1.
Pusat Pertanggungjawaban (Responsibility Centre)
Menurut Hansen dan
Mowen “Pusat pertanggungjawaban merupakan suatu segmen bisnis yang manajernya
bertanggungjawab terhadap pengaturan
kegiatan-kegiatan tertentu” (Hansen & Mowen, 2006). Sedangkan Hilton
menerangkan bahwa “A responsibility center is a subunit in an organization
whose manager is held accountable for specified financial results of the
subunit’s activities” (Hilton, Hamer, & Frank, 2003).
Dari kedua difinisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pusat
pertanggungjawaban merupakan bagian dari sebuah organisasi yang dipimpin oleh
seorang manajer yang bertanggungjawab atas aktivitas-aktivitas operasional
bagian dari organisasi yang dipimpinnya.
1.1
Sifat Pusat Pertanggungjawaban
Pusat
pertanggungjawaban muncul guna mewujudkan satu atau lebih maksud yang disebut
dengan cita-cita atau tujuan. Dalam suatu perusahaan, manajer senior menentukan
sejumlah strategi untuk mencapai cita-cita atau tujuan perusahaan. Fungsi dari
berbagai pusat pertanggungjawaban dalam perusahaan adalah untuk
mengimplementasikan strategi tersebut.
1.2 Cara
Kerja Pusat Pertanggungjawaban
Adapun
cara kerja pusat tanggungjawab adalah (Anthony & Govindaradjan, 2005):
Pusat
tanggungjawab menerima masukan atau input dalam bentuk sumber daya bahan baku,
tenaga kerja, dan jasa-jasa. Dengan menggunkan modal kerja capital,
peralatan, dan aktiva lainnya, pusat tanggung jawab melaksanakan fungsi-fungsi
tertentu dengan tujuan akhir mengubah input menjadi
output berupa barang dan jasa. Output yang dihasilkan oleh suatu pusat
tanggungjawab kemudian diserahkan kepada pusat tanggungjawab yang lain, dimana
output tersebut bisa menjadi input, atau dilempar ke pasar sebagai output
organisasi sebagai keseluruhan.
1.3
Jenis-jenis Pusat Pertanggungjawaban
1.3.1
Cost Center (Pusat Biaya)
Pusat biaya menurut Hilton dan kawan-kawan adalah sebagai berikut:
“A
cost center is an organization subunit, whose manager is responsible for the
cost of activity for which a well-defined relationship exists between inputs
and outputs” (Hilton, Hamer, &
Frank, 2003).
Dan dari pernyataan diatas, dapat diambil kesimpulan yaitu bahwa pusat
biaya adalah suatu subunit dalam organisasi yang mengontrol biaya dari
aktivitas produksi yang dilakukan dan tidak mengontrol pendapatan dan
investasi, serta ada pembatasan antara masukan dan keluaran karena adanya
tanggungjawab biaya yang harus dipertanggungjawabkan oleh manajer. Pusat biaya
juga mengkonsumsi masukan dan menghasilkan keluaran, namun keluaran pusat
biayanya tidak diukur dalam bentuk pendapatan. Hal ini disebabkan karena
manajer pusat biaya tidak dapat mengendalikan pendapatan penjualan atas
keluaran yang dihasilkannya dan keluaran pusat biaya tidak dapat atau sulit
diukur secara kuantitatif.
Lebih jauh lagi Govindaradjan menjabarkan pusat biaya berdasarkan
karakteristik hubungan masukan dengan keluarannya menjadi (Anthony &
Govindaradjan, 2005):
1.
Pusat Biaya Teknik (engineered expense center)
Yaitu pusat pertanggungjawaban yang sebagian besar masukannya mempunyai
hubungan yang nyata dan erat dengan keluaran.
Contoh pusat biaya teknik adalah departemen produksi, pergudangan, dan
distribusi. Di suatu pusat beban teknik, output dikalikan dengan biaya standar
dari setiap unit untuk mengukur biaya standar dari produk jadi. Manajer pusat
biaya memakai biaya standar dan anggaran fleksibel untuk mengendalikan biaya.
Hal ini dikarenakan pada pusat tanggungjawab buaya teknik ada hubungan kausal
atau sebab akibat antara input dan output. Selisih antara biaya teoritis dan
biaya aktual mencerminkan efisiensi dari pusat beban yang sedang diukur. Pusat
biaya teknik mempunyai beberapa tugas penting lainnya dan tidak diukur hanya
dari biayanya saja.
2.
Pusat Biaya Kebijakan (discretionary expense center)
Yaitu pusat pertanggungjawaban yang
sebagian besar masukannya tidak mempunyai hubungannya yang nyata dan erat
dengan keluarannya.
Contoh pusat biaya kebijakan meliputi unit-unit administratif dan
pendukung (seperti akuntansi, hukum, hubungan industrial, hubungan masyarakat
dan sumber daya manusia), operasi litbang, dan hampir seluruh aktivitas
pemasaran. Dalam pusat biaya kebijakan , input dan outputnya tidak memiliki
hubungan yang nyata dan erat. Output dari pusat biaya ini tidak bisa diukur
secara moneter. Penilaian manajemen dalam pusat biaya ini dicerminkan pada
keputusan pihak manajemen yang berkaitan dengan kebijakan tertentu, seperti
apakah akan menyamai atau melampaui usaha pemasaran para pesaing, tingkat
pelayanan pada konsumen yang harus diberikan perusahaan, dan jumlah moneter
yang akan dikeluarkan dalam aktivitas pusat biaya tersebut.
1.3.2
Revenue Center (Pusat Pendapatan)
Atkinson dan kawan-kawan mendefinisikan pusat pendapatan sebagai
berikut:
“A
Revenue Centers are responsibility centers whose members control revenues, but
no control either the manufacturing or the acquisition cost of the product or
service they sell or the level of investment made in responsibility centers”.
(Atkinson,
Banker, Kaplan, & Young, 2001)
Pusat
pendapatan merupakan bagian dari pusat pertanggungjawaban yang mengontrol
pendapatan, tetapi tidak mengontrol manufakturing dan biaya akuisisi dari
produk atau jasa yang dijual atau tingkat investasi yang dipakai oleh pusat
pertanggungjawaban dan manajernya memegang tanggung jawab untuk menentukan
pendapatan subunitnya. Jadi pusat pendapatan adalah pusat pertanggungjawaban di
dalam suatu organisasi yang prestasinya dinilai berdasarkan pendapatan dan
tidak mengontrol biaya serta tingkat investasi. Ukuran prestasi pusat
pertanggungjawaban ini yang terpenting
adalah pendapatan dan hanya biaya yang dapat dikendalikan langsung oleh setiap
pusat pendapatan.
1.3.3
Profit Center (Pusat Laba)
Atkinson dan kawan-kawan mendefinisikan pusat laba sebagai berikut:
“Profit
Centers are responsibility centers in which managers and other employees
control both the revenues and the costs of the product or service they deliver”
(Atkinson, Banker, Kaplan, & Young, 2001).
Pusat laba merupakan pusat pertanggungjawaban yang manajernya memiliki
tanggungjawab untuk mengontrol pendapatan dan biaya yang dikeluarkan untuk produk
atau jasa yang dihasilkan, tidak mengontrol tingkat investasi. Pusat laba
prestasinya dinilai atas dasar selisih antara pendapatan dengan biaya dalam
pusat pertanggungjawaban yang dipimpinnya. Pada umumnya pusat laba dibentuk
jika perusahaan mempunyai usaha yang bervariasi sifatnya sehingga manajemen
puncak mendelegasikan wewenangnya ke manajer yang lebih rendah.
1.3.4
Investment Center (Pusat Investasi)
Menurut Hilton pusat investasi adalah sebagai berikut:
“A
investment center is an organizational subunit whose manager is held
accountable for the subunit’s profit and the invested capital used by the sub
unit to generate its profit” (Hilton, Hamer, & Frank, 2003).
Pusat
investasi mengharuskan manajer dan karyawannya mengontrol pendapatan, biaya dan
tingkat investasi dalam pusat pertanggungjawaban, karena manajernya bertanggung
jawab untuk keuntungan subunitnya dan penggunaan
modal atau investasi ke dalam subunitnya akan menghasilkan laba. Jadi pusat
investasi dalam suatu organisasi yang mempunyai pengendalian atas biaya dan
pendapatan serta pengendalian atas dana investasi agar memperoleh laba yang
lebih besar.
Ukuran prestasi manajer
pusat investasi dapat berupa rasio antara laba dengan investasi yang digunakan
untuk memperoleh laba tersebut. Rasio ini dikenal dengan pengembalian investasi
disingkat ROI (Return on Investment). Rasio lain yang dapat digunakan
antara lain residual income, rasio produktivitas dan lain-lain.
2.
Return
On Investment (ROI), Residual
Income (RI), Economic Value Added (EVA)
2.1 Return
On Investment
(ROI)
2.1.1
Pengertian Return On Investment (ROI)
“Return on investment menunjukkan seberapa banyak yang bisa dipoles
dari seluruh kekayaan yang dimiliki perusahaan” (Husnan dan Pudjiastuti,
2006:74). Menurut Munawir (2004:89) menjelaskan bahwa “return on investment dimaksudkan untuk dapat mengukur kemampuan
dalam menghasilkan keuntungan dengan keseluruhan dana yang tersedia dalam
aktiva perusahaan”. Menurut Hariadi
(2002:295) “return on investment
merupakan perhitungan nilai yang menunjukkan tingkat pengembalian dari suatu
investasi. Dari beberapa definisi tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
return on investment adalah kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan tingkat pengembalian investasi”.
Rumus untuk menghitung ROI menurut Kasmir (2012:202) sebagai berikut:
2.1.2
Faktor-faktor
yang mempengaruhi Return On Investment
(ROI)
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai ROI
yang dicapai oleh suatu perusahaan. Menurut Munawir (2004:89), nilai ROI
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
(1) Turnover dari operating assets (tingkat perputaran
aktiva yang digunakan untuk operasi).
(2) Profit margin,
yaitu besarnya keuntungan operasi yang dinyatakan dalam prosentase dan jumlah
penjualan bersih. Profit margin ini
mengukur tingkat keuntungan yang dapat dicapai oleh perusahaan dihubungkan
dengan penjualannya.
2.1.3
Manfaat
Return On Investment (ROI)
Analisis ROI
memiliki beberapa manfaat seperti yang dikemukakan oleh Hariadi (2002:299),
yaitu:
(1) Mendorong manajer pusat investasi untuk
memusatkan perhatian pada hubungan antar penjualan, biaya dan investasi.
(2) Mendorong manajer untuk memberikan perhatian
pada efisiensi biaya.
(3) Mendorong manajer untuk memberikan perhatian
pada efisiensi aktiva.
2.1.4
Kelebihan
dan Kekurangan Return On Investment (ROI)
ROI
sebagai alat ukur kinerja perusahaan memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan ROI menurut
Hansen dan Mowen (2005:123), yaitu:
(1) Mendorong manajer untuk memfokuskan pada
hubungan antara penjualan, beban, dan investasi, sebagaimana yang diharapkan
dari manajer pusat investasi.
(2) Mendorong manajer memfokuskan pada efisiensi
biaya.
(3) Mendorong manajer memfokuskan pada efisiensi
aktiva operasi.
Menurut Munawir (2004:91) menjelaskan kelebihan
analisia ROI sebagai berikut:
(1) Tehnik
analisa ROI dapat mengukur eisiensi
penggunaan modal yang bekerja, efisiensi bagian produksi dan efisiensi bagian
penjualan.
(2) Analisa ROI
dapat membandingkan efisiensi penggunaan modal dengan perusahaan lain yang
sejenis.
(3) Analisa ROI
dapat mengukur efisiensi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh divisi, yaitu
dengan mengalokasikan semua biaya dan modal ke dlam divisi yang bersangkutan.
(4) Analisa ROI
dapat mengukur profitabilitas masing-masing produk yang dihasilkan oleh
perusahaan.
(5) Analisa ROI
dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan.
ROI
juga memiliki beberapa kekurangan. Menurut Hansen dan Mowen (2005:124)
kekurangan ROI, yaitu:
(1) ROI
mengakibatkan fokusan yang sempit pada profitabilitas divisi dengn mengorbankan
profitabilitas keseluruhan perusahaan.
(2) ROI
mendorong para manajer untuk berfokus pada kepentingan jangka pendek dengan
mengorbankan kepentingan jangka panjang.
Menurut Munawir (2004:92) kekurangan ROI sebagai
berikut:
(1) Penggunaan return on investment sulit dibandingkan
antara suatu perusahaan dengan perusahaan lain yang sejenis, karena kemungkinan
praktek akuntansi yang digunakan oleh masing-masing perusahaan berbeda.
(2) Adanya
fluktuasi nilai uang.
(3) Dengan
hanya menggunakan analisis return on
investment tidak akan dapat mengetahui perbandingan dua perusahaan atau
lebih secara menyeluruh.
2.1.5
Cara
Meningkatkan ROI
ROI perlu dilakukan perbaikan apabila ROI yang
dicapai tidak memenuhi target perusahaan. Cara meningkatkan ROI menurut
Garrison dkk (2007:263) sebagai berikut:
(1) Peningkatan penjualan
Untuk meningkatkan
penjualan maka persentase kenaikan beban operasi harus lebih kecil daripada
persentase kenaikan penualan.
(2) Penurunan beban operasi
Dengan
menurunkan beban operasi akan mengakibatkan kenaikan laba operasi.
(3) Penurunan aktiva operasi
Untuk mengurangi aktiva operasidilakukan
dengan mepercepat penagihan piutang usaha.
2.2 Analisis Residual Income (RI)
2.2.1
Pengertian
Residual Income (RI)
Residual
Income (RI) adalah
laba yang dihasilkan diatas target pengembalian investasi pada suatu pusat
laba. Residual Income (RI) dapat
dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
RI = Laba
- (Investasi x
target ROI)
2.2.2
Kelebihan
dan Kekurangan Residual Income (RI)
Keunggulan Residual
Income (RI) :
a.
Membuat
semua pusat laba memiliki sasaran yang sama untuk pusat investasi yang
sebanding
b.
Dapat
digunakan tarif beban modal yang berbeda untuk aset yang memiliki risiko yang berbeda
Kelemahan Residual Income (RI) :
a.
RI
hanya mendorong manajer pusat laba untuk berorientasi pada tujuan-tujuan jangka
pendek, karena kinerjanya dibatasi hanya untuk satu periode akuntansi saja
b.
RI
sangat dipengaruhi oleh metode depresiasi yang digunakan perusahaan
c.
Karena
hasil akhir RI adalah berupa angka absolut, bukan rasio, maka sulit untuk
dibandingkan RI dari satu pusat laba dengan RI dari pusat laba lainnya yang
memiliki jumlah investasi yang berbeda.
2.3 Economic Value
Added (EVA)
2.3.1 Pengertian Economic Value Added (EVA)
Metode EVA pertama kali
dikembangkan oleh Stewart & Stern seorang analis keuangan dari perusahaan
Stern Stewart & Co pada tahun 1993. Model EVA menawarkan parameter yang
cukup objektif karena berangkat dari konsep biaya modal (cost of capital)
yakni mengurangi laba dengan beban biaya modal,
EVA adalah nilai tambah ekonomis yang
diciptakan perusahaan dari kegiatan atau strateginya selama periode tertentu.
Prinsip EVA memberikan sistem pengukuran yang baik dalam menilai kinerja dan prestasi keuangan manajemen perusahaan
karena EVA berhubungan langsung dengan nilai pasar suatu perusahaan.
EVA merupakan tujuan
perusahaan untuk meningkatkan nilai atau value added dari modal yang
telah ditanamkan pemegang saham dalam operasi perusahaan. Oleh karenanya EVA
merupakan selisih laba operasi setelah pajak (Net Operating Profit After Tax
atau NOPAT) dengan biaya modal (Cost of Capital).
Peningkatan
EVA dan penciptaan nilai dapat terjadi ketika suatu perusahaan dapat mencapai
yang berikut (Young & O’Bryne, 2001:62) :
a. Meningkatnya
pengembalian atas modal yang ada. Jika NOPAT meningkat sedangkan WACC dan modal
yang diinvestasikan tetap maka EVA akan meningkat.
b. Pertumbuhan
yang menguntungkan, nilai diciptakan ketika pertumbuhan NOPAT melebihi WACC.
c. Pelepasan dari
aktiva yang memusnahkan nilai. Jika pengurangan modal lebih mengganti kerugian
dengan peningkatan perbedaan NOPAT dan WACC, EVA meningkat.
d. Periode lebih
panjang dimana diharapkan NOPAT lebih tinggi dibandingkan WACC.
e. Pengurangan
biaya modal.
2.3.2 Tujuan
Penerapan Metode EVA
Menurut
Abdullah (2003:142) tujuan penerapan metode EVA adalah sebagai berikut :
Dengan
perhitungan EVA diharapkan akan mendapatkan hasil perhitungan nilai ekonomis
perusahaan yang lebih realistis. Hal ini disebabkan oleh EVA dihitung
berdasarkan perhitungan biaya modal (cost of capital) yang menggunakan
nilai pasar berdasarkan kreditur terutama pemegang saham dan bukan menggunakan
nilai buku yang bersifat historis. Perhitungan EVA juga diharapkan mendukung penyajian laporan
keuangan yang akan mempermudah pengguna laporan keuangan seperti investor,
kreditur, karyawan, pemerintah, pelanggan dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan lainnya.
2.3.3 Manfaat Penerapan Metode EVA
Manfaat yang diperoleh dalam penerapan model EVA bagi suatu perusahaan
adalah :
a. Penerapan
model EVA sangat bermanfaat sebagai alat ukur kinerja perusahaan dimana fokus
penilaian kinerja adalah penciptaan nilai (value creation).
b. Penilaian
kinerja keuangan dengan menerapkan model EVA menyebabkan perhatian manajemen
sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Dengan EVA para manajer akan
bertindak seperti halnya pemegang saham yaitu memilih investasi yang dapat
memaksimumkan tingkat pengembalian dan meminimumkan tingkat biaya modal
sehingga nilai perusahan dapat dimaksimalkan.
c. EVA
mendorong perusahaan untuk lebih memperhatikan kebijakan struktur modalnya.
d. EVA
dapat digunakan untuk mengidentifikasi proyek atau kegiatan yang memberikan
tingkat pengembalian yang lebih tinggi dari biaya modalnya. Kegiatan atau
proyek yang memberikan nilai sekarang dari total EVA yang positif menunjukkan
adanya penciptaan nilai dari proyek tersebut dengan demikian sebaiknya diambil,
begitu juga sebaliknya.
2.3.4 Metode Perhitungan Economic
Value Added
Economic Value Added (EVA) dapat dihitung
menggunakan persamaan berikut:
EVA = NOPAT
- (Capital X
WACC)
Dimana :
a.
NOPAT
Net Operating Profit After Tax (NOPAT) atau
laba operasi bersih setelah pajak merupakan sejumlah laba yang akan dihasilkan
jika perusahaan tidak memiliki utang ataupun aset finansial. NOPAT dapat
dihitung sebagai berikut :
NOPAT = EBIT (1 – Tarif Pajak)
Keterangan :
NOPAT : Net Operating
Profit After Tax
EBIT : Earning Before Interest and
Taxes
b.
Invested Capital
Menurut Young & O’Byrne (2001:39) modal yang diinvestasikan adalah
seluruh keuangan perusahaan terlepas dari kewajiban jangka pendek, pasiva tidak
menanggung bunga (non interest bearing liability) seperti utang,upah
yang akan jatuh tempo (accrued wages),pajak yang akan jatuh tempo (accrued
taxes). Modal yang diinvestasikan sama dengan jumlah ekuitas pemegang
saham, utang jangka pendek dan utang jangka panjang yang menanggung bunga,dan
kewajiban jangka panjang lainnya.
Invested Capital = (Total Hutang + Ekuitas) – Hutang
Jangka Pendek
c.
Weighted Average Cost of Capital (WACC)
Weighted Average Cost of Capital (WACC) adalah
hasil penjumlahan dari hasil perkalian besarnya porsi masing-masing jenis modal
dengan biaya modal yang bersangkutan. Menurut Durant (1999) modal terdiri dari
2 tipe yaitu pinjaman dan ekuitas. Biaya dari modal yang dipinjam adalah berupa
tingkat bunga yang dikenakan oleh pemegang obligasi dan bank, sedangkan biaya
ekuitas adalah tingkat pengembalian yang diharapkan oleh investor.
Rumus untuk menghitung WACC adalah
(Brigham dan Houston, 2006:484) :
WACC
dapat dihitung dengan rumus : WACC = [(D x rd) (1-tax) + (E x re)]
Dimana:
Tingkat
Modal (D) =
Cost
of Debt (rd) =
Tingkat
Modal / Ekuitas (E) =
Cost
of Equity (Re) =
Tingkat
Pajak (Tax) =
Dari
perhitungan akan diperoleh kesimpulan dengan interprestasi hasil sebagai
berikut:
a. Jika
EVA > 0 hal ini menunjukkan terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan.
b. Jika
EVA < 0 hal ini menunjukkan tidak terjadi nilai tambah ekonomis bagi
perusahaan.
c. Jika
EVA = 0 hal ini menunjukkan posisi impas karena laba telah digunakan untuk
membayar kewajiban kepada penyandang dana baik kreditur maupun pemegang saham.
2.3.5 Keunggulan dan Kelemahan EVA
Salah satu keunggulan EVA sebagai penilai kinerja perusahaan adalah
dapat digunakan sebagai penciptaan nilai (value creation). Keunggulan
EVA yang lain adalah:
a. EVA
memfokuskan penilaian pada nilai tambah dengan memperhitungan beban sebagai
konsekuensi investasi .
b. EVA
dapat menyelaraskan tujuan manajemen dengan kepentingan pemegang saham dimana
EVA digunakan sebagai ukuran operasional dari manajemen yang mencerminkan
keberhasilan perusahaan didalam menciptaka nilai tambah bagi pemegang saham. Dengan
EVA para manajer akan bertindak seperti halnya pemegang saham yaitu memilih
investasi yang dapat memaksimumkan tingkat pengembalian dan meminimumkan
tingkat biaya modal sehingga nilai perusahan dapat dimaksimalkan
c. Perhitungan
EVA dapat dipergunakan secara mandiri tanpa memerlukan data pembanding seperti
standar industri atau data perusahaan lain sebagai konsep penilaian.
d. Konsep
EVA dapat digunakan sebagai dasar penilaian pemberian bonus pada karyawan
terutama pada divisi yang memberikan EVA lebih sehingga dapat dikatakan bahwa
EVA menjalankan stakeholders satisfaction concepts.
e. EVA
dapat digunakan untuk mengidentifikasi proyek atau kegiatan yang memberikan
tingkat pengembalian yang lebih tinggi dari biaya modalnya. Kegiatan atau
proyek yang memberikan nilai sekarang dari total EVA yang positif menunjukkan
adanya penciptaan nilai dari proyek tersebut dengan demikian sebaiknya diambil,
begitu juga sebaliknya.
Selain
berbagai keunggulan, konsep EVA juga memiliki kelemahan-kelemahan. Kelemahan-
kelemahan tersebut antara lain:
a. EVA hanya mengukur hasil akhir (result), konsep ini tidak
mengukur aktivitas-aktivitas penentu .
b. Sulitnya menentykan biaya modal yang benar-benar akurat.
c. Analisis EVA hanya mengukur faktor kuantitatif saja. Sedangkan untuk
mengukur kinerja perusahaan secara optinum, perusahaan juga harus mengukur
berdasarkan kuantitatif dan kualitatif.
3.
Transfer Pricing
Transfer pricing adalah suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan harga
transfer, dimana harga transfer itu sendiri adalah harga
yang ditimbulkan atas penyerahan barang, jasa atau harta tak berwujud lainnya dari
satu perusahaan ke perusahaan lain yang masih terikat dalam hubungan
kepemilikan.
3.1 Pengelompokan Transfer Pricing
Terdapat dua
kelompok transaksi dalam transfer pricing, yaitu intra-company dan
inter-company transfer pricing. Intra-company transfer pricing merupakan
transfer pricing antardivisi dalam satu perusahaan. Sedangkan intercompany
transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua perusahaan
yang mempunyai hubungan istimewa. Transaksi intercompany transfer pricing bisa
dilakukan dalam satu negara (domestic transfer pricing), maupun
dengan negara yang berbeda (international transfer pricing).Transfer
pricing domestik adalah harga transfer barang atau jasa antar badan satu
grup perusahaan atau antardivisi dalam satu perusahaan dalam satu wilayah
kedaulatan negara, sedang transfer pricing multinasional berkenaan
dengan transaksi antardivisi dalam satu unit hukum atau antarunit hukum dalam
satu kesatuan ekonomi yang meliputi berbagai wilayah kedaulatan negara.
3.2 Tujuan Perusahaan Melakukan Transfer Pricing
Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam rangka aplikasi transfer
pricing, baik bagi perusahaan domestik maupun bagi perusahaan
multinasional, adalah antara lain:
1. Evaluasi Kinerja (mengukur hasil operasi setiap unit)
2. Motivasi Manajemen (penyusunan orientasi produksi dan laba pada semua unit)
3. Pengendalian harga untuk lebih merefleksikan “Cost” dan “margin”
yang seharusnya diterima dari pelanggan dan penetapan harga optimal.
4. Pengendalian pasar untuk mengamankan posisi kompetitif perusahaan.
3.4 Metode Transfer Pricing
Beberapa metode transfer pricing yang
sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan Multinasional dan
divisionalisasi/departementasi dalam melakukan aktifitas keuangannya adalah
(Harimurti, 2007):
1. Harga Transfer
Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)
Metode ini digunakan pada transfer antar perusahaan yang
menggunakan konsep pusat pertanggung jawaban biaya. Kinerja manajer diukur
melalui pertanggung jawabannya mengenai pengendalian biaya. Konsep ini
sederhana dan menghemat sumber daya karena tersedianya informasi di setiap tingkat
aktivitas perusahaan.
2. Harga Transfer atas Dasar
Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)
Berbeda dengan harga transfer berdasarkan biaya, transfer
pricing yang mendasarkan pada harga pasar, lebih wajar karena didasarkan
pada kekuatan interaksi antara perusahaan dengan pihak luar tanpa
dipengaruhi oleh kekurangan-efisienan operasional dari salah satu
anggota perusahaan. Kesuraman kinerja salah satu anggota perusahaan dalam satu
grup dapat memberikan dampak negatif pada anggota lainnya apabila jumlah harga transfer
dihitung berdasarkan biaya nyata dari tiap perusahaan. Karena harga transfer
yang dihitung berdasarkan biaya mempunyai kelemahan, yaitu tidak dapat
memotivasi dan mengevaluasi kinerja divisi. Harga transfer berdasarkan pada
harga pasar dianggap sebagai tolak ukur untuk menilai kinerja manajer divisi
karena kemampuannya menghasilkan laba dan merangsang divisi untuk
bekerja secara bersaing.
Metode
transfer pricing atas dasar harga pasar merupakan ukuran yang paling memadai
karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan informasi pasar terkadang
menjadi kendala dalam menggunakan transfer pricing berdasarkan harga
pasar.
3. Harga Transfer Negosiasi
(Negotiated Transfer Prices)
Baik harga transfer berbasis harga pasar maupun harga transfer
berbasis biaya berpotensi untuk tidak
tercapainya persetujuan harga antar pihak-pihak, maka
tidak jarang harga transfer tersebut dinegosiasikan antara pembeli dan
penjual di luar harga yang direferensikan atau
berdasarkan penerapan formula biaya yang telah
ditetapkan sebelumnya. Juga karena adanya keinginan dari pihak penjual untuk menerapkan kebijakan harga transfer
perusahaan yang normal. Sebagai contoh, pusat
pertanggungjawaban penjualan mungkin saja akan menjual di bawah harga pasar
modal daripada perusahaannya merugi sama sekali, sepanjang pusat
pertanggungjawaban pembelian unggul dalam melakukan pembelian-pembelian dengan
harga rendah pada saat-saat tertentu. Dalam keadaan semacam itu, para
pihak-pihak akan bernegosiasi. Kualitas negoisasi tersebut tentunya sangat
tergantung pada posisi tawar-menawar kedua belah pihak. Semakin seimbang posisi
keduanya, sangat besar kemungkinannya untuk mendapatkan harga transfer yang
memuaskan kedua belah pihak dan memenuhi kewajaran masyarakat. Tetapi, harga
transfer berdasar negoisasi mempunyai kelemahan yaitu memakan banyak waktu, mengulang
pemeriksaan dan revisi harga transfer.
4.
Shared
Service Allocation