Untuk apa anda bekerja? Itu pertanyaan yang terkadang sulit untuk dijawab,
karena banyak faktor yang menyebabkan orang untuk meredefinisi dan mencari
argumentasi setiap jawaban yang bakal keluar dari mulutnya, atau setidaknya
hinggap dibenaknya. Banyak hal yang melatarbelakangi niat seseorang dalam
bekerja, jika mengikuti teori Maslow, mulai dari kebutuhan terendah seperti
makan (dan kebutuhan fisiologis lainnya), status sosial sampai kebutuhan untuk
aktualisasi diri. Dan seringkali jawaban-jawaban yang keluar atas pertanyaan
tadi, adalah realita yang melatarbelakangi kualitas pekerjaan seseorang.
Saya pernah ditanya, kenapa senang sekali berpindah-pindah tempat kerja.
Awalnya saya juga pernah dibuat bingung oleh orang yang senang sekali berganti
pekerjaan. Namun seiring perjalanan waktu, penglihatan dan apalagi langsung
mengalami, saya jadi tak perlu bertanya-tanya lagi. Dan kepada yang bertanya
kepada saya, saya hanya bertanya balik, kenapa Anda betah berlama-lama bekerja
di satu tempat? Saya yakin, jawaban saya dan dia, akan ada garis biru yang
menghubungkan kesamaannya.
Orang yang bekerja sekedar untuk mencari
makan (baca: uang) akan selalu berorientasi pada seberapa banyak yang bisa
didapat dan seberapa banyak pula tenaga dan pikiran yang harus diberikan. Jika
sedikit bayarannya, maka sedikit pula yang dilakukan. Hal ini menjadi wajar
karena tidak sedikit pula perusahaan yang mengukur prestasi dan menilai kinerja
karyawannya dengan materi, sehingga secara tidak langsung membudayakan kerja
berdasarkan materi. Namun satu hal yang patut direnungkan oleh setiap
perusahaan, ini akibat dari bentuk kapitalisme yang membudaya, bahwa kepada yang
membayar lebih tinggi, kepada merekalah seseorang akan memberikan loyalitasnya.
Dan ini mesti menjadi pelajaran kenapa banyak orang kemudian beralih dan
menggeser tempat duduknya dari satu gedung ke gedung lainnya.
Oleh
karenanya, prinsip the right man on the right place saja tidak cukup, mesti
ditambah in the right time. Seseorang yang profesional akan merasa bukan
waktunya lagi berada di tempat yang meski tepat, tetapi ruang dan kesempatannya
untuk mengaktualisasikan dirinya semakin sempit. Bisa jadi ia masih dibutuhkan
ditempatnya bekerja karena mungkin sangat jarang menemukan SDM bermutu
sepertinya, tetapi jika kemudian ia merasa mendapatkan kesempatan dan ruang baru
baginya untuk lebih banyak berbuat, itulah yang dicarinya. Dan biasanya, jika
sudah demikian, orang-orang seperti ini tidak akan pernah menyia-nyiakan
kesempatan emas yang datang. Baginya, kesempatan seringkali tidak datang dua
kali.
Lain halnya dengan orang-orang yang bekerja berlatarbelakang
materi, jika tak sesuai materi yang didapat, maka pilihannya cuma dua, keluar
dari perusahaan atau bekerja dibawah standard. Kalaupun akhirnya dia pindah dan
mendapat pekerjaan baru, jika tak merubah cara pandangnya terhadap pekerjaan
yang juga merupakan amanah, maka tak heran jika di tengah jalan, orang-orang
seperti ini akan melemah kembali, dan bekerja pun kembali seusai dengan typenya,
tergantung bayaran.
Orang yang bekerja dibawah standard dari yang
seharusnya dikerjakan, padahal ia digaji dengan standard yang sudah disesuaikan
dengan apa yang menjadi kewajibannya, adalah orang yang zhalim. Dan semestinya,
seorang mukmin tidak memiliki mental dan karakter demikian. Bahkan adil saja
tidak cukup. Orang yang bekerja sesuai dengan standard dan memenuhi semua
kewajibannya, adalah orang yang bersikap adil. Dan ia tidak berdosa dengan
keadilan yang sudah dipenuhinya. Namun saat ini, ada trend baru orang-orang
dalam bekerja, yakni bekerja lebih dari waktu, standard dan kewajiban yang
semestinya dilakukan. Yang demikian, sungguh telah berbuat Ihsan.
Aktualisasi diri, tingkatan tertinggi kebutuhan hidup manusia menurut
Maslow, dalam kamus Islam adalah Ihsan. Tak mempedulikan berapa banyak ia
dibayar, tetapi karena ia memandang pekerjaan sebagai satu bentuk dari ibadah
dan penghambaan kepada Allah, maka seperti halnya ibadah-ibadah yang lain, maka
dalam bekerja pun orientasinya tidak materi semata. Baginya pekerjaan adalah
amanah dan ia mesti memelihara amanah tersebut sebaik-baiknya, bahkan meski
untuk melakukan amanah tersebut, sedikit apresiasi yang didapatnya. Tidak ada
kamus kecewa, karena baginya, selesai melaksanakan kewajibannya dan bahkan lebih
baik dari target waktu dan standard semestinya adalah kepuasan tersendiri.
Kepada Rasulullah, Jibril pernah bertanya tentang Ihsan, dan Rasulullah
mengatakan, “... Kamu beribadah kepada Allah seolah kamu melihat Allah, walaupun
kamu tidak bisa melihat Allah, sesungguhnya Allah melihat kamu”. Orang-orang
yang berbuat Ihsan, tidak mempedulikan atasannya melihat atau tidak
pekerjaannya, karena ia teramat yakin dengan ketentuan Allah tentang balasan
berbuat Ihsan. Jika bukan manusia yang memberikan apresiasi karena tak
mengetahui pekerjaannya, Allah-lah yang akan memberikan penghargaan. Adakah yang
lebih baik dari penghargaan Allah? Wallaahu ‘a’lam bishshowaab. (Bayu
Gaw)
sumber : eramuslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar