Selasa, 27 Januari 2015

Transendence

Transcendence merupakan film science-fiction yang mengangkat cerita tentang pasangan Dr. Will Caster & Evelyn Caster yang berambisi untuk menciptakan kecerdasan buatan yang mampu membuat dunia menjadi lebih baik : menyembuhan kanker, memulihkan alam, dan sebagainya. Namun insiden terjadi, kolega dan tim mereka dibunuh oleh sebuah organisasi ekstrem anti-teknologi yang dipimpin Bree. Bahkan Dr. Will Caster sekarat karena tertembak. Evelyn tidak siap kehilangan suaminya, sehingga ia mengajak sahabat mereka Max Waters untuk membuat eksperimen memindahkan kesadaran Will ke dalam PINN — sebuah prosesor yang sangat amat cerdas buatan Will. Ketika percobaan ini berhasil, Will hidup di dalam PINN, meminta untuk dihubungkan dengan internet. Ketika Max merasa semua ini tidak benar, ia diusir oleh Evelyn yang sudah terlanjur bahagia karena dapat bersama suaminya lagi. Rekening Evelyn telah diisi oleh Will dan mereka memperluas pekerjaan mereka di kota terpencil, Brightwood. Impian mereka menjadi kenyataan ketika 2 tahun kemudian Will menemukan nanotechnology yang mampu menyembuhkan orang seketika. Namun obsesi Will menjadi terlalu bahaya karena akan membawa evolusi besar-besaran di dunia, Evelyn pun disadarkan oleh Max, Joseph Tagger, Agen FBI Buchanan.
Konsep cerita yang diangkat Transcendence sebenarnya cukup menarik, terlepas dari tema yang sudah umum di dunia scifi. Debut penyutradaraan Wally Pfister yang biasanya menjadi cinematographer dari film-film Christopher Nolan juga berhasil menyajikan visual yang artistik. Banyak potongan-potongan gambar yang indah dan meyakinkan. Namun sayang, naskah film ini terlalu lemah, dan penyutradaraan Wally Pfister masih terasa kaku, meskipun Christopher Nolan menjadi produsernya.
Memilih untuk menyajikan cerita secara flashback tidak terlihat sebagai keuntayungan film ini. Narasi Max Waters di awal terasa kaku, tidak memberikan rasa penasaran pada penonton. Bahkan pada akhirnya secara logika tetap tidak dapat dimengerti, mengapa akhirnya listrik di seluruh dunia harus mati? Penonton terasa sulit mengikuti lompatan teknologi yang diceritakan dalam Transcendence, sehingga banyak yang terasa tidak logis. Nanotechnology yang diceritakan pun lebih mendekati “sihir” daripada kecanggihan teknologi. Sulit memahami mengapa dengan menyembuhkan para manusia itu, mereka jadi terikat dengan Will? Mengapa nanotechnolgy bisa membuat mereka menjadi sangat kuat? Bahkan pada akhirnya, apakah mungkin virus yang diciptakan dalam waktu singkat bisa menghancurkan Will yang tampak sebagai maha-hadir dan maha-kuat?
Pendalaman karakter di sini pun terasa datar. Johnny Depp mungkin tidak dapat berbuat banyak karena di separoh lebih film ia hanya tampil close-up di layar, berperan sebagai suatu mesin yang tidak memiliki ekspresi dan emosi seperti manusia. Seperti itu juga akting Johnny Depp yang tidak terlalu berarti dalam film ini. Chemistry-nya dengan Rebecca Hall juga terasa sangat palsu, tidak dapat membangkitkan rasa romantis sama sekali. Sebenarnya akting Hall tidaklah buruk, tetapi peran yang ia pegang memang berat, sehingga tidak heran bila tuduhan terberat jatuh kepadanya, karena tampaknya ia belum mampu memegang peran sepenting itu. Morgan Freeman dan Cillian Murphy jelas disia-siakan dalam film ini. Peran mereka sebagai figuran tidak mendapatkan jatah yang sepantasnya, sehingga karakter mereka hanya tampak seperti tempelan. Yang paling mending dalam film ini adalah Paul Bettany, itu pun karena ia muncul sebagai “jagoan” dalam film ini. Singkat cerita, sepertinya percuma budenganet yang besar dihamburkan untuk membayar para artis ini, karena mereka tidak mendapatkan porsi yang sepadan dengan besarnya gaji mereka.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar