuah organisasi mempunyai tanggung jawab penuh atas dampaknya terhadap
masyarakat lingkungan dan masyarakat luas. Tanggung jawab organisasi
yang sesungguhnya adalah mendapatkan suatu
pendekatan ke masalah-masalah sosiat yang sesuai dengan kompetensinya
dan dapat menjadikan masalah-masalah sosial sebagai suatu kesempatan bagi organisasi.
Tanggung jawab sosial adalah bahagian dari sebuah etika
bisnis suatu organisasi
berorientasi keuntungan (profit oriented). Penyelenggaraan tanggung jawab sosial dalam konteks etika harus
mengacu kepada nilai-nilai moral.
Nilai-nilai etika bisnis itu dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara
lain dari ajaran filsafat, pengalaman budaya, hukum dan aturan yang berlaku dan
ajaran-ajaran agama. Tanpa mengadopsi nilai etika bisnis, kemungkinan besar dunia bisnis akan dilanda musibah
dahsyat. Dalam makna bahwa
kehadirannya dapat saling menghancurkan semuanya dan jauh dari hakikat tujuan hidup manusia di dunia secara
universal. Dalam dunia bisnis Indonesia kini banyak didapati pelanggaran etika,
penyimpangan nilai-nilai etika sudah
semakin kentara dan tanpa penanganan yang serius akan berdampak negatif terhadap situasi persaingan, iklim bisnis, dan jalannya aktivitas perekonomian bangsa. Beberapa
perilaku menyimpang yang melanda
dunia bisnis Indonesia saat ini antara lain: sikap menghalalkan semua cara untuk mendapatkan pendapatan dan
keuntungan; berbisnis dengan pola kekerasan sudah menjadi suatu tradisi;
kolusi, kedekatan dan nepotisme (KKN) menjadi
salah satu pendekatan dalam praktik bisnis; penipuan dianggap trik-trik
usaha dan biasa-biasa saja; semakin banyaknya pebisnis
bertopeng etika; tren saling membongkar rahasia dan hal-hal privasi menjadi
lumrah; serta maraknya pelanggaran hak cipta dan intelektual.
Karenanya kepada semua pihak yang berkompetensi
diharapkan dapat mengambil bagian sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya
masing-masing dalam memasyarakatkan etika bisnis. Penulis berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama etika bisnis
menjadi suatu gerakan dan rujukan yang menyentuh dan dibutuhkan berbagai
lapisan masyarakat.
1.2 Pengertian
Etika
Secara etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani
yang dalam bentuk tunggal yaitu ethos dan dalam bentuk jamaknya
yaitu ta etha. "Ethos" yang berarti sikap, cara
berpikir, watak kesusilaan atau adat. Kata ini identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata latin
"mos" yang dalam bentuk
jamaknya Mores yang berarti juga adat atau cara hidup. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos,
moris, manner mores atau manners, morals. Dalam
bahasa Indonesia kata moral berarti
akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib
hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Etika dan
Moral memiliki arti yang sama, namun dalam pemakaian sehari-harinya ada sedikit
perbedaan. Moral biasanya dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai/dikaji (dengan kata lain perbuatan
itu dilihat dari dalam diri orang itu sendiri), artinya moral disini merupakan subjek, sedangkan etika dipakai
untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada dalam kelompok atau masyarakat
tertentu (merupakan aktivitas atau hasil pengkajian).
Menurut Larkin (2000) "Ethics is concerned with
moral obligation, responsibility, and social justice" Hal ini berarti
bahwa etika sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban
moral, tanggung jawab,
dan keadilan sosial. Etika yang dimiliki individu ini secara lebih luas mencerminkan karakter organisasi/perusahaan, yang
merupakan kumpulan individu-individu. Etika menjelaskan standar dan
norma perilaku baik dan buruk yang kemudian
diimplementasikan oleh masing-masing karyawan dalam organisasi (Fatt,
1995) dan (Louwers, 1997). Perusahaan pada dasarnya merupakan sekumpulan individu, sehingga etika yang dianut oleh individu
tersebut pada akhirnya akan tercermin dalam standar dan norma perilaku yang kemudian
diimplementasikan oleh masing-masing karyawan dalam
pekerjaan sehari-hari.
Etika menurut Gray (1994) merupakan nilai-nilai tingkah
laku atau aturan-aturan tingkah laku yang diterima oleh suatu golongan tertentu
atau individu. Penulis
lainnya Magnis Suseno (1989) dan Sony Keraf (1991) menyatakan bahwa untuk
memahami etika perlu dibedakan dengan moralitas. Moralitas
adalah suatu sistem nilai tertang
bagaimana seseorang harus berperilaku
sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia aturan atau
petunjuk konkret tentang bagaimana harus
hidup, bagaimana harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan
bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik. Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan
norma moral yang menentukan perilaku
manusia dalam hidupnya.
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia istilah etika diartikan sebagai:
1.
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral.
2.
Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3.
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu
golongan atau masyarakat.
Etika merupakan
cabang dari filsafat etika mencari ukuran baik buruknya bagi tingkah
laku manusia. Etika hendak mencari,
tindakan manusia yang
manakah yang baik. Etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia dan
masyarakat seperti: antropologi,
psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum. Perbedaannya
terletak pada aspek keharusan (ought). Perbedaannya dengan teologi moral, karena tidak bersandarkan pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi hanya terbatas pada pengetahuan yang
dihasilkan dari tenaga manusianya
sendiri. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi
etika. Etika (Ethics) yang dalam bahasa Yunani adalah ethos berarti adat kebiasaan, adat istiadat dan akhlak yang baik
dan banyak ahli filsafat menyebutnya dengan istilah moralitas. Dengan kata
lain "ethos" yang berarti karakter, watak kesusilaan atau
adat. Etika berkaitan dengan konsep yang
dimiliki oleh individu atau kelompok untuk menilai apakah tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar,
buruk atau baik (Adams, 1995 dan Asgary, 2002).
Memasukkan kata adat atau kebiasaan yang baik dalam memberikan batasan
Etika berarti mempertimbangkan dan merujuk kepada nilai ajaran filsafat. .Pada tataran berikutnya
pemahaman Etika dikaitkan dengan faktor waktu
dan ruang, sehingga dengan demikian akan memperkaya pemahaman-nya. Dalam makna filsafat, Etika termasuk dalam kategori filsafat moral. Istilah etika kadang digandengkan dengan moral yang di namakan dengan etika moral. Etika moral terwujud dalam bentuk
kehendak manusia berdasarkan
kesadaran dan kesadaran itu adalah suara hati.
Jadi secara etimologis, etika adalah ajaran atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan dengan
kebiasaan baik atau buruk, yang diterima umurn
mengenai sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Pada hakikatnya
moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh sesuatu komunitas, sementara etika umumnya lebih
dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang
dikembangkan di pelbagai wacana etika, atau dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu profesi. Belakangan ini
istilah etika mulai digunakan secara
bergantian dengan filsafat moral karena dalam banyak hal filsafat moral
mengkaji pula prinsip-prinsip etika. Etika, kadang-kadang didefinisikan sebagai ilmu perilaku, walaupun masih
dipertanyakan apakah etika dapat dipandang sebagai ilmu. Johnson (1989)
menjelaskan etika sebagai berikut:
"Ethics is a science in the sense that its study
represents an intellectual enterprise, a rational inquiry into its
subject matter in the hope of gaining knowledge. As such ethics can be contrasted with art or religion or technology, whose purposes are not
the same. Although ethics differ from
the various empirical sciences both in its subject matter and its special methodology, it shares
with them a general methodology,
rational inquiry and an overall goal the attainment of truth. These relationships between ethics and
science have led philosophers to speaks of ethics as a normative
science, because it concerns itself with
norm and standards, in contrast to the descriptive sciences, which concerns themselves which describing
empirical facts ".
Dapat disimpulkan bahwa etika adalah merupakan suatu
cabang ilmu filsafat, tujuannya adalah mempelajari perilaku, baik moral maupun immoral, dengan
tujuan membuat pertimbangan yang cukup beralasan dan akhirnya sampai
pada rekomendasi yang memadai yang tentunya dapat diterima oleh suatu golongan tertentu
atau individu. Menurut Wiley (1995 dalam Mauro et al., 1999) "Ethics is
concerned with moral obligation, responsibility,
and social justice" Hal ini
berarti bahwa etika berpengaruh terhadap kewajiban moral, tanggung jawab, dan
keadilan sosial. Etika secara lebih kontemporer mencerminkan karakter
perusahaan, yang merupakan kumpulan
individu-individu. Etika menjelaskan standar dan norma perilaku tanggungjawab masyarakat, kemudian di internalkan
kepada masing-masing karyawan dalam
organisasi (Daft, 1992).
Menurut Magnis Suseno (1989) dan Sony Keraf (1991) bahwa untuk memahami
etika perlu dibedakan dengan moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai
tentang bagaimana seseorang harus berperilaku sebagai manusia. Sistem nilai
ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia aturan atau
petunjuk konkret tentang bagaimana harus hidup, bagaimana harus
bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.
Sedangkan etika berbicara mengenai
nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
Antonius Alijoyo (2004) menerangkan perusahaan perlu menerapkan
nilai-nilai etika berusaha, karena dengan adanya praktik etika berusaha dan
kejujuran dalam berusaha dapat menciptakan aset yang langsung atau tidak langsung dapat
meningkatkan nilai perusahaan. Etika bisnis tidak akan dilanggar jika
terdapat aturan dan sangsi. Kalau perilaku yang salah tetap dibiarkan, lama
kelamaan akan menjadi kebiasaan. Sehingga perlu ada sanksi bagi
yang melanggar untuk memberi pelajaran
kepada yang bersang-kutan.
Moral dan etika mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi
orientasi
bagaimana dan ke mana harus melangkah dalam hidup ini, namun terdapat sedikit perbedaan bahwa
moralitas langsung menunjukkan inilah caranya
untuk melangkah sedangkan etika justru mempersoalkan apakah harus melangkah dengan cara ini? Dan mengapa harus
dengan cara itu. Dengan kata lain moralitas adalah suatu pranata, sedangkan
etika adalah sikap kritis setiap
pribadi atau kelompok masyarakat dalam merealisasikan moralitas. Pada akhirnya
etika memang menghimbau orang untuk bertindak sesuai dengan moralitas. Etika
berusaha membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Pelaku usaha dapat memperoleh ilmu etika melalui teori
etika, selain pengalaman dan informasi moral yang diterima dari berbagai
sumber. Dalam teori
etika terungkap etika deontologi, etika teleologi, etika hak dan etika Keutamaan.
1)
Etika Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berkewajiban" atau sesuai dengan prosedur dan logos yang
berarti ilmu atau teori. Menurut teori ini
beberapa prinsip moral itu bersifat mengikat betapapun akibatnya. Etika ini menekankankan kewajiban manusia untuk
bertindak secara baik. Suatu tindakan
itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan
berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai
baik pada dirinya sendiri. Atau dengan kata lain tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan
kewajiban yang memang harus dilaksanakan
terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Teori ini menekankan
kewajiban sebagai tolak ukur bagi penilaian baik atau buruknya perbuatan manusia, dengan mengabaikan
dorongan lain seperti rasa cinta atau belas kasihan. Terdapat tiga
kemungkinan seseorang memenuhi kewajibannya
yaitu: karena nama baik, karena dorongan tulus dari hati nurani, serta memenuhi kewajibannya. Deontologist
menetapkan aturan, prinsip dan hak berdasarkan pada agama, tradisi, atau adat
istiadat yang berlaku. Yang menjadi tantangan dalam penerapan deontological di
sini adalah menentukan yang mana
tugas, kewajiban, hak, prinsip yang didahulukan. Sehingga banyak filosof yang menyarankan bahwa tidak semua prinsip
deontological harus
diterapkan secara absolut. Teori ini memang berpijak pada norma-norma
moral konkret yang harus ditaati, namun belum tentu mengikat untuk kondisi yang bersifat khusus. Contohnya, seseorang boleh saja merampok kalau hasil rampokannya dipakai
untuk memberi makan orang yang
terkena musibah.
2)
Etika Teleologi
Istilah teleologi berasal dari kata Yunani telos yang
berarti tujuan, sasaran atau hasii dan logos yang berarti ilmu atau
teori. Etika ini mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan konsekuensi yang
ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu
tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau
konsekuensi yang ditimbulkannya baik dan berguna. Bila kita akan
memutuskan apa yang benar, kita tidak hanya melihat konsekuensi keputusan
tersebut dari sudut pandang kepentingan kita sendiri. Tantangan yang sering dihadapi dalam penggunaan teori ini
adalah bila kita bisa kesulitan
dalam mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam mengevaluasi semua kemungkinan konsekuensi dari
keputusan yang diambil.
3)
Etika Hak
Etika Hak memberi, bekal kepada pebisnis untuk
mengevaluasi apakah tindakan, perbuatan dan kebijakan bisnisnya telah
tergolong baik atau buruk dengan menggunakan kaidah hak seseorang. Hak
seseorang sebagai manusia tidak dapat dikorbankan oleh orang lain apa
statusnya.
Hak manusia adalah hak yang dianggap melekat pada setiap
manusia,
sebab berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Etika hak kadangkala dinamakan
"hak manusia" sebab manusia berdasarkan etika hams dinilai menurut martabatnya. Etika hak
mempunyai sifat dasar dan asasi (human rights), sehingga etika
hak tersebut merupakan hak yang; (1) Tidak
dapat dicabut atau direbut karena sudah ada sejak manusia itu ada; (2) Tidak tergantung dari persetujuan orang; (3)
Merupakan bagian dari eksistensi
manusia di dunia.
4)
Etika Keutmaann
Etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak mendasarkan penilaian
moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal seperti kedua
teori sebelumnya. Etika ini lebih mengutamakan pembangunan karakter moral
pada diri setiap orang. Nilai moral bukan muncul dalam bentuk adanya aturan berupa larangan
atau perintah, namun dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktikkan oleh
tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Di
dalam etika karakter lebih banyak dibentuk oleh komunitasnya. Pendekatan ini
terutama berguna dalam menentukan etika individu yang bekerja dalam sebuah komunitas profesional yang telah mengembangkan
norma dan standar yang cukup baik. Keuntungan teori ini bahwa para pengambil keputusan dapat dengan mudah
mencocokkan dengan standar etika
komunitas tertentu untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah tanpa ia harus menentukan kriteria terlebih dahulu
(dengan asumsi telah ada kode
perilaku).
Indikator
Etika (Ethics) merupakan kemampuan individu untuk memutuskan hal-hal yang berhubungan dengan issue etika dan moral, baik dan buruk, salah dan benar (Forsyth, 1980;
Kohlberg, 1981; Velasques, 2005):
1.
Karena untuk menghindari hukuman;
2.
Melakukan hal yang baik jika mendapat imbalan;
3.
Sesuai dengan pendapatteman;
4.
Mentaati
hukum dan Peraturan;
5.
Memenuhi
kontrak sosial; dan
6.
Kesadaran individu, memenuhi tuntutan moral dan menerapkan
dengan konsisten
1.3 Etika,Etiket,
Moral, Hukum, dan Agama
1.3.1 Persamaan dan Perbedaan Etika dan Etiket
1.3.1.1
Persamaan Etika dan Etiket
Seringkali dua istilah tersebut disamakan artinya, padahal terdapat
perbedaan yang sangat mendasar antara keduanya. Dari asal katanya saja berbeda, yakni Ethics dan
Ethiquetle. Etika berarti moral sedangkan Etiket berarti sopan santun.
Pengertian etika berbeda dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette yang
berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama
manusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral
dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama. Namun meskipun
berbeda, ada persamaan antara keduanya,
yaitu:
1.
Keduanya
menyangkut objek yang sama yaitu perilaku manusia;
2.
Etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara
normatif, artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian
menyatakan apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
1.3.1.2 Perbedaan
Etika dan Etiket
Setelah kita ketahui persamaan etika dan etiket, maka dapat kita bedakan etika dan
etiket sebagai berikut:
1.
Etiket menyangkut cara suatu melakukan perbuatan harus
dilakukan manusia. Diantara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkancara yang
tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan
tertentu.
2.
Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu
perbuatan. Etika menyangkut
pilihan yaitu apakah perbuatan boleh dilakukan atau tidak.
3.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan pada suatu kelompok
tertentu. Bila tidak ada saksi mata , maka etiket tidak berlaku.
4.
Etika selalu berhku dimana saja dan kapan saja, meskipun
tidak ada saksi mata, tidak tergantung pada ada dan tidaknya seseorang.
5.
Etiket bersifat relatif artinya yang dianggap tidak sopan
dalam suatu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
6.
Etika bersifat absolut. Prinsip-prinsipnya tidak dapat
ditawar lagi, dan harus dilakukan.
7.
Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja.
8.
Etika
menyangkut manusia dari segi rohaniahnya. Orang yang bersikap etis adalah rang yang sungguh-sungguh baik, dimana nilai
moralnya sudah terinternalisasi dalam hati
nuraninya.
1.3.2 Etika dan Hukum
1.3.2.1 Hubungan Etika dengan Hukum
Cara paling mudah untuk menggambarkan hubungan antara etika dan hukum adalah dengan
diagram Venn, seperti pada Gambar 1.1 sebagai berikut (Trevino &
Nelson, 1995):
Gambar 1.1 Diagram Ven "Hubungan
Etika dengan Hukum
Hukum adalah refleksi minimum norma sosial dan standar dari sifat bisnis. Secara
umum, kebanyakan orang percaya bahwa sifat mematuhi hukum adalah
juga sifat yang beretika. Tapi banyak standar sifat di dalam sosial yang tidak
tertuliskan dalam hukum. Contohnya saja dalam konflik kepentingan mungkin tidak ilegal,
tapi secara umum dapat menjadi tidak beretika
dalam kehidupan sosial.
1.3.2.2
Perbedaan Etika dan Hukum
Perbedaan etika
dengan hukum dapat diuraikan sebagai berikut:
(1)
Hukum pada dasarnya tidak hanya mencakup ketentuan yang
dirumuskan secara tertulis, tapi juga nilai-nilai konvensi yang telah menjadi norma di
masyarakat.
(2)
Etika
mencakup lebih banyak ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis.
(3)
Pada umumnya kebanyakan orang percaya bahwa dengan
perilaku yang patuh
terhadap hukum adalah juga merupakan perilaku yang etis.
(4)
Banyak sekali standar perilaku yang sudah disepakati oleh
masyarakat yang tidak tercakup dalam hukum, sehingga terdapat bagian etika yang tercakup
dalam hukum, namun sebagian juga belum tercakup di dalam hukum, seperti
contoh kasus di dalam masyarakat yang dianggap melanggar etika tetapi dalam hukum itu
tidak melanggar, sepanjang tidak ada aturan yang tertulis bahwa tindakan
tersebut adalah melanggar hukum.
(5)
Norma hukum cepat ketinggalan zaman, hingga bisa
menyebabkan celah hukum.
1.3.3 Perbedaan
Moral dan Hukum
Sebenarnya
antara keduanya terdapat hubungan yang cukup erat. Moralitas adalah keyakinan dan sikap batin, bukan hanya
sekedar penyesuaian atau asal taat
terhadap aturan. Karena antara satu dengan yang lain saling mempe-ngaruhi dan
saling membutuhkan. Kualitas penegakan hukum sebagian besar ditentukan
oleh mutu moralitasnya. Karena itu hukum harus dinilai/diukur dengan norma moral. Undang-undang moral tidak
dapat diganti apabila dalam suatu
masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Sebaliknya moral pun membutuhkan hukum, moral akan
mengambang saja apabila tidak
dikukuhkan, diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan
dampak sosial moralitas. Walaupun
begitu tetap saja antara Moral dan Hukum harus dibedakan. Perbedaan tersebut antara lain:
(1)
Hukum bersifat obyektif karena hukum dituliskan dan
disusun dalam kitab undang-undang. Maka hukum lebih memiliki kepastian yang lebih besar.
(2)
Moral bersifat subyektif dan akibatnya seringkali
diganggu oleh pertanyaan atau diskusi yang mengigingkan kejelasan tentang
etis dan tidaknya.
(3)
Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah
faktual.
(4)
Moralitas menyangkut perilaku batin seseorang.
(5)
Pelanggaran terhadap hukum mengakibatkan si pelaku
dikenakan sanksi yang jelas dan tegas.
(6)
Pelanggaran moral biasanya mengakibatkan hati nuraninya
akan merasa tidak tenang.
(7)
Sanksi
hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat.
(8)
Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh
masyarakat.
1.3.4
Etika dan Agama
Etika mendukung keberadaan Agama, dimana etika sanggup membantu manusia dalam
menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Pada dasarnya agama
memberikan ajaran moral untuk menjadi pegangan bagi perilaku para
penganutnya. Menurut Kanter (2001) tidak mungkin orang dapat
sungguh-sungguh hidup bermoral tanpa agama, karena (1) moralitas pada hakikatnya
bersangkut paut dengan bagaimana manusia menjadi baik, jalan terbaiknya adalah kita
mengikuti perintah dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan
kita (2) agama merupakan salah satu pranata
kehidupan manusia yang paling lama bertahan sejak dulu kala, sehingga moralitas dalam masyarakat erat terjalin
dengan kehidupan ber-agama (3) agama
menjadi penjamin yang kuat bagi hidup bermoral. Perbedaan antara etika dan ajaran moral agama yakni etika mendasarkan
diri pada argumentasi rasional. Sedangkan Agama menuntut seseorang untuk
mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dan ajaran agama.
1.3.5 Etika dan Moral
Etika Iebih condong ke arah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu
etika lebih sering dikenal sebagai kode etik. Moral berasal dari kata bahasa
latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim;
mos, moris,
manner mores atau manners, morals (BP-7, 1993: Poespoprodjo, 1986). Dalam
bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib
batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin
dalam hidup. Moralitas adalah sifat moral
atau keseluruhan asas dan atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk, atau dengan kata lain moralitas merupakan
pedoman/standar yang dimiliki oleh individu atau kelompok mengenai benar atau
salah dan baik atau buruk.
Velasques (2005) menyebutkan lima ciri yang berguna untuk menentukan hakikat
standar moral, yaitu:
(1) Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap
akan merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
(2)
Standar moral moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan
dewan otoritatif tertentu, standar moral tidak dibuat oleh kekuasaan, validitas
standar
moral terletak pada kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung atau
membenarkannya, jadi sejauh nalarnya mencukupi maka standarnya tetap sah.
(3)
Standar
moral harus lebih diutamakan daripada nilai yang lain, khusus-nya kepentingan pribadi.
(4)
Standar
moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
(5)
Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan
kosa kata tertentu, seperti jika kita bertindak bertentangan dengan standar moral,
normalnya
kita akan merasa bersalah, malu atau menyesal.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the
discipline which can act as the performance index or reference for
our control system". Dengan demikian, etika akan memberikan semacam
batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok
sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan
dalam bentuk aturan (code) tertulis yang
secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa
difungsikan sebagai alat untuk
menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang
dari kode etik. Dengan demikian etika
adalah refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena
segala sesuatunya dibuat dan
diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok
sosial (profesi) itu sendiri. Jadi etika lebih berkaitan dengan kepatuhan,
sementara moral lebih berkaitan dengan tindak kejahatan.
1.4 Pengertian
Bisnis
Bisnis adalah kegiatan manusia dalam mengorganisasikan
sumberdaya untuk menghasilkan dan mcndistribusikan barang dan jasa guna
memenuhi kebu-tuhan dan keinginan masyarakat. Bisnis adalah membuktikan apa yang dijanjikan (promise)
dengan yang diberikan (deliver). Bisnis adalah kegiatan diantara
manusia untuk mendatangkan keuntungan. Dalam bisnis terdapat persaingan dengan aturan yang berbeda
dengan norma-norma yang berada dalam masyarakat. Pengertian bisnis dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah:
a. Kegiatan dengan
mengarahkan tenaga, pikiran,
atau badan untuk
mencapai sesuatu maksud.
mencapai sesuatu maksud.
b. Kegiatan di bidang perdagangan/perbisnisan.
Bisnis dapat pula diartikan berdasarkan konteks organisasi
atau perusahaan, yaitu: usaha yang
dilakukan organisasi atau perusahaan dengan menyediakan produk barang atau jasa
dengan tujuan memperoieh nilai lebih (value added). Karena
organisasi (perusahaan) yang menyediakan produk barang atau jasa tentu dengan tujuan memperoleh laba, tentu saja
prospek mendapatkan laba, selalu memperhitungkan perbedaan penerimaan
bisnis dengan biaya yang dikeluarkan. Maka
laba di sini merupakan pemicu (driver)
bagi pebisnis untuk memulai dan
mengembangkan bisnis. Bagai-manapun juga pebisnis mendapatkan laba dari risiko
yang diambil ketika mengivestasikan sumber daya (modal, keahlian/skill,
dan waktu) mereka.
Dalam sistem kapitalis bisnis dijalankan
untuk mendapatkan laba bagi pemilik yang juga bebas untuk menjalankannya. Namun
konsumen juga memiliki kebebasan untuk memilih. Dalam memilih cara mengejar laba, bisnis harus memperhitungkan apa yang
diinginkan dan dibutuhkan konsumen. Terlepas dari seberapa efisien bisnis itu
dijalankan.
1.5 Pengertian Etika Bisnis
Istilah etika bisnis (Business Ethics), jauh lebih
muda dari etika itu sendiri. Etika bisnis sudah mulai muncul sejak tahun
1960an. Pada saat itu ditandai dengan
perubahan-perubahan sudut pandang dalam perilaku komunitas di Amerika Serikat dan juga menghadapi dunia bisnis.
Setelah perang dunia kedua berakhir, perang dingin dengan Uni Sovyet masih
tetap berlanjut, Amerika saat itu melibatkan diri dalam perang Vietnam, yang
mendorong para oposisi untuk
mengeluarkan isu-isu kebijakan publik dan pergerakan-pergerakan hak-hak
rakyat sipil mencuat di tengah-tengah masyarakat.
Ekonomi Amerika kala itu bertumbuh cepat dan niendorninasi pertumbuhan ekonomi dunia, Amerika merajai bisnis
dunia, perusahaan-perusahaannya
beroperasi di banyak negara. Pelaku-pelaku bisnis yang memiliki harta yang cukup banyak memasuki
panggung politik dan berhasil, dan sebagian pengusaha lainnya menjadi penguasa
pemerintahan kala itu. Bisnis-bisnis besar telah menggeser posisi bisnis-bisnis
kecil dan menengah. Di sektor
industri tercatat perkembangan yang cukup tajam dengan meng- hasilkan banyak inovasi baru yang spektakuler.
Tidak semua inovasi dan teknologi
yang ditemukan itu berdampak positif bagi kehidupan manusia dan malah sebagian menjadi penyebab kerusakan
lingkungan yang parah. Sustainability nyaris terabaikan dalam
pemikiran pebisnis saat itu, hingga mereka menuai protes-protes dari berbagai
lapisan masyarakat, terutama pencinta
lingkungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kritikan-kritikan dari politisi pun bermunculan, demikian
juga gerakan-gerakan swadaya
masyarakat yang mengusung kepentingan publik. Desakan-desakan tersebut
akhirnya mendorong perusahaan-perusahaan untuk merumuskan berbagai program tanggung jawab sosial perusahaan
(corporate social responsibility). Tidak jelas apakah
program tersebut lahir dari nurani atau karena
suatu keterpaksaan. Mulai saat itu etika bisnis mulai diteliti dan dibahas oleh berbagai kalangan dan lapisan
masyarakat dengan etika dalih penyelamatan
komunitas dalam jangka panjang dalam suatu tatanan nilai moralitas.
Etika bisnis yang lahir di Amerika Serikat sekitar tahun
1970-an dan menjadi isu
utama yang mengglobal sejak tahun 1990-an, selanjutnya menjadi isu yang ramai di bicarakan oleh berbagai
kalangan masyarakat. Pada awalnya
hanya kalangan ahli agama dan filsafat saja yang fokus dengan etika ini, Itu pun masih pada hal-hal yang bersifat
makro dan universal. Dewasa ini isu
dan topik etika bisnis menjadi hangat dibicarakan mulai dari masyarakat awam, pemerintah, praktisi (manajer,
konsultan dan investor), para
akademisi dari berbagai disiplin ilmu, lembaga swadaya, sampai kepada para politisi. Walaupun dibahas oleh banyak
kalangan dan diamini oleh para pelaku
bisnis, namun etika juga terlihat masih sangat langka diterapkan secara
sepenuh hati. Bagi pemerintah dan negara Amerika sebagai pelopor etika bisnis, mengakui bahwa etika bisnis adalah
sebagai suatu tanggapan tepat atas
krisis moral yang meliputi dunia bisnis mereka. Ironisnya justru Amerika
yang paling gigih menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007. Ketika sebagian
besar negara-negara peserta
mempermasalahkan etika
industri negara-negara maju yang menjadi sumber penyebab global warning, Amerika menolaknya.
(Eldine, Achyar: 2008).
Sebagai cabang dari filsafat etika, maka etika bisnis
tidak lain merupakan penerapan prinsip-prinsip etika dengan pendekatan filsafat
dalam kegiatan dan program bisnis. Karenanya semua teori tentang etika dapat dimanfaatkan
untuk membahas tentang etika bisnis. Aspek yang dominan dari semua
kata etika bisnis
bermuara pada perilaku
bermoral dalam kegiatan bisnis.
Etika
dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan, aktivitas atau perilaku individu bisa dianggap baik atau
tidak. Karenanya etika bisnis sudah
tentu mengacu dan akan berbicara mengenai
masalah baik atau tidak baiknya suatu aktivitas bisnis. Dalam etika bisnis akan diuji peran-peran dan prinsip etika
dalam konteks komersial/bisnis (Rudito
dan Famiola, 2007: 4). Moral selalu berkaitan dengan tindakan manusia yang baik dan yang buruk sesuai
dengan ukuran-ukuran yang diterima
umum dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini ukuran baik dan buruk manusia adalah manusia bukan
sebagai pelaku peran tertentu, dengan menggunakan norma moral, bukan sopan
santun atau norma hukum
(Sumodiningrat dan Agustian, 2008: 58)
Moral itas adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan dimensi nyata
dalam hidup manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa moralitas
dalam menjalan usaha bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos, tiada keteraturan
dan ketenteraman dan pada giliran-nya dunia bisnis menjadi sadis dan
saling mematikan.
Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli
yang telah
dikemukakan, maka peran etika bisnis adalah membahas dan menunjuk alternatif
pemecahan masalah bisnis yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu
kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip,
nilai dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan perangai
(akhlak) para pelaku bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan
menjunjung tinggi partisipan bisnisnya.
Penelitian yang dilakukan Mauro et al. (1999) tentang etika bisnis dan pengambilan
keputusan perusahaan menggunakan definisi etika dan etika bisnis
yang dikembangkan oleh Walton. Menurut Walton (1977 dalam Mauro,1999):
Ethics. A critical analysis of human acts to determine
their tightness or
wrongness in terms of two major: truth and justice Business ethics. A range of criteria whereby human actions are
judge to include such things as societal expectations: fair competition;
the aesthetics or advertising and the used
public relations; the meaning of social responsibilities;
reconciling corporate behavior
at home with
behavior abroad; the extent of consumer sovereignty; the relevance of corporate
size; the handling communications, and the like
Maksudnya, etika merupakan analisis kritis tentang tindakan manusia untuk menentukan
kebenarannya atau kesalahannya dalam kerangka 2 kriteria utama: kebenaran dan
keadilan. Sementara etika bisnis merupakan sekumpulan kriteria di mana tindakan
manusia di nilai berdasarkan harapan masyarakat. Hasil penelitian Mouro (1999)
menemukan bahwa "that personal and business ethics are not
separate entities, that they coexist in the behavior of
managers within the corporation, is supported in the current literature". Maksudnya adalah etika personal dan
etika bisnis merupakan kesatuan yang tidak
terpisahkan dan keberadaannya saling melengkapi dalam mempengaruhi perilaku manajer. Banyak literatur terbaru yang mendukung perayataan dan hasil penelitian Mauro
ini. Bagi mereka yang tidak mempunyai etika dalam berbisnis adalah
mereka yang hanya tergiur dengan keuntungan jangka pendek. Mereka yang
menjadikan keuntungan sebagai satu-satunya
tujuan bisa menyebabkan perusahaan menghalalkan segala macam cara untuk mengejar keuntungannya. Akibatnya merekapun sering mengabaikan nilai-nilai etika bisnis.
Bisnispun dijalankan secara tidak jujur, tidak adil, melanggar
kewajaran, penuh mark-up.
Pada Seminar Manajemen Profetik (Profesional Etik) yang
diseleng-garakan Universitas Paramadina Mulya (1999), Nurcholis Madjid
menyim-pulkan bahwa etika subjektif seseorang akan terefleksikan dalam
aktivitas bisnisnya. Dengan kata lain etika bisnis seseorang merupakan
perpanjangan moda-moda tingkah lakunya atau tindakan-tindakan konstan, yang membentuk keseluruhan citra diri atau
akhlak orang itu. Hal ini didukung dengan
pernyataan Fritzche (1995) yang mengatakan bahwa:
Tampak tidak ada pemisahan antara etika bisnis dengan etika sehari-hari. Dengan kata lain kita berketetapan bahwa
tidak mungkin kita etis dalam
berbisnis dan tidak etis
dalam hal yang lainnya, atau sebaliknya.
Secara sedeerhan etika adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari individu, hal ini tidak dapat berubah pada setiap
kesempatan. Pada tingkat praktis,
ini memunculkan tiga pernyataan dasar. Pertama, orang yang etis harus
menghormati orang lain. Kedua, etika itu dipelajari,
tidak muncul secara langsung dari lahir. Ketiga, akar dari semua hubungan etik
yang sebenarnya adalah kehidupan spiritual dari Islam, Kristen, Budha, Hindu
ataupun yang tidak beragama sekalipun.
Etika bisnis merupakan salah satu bagian dari prinsip etika yang diterapkan dalam dunia bisnis
(Lozano, 1996). Istilah etika bisnis mengan-dung
pengertian bahwa etika bisnis merupakan sebuah rentang aplikasi etika yang khusus mempelajari tindakan yang diambil oleh
bisnis dan pelaku bisnis. Epstein
(1989) menyatakan etika bisnis sebagai sebuah perspektif analisis etika di
dalam bisnis yang menghasilkan sebuah proses dan sebuah kerangka kerja untuk membatasi dan mengevaluasi
tindakan-tindakan individu, organisasi, dan terkadang seluruh masyarakat
sosial. Menurut David (1998), etika
bisnis adalah aturan main prinsip dalam organisasi yang menjadi pedoman membuat
keputusan dan tingkah laku. Etika bisnis adalah etika pelaku bisnis. Pelaku bisnis tersebut bisa saja manajer, karyawan,
konsumen, dan masyarakat.
Etika bisnis
merupakan produk
pendidikan etika masa kecil, namun tetap
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Sebagian besar pakar psikologi berkeyakinan bahwa penanaman awal nilai-nilai
kedisiplinan, moral, etika yang
dilakukan pada masa balita akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsi hati nurani seseorang tatkala
ia mulai beranjak dewasa (Faisal
Afiff, 2003). Lingkungan bisnis dapat merontokkan etika individu dan sebaliknya etika individu dapat mempengaruhi
lingkungan bisnis tergantung mana yang kuat. Terjadinya krisis multi
dimensional beberapa tahun terakhir
menjadikan etika bisnis sebagai sorotan dan perhatian dari masyarakat dan para pengamat. Tuntutan masyarakat akan etika
dan tolok ukur etika meningkat, hal ini disebabkan pula oleh peng-ungkapan dan publikasi, kepedulian publik,
regulasi pemerintah, kesadaran CEO
akan etika dan profesionalisme bisnis meningkat (Hoesada, 1997). Etika bisnis adalah bisnis setiap orang di setiap hari, sehingga etika bisnis termasuk semua manajer dan hubungan bisnis mereka
serta tindakan-tindakan mereka. Etika
bisnis adalah tuntutan harkat etis manusia dan tidak bisa ditunda
sementara untuk membenarkan tindakan dan sikap tidak adil,
tidak jujur dan tidak bermoral.
Sebagai cabang dari filsafat etika, maka etika dalam aktivitas bisnis tidak lain
merupakan penerapan prinsip-prinsip etika dengan pendekatan filsafat dalam kegiatan dan program
bisnis. Karenanya semua teori tentang etika
dapat dimanfaatkan untuk membahas tentang etika dalam aktivitas bisnis. Aspek
yang dominan dari semua kata etika dalam aktivitas bisnis bermuara pada perilaku bermoral.
Etika
dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan, aktivitas atau perilaku
individu bisa dianggap baik atau tidak.
Karenanya etika bisnis sudah tentu mengacu dan akan berbicara mengenai masalah baik atau tidak baiknya suatu
aktivitas bisnis. Dalam etika bisnis
akan diuji peranperan dan prinsip etika dalam konteks komersial/bisnis. Moral selalu berkaitan dengan tindakan
manusia yang baik dan yang buruk
sesuai dengan ukuran-ukuran yang diterima umum dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini ukuran
baik dan buruk manusia adalah manusia
bukan sebagai pelaku peran tertentu, dengan menggunakan norma moral, bukan sopan santun atau norma hukum.
Moral (Moralitas) adalah khas manusia dan karenanya
moralitas merupakan dimensi nyata dalam hidup manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa moralitas
dalam menjalan usaha bisnis maka kehidupan
bisnis menjadi chaos, tiada keteraturan dan ketenteraman dan pada gilirannya dunia bisnis menjadi sadis dan
saling mematikan.
Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli
yang telah
dikemukakan, maka peran etika adalah membahas dan menunjuk alternatif
pemecahan masalah bisnis yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu
kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip,
nilai dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan perangai (akhlak)
para pelaku bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan
menjunjung tinggi partisipan bisnisnya.
Pada dasarnya etika bisnis menyoroti moral perilaku
manusia yang mempunyai profesi di bidang bisnis dan dimiliki secara
global oleh perusahaan secara umum, sedangkan perwujudan dari etika
bisnis yang ada pada masing-masing perusahaan akan terbentuk dan terwujud
sesuai dengan kebudayaan perusahaan yang bersangkutan. Etika bisnis ini akan muncul ketika
masing-masing perusahaan berhubungan dan berinteraksi satu sama lain
sebagai sebuah satuan stakeholder. Tujuan
etika bisnis disini adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis untuk
menjalankan bisnis dengan "baik dan bersih".
Etika bisnis
dapat dibagi ke dalam 2 (dua) pandangan, yaitu:
(1) Normative ethics:
Concerned with supplying and
justifying a coherent moral system of thinking
and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended to
guide behavior, actions, and
decisions.
(2) Descriptive ethics:
Is concerned
with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a
culture, or a society. It also compares and contrasts different moral
codes, systems, practices, beliefs, and values.
Banyak yang mempertanyakan apakah ada bukti bahwa etika
dalam berbisnis secara sistematis berkorelasi dengan keuntungan? Contoh yang paling
sederhana coba kita sajikan disini. Jika bisnis berusaha mengambil keuntungan dari
karyawan, pelanggan, pemasok, dan kreditur melalui perilaku yang
sekarang tidak etis, maka kemungkinan mereka akan menemu-kan cara untuk membalas dendam kepada
kita ketika bertemu lagi. Balas dendam dapat
berbentuk sederhana seperti menolak untuk membeli, menolak untuk bekerja, menolak berbisnis dengan pihak
yang bersangkutan. Secara empiris
sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo,
Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank,
Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa
pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental
compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan,
mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan
investasi. Di tahun 1999, jurnal Business
and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti
melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai
dua-tiga kali dan pada perusahaan lain
yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun
1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat
mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip
etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan iahxmml revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Beberapa pebisnis berpendapat bahwa terdapat hubungan
simbiosis antara etika dan bisnis dimana masalah etik
sering dibicarakan pada bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Dalam hal ini
terdapat versi yang lemah dan versi yang kuat mengenai pendekatan ini. Versi
yang lemah mengatakan bahwa etika yang baik dihasilkan dari bisnis yang baik,
secara sederhana praktik bisnis yang bermoral adalah praktik bisnis yang
menguntungkan. Kebutuhan aspek moral dalam bisnis adalah:
(1) Praktik bisnis
yang bermoral hanya akan memberikan keuntungan ekonomis dalam jangka panjang.
Bagi bisnis yang didesain untuk keuntungan jangka pendek hanya akan
memberikan insentif yang kecil. Dalam kompetisi bisnis di pasar yang
sama, keuntungan jangka pendek merupakan
keputusan yang diambil oleh kebanyakan perusahaan untuk dapat bertahan.
(2)
Beberapa praktik bisnis yang bermoral mungkin tidak
memiliki nilai ekonomis bahkan dalam jangka panjang sekalipun. Sebagai
contoh, bagaimana mengkampanyekan kerugian merokok, sebagai lawan dari promosi rokok
itu sendiri.
(3)
Praktik bisnis yang bermoral akan menghasilkan keuntungan
akan sangat tergantung
pada saat bisnis tersebut dijalankan. Pada pasar yang berbeda, praktik yang sama mungkin tidak memberikan nilai ekonomis. Jadi masalah tumpang tindih antara eksistensi moral
dan keuntungan sifatnya terbatas dan
insidental (situasional)
Versi yang kuat mengenai pendekatan keuntungan mengungkapkan bahwa dalam
pasar yang kompetitif dan bebas, motif keuntungan akan terkait dengan
lingkungan yang sesuai dengan isu moral tersebut. Itulah sebabnya, jika
pelanggan menginginkan produk yang aman, atau para pekerja menginginkan privasi, maka
mereka akan memperolehnya dari bisnis yang
memenuhi kebutuhannya tersebut. Bisnis yang tidak memenuhi harapan tersebut maka mereka tidak akan bertahan.
Sejak adanya pandangan bahwa dorongan
untuk memperoleh keuntungan akan
menciptakan moralitas, versi yang
kuat mengemukakan bahwa bisnis yang baik dihasilkan dalam etika yang baik.
Dalam etika
bisnis, kewajiban moral dalam bisnis dibatasi oleh persyaratan hukum. Aspek yang paling universal dalam moralitas barat
telah digunakan pada sistem legal bangsa kita, yaitu hukum yang
menegaskan mengenai sangsi bagi pembunuhan,
pencurian, penipuan, pelecehan dan perilaku yang membahayakan lainnya.
Terlebih lagi jika masalah etika itu sudah berkaitan dengan nilai budaya,
politik dan agama. Tuntutan masyarakat
internasional terutama berkaitan dengan mutu barang atau jasa yang dijual. Banyak kasus dimana pengusaha sangat
mengabaikan lingkungan, dan masyarakat pun kadangkala miris melihat
pemerintah seolah tidak ada upaya yang tegas terhadap perilaku pengusaha yang
bandel ini. Kasus yang terjadi beberapa
waktu yang lalu yaitu ditolaknya pengiriman kayu kita ke Skotlandia karena
dinyatakan tidak berekolabel, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berbisnis,
tidak hanya memperhatikan keuntungan
saja, namun juga perlu memperhatikan etika dalam pengolahan. Disini kita melihat bahwa etika bisnis menjadi suatu
hal yang sangat mendesak untuk diterapkan, sebab dengan etika pertimbangan mengenai baik atau buruk dapat distandardisasi
secara tepat dan benar. Namun perlu juga dicatat bahwa etika bisnis
tidak akan berfungsi jika praktik-praktik bisnis yang curang dilegalkan. Di
sinilah diperlukan dua perangkat utama yaitu moral dan legal politis.
1.6 Indikator
Etika Bisnis
Kehidupan bisnis modern menurut banyak pengamat cenderung mementing-kan keberhasilan
material. Menempatkan material pada urutan prioritas utama, dapat
mendorong para pelaku bisnis dan masyarakat umum melirik dan menggunakan
paradigma dangkal tentang makna dunia bisnis itu sendiri. Sesungguhnya dunia
bisnis tidak sesadis yang dibayangkan orang dan material bukanlah
harga mati yang harus diupayakan dengan cara apa dan bagaimanapun. Dengan paradigma sempit
dapat berkonotasi bahwa bisnis hanya dipandang sebagai sarana meraih pendapatan
dan keuntungan uang semata, dengan
mengabaikan kepentingan yang lainnya. Organisasi bisnis dan perusahaan dipandang hanya sekedar mesin dan
sarana untuk memaksi-malkan keuntungannya dan dengan demikian bisnis
seuu^u-mata berperan sebagai jalan untuk
menumpuk kekayaan dan bisnis telah menjadi jati diri tidak lebih dari mesin pengganda modal atau
kapitalis.
Untuk itu
diperlukan pemahaman yang ideal tentang bisnis dalam nuansa paradigma baru dan kata ideal itu tentunya mengacu kepada
nilai-nilai filosofis dari bisnis itu sendiri. Paradigma baru dalam bisnis
penuh dengan nilai-nilai positif,
didukung oleh nilai-nilai moralitas yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan
kini dan akan datang. Pertanggungjawaban itu tidak saja bagi sesama manusia selama hidup di dunia, tetapi juga kepada Yang Menciptakan Manusia Allah Azza Wajalla.
Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang baru, bahkan secara moral keuntungan merupakan hal
yang baik dan diterima. Karena pertama, secara
moral keuntungan memungkinkan organisasi/ perusahaan untuk bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua,
tanpa memperoleh keuntungan
tidak ada pemilik modal (investor) yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas
yang produktif dalam memacu
pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat
menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan
dapat dipergunakan sebagai pengembangan
(ekspansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru
(Eldine, 2008).
Nilai-nilai etika yang positif hams menjadi referensi bagi
pelaku usaha dan partisipannya dalam penyelenggaraan bisnisnya. Pelaku bisnis seyogianya
menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis yang digelutinya.
Sementara itu tugas pelaku bisnis adalah berorientasi pada norma-norma dalam
melaksanakan pekerjaan sehari-hari sehingga pekerjaannya tetap berada dalam sebutan
etis dan tidak merugikan siapapun secara moral.
Penerapan dan penyampaian nilai moral dalam etika bisnis
adalah suatu kewaj iban. Dalam arti bahwa pebisnis mengemban misi untuk menyampaikan
informasi moral, baik secara formal maupun informal dalam lingkungan
perusahaannya. Disadari atau tidak, prosesi penyampaian informasi moral
ini sebenarnya telah berlangsung lama di luar kemauan dan hajat suatu
organisasi/perusahaan. Prosesi penyampaian informasi tersebut berasal dari
berbagai sumber dan sebagian perusahaan dan pelaku bisnis telah memperlakukan
atau menyeleggarakannya dengan baik.
Sumber inier'nasi moral adalah orang tua, kerabat,
lingkungan setempat, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, baik dengan lisan
maupun tertulis, yang berintikan ajaran moral. Bentuk-bentuk informasi moral tersebut dapat berupa nasehat (advis),
lagu-lagu, permainan, tarian, pantun,
pepatah, dongeng (mitos) dan sebagainya.
Ditilik dari dimensi waktu, prosesi penyampaian dan
sosialisasi informasi
nilai moral itu ternyata telah berlangsung lama dan terus menerus. Walaupun demikian tidak semua nilai moral yang ada
diterima dan dipraktikkan oleh pengelola organisasi/perusahaan.
Keterbatasan manusia sebagai pelaku bisnis
memiliki nurani dan moral, maka nilai kebajikan dan kebenaran itu akan diterima
dengan tulus, tentu setelah melalui suatu proses yang panjang dan berbagai
upaya melalui berpikir.
Moral agama sangat penting kedudukan dan peranannya
dalam pembentukan perilaku seseorang. Ada pengaruh signifikan antara
pengajaran moral agama
semasa kecil dengan perilaku seseorang tatkala dia dewasa, sehingga berpengaruh pula terhadap tindakan atau
kebijakan bisnis yang dikelolanya. Membentuk atau menanam moral bukanlah
persoalan mudah. Prosesi itu memerlukan pengorbanan waktu, metode yang
tepat dan dilakukan dengan penuh kearifan dan
kesabaran. Untuk keefektifan prosesi pembentukan
moral atau akhlak diperlukan pemahaman watak dan karakter manusianya. Hal ini
merupakan persoalan berat dan membutuhkan perjuang-an panjang. Nabi saja di utus Allah untuk
kepentingan perbaikan akhlak manusia.
Tuhan Pencipta manusia mengutus Nabi Muhammad SAW untuk memperbaiki etika
(bahasa Arab: identik dengan akhlak) manusia (Innama Buistu Liutammima
makarimal Akhlaq).
Implementasi
etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut bidang tugas yang diembannya. Dengan kata lain mengikat
manajer, pimpinan unit kerja dan
kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/
perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara
konsekuen dan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan sempit suatu perusahaan
dianggap sudah melaksanakan etika bisnis bilamana perusahaan yang bersangkutan
telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab sosial itu timbul sebagai akibat adanya eksternalitas yang negatif
dan perusahaan harus membayar biaya
sosialnya (social cost). Dari berbagai pandangan tentang etika bisnis, beberapa indikator yang dapat
dipakai untuk menyatakan apakah
seseorang dan suatu perusahaan telah melaksanakan etika bisnis dalam kegiatan usahanya antara lain adalah:
Indikator ekonomi; indikator peraturan khusus yang berlaku; indikator hukum;
indikator ajaran agama; indikator budaya dan indikator etik dari
masing-masing pelaku bisnis.
1. Indikator Etika bisnis menurut
ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah melakukan pengelolaan
sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan masyarakat lain.
1.
Indikator
etika bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan
indikator ini seseorang pelaku
bisnis dikatakan beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing pelaku bisnis
mematuhi aturan-aturan khusus yang
telah disepakati sebelumnya.
2.
Indikator etika bisnis menurut hukum. Berdasarkan
indikator hokum seseorang atau suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan
etika bisnis apabila seseorang pelaku bisnis
atau suatu perusahaan telah mematuhi segala
norma hukum yang
berlaku dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
3.
Indikator
etika berdasarkan ajaran
agama. Pelaku bisnis
dianggap beretika
bilamana dalam pelaksanaan
bisnisnya senantiasa merujuk kepada nilai- nilai ajaran agama yang
dianutnya.
4.
Indikator etika berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku
bisnis baik
5.
secara individu maupun kelembagaan telah
menyelenggarakan bisnisnya dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat
istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan suatu
bangsa.
6.
Indikator etika bisnis menurut masing-masing individu
adalah apabila masing-masing pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak
mengorbankan integritas pribadinya.
Daftar Pustaka
Ernawan,
Erni. 2011. Business Ethics.
Penerbit: Alfabeta. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar