Mudharabah
A. Pengertian
Kata mudharabah berasal dari kata dharb ( ضرب ) yang berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Suatu kontrak disebut mudharabah,
karena pekerja (mudharib) biasanya membutuhkan suatu perjalanan untuk
menjalankan bisnis. Sedangkan perjalanan
dalam bahasa Arab disebut juga dharb fil Ardhi (فِي الْأَرْض ضرب ِ).
Dalam bahasa Iraq (penduduk Iraq) menamakannya mudharabah, sedangkan
penduduk Hijaz menyebutnya qiradh.
Qiradh berasal dari kata al-qardhu, yang berarti al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya
untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Mudharabah atau qiradh termasuk dalam kategori syirkah.
Di dalam Al-Quran, kata mudharabah tidak disebutkan secara jelas dengan
istilah mudharabah. Al-Quran hanya menyebutkannya secara musytaq dari
kata dharaba yang terdapat sebanyak 58 kali. Beberapa ulama memberikan pengertian
mudharabah atau qiradh sebagai berikut:
a) Menurut para fuqaha, mudharabah ialah
akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan
hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah
ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan.
b)
Menurut
Hanafiyah, mudharabah adalah “Akad
syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa”.
c)
Malikiyah
berpendapat bahwa mudharabah adalah: ”Akad
perwakilan, di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk
diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)”.
d)
Imam
Hanabilah berpendapat bahwa Mudharabah adalah: ”Ibarat pemilik harta menyerahakan hartanya dengan ukuran tertentu
kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui”.
e)
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa Mudharabah adalah: ” Akad yang menentukan seseorang menyerahakan hartanya kepada orang lain
untuk ditijarahkan”.
f) Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan
Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah: “Seseorang menyerahkan harta kepada
yang lain untuk ditijarhakan dan keuntungan bersama-sama.”
g) Al-Bakri Ibn al-Arif Billah al-Sayyid
Muhammad Syata berpendapat bahwa Mudharabah ialah: “Seseorang
memberikan masalahnya kepada yang lain dan di dalmnya diterima penggantian.”
h)
Sayyid
Sabiq berpendapat, Mudharabah ialah “akad
antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk
diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian”.
i) Menurut Imam
Taqiyuddin, mudharabah ialah ”Akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan
perdagangan.”
Dari beberapa
pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak
pertama adalah pemilik modal (shahibul
maal), sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola modal (mudharib),
dengan syarat bahwa hasil keuntungan yang diperoleh akan dibagi untuk kedua
belah pihak sesuai dengan kesepakatan bersama (nisbah yang telah disepakati),
namun bila terjadi kerugian akan ditanggung shahibul maal.
Skema Mudharabah
Modal 100%
Bagi
Hasil + Modal
B. Dasar Hukum
· Dalil Qur’an
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui
bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu
orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di
jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman
yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang
paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Muzzammil [73]: 20)
Kata yang
menjadi wajhud-dilalah atau argument dari ayat di atas adalah yadhribun
yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan
suatu perjalanan usaha.
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari
karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari
'Arafat (selesai wuquf), berdzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram dan
berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu;
dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”.
[Al-Baqarah (2): 198]
· Dalil Hadist
كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ
مُضَارَبَة اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ
يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ
دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ
ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).
”Adalah Abbas bin Abdul Muththalib, apabila ia menyerahkan sejumlah harta
dalam investasi mudharabah, maka ia membuat syarat kepada mudharib, agar harta
itu tidak dibawa
melewati lautan, tidak menuruni lembah dan tidak dibelikan kepada
binatang, Jika mudharib melanggar
syarat2 tersebut, maka ia bertanggung jawab menanggung risiko. Syarat-syarat
yang diajukan Abbas tersebut sampai kepada Rasulullah Saw, lalu Rasul
membenarkannya”.(HR
ath_Thabrani). Hadist ini menjelaskan praktek mudharabah muqayyadah.
ثلاثة فيهن البركة : المقارضة والبيع الى اجل وخلط
البر باالشعير للبيت لا للبيع(ابن ماجه)
“Tiga macam mendapat barakah: muqaradhah/
mudharabah, jual beli secara tangguh,
mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”. (HR.Ibnu Majah).
عن عبد الله و عبيد
الله ابني عمر أنهما لقيا أبو موسى
ألأشعري باالبصرة منصرفهما من غزوة نهاوند فتسلفا
منه مالا وابتاعا منه متاعا و قدما
به المدينة فباعاه و ربحا فيه و أراد عمر أخذ رأس المال الربح
كله فقالا لو كان تلف كان ضمنه علينا فكيف لا يكون الربح لنا فقال رجل يا أمير المؤمنين لو جعلته قراضا فقال قد جعلته قراضا وأخذ منهما نصف الربح (أخرجه مالك )
Dari Abdullah dan ‘Ubaidullah, keduanya
anak Umar, bahwa keduanya bertemu dengan Abu Musa Al-Asy’ary di Basrah, setelah
pulang dari perang Nahawand. Keduanya menerima harta dari Abu Musa untuk dibawa
ke Madinah (ibu kota).
Di perjalanan keduanya membeli harta benda perhiasan, lalu menjualnya di
Madinah, sehingga keduanya mendapat keuntungan. Umar memutuskan untuk mengambil
modal dan keuntungan semuanya. Tetapi kedua anaknya berkata,”Jika harta itu
binasa, bukankah kami yang bertanggung jawab menggantinya. Bagaimana mungkin
tak ada keuntungan untuk kami?”. Maka berkata seseorang kepada Umar,“Wahai
Amirul Mukminin, alangkah baiknya jika engkau jadikan harta itu sebagai qiradh”.
Umar pun menerima usulan itu. Umar berkata,”Aku menjadikannya qiradh”. Umar
mengambil separoh dari keuntungan (50 % untuk Baitul Mal dan 50% untuk kedua
anaknya).
Mudharabah menurut Ibn Hajar telah ada
sejak zaman Rasulullah, beliau mengetahui dan mengakuinya. Bahkan sebelum
diangkat menjadi Rasul, Muhammad telah melakukan Qiradh/ mudharabah. Muhammad
mengadakan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah r.a
yang kemudian menjadi istri beliau.
Di samping dalil Qur’an dan dalil Hadist
di atas, para ulama juga berlandaskan pada praktik mudharabah yang dilakukan
sebagian sahabat, sedangkan sahabat lain tidak membantahnya. Bahkan harta yang
dilakukan secara mudharabah itu di zaman mereka kebanyakan adalah harta anak
yatim. Oleh sebab itu berdasarkan dalil Qur’an, Hadist, dan praktik para
sahabat, para ulama fiqih menetapkan bahwa akad mudharabah apabila telah
memenuhi rukun dan syaratnya maka hukumnya adalah boleh.
C. Rukun dan Syarat
Rukun dan syarat-syarat sah
mudharabah adalah sebagai berikut:
1.
Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor
(pemilik modal) dan pengelola (mudharib). Kedua belah pihak yang melakukan akad
disyaratkan mampu melakukan tasharruf atau cakap hukum, maka dibatalkan akad
anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah
pengampuan.
2. Modal atau harta pokok (mal),
syarat-syaratnya yakni:
A. Berbentuk uang
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa modal harus berupa uang dan tidak boleh barang.
Mudharabah dengan barang dapat menimbulkan kesamaran, karena barang pada
umumnya bersifat fluktuatif. Apabila barang itu bersifat tidak fluktuatif
seperti berbentuk emas atau perak batangan (tabar), para ulama berbeda
pendapat. Imam malik dalam hal ini tidak tegas melarang atau membolehkan. Namun
para ulama mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran
modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal.
Contohnya,
seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserahkan kepada mudharib (pengelola
modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobal tersebut wajib
ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya Rp90.000.000, maka modal
mudharabah tersebut adalah Rp90.000.000.
B. Jelas jumlah dan jenisnya
Jumlah modal harus diketahui
dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba
atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah
pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
C. Tunai
Hutang
tidak dapat dijadikan modal mudharabah. Tanpa adanya setoran modal, berarti
shahibul mal tidak memberikan kontribusi apapun padahal mudharib telah bekerja.
Para ulama syafi’i dan Maliki melarang hal itu karena merusak sahnya akad. Selain
itu hal ini bisa membuka pintu perbuatan riba, yaitu memberi tangguh kepada si
berhutang yang belum mampu membayar hutangnya dengan kompensasi si berpiutang
mendapatkan imbalan tertentu. Dalam hal ini para ulama fiqih tidak berbeda
pendapat.
D. Modal diserahkan sepenuhnya kepada
pengelola secara langsung
Apabila
tidak diserahkan kepada mudharib secara langsung dan tidak diserahkan
sepenuhnya (berangsur-angsur) dikhawatirkan akan terjadi kerusakan pada modal,
yaitu penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai bekerja dan akibat yang lebih
jauh mengurangi kerjanya secara maksimal. Apabila modal itu tetap dipegang
sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan sepenuhnya, maka
menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah.
Sedangkan ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di
tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usahanya.
3. Keuntungan, syarat-syaratnya yakni:
A. Proporsi jelas. Keuntungan yang akan menjadi milik
pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, seperti 60% : 40%, 50% : 50% dan
sebagainya menurut kesepakatan bersama.
B. Keuntungan harus dibagi untuk kedua belah pihak, yaitu
investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
C. Break Even Point (BEP) harus jelas, karena BEP
menggunakan sistem revenue sharing dengan profit sharing berbeda. Revenue
sharing adalah pembagian keuntungan yang dilakukan sebelum dipotong biaya
operasional, sehingga bagi hasil dihitung dari keuntungan kotor/ pendapatan. Sedangkan
profit sharing adalah pembagian keuntungan dilakukan setelah dipotong biaya
operasional, sehingga bagi hasil dihitung dari keuntungan bersih.
4. Ijab Qobul.
Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu
untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
D. Hikmah dan Pembagian Mudharabah
Dilihat dari transaksi (akad) yang
dilakukan oleh shahibul mal dan mudharib, mudharabah terbagi
menjadi :
a) Mudharabah Muqayyadah ( Restricted Investment Account ),
yaitu bentuk kerja sama antara dengan syarat-syarat dan batasan tertentu. Dimana
shahibul mal membatasi jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Dalam istilah ekonomi Islam modern, jenis
mudharabah ini disebut Restricted Investment Account. Batasan-batasan
tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian. Syarat-syarat
itu harus dipenuhi oleh si mudharib. Apabila mudharib melanggar
batasan-batasan ini, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.
Pembatasan
pada jenis mudharabah ini diperselisihkan para ulama mengenai keabsahannya.
Namun yang rajih, pembatasan tersebut berguna dan sama sekali tidak menyelisihi
dalil syar'i, karena hanya sekedar
ijtihad dan dilakukan berdasarkan kesepakatan dan keridhaan kedua belah
pihak, sehingga wajib ditunaikan. Cara pencatatan mudharabah muqayyadah ada dua
macam, yakni:
a. Off Balance Sheet,
ketentuan-ketentuannya yaitu:
1. Bank
Syari’ah bertindak sebagai arranger saja
dan mendapat fee sbg arranger
2. Pencatatan transaksi di bank syari’ah
secara off balance sheet
3. Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah
investor dan debitur saja
4. Besar bagi hasil sesuai kesepakatan nasabah investor dan debitur
b. On
Balance Sheet, ketentuan-ketentuannya yaitu:
1. Nasabah Investor mensyarakatkan sasaran pembiayaan dananya, seperti untuk pertanian tertentu, properti, atau pertambangan saja
2. Pencacatan di bank Syari’ah secara on balance
sheet
3. Penentuan nisbah bagi hasil atas kesepakatan
bank dan nasabah
b) Mudharabah Muthlaqah ( Unrestricted
Investment account ), yaitu bentuk kerja sama antara shahibul mal
dan mudharib tanpa syarat atau tanpa dibatasi oleh spesifikasi jenis
usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam bahasa Inggris, para ahli ekonomi Islam
sering menyebut mudharabah muthlaqah sebagai Unrestricted Investment
Account (URIA). Maka apabila terjadi kerugian dalam bisnis tersebut, mudharib
tidak menanggung resiko atas kerugian. Kerugian sepenuhnya ditanggulangi
shahibul mal.
c) Mudharabah Musytarakah, adalah bentuk
mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama
investasi.
E. Fatwa DSN
·
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.
07/DSN-MUI/ IV/ 2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Ketentuan Pembiayaan:
1) Pembiayaan
Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk
suatu usaha yang produktif.
2) Dalam
pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 %
kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai
mudharib atau pengelola usaha.
3) Jangka waktu
usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4) Mudharib
boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai
dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau
proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5) Jumlah dana
pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6) LKS sebagai
penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika
mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi
perjanjian.
7) Pada
prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib
tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau
pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti
melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam
akad.
8) Kriteria
pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh
LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9) Biaya
operasional dibebankan kepada mudharib.
10)Dalam hal
penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran
terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah
dikeluarkan.
Kedua : Rukun dan Syarat
Pembiayaan:
- Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
- Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
- Modal
ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada
mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad. - Keuntungan
mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat
keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkankesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. - Kegiatan
usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang
disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1) Mudharabah
boleh dibatasi pada periode tertentu.
2) Kontrak
tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang
belum tentu terjadi.
3) Pada
dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini
bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian,
atau pelanggaran kesepakatan.
4) Jika salah
satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
·
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 50/
DSN-MUI/ III/ 2006 Tentang Akad
Mudharabah Musytarakah
Pertama : Ketentuan
Umum
Mudharabah Musytarakah adalah bentuk akad
Mudharabah di mana pengelola (mudharib)
menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi.
Kedua : Ketentuan Hukum
Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh
Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS), karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.
Ketiga : Ketentuan Akad
- Akad yang digunakan adalah akad Mudharabah Musytarakah, yaitu perpaduan dari akad Mudharabah dan akad Musyarakah.
- LKS sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama nasabah.
- LKS sebagai pihak yang menyertakan dananya (musytarik) memperoleh bagian keuntungan berdasarkan porsi modal atau yang disertakan.
- Bagian keuntungan sesudah diambil oleh LKS sebagai musytarik dibagi antara LKS sebagai mudharib dengan nasabah dana sesuai dengan nisbah yang disepakati.
- Apabila terjadi kerugian maka LKS sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.
Keempat : Ketentuan Penutup
- Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
- Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
F. Perbedaan
Bunga dan Bagi Hasil
No
|
Bunga
|
Bagi Hasil
|
1.
|
Penentuan bunga dibuat sebelum
nya (pada waktu akad) tanpa
berpedoman pada untung rugi
|
Penentuan besarnya rasio bagi hasil
dibuat pada waktu akad dgn berpedoman pada untung rugi
|
2.
|
Besarnya persentase (bunga)
ditentukan sebelumnya berdasar
kan jumlah uang yang dipinjamkan
|
Besarnya bagi hasil berdasarkan
keuntungan, sesuai dgn rasio yang disepakati
|
3.
|
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
sekalipun jumlah keuntungan meningkat
|
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
dengan peningkatan pendapatan
|
4.
|
Jika terjadi kerugian, ditanggung si
Peminjam saja, berdasarkan pemba
yaran bunga tetap yang dijanjikan
|
Jika terjadi kerugian ditanggung kedua
belah pihak
|
5.
|
Besarnya bunga yang harus dibayar si
peminjam pasti diterima bank
|
Keberhasilan usaha menjadi perhatian
bersama
|
6.
|
Umumnya Agama (terutama Islam)
Mengecamnya
|
Tidak ada yang Meragukan Sistem Bagi
Hasil
|
7.
|
Berlawanan dgn Surah Luqman : 34
|
Melaksanakan Surah Luqman : 34
|
G. Aplikasi
Mudharabah di Bank Syariah
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan.
Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada :
a) Tabungan
mudharabah adalah simpanan pihak ketiga di Bank Syariah yang penarikannnya
dapat dilakukan setiap saat atau beberapa hari sesuai perjanjian. Dalam hal ini
Bank bertindak sebagai Mudharib ( pengelola modal) dan deposan sebagai Shahibul
Maal (pemilik modal). Bank sebagai mudharib akan membagi keuntungan kepada
shahibul Maal sesuai dengan nisbah (persentase) yang telah disepakati bersama.
b) Deposito
Mudharabah ( Deposito Investasi Mudharabah) merupakan investasi melalui
simpanan pihak ketiga (perorangan atau badan hukum), yang penarikannnya hanya
dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo) dengan mendapatkan
imbalan bagi hasil.
Adapun dari sisi
pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk :
a) Pembiayaan
modal kerja. Bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja
sepenuhnya (pemilik modal/ sahhibul maal), sedangkan nasabah menyediakan usaha
dan manajemennya (mudharib) Hasil keuntungan akan dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama dalam bentuk nisbah (persentase) tertentu dari keuntungan
misalnya 65% : 35%.
b) Investasi
khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, di mana sumber dana khusus dengan
penyaluran dana yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
shahibul maal.
Mekanisme dan Sistem Operasi Mudharabah di Bank Syariah
Pendanaan Mudharabah Pembiayaan Mudharabah
Bank Syariah
Bagi Hasil Bagi Hasil
Dalam praktik perbankan syariah, kini dikenal dua bentuk
mudharabah muqayyadah, yaitu:
a) On balance
sheet, yaitu aliran dana terjadi dari satu nasabah investor ke
sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas, misalnya pertanian,
manufaktur dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya
hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor pertambangan, properti dan
pertanian. Selain berdasarkan sektor, nasabah investor dapat saja mensyaratkan
berdasarkan jenis akad yang digunakan, misalkan hanya berdasarkan akad
penjualan kredit saja. Skema ini disebut On balance Sheet karena dicatat dalam
neraca Bank.
b) Off balance
sheet, yaitu aliran dana berasal dari satu nasabah investor
kepada satu nasabah pembiayaan (yang dalam bank konvensional disebut debitur).
Di sini bank syariah hanya bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan
transaksinya di bank syariah dilakukan secara off balance sheet. Bagi hasilnya
hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha sesuai dengan kesepakatan
mereka, sedangkan bank hanya memperoleh arranger fee.
H. Jaminan (Collateral)
- Jaminan mudharabah dalam litelatur fiqih
Hubungan antara investor dengan mudharib adalah hubungan
yang bersifat "gadai" dan mudharib adalah orang yang dipercaya, maka
tidak ada jaminan oleh mudharib kepada investor. Investor tidak dapat menuntut
jaminan apapun dari mudharib untuk mengembalikan modal dengan keuntungan. Jika
investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudharib dan menyatakan hal ini
dalam syarat kontrak, maka kontrak mudharabah mereka tidak sah, demikian
menurut Malik dan Syafi’i.
2. Jaminan
mudharabah dalam perbankan syariah
Berdasarkan fatwa DSN – MUI mengenai pembiayaan
mudharabah (qiradh) bahwa pada prinsipnya dalam mudharabah tidak ada jaminan.
Namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, Lembaga Keuangan Syari’ah
dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat
dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang
telah disepekati bersama dalam akad. Jadi
jaminan hanya untuk menunjukan keseriusan dan mencegah mudharib melakukan
penyelewengan. Seperti pernyataan yang dikutip dari AAOIFI, Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institutions, Bahrain, 1998 bahwa “Collateral is important to protect Islamic bank from
any misconduct”.
J. Aplikasi
Mudharabah di Lembaga Keuangan Syariah
· Asuransi
Syariah
1. Takaful
keluarga
Premi takaful yang diterima dimasukkan ke dalam ”Rekening
Tabungan” yaitu rekening tabungan peserta dan ”Rekening Khusus (Tabarru’) yaitu
rekening yang khusus disediakan untuk kebaikan berupa pembayaran klaim (manfaat
takaful) kepada ahli waris jika di antara peserta ada yang meninggal dunia atau
mengalami musibah lainnya. Premi takaful tersebut disatukan dalam kumpulan dana
peserta, kemudian dikembangkan melalui investasi proyek yang dibenarkan Islam,
dengan menerapkan prinsip al-mudharabah sesuai dengan kesepakatan misalnya 70 %
keuntungan untuk peserta dan 30 % untuk perusahaan. Dari keuntungan peserta
yang 70 % itu dimasukkan dalam rekening tabungan dan rekening khusus secara
proporsional. Sedangkan keuntungan perusahaan sebesar 30 % dipergunakan untuk
pembiayaan operasional perusahaan.
–
Realisasi pembayaran rekening dilakukan jika :
•
masa pertanggungan berakhir
•
peserta mengundurkan diri dalam masa pertanggungan.
•
Peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan.
- Sedangkan pembayaran rekening dilakukan jika :
•
peserta meninggal dunia dalam masa peratanggungan
•
masa pertanggungan berakhir (jika ada).
2. Takaful umum
Premi Takaful yang diterima dimasukkan kedalam rekening
khusus (tabarru’) yaitu rekening yang khusus disediakan untuk kebaikan berupa
pembayaran klaim kepada peserta jika sewaktu-waktu tertimpa musibah baik
terhadap harta maupun diri peserta. Premi Takaful tersebut dimasukkan ke dalam
”Kumpulan Dana Peserta”, kemudian dikembangkan melalui investasi proyek yang
dibenarkan Islam. Keuntungan investasi yang diperoleh dimasukkan ke dalam
”Kumpulan Dana Peserta”. Setelah dikurangi beban asuransi (klaim, premi
asuransi) dan masih terdapat kelebihan , maka kelebihan itu akan dibagi menurut
prinsip al-mudharabah. Keuntungan peserta akan dikembalikan kepada peserta yang
tidak mengalami musibah. Sedangkan keuntungan perusahaan akan digunakan untuk
pembiayaan operasional perusahaan.
•
Pegadaian
Syariah
Akad
mudharabah diterapkan untuk nasabah yang menginginkan untuk menggadaikan
jaminannya guna menambah modal usaha (pembiayaan investasi atau modal kerja).
Dengan demikian rahin akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan usaha
yang diperoleh kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan sampai dengan modal
yang dipinjam terlunasi.
•
BMT
Dalam BMT
aplikasi mudharabah tidak jauh berbeda dengan aplikasi mudharabah pada
perbankan syariah. Hal ini berkaitan dengan penyaluran dana BMT kepada nasabah
yang terdiri dari dua jenis, yaitu: pertama, pembiayaan dengan sistem bagi
hasil ; kedua, jual beli dengan pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan ini merupakan
penyaluran dana BMT kepada pihak ketiga, berdasarkan kesepakatan pembiayaan
antara BMT dengan pihak lain dengan jangka waktu tertentu dan nisbah bagi hasil
yang disepakati, hal ini tercermin dari aplikasinya mudharabah sebagai salah
satu bentuk penyaluran dana BMT tersebut.
K. Pembatalan
Mudharabah
Akad mudharabah menjadi
batal apabila ada perkara-perkara sebagai berikut:
1. Tidak
terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat Mudharabah . Jika salah satu syarat mudharabah tidak terpenuhi , sedangkan modal sudah dipegang oleh
pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian
keuntungannya sebagai upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia
melakukan tugas berhak menerima upah. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan
tersebut untuk pemilik modal. Jika ada kerugian, kerugian tersebut menjadi
tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya
berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apa pun, kecuali atas
kelalaiannya.
2. Pengelola
dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola
modal berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan
seperti ini pengelola modal bertanggng jawab jika terjadi kerugian karena
dialah penyebab kerugian.
3. Apabila
pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal
meninggal dunia, mudharabah menjadi
batal.
MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
Secara
Harfiah
Al-muzara’ah (المزرعة) yang berarti tharh al-zur’ah
(melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar)
Secara
Istilah
- Menurut Hanafiyah, muzara’ah (مزرعة) ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi. Sedangkan mukhabarah (مخبررة) menurut Syafi’iyah ialah : Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi.
- Menurut dhahir nash, al-Syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah (مخبررة) ialah menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut. Sedangkan muzara’ah (مزرعة) ialah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.
- Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah (مخبررة) ialah sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola. Dan muzara’ah (مزرعة) ialah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.
Landasan Syariah
Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a :
”Sesungguhnya Nabi SAW menyatakan, tidak
mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian
menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki
tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya,
jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu”.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasa’i dari Rafi’ r.a dari Nabi SAW,
beliau bersabda :
”Yang boleh bercocok tanam hanya tiga macam orang :
laki-laki yang ada tanah, maka dialah yang berhak menanamnya dan laki-laki yang
diserahi manfaat tanah, maka dialah yang menanaminya dan laki-laki yang menyewa
tanah dengan mas atau perak”.
Menurut al-Syafi’iyah , haram hukumnya melakukan muzara’ah (مزرعة). Ia beralasan dengan hadist yang diriwayatkan oleh muslim dari
Tsabut Ibn al-Dhahak :
”Bahwa Rasulullah SAW telah melarang bermuzara’ah
dan memerintahkan sewa – menyewa saja dan Rasulullah SAW bersabda, itu tidak
mengapa”.
Menurut pengarang kitab al-Minhaj , bahwa mukhabarah (مخبررة) , yaitu mengerjakan tanah (menggarap ladang atau sawah) dengan
mengambil sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja dan tidak
boleh pula bermuzara’ah yaitu pengelolaan tanah yang benihnya dari pengolahan
tanah. Pendapat ini beralasan kepada beberapa hadist shahih, antara lain hadist
Tsabit Ibn Dhahak, karena mengingat akibat buruk sering terjadi ketika
berbuah.( Suhendi : 2002).
Rukun dan Syarat
Rukun : Ijab
dan Qabul
Syarat:
- Syarat yang bertalian dengan ’aqidain , yaitu harus berakal.
- Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
- Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu :
a. Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya
(persentasenya) ketika akad
b Hasil adalah milik bersama
c.
Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu
jenis barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya padi kemudian
Amil bagiannya singkong, maka hal ini tidak sah.
d. Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e.Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan
yang ma’lum.
- Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami , yaitu :
a.tanah tersebut dapat ditanami.
b.tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
- Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah :
a.waktunya telah ditentukan
b.waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman
dimaksud, seperti menanam padi waktunya
kurang lebih 4 bulan (tergantung teknologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan
setempat).
c.waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup
menurut kebiasaan.
- Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah , alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
Hikmah Muzara’ah (مزرعة) dan
Mukhabarah (مخبررة)
Muzara’ah dan Mukhabarah (مخبررة)
disyari’atkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa
dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang
juga dibiarkan tidak diproduksikan karena tidak ada yang mengolahnya.
Muzara’ah (مزرعة) dan mukhabarah (مخبررة) terdapat pembagian
hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan
syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada
masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan.
MUSAQAH (مسقة)
Menurut
Bahasa
Musaqah (مسقة)
berasal dari kata al-saqa (السق)
Seseorang
bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya) atau pohon-pohon yang lainnya
supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil
yang diurus sebagai imbalan.
Menurut
istilah
Menurut
Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah, al-musaqah (المسقة)
ialah Mempekerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan
memeliharanya dan hasil yang dirizkikan Allah dari pohon itu untuk berdua.
Landasan
Syariah
Diriwayatkan
Imam Muslim dari Ibnu Amr RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
”Memberikan
tanah Khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan baik buah-buahan maupun
pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah
Khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan
separohnya untuk Nabi”.
Rukun dan
Syarat
Rukun: Ijab
dan Qabul
Syarat:
- Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (Sharih) dan dengan samaran (kinayah), disyaratkan shighat dengan lafazh dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
- Dua orang atau pihak yang berakad (al-‘aqidani), disyaratkan bagi orang-orang yang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola akad, seperti baligh, berakal dan tidak berada dibawah pengampunan.
- Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh diparohkan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan (satu kali dalam setahun) maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati seperti padi, jagung dan yang lainnya.
- Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan, seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah berbuah, juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memetongi cabang-cabang pohon yang akan menghambat kesuburan buah atau mengawinkannya.
- Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan bekerja di kebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat atau ukuran yang lainnya.
Daftar
Pustaka:
Al-Qur’an dan
Terjemahnya.
Agustianto.
Slide Matakuliah Fiqih Muamalah.
PSTTI-UI: 2008