BAB III
ETIKA
PRODUKSI DAN PEMASARAN
1.1 Pendahuluan
Ketika para pebisnis membicarakan mengenai etika bisnis, maka
maknanya adalah:
(1)
Penghindaran terhadap pelanggaran hukum kriminal dalam
aktivitas kerja
seseorang;
(2)
Tindakan penghindaran terhadap perlawanan
hukum sipil yang dilakukan perusahaan;
(3)
Penghindaran terhadap penciptaan imej buruk perusahaan.
Bisnis biasanya memperhatikan tiga hal tersebut jika sudah mengalami kerugian dan reputasi perusahaan
mulai menurun. Munculnya kasus-kasus yang
melahirkan problematik etika bisnis bisa beragam sifatnya, seperti adanya kepentingan pribadi yang berlawanan dengan
kepentingan orang lain, hadirnya
tekanan persaingan dalam meraih keuntungan yang melahirkan konflik perusahaan dengan pesaingnya, munculnya
pertentangan antara tujuan
perusahaan dengan nilai-nilai pribadi yang melahirkan pertentangan antara
kepentingan atasan dan bawahannya.
Terdapat
3 hal penting yang harus dimiliki oleh perusahaan dalam berbisnis:
(1)
Transparansi
Masyarakat ingin mengetahui tentang operasi perusahaan.
Posisi etis dari perusahaan harus jelas bagi para pembeli agar mereka
dapat menilai. Hal ini biasanya
bisa dilakukan pada perusahaan yang sudah menjadi perusahaan publik.
(2)
Kejujuran
Ketidakjujuran adalah aspek kritis terbesar dalam etika
bisnis. Pemberian label yang salah atau tidak lengkap, harga yang
membingungkan dapat merugikan
konsumen. Kejujuran ini juga meliputi perilaku perusahaan, staf dan personil lainnya yang berkaitan dengannya.
(3)
Kerendahan Hati
Perusahaan harus mencegah untuk menggunakan kekuatan atau
uangnya untuk mengamankan posisinya.
Di Indonesia sendiri hak konsumen dilindungi oleh Undang-Undang
Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999. Pasal 2 UUPK yang menyebutkan bahwa
perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
Sedangkan Hak
konsumen menurut pasal 4 UUPK, adalah sebagai berikut:
(1)
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkon-sumsi barang dan/atau jasa;
(2)
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
(3)
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
(4)
Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang
dan jasa yang dia
gunakan;
(5)
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyel saian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
(6)
Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
(7)
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
(8)
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggam apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
(9)
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;
Namun demikian
konsumen juga mempunyai kewajiban,
sebagai berikut (pasal 5):
(1)
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemak; atau pemanfaatan barang dan /atau jasa demi keamanan dan lamatan.
(2)
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan; jasa;
(3) Membayar dengan nilai tukar yang
disepakati;
(4)
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
Sedangkan
pasal-pasal yang berkaitan dengan pelaku usaha adalah:
a. Pasal 7, Kewajiban Pelaku Usaha
Kewajiban pelaku usaha diantaranya adalah:
(1) Memberikan
informasi yang jelas, benar dan jujur mengenai komdan jaminan
barang dan/atau jasa
serta memberi penjelas penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.
(2) Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
(3) Menjamin mutu
barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/ata diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
(4) Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai perjanjian.
b. Pasal 13, Ayat l:
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang
dan atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang
dan atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya
atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikan-nya.
c. Pasal 14
Pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
(1)
Tidak
melakukan penarikan hadiah
setelah batas waktu
yang dijanjikan;
(2)
Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
(3)
Memberikan
hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
(4)
Mengganti
hadiah yang tidak
setara dengan nilai
hadiah yang dijanjikan;
d. Pasal 18, Ayat
2:
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausa baku yang Ietak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca jelas, atau pengung-kapannya sulit
dimengerti.
Terdapat 3
(tiga) Teori Dasar dalam pendekatan etis dan yuridis yang berkaitan dengan
hubungan antara konsumen dan produsen, yaitu:
(1) Teori Kontrak
Menurut teori ini hubungan antara konsumen dan produsen sebaiknya dilihat sebagai semacam kontrak dan kewajiban produsen
terhadap konsumen yang didasarkan pada kontrak tersebut.
Kewajiban produsen adalah memberikan produk
yang mempunyai kualitas sesuai dengan
yang dijanjikan dalam promosinya, sedangkan kewajiban konsumen adalah membayar sejumlah uang pada perusahaan
untuk produk tersebut dengan prinsip berhati-hati dalam mempunyai
kewajiban dasar untuk mematuhi isi dari perjanjian penjualan dan kewajiban sekunder untuk memahami
sifat produk, menghindari misrepresentasi dan menghindari penggunaan paksaan.
(2) Teori Perhatian Semestinya
Teori ini menekankan bahwa faktor yang sangat
diperbatikan adalah kepentingan konsumen untuk mendapatkan produk yang
berkualitas adalah menjadi tanggung jawab produsen. Norma dasar yang melandasi pandangan
ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya.
(3) Teori BiayaSosial
Teori ini berkaitan dengan inovasi dari desain produk, dalam
hal ini produsen mempunyai tanggungjawab atas semua kekurangan produk dan setiap
kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produknya.
1.2 Etika Produksi
Produksi berarti diciptakannya manfaat, produksi tidak diartikan
sebagai menciptakan
secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan benda. Kegiatan produksi
mempunyai fungsi menciptakan barang
dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada waktu, harga dan jumlah yang tepat.
Dalam proses produksi biasanya perusahaan menekankan agar produk yang dihasilkannya mengeluarkan biaya
yang termurah, melalui peng-kombinasian
penggunaan sumber-sumber daya yang dibutuhkan, tentu saja tanpa mengabaikan proses inovasi serta kreasi.
Secara praktis, ini memerlukan
perubahan dalam cara membangun.
Yakni dari cara produksi konvensional
menjaai cara produksi dengan menggunakan sumber daya alam semakin sedikit, membakar energi semakin rendah,
menggunakan ruang-tempat lebih kecil, membuang
limbah dan sampah lebih sedikit dengan hasil produk
yang setelah dikonsumsi masih bisa didaur ulang.
Pola produksi ini dilaksanakan dalam ruang lingkup dunia
usaha yang merangsang
diterapkannya secara lebih meluas ISO-9000 dan ISO-14000.
ISO-9000 bertujuan untuk peningkatan kualitas produksi. Sedangkan ISO-14000 bertujuan untuk peningkatan
pola produksi berwawasan ling-kungan,
membangun pabrik atau perusahaan hijau (green company) dengan sasaran
"keselamatan kerja, kesehatan, dan lingkungan" yang maksimal dan pola produksi dengan "limbah-nol" (zero
waste), mendorong penjualan dengan
pengepakan barang secara minimal dan bisa dikembalikan untuk didaur-ulang kepada penjual, merangsang perusahaan
asuransi mengem-bangkan "risiko
lingkungan" dan mendorong Bursa Jakarta mengembangkan semacam "Dow Jones Sustainable
Development Index".
Langkah-langkah tersebut memerlukan ditegakkannya kode
etika "tanggung jawab dan akuntabilitas korporasi" (corporate
responsibility and accountability) yang diawasi ketat oleh
asosiasi-asosiasi perusahaan dan masyarakat umum. Kualitas
produk pun bisa dikorbankan demi pemangkasan biaya produksi.
Hukum harus menjadi langkah pencegahan (precautionary
measures) yang ketat bagi perilaku ekonomi. Perilaku ekonomi yang membahayakan keselamatan
publik harus diganjar seberat-beratnya. Ini bukan sekadar labelisasi
"aman" atau "tidak aman" pada barang konsumsi. Karena, itu
amat rentan
terhadap kolusi. Banyak pengusaha rela membayar miliaran rupiah bagi segala
bentuk labelisasi. Seharusnya pengusaha membayar miliaran rupiah atas
perbuatannya yang membahayakan keselamatan publik. Hukum harus menjadi pencegah
dan bukan pemicu perilaku ekonomi tak etis.
Sebagai contoh kasus di luar negeri yang terjadi pada biskuit Arnotts di Australia.
Pada suatu saat perusahaan ditelpon oleh seseorang yang hendak memeras
perusahaan tersebut bahwa salah satu kemasan produknya berisi biskuit yang
beracun tidak diketahui kecuali oleh si pemeras tersebut. Perusahaan
dihadapkan pada dua pilihan yaitu membayar orang yang memeras tersebut
untuk menunjukkan produk mana yang beracun, atau menarik seluruh peredaran
biskuit tersebut.
Namun perusahaan lebih memilih untuk menanggung kerugian yang besar dengan menarik seluruh
produk-produknya dan memusnahkannya. Ternyata
itu menanamkan kepercayaan konsumen kepada perusahaan, walaupun pada
saat itu perusahaan menanggung kerugian yang cukup besar, namun ternyata enam bulan kemudian pendapatan
perusahaan naik tiga kali lipat.
Contoh kasus yang ada di Indonesia terjadi pada kasus Ajinomoto, dimana saat
dinyatakan oleh MUI bahwa produknya tidak halal, Ajinomoto menarik semua
produknya, dan perusahaan pun menanggung banyak kerugian.
Namun dengan mengindahkan himbauan dari MUI dan dengan melakukan
pendekatan dengan para ulama, kinerja keuangan yang semula menurun tajam
lama kelamaan naik. Juga kasus obat anti nyamuk HIT, dimana PT
Megahsari Makmur ketahuan memakai bahan pestisida yang bisa menyebabkan
kanker pada manusia di dalam produk barunya, walau zat tersebut sudah
dilarang penggunaannya sejak tahun 2004 lalu.
Atau produsen makanan terutama untuk makanan anak-anak, mereka
kebanyakan menggunakan pemanis buatan untuk menekan ongkos produksinya, namun dalam
kemasannya mereka tidak mencantumkan batas penggunaan maksimal yang dapat
dikonsumsi, mengingat efek yang ditimbulkannya sangat berbahaya karena
dapat menimbulkan penyakit kanker dan keterbelakangan mental.
Untuk produk kosmetik juga dengan maraknya penggunaan bahan mercury dengan khasiat untuk
memutihkan kulit dalam jangka waktu yang tidak
terlalu lama, namun efek yang ditimbulkannya malah sangat berbahaya.
3.3 Etika Pemasaran
Pemasaran adalah kegiatan menciptakan, mempromosikan dan menyampai-kan
barang atau jasa ke para konsumennya (Philip Kotler, 2003). Pemasaran berupaya
untuk menciotakan nilai yano lebih dari pandangan konsumen atau pelanggan
terhadap suatu produk perusahaan dibandingkan dengan harganya serta
menampilkan nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan produk pesaingnya.
Pemasaran merupakan salah satu fungsi utama dalam
menentukan bisnis perusahaan. Tenaga pemasar merupakan sarana penghubung utama perusahaan dengan
konsumen, atau dengan kata lain tenaga pemasar adalah ujung tombak
bisnis perusahaan, karena merekalah yang memotivasi para konsumen untuk mernbeli produk
perusahaan atau bertransaksi dengan perusahaan.
Pemasaran antara produk dan jasa juga sangat berbeda. Biasanya untuk produk
manufaktur diperbolehkan untuk diiklankan di media baik massa maupun
elektronik.
Sernentara untuk jasa secara etis dan moral tidak diperbolehkan untuk diiklankan atau
diungkapkan secara terbuka kepada khalayak umurn. Apalagi untuk anggota profesi
biasanya sudah ada kode etik tersendiri yang harus
dipatuhi dan dijunjung tinggi, sebagai contohnya Akuntan dan Pengacara.
Era
globalisasi memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pemasaran dan tentunya hal ini menimbulkan
tantangan baru bagi profesi pemasar saat ini, dimana tentunya mereka
dituntut untuk dapat memahami peluang untuk mendapat terobosan baru.
Terdapat beberapa tantangan bagi profesi pemasaran pada
abad 21 ini yaitu:
1)
Tantangan Visi
Dimana tanggungjawab untuk melihat masa depan menjadi
beban yang berat bagi para eksekutif pemasaran, dimana pemasar harus
mempunyai kebe-ranian untuk mendobrak kemapanan dan kreativitas dalam
menentukan strategi pemasaran.
2)
Tantangan pada Power Marketing
Konsep ini merujuk pada konsep memanusiakan pelanggan,
dimana ekspek-tasi pelanggan semaktn tinggi, hal ini menyebabkan perusahaan perlu
meningkatkan kepedulian pada pelanggan melalui langkah-langkah inovasi di segala
bidang.
3)
Tantangan pada Transferable Marketing
Perusahaan menyusun pola pemasaran yang dapat dimanfaatkan
pada beberapa lokasi
dengan derajat universalitas yang ditingkatkan.
4)
Tantangan pada Manajemen Merk
Perusahaan
perlu menumbuhkan adanya iklim kerja yang diwarnai dengan kebanggaan merek mengingat banyaknya jumlah merek
yang beredar di pasaran. Pemasaran di
lmgkungan yang mengglobal pun perlu mengadaptasi dengan budaya di negara
yang bersangkutan, misalnya saja iklan Coca Cola di bulan Suci Ramadhan.
Walaupun produk Coca Cola bukan berasal dari negara
muslim, namun pemasaran produk tersebut disesuaikan dengan negara yang menjadi sasarannya.
Dunia usaha sekarang ini menghadapi lingkungan yang
dinamis dan bergejolak, dimana biasanya para konsumen menuntut untuk
mendapatkan produk/jasa dengan kualitas yang tinggi, namun dengan biaya yang
rendah. Karena bagi perusahaan konsumen adalah raja. Pada penelitian yang
dilaku-kan oleh Elizabeth H. Greyer and William T. Ross Jr. ditemukan bahwa ada
beberapa
faktor yang mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan untuk membeli:
(1)
Keetisan dari perilaku perusahaan adalah pertimbangan
yang penting selama pengambilan keputusan untuk membeli barang.
(2)
Diharapkan suatu perilaku perusahaan yang etis.
(3)
Mereka akan memberi hadiah perilaku etis dalam bentuk
harga yang
lebih tinggi bagi produk perusahaan tersebut.
lebih tinggi bagi produk perusahaan tersebut.
(4)
Meskipun mereka mungkin membeli dari perusahaan yang
tidak etis, mereka ingin untuk membayar dengan harga yang lebih rendah bagi perusahaan yang
berlaku tidak etis.
Terdapat 3 (tiga) tanggungjawab moral perusahaan dalam
memasarkan produknya yaitu:
(1)
Kualitas produk, tentu saja perusahaan wajib menyediakan
produk sesuai dengan
yang dijanjikannya baik melalui kontrak ataupun melalui iklan yang ditawarkannya.
(2)
Harga, perusahaan menetapkan harga dengan selayaknya,
sesuai dengan kualitas.
(3) Pemberian label serta pengemasan, hal ini dilakukan selayaknya oleh perusahaan agar konsumen mengetahui informasi yang Iengkap
mengenai produk yang bersangkutan, agar konsumen tidak
dirugikan karena kandungan yang terdapat dalam produk tersebut
Dalam pemasaran
dan penjualan, yang harus kita perhatikan adalah:
(1)
Dimana perbandingan diijinkan oleh undang-undang, bandingkan
secara jujur produk, layanan atau karyawan kita dengan kompetitor;
(2)
Membuat semua estimasi harga dan rencana tanggal
pengiriman secara jelas
dan padat, yang mana tergantung dari variasi pengiriman pemasok dan permintaan pelanggan;
(3)
Tidak pernah memberikan atau menerima pembayaran atau
hadiah yangtidak
semestinya kepada atau dari seseorang yang berhubungan dengan penjualan atau pembelian dari produk atau layanan,
biarpun untuk kesempatan bisnis di
hari depan; dan
(4)
Waspada pada kemungkinan ancaman hukum atas produk, dan
bila diperlukan,
memperingatkan pelanggan kita untuk bahaya-bahaya yang berhubungan dengan produk kita yang terjual.
Etika pemasaran disini merupakan studi mengenai
aspek-aspek moral dari kegiatan pemasaran, dalam kegiatan ini dinilai dengan
pedoman apakah perbuatan
yang dilakukan tersebut adalah sesuai dengan asas-asas meng-hormati manusia, dan adil atau tidak.
Seringkali para pemasar menghadapi dilema etik, suatu
keadaan dimana seseorang harus memaksa memutuskan sesuatu tindakan, yang meskipun akan memberikan keuntungan
baik bagi pribadi maupun organi-sasi, namun
keputusan yang diambil itu dianggap tidak etis.
Perusahaan dalam memasarkan produknya hendaknya taat
pada perjanjian kontrak
dan perundangan yang berlaku. Perusahaan perlu menyadari bahwa mereka tergantung pada konsumen.
Pelanggaran etika bukan hanya terjadi pada tahap proses produksi tapi
juga terjadi pada tahap pemasaran.
Contoh utama terlihat pada susu formula untuk bayi. Studi
yang dilakukan YLKI
selama lima tahun terakhir menunjukkan, berbagai cara ditempuh produsen untuk memasarkan produknya meskipun dengan cara yang kurang etis, atau cara yang telah melanggar
Kode Etik' pemasaran Susu Formula yang telah ditetapkan Kode Etik
Internasional.
Salah satu caranya adalah dengan melalui saran dari para
medis. Terbukti dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 40% ibu rumah tangga menjawab bahwa
pemakaian susu formula tersebut adalah merupakan saran dari tenaga medis (Indah
Suksmaningsih, 2001).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi manajer pemasaran untuk melakukan tindakan
tidak etis (Schermerhorn, 1999), yaitu:
(1)
Manajer
sebagai pribadi. Manajer secara pribadi ingin memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri, faktor lain yang
mendorong manajer melakukan perilaku
tidak etis yaitu agama dan tingkat pendidikan.
(2)
Organisasi.
Adanya aturan tertulis serta kebijakan resmi dari top manajemen akan mempengaruhi tindakan etis para manajer, sehingga kadangkala mereka mengabaikan prinsip-prinsip
pribadi mereka untuk kepentingan
organisasi.
(3)
Lingkungan
Salah satu bentuk pemasaran yaitu
melalui iklan. Iklan dikenal sebagai motor penggerak ekonomi dalam dunia
industri. Perusahaan membuat iklan dengan tujuan untuk meningkatkan profit
dan keeksisan di pasar, untuk merebut pengaruh dan perhatian konsumen.
Perusahaan akan berlomba-lomba menanamkan image produknya dengan kuat kepada konsumen melalui
iklan yang ditayangkan. Fenomena yang
terjadi di Indonesia juga banyak iklan yang dibuat semenarik mungkin dengan mengabaikan tata krama dan tata cara
periklanan di Indonesia, yang tentunya melanggar juga etika dan moral.
Tentunya
hal ini merupakan tantangan bagi dunia periklanan khusus-nya dan pada perusahaan pada umumnya untuk
menciptakan iklan yang dapat diterima
semua kalangan tanpa dianggap membodohi masyarakat, karena faktanyapun banyak iklan di Indonesia
melebih-lebihkan, menyesat-kan, saling
menjelekkan dengan produk pesaing atau bahkan dengan menggunakan keindahan tubuh seorang wanita.
Sebenarnya dalam dunia periklanan sudah ada peraturan yang
mengatur
tata cara dalam periklanan yang diantaranya tertuang dalam Tata Krama dan Tata
Cara Periklanan Indonesia serta SK Menkes Nomor 368.
Hal yang sangat berkakan dengan etika dalam dunia
periklanan dintaranya adalah:
(1) Tata Krama dan Tata Cara Periklanan
Indonesia
Bab II A Ayat 1
yang berbunyi:" Iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak
bertentangan dengan hukum yang berlaku."
Bab II B No. 1
Ayat a yang berbunyi: "Iklan tidak boleh menyesatkan, antara lain
dengan memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabui dan memberikan janji yang
berlebihan."
Bab II B No. 3
Ayat 3 a yang berbunyi: "Iklan tidak boleh menggunakan kata
"ter", "paling", "nomor satu" dan atau sejenisnya
tanpa menjelaskan dalam hal apa keungulannya itu dan harus dapat membuktikan sumber-sumber otentik pernyataan
tersebut."
Bab II B No. 3
Ayat b yang berbunyi: "Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang
sehat. Perbandingan tidak langsung harus didasarkan pada kriteria yang tidak menyesatkan
konsumen."
Bab II B No. 3
Ayat c yang berbunyi: "Iklan tidak boleh secara langsung ataupun tidak langsung
merendahkan produk-produk lain."
Bab II C No. 2 yang berbunyi: "Dokter, ahli farmasi,
tenaga medis dan paramedis lain atau atribut-atribut profesinya tidak boleh digunakan untuk
mengiklankan produk obat-obatan, alat kesehatan maupun kosmetika."
Bab II C no. 10 ayat g yang berbunyi: "Iklan tidak
boleh memani-pulasi rasa takut seseorang terhadap suatu penyakit karena tidak menggunakan obat yang
diiklankan."
(2). Pedoman Periklanan Obat Bebas
Bagian A No. 8 yang berbunyi: "Iklan tidak boleh
dimuat dengan ilustrasi peragaan maupun kata-kata yang berlebihan sehingga
dapat menyesatkan konsumen".
Bagian A No. 9 yang berbunyi: Iklan obat tidak boleh
diperankan oleh tenaga profesi kesehatan atau aktor yang berperan sebagai profesi kesehatan dan
atau menggunakan "setting" yang beratribut profesi kesehatan dan
laboratorium".
Bagian B No. 103 yang berbunyi: "Iklan obat harus
meivantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum".
Bagian No. 8 yang berbunyi: "Iklan obat tidak boleh
ditujukan untuk khaiayak anak-anak atau menampilkan anak-anak tanpa
adanya supervisi orang dewasa atau memakai narasi suara anak-anak yang
menganjurkan penggunaan obat. Iklan tidak boleh menggambarkan bahwa keputusan penggunaan obat
diambil oleh anak-anak.
(3)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999
Pasal 17
ayat a yang berbunyi;"Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan
dan harga barang dan atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan atau jasa.
Dari ketentuan yang telah dipaparkan di atas, ternyata
banyak sekali pelanggaran etika yang telah dilakukan oleh para pengusaha periklanan
dan perusahaan.
Bentuk pelanggarannya kebanyakan iklan yang ditayangkan di televisi untuk sebagian produk susu
dan minuman penyegar telah bn, juga untuk
iklan motor yang dengan sengaja maupun tidak menjelekkan produk pesaing baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Dampaknya pun ada beberapa iklan yang kemudian ditarik
dari penayangannya
karena dianggap kurang beretika. Yang tak kalah pentingnya adalah perlunya
kontrol dalam dunia periklanan yaitu kontrol dari peme-rintah, kontrol
para pengiklan itu sendiri (self regulation), dan yang tak kalah pentingnya
adalah kontrol dari masyarakat.
3.4 Multimedia Business Ethics
Salah satu
cara pemasaran yang efektif adalah melalui multimedia. Kita menyadari bahwa bisnis multimedia berperan
penting dalam menyebarkan informasi,
karena multimedia is the using of media variety to fulfill communications goals. Elemen dari multimedia terdiri dari teks,
graph, audio, video, and
animation. Bicara mengenai bisnis
multimedia, tidak bisa lepas dari
stasiun TV, koran, majalah, buku, radio, internet provider, event organizer,
advertising agency, dll. Multimedia memegang peranan penting dalam
penyebaran informasi produk salah satunya dapat terlihat dari iklan-iklan yang menjual satu kebiasaan/produk yang
nantinya akan menjadi satu kebiasaan
populer. Sebagai saluran komunikasi,
media berperan efektif sebagai
pembentuk sirat konsumerisme.
Etika berbisnis dalam multimedia
didasarkan pada pertimbangan:
(1) Akuntabilitas
perusahaan, di dalamnya termasuk corporate governance, kebijakan
keputusan, manajemen keuangan, produk dan pemasaran serta kode
etik.
(2)
Tanggung jawab sosial, yang merujuk pada peranan bisnis
dalam lingkungannya, pemerintah lokal
dan nasional, dan
kondisi bagi pekerja.
(3) Hak dan
kepentingan stakeholder, yang ditujukan pada mereka yang memiliki andil
dalam perusahaan, termasuk pemegang saham, owners, para eksekutif,
pelanggan, supplier dan pesaing.
Contoh
terakhir yang terjadi pada fenomena acara yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV kita yaitu "Smack
Down" yang membuat kita terpana
sejenak, ternyata bisnis ini kurang mempertimbangkan etika. Atas nama nilai komersial, walaupun katanya dengan
maksud memuaskan selera konsumennya,
pihak televisi mengabaikan dampak negatif yang akan terjadi di masyarakat, terutama pada anak-anak.
Acara tersebut menayangkan aksi kekerasan yang mengundang anak-anak untuk
menirukannya. Setelah acara ini menelan korban di beberapa kota, dari yang
luka ringan sampai korban tewas di Bandung, memuncaklah tekanan untuk
menghentikan acara ini. Walaupun stasiun TV tersebut tidak serta merta
menghentikan namun dengan terlebih dahulu menghimbau terutama kepada
anak-anak untuk tidak menonton acara tersebut, namun setelah
sedemikian gencarnya tuntutan dari masyarakat dan lembaga-lembaga terkait,
terutama setelah dikeluarkannya surat dari Komisi Penyiaran
Indonesia bemomor 553/K/KPI/11/06 bertanggal 29 November 2006 maka acara
ini mulai dihentikan penayangannya.
Di sinilah manajemen, produser, tim kreatif atau pihak
manapun yang berhubungan dengan penayangan acara tersebut dituntut untuk berpikir
lebih bijak, agar apa yang akan disajikan kepada penontonnya tidak bertentangan
dengan
nilai-nilai yang ada di masyarakat, tidak membawa dampak yang negatif,
sehingga tidak ada pihak manapun yang akan atau merasa dirugikan.
Namun demikian penghentian penayangan acara tersebut
tidak langsung dapat membuat kita lega, karena walaupun sudah tidak ditayangkan
lagi, namun acara tersebut bisa kita temukan dalam bentuk VCD maupun ploystation, yang tentu sudah banyak
menyebar. Inilah PR buat kita, terutama
untuk para orangtua, dan para penjual ataupun penyewa PS agar tergugah nuraninya, agar kejadian yang sudah menelan
korban tersebut tidak terulang
kembali.
3.5 Pencegahan
Perilaku Tidak Etis Melalui Multimedia
Dalam kasus "Smack Down" ini, membuat
kita sadar bahwa etika dalam berbisnis tidak dapat diabaikan, sehingga pelaku
bisnis khususnya multimedia, dalam hal ini perlu merumuskan kode etik yang
harus disepakati oleh stakeholder, termasuk di dalamnya production
house, stasiun TV, radio, penerbit buku, media masa, internet provider,
event organizer, advertising agency, dll.
Hal lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat
dengan mencoba untuk memandu pembentukan kultur melalui kurikulum
pendidikan, perayaan liburan nasional,
dan mengendalikan dengan seksama media masa, organisasi sosial dan tata ruang
kota.
Media masapun sangat berperan penting dalam hal ini,
karena merekalah yang menginformasikan kepada masyarakat, merekalah yang bisa membentuk opini baik ataupun buruk
dari masyarakat, hendaknya media menjadi
sarana untuk menghibur, sumber informasi dan edukasi bagi masyarakat.
Wartawan telah mempunyai kode etik jurnalistik yang dapat membantu para wartawan menentukan apa
yang benar, dan apa yang salah, baik atau
buruk, dan bertanggungjawab atau tidak dalam proses kerja kewartawanan.
Kita berharap banyak kepada media masa ini karena apabila
seseorang terjun ke dunia kewartawanan, maka paling tidak ada tiga pilar utama
yang menjadi
pegangan dalam menjalankan tugasnya, yaitu kode etik jumalistik, norma hukum
dan profesionalisme.
Namun harus diingat bahwa semua pelaku bisnis ini akan
menjalankan bisnisnya
secara lebih etis apabila ditunjang oleh peraturan pemerintah yang tegas.
Daftar Pustaka
Ernawan,
Erni. 2011. Business Ethics. Penerbit: Alfabeta. Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar