- Beranda
- Akuntansi
- Olah Rasa
- Tujuan Hidup
- Kemiskinan dan Kekayaan
- Kepedihan dan Kenikmatan
- Keburukan dan Keindahan
- Kebencian dan Kasih Sayang
- Penghianatan dan Kesetiaan
- Kelemahan dan Kekuatan
- Kerugian dan Keberuntungan
- Kesendirian dan kebersamaan
- Hakikat Diri Sebagai Manusia
- Hakikat Diri Sebagai Makhluk
- Kematian dan Kehidupan
- Tuhan
- Menu3
- Menu4
- Menu5
Minggu, 30 November 2014
Selasa, 25 November 2014
Kesendirian dan Kebersamaan
Hidup selalu
dipenuhi dengan misteri. Kita tak bisa mengetahui apa yang akan terjadi kepada
kita di waktu selanjutnya, karena sejatinya semuanya masih menjadi rahasia-Nya.
Dalam hidup juga tentunya kita tidak bisa lepas dari interaksi kita dengan
masyarakat, teman, sahabat, kerabat atau mungkin keluarga. Karena pada
hakikatnya kita merupakan makhluk sosial, makhluk yang selalu menginginkan
kebersamaan namun terkadang juga menginginkan kesendirian.
Kesendirian dan
kebersamaan...
Apapun pilihan
hidup kita, entah hidup dalam kesendirian ataupun kebersamaan, pastikanlah bahwa
hidup kita bahagia. Terkadang seseorang lebih menikmati hidupnya dalam
kesendirian, namun terkadang juga orang lebih memiih hidup dalam kebersamaan.
Orang yang hidup dalam kesendirin menganggap bahwa dia bisa melakukan segalanya
tanpa dibantu orang lain, padahal jika ia tahu bahwa makna dari sebuah
kebersamaan yang sebenarnya maka ia mungkin akan lebih memilih hidup dalam
kebersamaan.
Ibarat sebuah
lidi, jika digunakan hanya 1 batang lidi untuk menyapu halaman rumah, maka pekerjaan
tersebut akan terasa berat karena kita akan membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk menyapu halaman tersebut. Namun jika semua batang lidi disatukan, diikat,
kemudian digunakan untuk menyapu halaman tadi, maka sapu tersebut akan memudahkan
urusan menyapu kita. Begitu juga dengan suatu pekerjaan yang berat, akan terasa
ringan, jika dikerjakan bersama-sama.
Kebersamaan...
Kebersamaan yang
dibingkai karena cinta kepada-Nya, maka akan menimbulkan harmonisasi dalam
kehidupan. Kebersamaan yang dilakukan untuk hal-hal positif akan menimbulkan
sebuah kekuatan, sebuah kekuatan untuk terus melakukan kebaikan. Namun jika
kebersamaan tersebut dilandasi dengan hal-hal negatif, maka esensi dari
kebersamaan itu akan terasa hambar, tak ternilai, bahkan tak berguna.
Terlepas dari
itu semua, terkadang kita juga membutuhkan sebuah kesendirian. Ya... Kesendirian
untuk memuhasabah diri, kesendirian untuk mendapatkan sebuah ketenangan hati,
fikiran, jiwa dan raga, kesendirian untuk merenung sejenak tentang apa dan
bagaimana hakikat hidup ini, kontribusi apa yang sudah saya berikan untuk
manusia yang lain? Kontribusi apa ayan telah saya persembahkan untuk bangsa dan
negara.
Kerugian dan Keberuntungan
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).
Kerugian dan Keberuntungan adalah dua kata yang saling melengkapi, saling
mengisi dan saling memberi arti. Harmonisasi dua kata ini membuat hidup menjadi
lebih indah, lebih berwarna seperti warna pelangi. Bila pelangi hanya berisi
satu warna maka pelangi tidaklah seindah sekarang. Begitu pula dengan hidup
kita. Kerugian dan keberuntungan membuat hidup kita menjadi indah dan berwarna.
Kita menjadi lebih bisa menghargai suatu keberuntungan setelah kita mengalami
suatu kerugian. Kita bisa menjadi lebih lebih arif dan bijaksana mungkin karena
suatu kerugian yang kita alami, bukannya suatu keberuntungan.
Pandangan kita
terhadap suatu hal, sangat tergantung ‘kaca mata’ yang kita gunakan. Coba kita
bayangkan, kalau kita melihat langit biru sambil menggunakan kacamata hitam,
apakah langit biru itu akan tetap berwarna biru? Begitu juga kalau kita
menggunakan kacamata lensa merah, langit itu pun akan berubah warna. Langit
yang sama, bisa berbeda warna bila kita melihatnya dengan kacamata yang
berbeda.
Nah, untuk menilai keberuntungan pun seperti itu, tergantung kacamata yang kita gunakan. Seseorang yang mengalami suatu hal bisa dikatakan beruntung, bisa juga dikatakan tidak beruntung, tergantung dilihat dengan ‘kacamata’ apa.
Nah, untuk menilai keberuntungan pun seperti itu, tergantung kacamata yang kita gunakan. Seseorang yang mengalami suatu hal bisa dikatakan beruntung, bisa juga dikatakan tidak beruntung, tergantung dilihat dengan ‘kacamata’ apa.
Suatu hal, suatu kondisi dan suatu kejadiaan dianggap suatu kerugian atau
suatu keberuntungan sebenarnya tergantung dari mana kita melihat kejadian itu.
Suatu kejadian yang kita anggap sebagai suatu keberuntungan mungkin buat orang
lain adalah suatu kerugian. Bahkan mungkin oleh diri kita sendiri.
Keberuntungan ada untuk memberikan rasa optimis pada diri kita, bahwa ada ALLAH yang
mendampingi kita, yang membantu kita dan yang menyempurnakan usaha kita, ALLAH
yang mempunyai rencana yang indah untuk kita, bukan akal pikiran kita. Maka
nikmatilah setiap kerugian dan keberuntungan yang kita hadapi.
Apapun yang terjadi, hidup harus kita
lanjutkan. Karena berhenti berjuang di tengah jalan sama dengan mundur yang
artinya kalah sebelum bertarung. Meski masalah menumpuk, cobaan menanti, kita
tak boleh menyerah. Kita harus senantiasa menghiasi hari dengan penuh semangat,
semangat para mukminin untuk menyambut janji suci dari Sang Maha Suci, Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
Semangat hidup, harus kita kobarkan, selamanya. Karena hidup, tak mengenal
siaran tunda.
Perlahan tapi pasti, waktu berlalu dengan setiap
kesannya. Ia berlalu begitu cepat, tanpa terasa. Ia menipu siapa saja
yang tak pernah memperhatikannya. Benarlah apa yang difirmankanNya. “ Demi
Masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.” ( Al Ashr:
1-2 ). Dari
ayat ini, kita mengetahui bahwa semua manusia berada dalam kerugian. Rugi dalam
berbagai batasnya, rugi dalam berbagai bentuknya. Ada yang rugi karena
bisnisnya bangkrut. Ada yang rugi karena ditinggal pasangan hidupnya. Adapula
yang rugi karena kehilangan kesempatan berbuat kebaikan. Ada juga yang merugi
lantaran melewatkan kesempatan emas untuk memberikan yang terbaik bagi teman
hidupnya. Singkatnya, “Mereka
yang hari ini sama dengan hari kemarin,” sebagaimana sabda Nabi,“Adalah
orang yang merugi.”
Adalah tidak adil jika Allah hanya menciptakan rugi
tanpa pasangan. Karena sunnahNya berlaku dalam setiap kondisi. Ada benar,
pastinya ada salah. Ada laki-laki, pastinya ada wanita. Begitupun seterusnya.
Maka, ada rugi pastinya ada pula untung. Lalu , siapakah yang beruntung? “Kecuali
orang yang beriman, dan beramal shalih, saling nasihat menasihati dalam kebenaran,
dan saling nasihat menasihati dalam kesabaran.” (Al Ashr: 3). Ya. Empat hal itulah yang akan membuat
kita beruntung. Empat hal inilah yang merupakan konsep keberuntungan dalam Al
Qur’an. Ia adalah manhaj yang sangat jelas. Sebuah panduan yang
tidak mungkin keliru. Mereka yang beriman, beramal shalih, saling meningatkan
dalam kebenaran dan kesabaran, adalah mereka yang beruntung.
Cukuplah Allah Sebagai Penolong dan Pelindung Kami
Kelemahan dan
kekuatan merupakan dua sisi yang saling melengkapi satu sama lain. Pada
dasarnya kita sebagai manusia itu bersifat lemah, tidak memiliki daya dan upaya
kecuali atas pertolongan Allah. Oleh sebab itu, kita sebagai manusia tidak
boleh berlaku sombong dan merasa bahwa kita bisa melakukan segalanya dengan
kemampuan yang kita miliki.
Segala sesuatu
yang terjadi di dunia ini tidaklah terjadi secara kebetulan ataupun dan terjadi
begitu saja. Karena pada hakikatnya, ada kekuatan lain, kekuatan yang tidak
bisa ditandingi oleh satu makhlukpun yang selalu menyertai kejadian demi
kejadian, aktivitas demi aktivitas yang terjadi dalam kehidupan kita. Maka
ketika terjadi sesuatu hal di luar dugaan kita, di luar pemikiran kita, di luar
logika kita, maka kembalikanlah semua itu hanya kepada Allah. Kita harus
meyakini bahwa ada kekuatan lain yang menyebabkan sesuatu itu terjadi, yaitu
kekuatan Allah. Ya.. kekuatan Allah, Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Allah
memerintahkan setiap hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa mengingat dan
menyebut Nama Allah melalui berdzikir, shalat, ataupun berdo’a. Karena dengan
kita melakukan hal tersebut kita bisa mendapatkan sebuah kekuatan, The Power of spiritual, The powar of
intelektual, The Power of emotional ataupun kekuatan untuk tetap bisa hidup,
kekuatan untuk tetap bisa menuntut ilmu ataupun kekuatan untuk bisa melakukan
aktivitas lainnya.
Maka seharusnya
kita sebagai seorang manusia biasa selayaknya menggantungkan hidup kita hanya
kepada Allah SWT. Karena Allah tempat meminta segala sesuatu dan ketika kita
meminta pertolongan hanya kepada Allah, maka yakinlah bahwa pertolongan Allah
itu selalu datang tepat waktu dan di waktu yang tepat. Dan pertolongan Allah
itu sangatlah dekat.
La
Haula Wala Quwwata Illa Billahil ‘Aliyil Adzim.
Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah. Tidak ada daya dan upaya kecuali atas
izin-Nya dan Cukuplah Allah sebagai penolong dan pelindung kami.
Penghianatan dan Kesetiaan
Penghianatan dan kesetiaan merupakan dua
sisi yang sangat berbeda dan tentunya sangat bertolak belakang. Penghianatan
timbul dari sebuah cinta yang berujung pada kebencian akan sesuatu atau bahkan
kepada seseorang. Sedangkan kesetiaan timbul dari rasa cinta dan tetap menjaga
kestiaan cinta tersebut. Cinta dan kesetiaan adalah dua sisi dalam satu keping mata
uang yang tidak terpisahkan,
Cinta menjadi landasan sebuah kesetiaan,
di dalam kesetiaan terkandung nilai cinta yang mempersatukan. Sulit
membayangkan ada cinta berdiri sendiri tanpa disertai oleh kesetiaan. Demikian
pula sulit memahami, ada sebuah kesetiaan tanpa landasan cinta di dalamnya.
Cinta tanpa kesetiaan adalah kesemuan dan kebohongan, dan kesetiaan tanpa
didasari cinta adalah kepura-puraan. Dalam kesetiaan ada komitmen melayani
tanpa pamrih tulus ikhlas apa adanya dan menerima dalam kondisi apa pun, baik
itu suka-duka, bahagia-derita, lapang-sempit, susah-senang, sehat dan sakit.
Kesetiaan akan mendatangkan kebaikan,
setia pada Ke-Esaan Allah akan mendapatkan ampunan dan surga-Nya, setia kepada
Rasulullah akan mendapatkan syafa’at beliau di akhirat nanti, setia kepada
pasangan yang halal akan membuahkan cinta tulusnya, setia pada persahabatan
akan mendatangkan kemudahan dan kebaikan.
Kesetiaan itu indah. apalagi jika kita jadikan kesetiaan itu berkilau indah di sisi-Nya. Betapa indahnya cinta dan
kesetiaan yang kita bangun jika kita hiasi dengan menguatkan cinta dan
kesetiaan kepada-Nya. Betapa indahnya cinta dan kesetiaan, jika cinta terhadap
“harta”, namun kita menghiasi diri kita dengan menjaga cinta dan kesetiaan terhadap-Nya.
Contohnya: Menjadikan harta itu lebih bermakna dengan saling berbagi kepada
kaum kerabat, tetangga, anak yatim, dan lain-lain, tidak lupa juga selalu membahagiakan
kedua orang tua kita.
Kepada apa dan siapapun cinta dan kesetiaan kita, maka buktikan bahwa kesetiaan cinta kita kepada Allah tidak akan berkurang apalagi luntur di tengah zaman. Mari kita bangun dan
pertahankan kesetian pada diri kita agar kita mendapatkan kebahagian di dunia
dan di akhirat, seperti kalimat yang disampaikan salah satu motivator muda (Kak
Setia Furqan Kholid) dalam bukunya ia berkata: “Mari kita bangun cinta, hingga
cinta kelak sampai ke surga”
Membenci Karena Allah dan Mencintai Karena Allah
Dunia selalu diliputi oleh 2
hal yang berbeda dan saling melengkapi. Ada laki-laki ada juga perempuan, ada
kemiskinan ada juga kekayaan, ada kepedihan ada kenikmatan, ada keburukan ada
juga keindahan, ada kebencian, dan ada juga kasih sayang dan lain sebagainya.
Kebencian dan kasih sayang..
Dua hal yang pastinya menurut
pandangan kita sangatlah berbeda. Kebencian timbul dari ketidak sukaan kita
terhadap sesuatu, atau bahkan kepada seseorang. Sedangkan kasih sayang timbul
dari rasa empati, rasa perhatian. Sebagai seorang muslim/ah haruslah menebarkan
cinta, dan menebarkan kasih sayang bukan sebatas pada sesama muslim saja,
tetapi kepada semua makhluk-Nya. Karena hakikat seorang muslim adalah mencintai
Allah, Rasulnya, sesamanya, dan tetangganya melebihi atau sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri. Sebagaimana dalam sabdanya: “Tali
iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”
(HR. At-Tirmidzi). Selanjutnya lagi Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang
mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan tidak
memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna Imannya.” (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi).
Dari hal ini kita bisa
mengetahui bahwa kita harus memberikan kecintaan dan kesetiaan kita hanya
kepada Allah semata. Kita harus mencintai terhadap sesuatu yang dicintai Allah,
membenci terhadap segala yang dibenci Allah, ridho kepada apa yang diridhoi
Allah, tidak ridho kepada yang tidak diridhoi Allah, memerintahkan kepada apa
yang diperintahkan Allah, mencegah segala yang dicegah Allah, memberi kepada
orang yang Allah cintai untuk memberikan dan tidak memberikan kepada orang yang
Allah tidak suka jika ia diberi.
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah
pernah berkata: “Mencintai apa yang dicintai oleh kekasih adalah kesempurnaan
cinta kepada sang kekasih”
Cinta seseorang haruslah
berlandaskan pada ketaatan kepada-Nya. Bukankah Allah telah berfirman dalam AS.
Ali-Imran: 31 yang berbunyi: “Katakanlah: “Jika kamu benar-benar mencintai
Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.”
Seperti ketika
kita jatuh cinta pada seseorang, maka jatuh cintalah karena Allah, jatuh
cintalah kepada orang yang senantiasa mendekatkan kita pada Allah, Jatuh
cintalah pada orang yang akan membuat Allah semakin cinta kepada pribadi kita.
Kalaupun ternyata jatuh cinta yang kita lakukan hanya semakin menghinakan diri
kita, menjauhkan diri kita dari Allah, atau bahkan membuat cinta kita untuk
Allah semakin berkurang maka cinta yang tak berdasar kepada Allah itu harus
kita akhirkan. Sebesar apapun cinta itu dihadapan manusia, Allah tak akan
pernah ridho jika cinta itu tidak berlandaskan cinta pada-Nya. Begitupun kita
membenci seseorang, jangan sampai kita membenci orang yang salah. Jangan pernah
membenci orang karena sifatnya, karena bisa jadi ia dekat dengan Allah meski
kita tak suka dengan siatnya. Yang diperbolehkan untuk kita benci adalah orang
yang tak disukai Allah, bukan yang tidak kita sukai karena itu hanya
berlandaskan perasaan kita. Ketika kita membenci seseorang karena jelas Allah
membencinya, maka berarti cinta kita telah berdasar pada-Nya.
Kasih sayang yang dibangun
karena kecintaan kepada-Nya, akan lebih bermakna, dibandingkan dengan kasih
sayang yang dibangun hanya karena makhluk ciptaan-Nya. Cintailah sesuatu dengan
ala kadarnya saja, karena bisa jadi sesuatu yang kita cintai, akan kita benci.
Dan bencilah sesuatu itu ala kadarnya juga, karena bisa jadi sesuatu yang kita
benci itu, akan kita cintai.
Keburukan VS Keindahan
KEBURUKAN VS KEINDAHAN
Keburukan
dan keindahan merupakan dua hal yang saling bertolak belakang. Keburukan itu
sesuatu yang paling kita hindari dan jangan sampai sesuatu yang buruk itu
menimpa diri kita. Contohnya kehilangan barang kesayangan ataupun kehilangan
seseorang yang kita cintai. Sedangkan keindahan itu adalah sesuatu yang menarik
jiwa, menarik hati, menarik perhatian kita. Contohnya pemandangan alam,
bunga-bunga di taman, dan lain sebagainya.
Terkadang
manusia menafsirkan sebuah keburukan dan keindahan hanya pada sesuatu hal yang
terlihat saja. Bahkan ketika Allah memberikan sebuah keindahan melalui sebuah
keburukan maka yang terlihat hanyalah sebuah keburukan. Contohnya, ketika kita
kehilangan sebuah benda yang kita sayangi ataupun kehilangan seseorang yang
kita cintai. Mungkin kita sebagai seorang manusia, merasakan kehilangan barang
ataupun seseorang itu adalah sebuah keburukan. Namun kita harus mengingat bahwa
keindahan dan keburukan itu sifatnya relatif. Bisa jadi kita menganggapnya itu
adalah sebuah keburukan, namun di sisi lain itu adalah sebuah keindahan.
Ya..ada sebuah keindahan yang lebih yang telah Allah persiapkan untuk diri
kita. Karena pada hakikatnya adalah ketika Allah mengambil salah satu
nikmat-Nya dari kita, maka Allah pun akan menggantikannya dengan yang lebih
baik dari sebelumnya. Allah sungguh Maha Adil, Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Semua
hal yang ada di dunia ini adalah milik-Nya. Lantas apa yang membuat kita merasa
buruk ketika Allah mengambil sesuatu dari kita?. Bukankah kita sebagai manusia,
barang yang kita miliki, harta, keluarga, teman, sahabat, kerabat, dan semua
yang ada di dunia ini hanyalah sebuah titipan dari-Nya? Lantas ketika sang
pemilik yang sesungguhnya datang mengambil kembali barang titipannya, apakah
kita merasa bahwa itu adalah sesuatu yang buruk? Tentu saja tidak kawan.
Malulah kita terhadap Allah yang telah menganugerahkan begitu banyak nikmat-Nya
kepada kita. Karena setiap nikmat yang telah Allah ambil dari kita, maka
Allahpun akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih indah, yang jauh lebih
kita butuhkan, dan bukan sesuatu yang kita inginkan.
Tak selamanya keindahan itu indah, dan juga tak selamanya
keburukan itu buruk. Adakalanya keindahan itu hanya untuk menutupi keburukan,
dan adakalanya juga keburukan itu hanya untuk menutupi keindahan. Terkadang
keindahan itu muncul karena adanya keburukan, dan terkadang juga keburukan
muncul karena ada keindahan. Seringkali keindahan itu membawa keburukan, dan
seringkali juga keburukan membawa keindahan. Tak selamanya keindahan itu indah,
dan tak selamanya keburukan itu buruk. Terkadang keindahan menghapus keburukan,
dan terkadang juga keburukan menghapus keindahan. Adakalanya keindahan dan
keburukan menyejukkan mata, dan adakalanya juga keindahan dan keburukan
memedihkan mata. Seringkali keindahan dan keburukan membuat hati luka, dan seringkali
juga keindahan dan keburukan membuat hati buta.
Dibalik Kepedihan Pasti Ada Kenikmatan
Allah
menciptakan kehidupan dengan memasukkan antara kesengsaraan dan kesenangan,
antara kebencian dan kecintaan, antara kesulitan dan kemudahan, antara
kepedihan dan kenikmatan, antara kesedihan dan kebahagiaan. Tidak ada
kesenangan dan kenikmatan tanpa kesengsraan dan kepedihan. Sebuah kesengsaraan
ataupun sebuah kepedihan dalam hidup, ketika dijalani segan penuh kesabaran dan
keikhlasan, maka akan berbuah kesenangan dan kenikmatan.
Setiap manusia
di dunia pasti pernah merasakan sebuah kepedihan. Entah itu kepedihan yang
disebabkan oleh tidak tercapainya impian, sakit hati, kehilangan sesuatu,
kehilangan seseorang yang kita cintai atau lain sebagainya. Pedih.. ya..
pastinya sangatlah pedih. Namun seberapa pedih yang kita rasakan, yakinlah
bahwa itu semua akan tergantikan dengan sebuah kenikmatan yang telah
direncanakan oleh-Nya. Karena dibalik setiap kepedihan pasti ada kenikmatan dan
kepedihan merupakan awal dari sebuah kenikmatan.
Maka nikmat
Tuhanmu yang mana yang akan kau dustakan? Bukankah semua ini sudah ada dalam
kitab-Nya? Lalu mengapa kita masih bersedih untuk sesuatu yang telah Allah
janjikan kepada kita? Laa
yukallifullahunafsan ‘illa wus’ahaa. Sungguh Allah tidak akan membebani
seorang di luar batas kemampuan hamba-Nya. Dengan adanya kepedihan tentunya
kita bisa merasakan sebuah kenikmatan. Begitupun karena adanya kenikmatan,
pasti kita akan merasakan yang namanya sebuah kepedihan.
Seharusnya kita
sebagai manusia harus menyadari dan harus selalu introspeksi, bahwa tidak
selamanya kepedihan itu sesuatu yang hina dan dibenci. Karena pada hakikatnya,
kepedihan itu mendatangkan sebuah kenikmatan. Ya.. sebuah kenikmatan yang tak
terhingga dari Allah. Ketika kita mendapatkan ujian dari Allah, kemudian kita
menjalaninya dengan sabar, ikhlas, tawakkal, dan selalu berdo’a kepada-Nya,
maka ujian itupun bisa kita lewati. Dan ketika ujian itu bisa kita lewati, maka
kitapun akan merasakan kepuasan dan terlebih lagi merasakan sebuah kenikmatan.
"Menyibak Makna Di Balik Kemiskinan dan Kekayaan"
Kemiskinan dan
kekayaan. 2 kata yang simpel, saling berlawanan, dan pastinya memiliki makna
yang berbeda-beda tergantung penafsiran dari masing-masing individu. Miskin dan
kaya pada umumnya menggambarkan tingkat kesejahteraan dan status sosial di
masyarakat.
Setiap manusia
yang lahir ke dunia pasti memiliki kadar kepuasan atau tingkat kesyukuran atas
nikmat yang telah Allah karuniakan. Ada seseorang yang dilihat dari pandangan
oranglain dia adalah orang yang bisa dikategorikan miskin. Namun apakah kita
bisa menjamin bahwa orang yang kita pandang sebagai orang yang miskin tadi
adalah benar-benar miskin? Atau mungkin seseorang yang kita pandang kaya itu
benar-benar kaya? Tentu saja tidak kawan. Karena yang merasakan kaya ataupun
miskinnya seseorang itu tergantung dari masing-masing individu tersebut
bersyukur atas nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepadanya.
Terkadang
manusia selalu memaknai kemiskinan dan kekayaan itu dari sisi material saja,
contohnya orang yang kaya itu punya banyak uang, kaya raya, punya rumah yang
besar, pekerjaan yang bergengsi, memiliki jabatan yang tinggi, dan lain sebagainya.
Namun apakah kita menyadari bahwa ada hal-hal lain yang sifatnya non material?.
Bukankah Rasulullah pernah bersabda yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ibnu
Hibban dan Tabrani bahwa “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan
kemiskinan adalah kemiskinan hati.” Nah dari sini kita melihat bahwa sungguh
orang yang paling baik di muka bumi ini saja memaknai kekayaan dan kemiskinana
adalah kekayaan hati dan kemiskinan hati. Lantas apakah kita hanya sebagai
manusia biasa menganggap bahwa kemiskinan dan kekayaan itu dilihat dari sisi
material saja? Tentu saja tidak.
Kemiskinan hati
adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa
memperdulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis,
mengurangi timbangan, mencuri, atau bahkan melakukan kecurangan-kecurangan yang
tentunya bertentangan dengan ajaran agama.
Allah tidak
pernah menjadikan kekayaan dan kekurangan yang meliputi kondisi seseorang
sebagai bentuk peniaian kemuliaan atau kerendahan derajatnya di sisi Allah.
Namun itu semua adalah ujian atau cobaan yang Allah berikan kepada setiap
hamba-nya karena yang menentukan baik buruknya seseorang dilihat dari tingkat
ketaqwaannya kapada Allah. Karena kekayaan yang sifatnya material hanya
merupakan bekal, hanya merupakan wasilah
bagi seseorang menuju akhirat. Meskipun kepentingan di dunia juga selaknya dipenuhi
namun kepentingan akhirat jauh lebih penting dan harus dipenuhi.
Kemiskinan adalah kebalikan
dari kekayaan. Meskipun dua hal ini sangat berbeda, namun kita harus menempatkan
fenomena miskin dan kaya sebagai realitas yang harus bersinergi. Islam
mewajibkan setiap muslim untuk berpartisipasi menanggulangi kemiskinan sesuai
dengan kemampuan dan porsi masing-masing. Keterlibatan seorang muslim dalam memberantas
kemiskinan adalah salah satu bentuk tanggungjawab pribadi muslim dalam
menyucikan jiwa, harta, serta keluarganya. Di sinilah kemudian Islam sangat mengajarkan
solidaritas sosial untuk kesejahteraan bersama.
Kemiskinan dan kekayaan tidak
ada bedanya di mata Allah, yang membedakan manusia di hadapan Allah hanyalah
tingkat ketaqwaan. Sejauh mana kita bersyukur atas karunia-Nya, sabar, ikhlas, berdo’a,
ikhtiar, tawakal dan ridha atas taqdir yang ditentukan-Nya, maka sejauh itu
pula makna dari kemiskinan dan kekayaan yang dirasakan oleh setiap hamba-Nya.
Saya dan Tujuan Hidup
Setiap
manusia yang lahir ke dunia pasti memiliki tujuan hidup yang berbeda-beda. Ada tujuan
hidupnya ingin membahagiakan orangtuanya, ingin jadi kaya, terpandang, memiliki
pekerjaan yang gajinya besar, punya suami yang tampan atau istri yang cantik dan
lain sebagainya.
Begitupun
dengan saya, saya juga memiliki tujuan hidup tersendiri. Awalnya saya berfikir
bahwa tujuan hidup itu harus bersifat material, terlihat, dan nampak. Namun
setelah melawati proses yang cukup panjang, 4 tahun lamanya sejak saya duduk di
bangku SMK sampai duduk di bangku kuliah, maka saya memutuskan bahwa tujuan
hidup itu tidak selamanya bersifat material, namun ada hal-hal lain yang lebih
penting daripada itu. Dan tujuan hidup sayapun sejak saat itu telah berubah.
“Ridha Allah”... Ya Ridha Allah. Mungkin
pada sebagian orang tujuan hidup saya biasa-biasa saja bahkan ketika saya
kuliah dulu teman saya sempat mempertanyakan tentang tujuan hidup saya. Dalam
bahasa sehari-hari orang Gorontalo, ia berkata “Linda.. macam so tidak ada tujuan hidup lain yang ngana mo capai?”
kemudian sayapun menjawab: ”Biarlah buruk di hadapan manusia dan baik di hadapan
Allah, daripada baik di hadapan manusia tapi buruk di hadapan Allah.”
Nah,
maksud dari tujuan hidup saya adalah bahwa setiap aktivitas yang saya lakukan,
setiap pekerjaan yang saya kerjakan, dan setiap niat yang saya tekadkan itu
semua hanya untuk memperoleh Ridha-Nya, Ya.. memperoleh Ridha Allah. Saya ingin
membahagiakan orangtua saya karena Allah, saya melanjutkan studi di Universitas
Brawijaya karena ingin memperoleh ilmu melalui Ridha-Nya, dan saya ingin
menjadi manusia yang bisa bermanfaat bagi manusia yang lain, menebar kasih dan
sayang terhadap semua makhluk-Nya. Khairunnas
anfa’uhum linnas.
Saya
berfikir bahwa buat apa kita hidup didunia, tapi orientasi kita hanya kepada
hal-hal yang bersifat material? Bukankah kita diciptakan oleh Allah hanya untuk
beribadah kepada-Nya? Namun apapun tujuan hidup saya, dia, dirinya, kamu,
kalian, dan mereka itulah hak prerogatif masing-masing individu. Karena ketika
kita telah memilih untuk satu tujuan hidup, maka kita harus menjalani proses
demi proses, tahapan demi tahapan, dan menerima segala konsekuensi atas sebuah
pilihan tujuan hidup.
Intinya
bahwa setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini memiliki tujuan hidup yang
berbeda-beda. Apapun tujuan hidup kita itulah yang akan kita jalani. Itulah
yang akan kita perjuangkan sampai kita mendapatkan apa yang menjadi tujuan
hidup kita. Selalu bersyukur, ikhlas dan sabar dalam menjalani hidup ini. dan
pastinya harus tetap semangat. Ganbatte ^_^
Langganan:
Postingan (Atom)