Transcendence merupakan film science-fiction yang mengangkat cerita tentang pasangan Dr. Will Caster & Evelyn
Caster yang berambisi untuk menciptakan kecerdasan buatan yang mampu membuat
dunia menjadi lebih baik : menyembuhan kanker, memulihkan alam, dan sebagainya.
Namun insiden terjadi, kolega dan tim mereka dibunuh oleh sebuah organisasi
ekstrem anti-teknologi yang dipimpin Bree. Bahkan Dr. Will Caster sekarat
karena tertembak. Evelyn tidak siap kehilangan suaminya, sehingga ia mengajak
sahabat mereka Max Waters untuk membuat eksperimen memindahkan kesadaran Will
ke dalam PINN — sebuah prosesor yang sangat amat cerdas buatan Will. Ketika
percobaan ini berhasil, Will hidup di dalam PINN, meminta untuk dihubungkan
dengan internet. Ketika Max merasa semua ini tidak benar, ia diusir oleh Evelyn
yang sudah terlanjur bahagia karena dapat bersama suaminya lagi. Rekening
Evelyn telah diisi oleh Will dan mereka memperluas pekerjaan mereka di kota
terpencil, Brightwood. Impian mereka menjadi kenyataan ketika 2 tahun kemudian
Will menemukan nanotechnology yang mampu menyembuhkan orang seketika.
Namun obsesi Will menjadi terlalu bahaya karena akan membawa evolusi
besar-besaran di dunia, Evelyn pun disadarkan oleh Max, Joseph Tagger, Agen FBI
Buchanan.
Konsep cerita yang diangkat
Transcendence sebenarnya cukup menarik, terlepas dari tema yang sudah umum di
dunia scifi. Debut penyutradaraan Wally Pfister yang biasanya menjadi
cinematographer dari film-film Christopher Nolan juga berhasil menyajikan
visual yang artistik. Banyak potongan-potongan gambar yang indah dan
meyakinkan. Namun sayang, naskah film ini terlalu lemah, dan penyutradaraan
Wally Pfister masih terasa kaku, meskipun Christopher Nolan menjadi
produsernya.
Memilih untuk menyajikan cerita
secara flashback tidak terlihat sebagai keuntayungan film ini. Narasi
Max Waters di awal terasa kaku, tidak memberikan rasa penasaran pada penonton.
Bahkan pada akhirnya secara logika tetap tidak dapat dimengerti, mengapa
akhirnya listrik di seluruh dunia harus mati? Penonton terasa sulit mengikuti
lompatan teknologi yang diceritakan dalam Transcendence, sehingga banyak yang
terasa tidak logis. Nanotechnology yang diceritakan pun lebih mendekati “sihir”
daripada kecanggihan teknologi. Sulit memahami mengapa dengan menyembuhkan para
manusia itu, mereka jadi terikat dengan Will? Mengapa nanotechnolgy bisa
membuat mereka menjadi sangat kuat? Bahkan pada akhirnya, apakah mungkin virus
yang diciptakan dalam waktu singkat bisa menghancurkan Will yang tampak sebagai
maha-hadir dan maha-kuat?
Pendalaman karakter di sini pun
terasa datar. Johnny Depp mungkin tidak dapat berbuat banyak karena di separoh
lebih film ia hanya tampil close-up di layar, berperan sebagai suatu mesin yang
tidak memiliki ekspresi dan emosi seperti manusia. Seperti itu juga akting
Johnny Depp yang tidak terlalu berarti dalam film ini. Chemistry-nya dengan
Rebecca Hall juga terasa sangat palsu, tidak dapat membangkitkan rasa romantis
sama sekali. Sebenarnya akting Hall tidaklah buruk, tetapi peran yang ia pegang
memang berat, sehingga tidak heran bila tuduhan terberat jatuh kepadanya,
karena tampaknya ia belum mampu memegang peran sepenting itu. Morgan Freeman
dan Cillian Murphy jelas disia-siakan dalam film ini. Peran mereka sebagai
figuran tidak mendapatkan jatah yang sepantasnya, sehingga karakter mereka
hanya tampak seperti tempelan. Yang paling mending dalam film ini adalah Paul
Bettany, itu pun karena ia muncul sebagai “jagoan” dalam film ini. Singkat
cerita, sepertinya percuma budenganet yang besar dihamburkan untuk membayar
para artis ini, karena mereka tidak mendapatkan porsi yang sepadan dengan
besarnya gaji mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar